Dalam konfirmasi pers Teuku Wisnu, sang selebriti beraliran Wahhabi sengaja tidak mengadzani anaknya yang baru lahir dengan alasan haditsnya lemah.
Jaman sekarang, sudah banyak orang yang tidak berkompeten dalam bidang agama, tiba-tiba berbicara agama secara asal-asalan. Padahal dalam hadits shahih riwayat Imam Bukhari disebutkan: Idzaa wussidal amru ilaa ghairi ahlihi, fantadziris saaah (apabila perkara (urusan agama) itu diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggu saja kehancurannya).
Nabi Muhammad Rasulullah SAW bersabda, Barang siapa yang telah lahir anaknya, lalu diadzankan pada telinga kanan anak itu, dan iqamah pada telinga kirinya, maka anak tersebut tidak akan mudah digoda jin dan terlepas dari penyakit ( yang sering menimpa anak-anak). (HR. Hasan bin Ali)
Para ulama Ahlus sunnah wal jamaah bersepakat, bahwa untuk perkara-perkara sunnah yang termasuk fadhailul amal (keutamaan amal) seperti mengadzani bayi yang baru lahir, tidak disyaratkan berhujjah menggunakan hadits berderajat shahih (kuat), dan cukuplah berhujjah menggunakan hadits hasan (sedang), yaitu hadits yang derajatnya satu setrip di bawah derajat hadits shahih, seperti pada kasus adzan untuk bayi yang baru lahir.
Dari Ubaidillah bin Abi Rafi, dari ayahnya (Abu Rafi), beliau berkata:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ
Aku telah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengumandangkan adzan di telinga Al Hasan bin Ali ketika Fathimah melahirkannya dengan adzan shalat. (HR. Ahmad, Abu Dadud dan Tirmidzi) At Tirmidzi mengatakan : ini adalah hadits hasan shahih.
Jika Imam At Tirmidzi menghukumi hadits dengan derajat hasan shahih, maka ada dua kemungkinan, pertama bahwa Imam Tirmidzi mempunyai dua dua sanad untuk hadits ini, yang satu beederajat hasan dan yang satu lagi berderajat shahih. Kemungkinan kedua adalah hadits ini, nilainya hasan namun sudah sangat mendekati derajat shahih.
Imam At Tirmidzi sendiri lahir pada tahun 209 H / 824 M di Tirmidz, Uzbekistan dan
wafat pada tahun 279 H / 892 M.
Imam Al Hakim juga meriwayatkan hadits ini tanpa lafadz bish shalt dan beliau menyatakan bahwa hadits ini shahih menurut syarat Bukhary dan Muslim walaupun mereka berdua tidak mengeluarkannya.
Warga Ahlus sunnah wal jamaah tidak perlu terpengaruh dengan celoteh tokoh Wahhabi, yaitu Al-Albani, yang tiba-tiba saja berani menghukumi hadits ini sebagai hadits dhaif (lemah), padahal dia lahir saja pada tahun 1914 di Albania dan meninggal pada tahun 1999 di Amman, Yordania. Karena Al- Albani ini ibarat anak yang lahir kemarin sore, sudah berani menyalahkan para ulama salaf sekelas Imam Tirmidzi dan Imam Alhakim, yang keilmuannya diakui oleh para ulama dunia sejak berabad-abad.
Apalagi berhujjah dengan menggunakan hadits dhaif, yaitu hadits yang derajatnya satu strip di bawah derajat hadits hasan, namun tidak sampai jatuh pada derajat hadits matruk (yang wajib ditinggalkan) apalagi hadits maudhu (palsu), menurut para ulama Ahlus sunnah wal jamaah hadits dhaif yang satu setrip di bawah derajat hasan tetap diperkenankan sebagai landasan selagi berkaitan dengan fadhailul amal atau kesunnahan amal yang baik, bukan terkait penentuan hukum halal dan haram.