Luthfi Bashori
Barangkali, kita masih perlu banyak belajar memaknai dan mengamalkan hakikat Bertaqwa Kepada Allah dengan sesungguh-sungguhnya. Karena kalimat bertaqwa ini sangat mudah kita ucapkan dengan lisan, namun betapa sulitnya kita amalkan lewat perbuatan.
Sayyidina Thalq bin Hubaib ra berkata, Taqwa adalah beramal untuk ketaatan kepada Allah SWT di atas cahaya dari cahaya-Nya karena mengharap pahala dari-Nya dan takut terhadap adzab-Nya. (Syiaar Alam An-Nubalaa: 4/601).
Sayyidina Abu Darda ra berkata, Kesempurnaan taqwa seorang hamba adalah selalu bertaqwa kepada Allah terhadap sesuatu meski sekecil biji sawi, dan meninggalkan beberapa perkara yang sekalipun dalam pandangnya halal, namun karena khawatir terjerumus ke dalam yang haram, (sikap ini) sebagai benteng antara dirinya dan hal-hal yang haram. (Ibnu Rajab dalam Jami Al-Ulum wal-Hikaam :19/9).
Para salaf sangat jeli dalam memaknahi hakikat bertaqwa kepada Allah, hingga orang yang hidup di jaman sekarang, rasanya sangat sulit umtuk mengamalkan ajaran bertaqwa kepada Allah itu dengan mengikuti kreteria para salaf, apalagi di saat keadaan jaman sudah semakin edan dan penuh dengan keterbalikan sepertI saat ini.
Mencari kenyataan praktek di lapangan tentang amalan bertaqwa kepada Allah, hingga sekecil apapun termasuk sebesar biji sawi, terasa sangatlah sulit jika harus melepaskan diri secara sempuna untuk tidak bermaksiat kepada Allah sama sekali.
Karena hidup di jaman sekarang, jika diteliti secara seksama, maka aslinya adalah hidup di jaman penuh kemasiatan yang sulit untuk dihindari.
Coba dipikir sejenak, bahwa kenyataan saat ini, sudah banyak tersebar wahana yang dapat mengantarkan kita untuk bermaksiat berbuat maksiat, sebut saja maksiat mata, baik yang terjadi dalam kehidupan nyata maupun lewat dunia maya misalnya.
Sudah banyak pula lahan yang dapat mempermudah kita untuk bermaksiat kepada Allah dengan perantara lisan, atau bermaksiat dengan tangan, bermaksiat dengan kaki, bermaksiat dengan perut, bermaksiat dengan hati, bermaksiat dengan akal pikiran, maupun bermaksiat dengan semua anggota tubuh lainnya.
Belum lagi semakin terbukanya ladang sangat lebar di depan mata, yang sekira dapat menfasilitasi kita untuk mempermudah bermaksiat kepada Allah lewat pelampiasan hawa nafsu, seperti bermaksiat dalam urusan semacam penggunaan barang-barang yang hukumnya haram secara dhahir, contohnyai penggunaan barang hasil curian, maupun yang hukumnya haram secara maknawi, seperti pengaruh negatif penggunaan peralatan canggih yang dapat menjerumuskan seseorang untuk berbuat maksiat kepada Allah dengan tanpa disadari.
Atau juga bermaksiat dengan melupakan Allah dalam hatinya sekalipun hanya sejenak, karena terlena oleh nikmatnya kehidupan duniawi, dan yang seperti ini barangkali yang paling banyak terjadi.
Jika demikian, rasanya kita hanya dapat berusaha untuk meminimalisir kemaksiatan demi kemaksiatan, yang silih berganti menghampiri kehidupan kita. Lantas kita harus memperbanyak bertobat memohon ampun dari lumuran dosa akibat segala macam kemaksiatan yang sempat kita lakukan, ataupun larangan agama yang kerap kita terjang.