Luthfi Bashori
Menutupi aib orang lain, adalah perbuatan yang mulia, baik itu menutupi aib orang yang masih hidup, maupun orang yang telah meninggal dunia. Upaya menutupi aib orang lain itu, dapat menambah kemuliaan pengamalnya.
Sayyidina Muhammad Rasulullah SAW bersabda, Orang yang menutupi aib (kejelekan/keburukan) orang lain di dunia, kelak pada hari kiamat Allah akan menutupi aibnya. (HR. Muslim)
Beliau SAW bersabda, Barangsiapa menutupi cacat orang mukmin, seakan-akan ia telah menghidupkan kembali anak perempuan yang mati karena ditanam hidup-hidup. (HR. Thabarani)
Beliau SAW bersabda, Umatku akan mendapat ampunan kecuali orang yang terang-terangan berbuat dosa. Di antaranya, orang yang berbuat dosa pada malam hari lalu menceritakan perbuatannya pada esok harinya, padahal Allah telah menutupinya. Ia katakan, Hai Fulan, saya tadi malam berbuat begini dan begitu. Sesungguhnya malam itu keesokan harinya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Di antara macam aib, adalah kemaksiatan yang dilakukan oleh seseorang kepada Allah, baik itu kemasiatan dhahir, seperti seseorang yang melakukan molimo (lima dosa besar: Mabuk (miras), Madat (narkoba), Madon (zina), Main (judi), Maling (mencuri), maupun kemasiatan bathin, seperti iri, dengki, hasud, dhalim dan lain sebagainya.
Ada juga aib yang berupa sifat kemanusiaan, semisal bertubuh pendek, hitam legam, juling mata, sumbing, dan cacat tubuh lainnya, yang sekira jika disebutkan di depan publik, maka akan membuat tersinggungnya orang yang bersangkutan.
Berdakwah atau memberi nasehat kepada orang yang memiliki aib kemaksiatan, adalah perbuatan yang sangat mulia dan diperintahkan oleh syariat. Mengajak seseorang untuk bertaubat kepada Allah termasuk ibadah sunnah yang kelak akan diberi pahala besar oleh Allah SWT, baik si pelaku maksiatnya benar-benar mengikuti nasehatnya maupun tidak menghiraukan nasehatnya dan tetap cuek-cuek saja.
Namun ada pula beberapa jenis aib seseorang yang tetap boleh diungkap, dan pengungkapannya itu tidak termasuk dalam kategori ghibah yang dilarang syariat, sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama, antara lain:
1. Mengadukan kedhaliman seseorang. Misalnya, seseorang didhalimi oleh orang lain. Kemudian mengadukannya kepada hakim dengan menyebutkan kedhaliman yang ia terima dengan menyebut nama dan jenis perilaku kedhaliman lawannya.
2. Meminta fatwa hukum tertentu. Misalnya, seseorang yang bertanya kepada seorang ulama tentang hukum perbuatan aib yang dilakukan saudaranya.
3. Meminta bantuan orang lain untuk menghilangkan sebuah kemunkaran yang tidak dapat diatasi sendiri. Misalnya, seseorang melapor kepada kepala desa tentang ulah para preman yang berbuat aib di sekitar tempat tinggalnya.
4. Memberi peringatan akan kelakuan buruk seseorang agar terhindar dari keburukannya itu. Misalnya, seseorang bertanya tentang kebaikan serta keburukan si Fulan yang datang melamar kerabatnya. Jika si Fulan memang orang yang tidak baik, katakan apa adanya. Hal itu bukan termasuk ghibah atau membuka aib orang lain. Asalkan, tidak menyebutkan kejelekannya secara keseluruhan, melainkan kadar yang sekiranya akan tertolak lamaran dari orang yang tak baik tersebut. Sekiranya cukup dengan menyebut si Fulan seorang yang suka mabuk, tak perlu lagi menyebutkan si Fulan juga suka berzina, mencuri, narkoba, dan sebagainya.
5. Menyebutkan kejelekan seseorang yang justru bangga dengan kemaksiatan yang dilakukan dan suka menyebarkan aibnya sendiri. Menggunjingkan orang semacam itu bukan termasuk ghibah yang diharamkan.
6. Untuk memberi penjelasan. Jika ada seseorang yang terkenal dengan julukan tertentu seperti, si buta, si pincang, si cebol dan semisalnya maka dibolehkan menyebutkan julukan tersebut untuk memberi penjelasan tentang orang yang dimaksudkan. Namun hukum hal ini berubah menjadi haram jika orang yang menyebutkan julukan tersebut bermaksud mencela dan menghina. Namun akan lebih baik jika bisa menjelaskan tentang orang yang dimaksudkan tanpa menyebutkan julukan tersebut.
7. Kritik terhadap para perawi hadits dengan menyebutkan aib yang menjadi kekurangan seorang perawi, para saksi dan para penulis buku. Hal ini diperbolehkan berdasarkan konsesus umat Islam. Bahkan hukumnya bisa wajib jika untuk mempertahankan keotentikan.
8. Jika melihat ada orang yang menimba ilmu atau menyebarkan ajaran sesat dan khawatir banyak orang akan terpengaruh dengan kesesatannya, maka kesesatannya itu boleh diungkap berdasarkan bukti dan fakta, bukan prasangka dan praduga. Hal ini kita lakukan karena kita menginginkan kebaikan untuk orang tersebut dan bukan untuk menggunjing gurunya.
9. Menyebut kekukarang pemimpim yang memegang jabatan tertentu namun dia tidak bisa menjalankannya sebagaimana mestinya karena tidak memiliki kapabilitas, atau jika ada pemimpin yang sering melanggar aturan agama atau berbohong di depan publik. Dengan demikian masyarakat tidak tertipu oleh ulah pemimpin ahli maksiat dan pembohong.