ALIRAN-A LIRAN MENYIMPANG ADA YANG IMPOR & ADA YANG LOKAL
Haydar
Perjalanan sejarah perkembangan Islam di Indonesia seolah tak bisa menghindari timbulnya aliran-aliran menyimpang. Awalnya adalah Khawarij, ketika mengklaim sebagai kelompok paling benar dalam menjalankan syari’at Islam. Kemudian sejak itu, bagaikan jamur di musim hujan – aliran-aliran sempalan tumbuh berkembang sedemikian rupa. Sampai kini kelompok-kelompok yang mengklaim kebenaran tafsir mereka itu merajelala, bahkan, seperti juga apa yang disebut sebagai Al-Qiyadah Al-Islamiyah, yang heboh belum lama ini samai berani menantang berdebat para ulama.
Jika dicermati, berbagai-bagai kelompok (firqah) itu ada yang ‘impor’ dan ada juga yang ‘made in’ dalam negeri. Salah satu yang ‘impor’ itu adalah aliran Syi’ah (Rafidhah). Menghadapi aliran ini tentu saja tak semudah menghadapi Khawarij atau Mu’tazilah (apalagi yang ‘bikinin’ lokal) yang secara terang-terangan memang konsisten dengan doktrin-doktrinnya. Khusus Syi’ah (yang juga secara internal mengalami perpecahan dan saling mengkafirkan di antara sesamanya itu) memang perlu data-data kuat dan kongkret untuk menjelaskan perbedaan dan sekaligus penyimpangannya. Sebab, dalam praktik ritual dan sosial Syi’ah, termasuk yang ada di Indonesia ini – rata-rata mereka menggunakan strategi taqiyyah (sikap khas menyembunyikan keyakinan).
Taqiyyah ini menjadi semacam tameng bagi penganut Syi’ah di sini agar dapat survive di tengah adaptasi dengan mayoritas Muslimin yang ternyata memiliki daya tolak yang tinggi terhadap kelompok Syi’ah (Itsna `Asyariyyah) tersebut. Untuk melacak dan mencari pembuktian penyimpangan praktik aliran yang satu itu sebenarnya tidak sulit. Sebab banyak referensi mereka, Al-Kafi dan kitab-kitab karangan para ulamanya yang bisa dijadikan bukti-bukti penyimpangan praktik keagamaan mereka.
Pada hakikatnya antara Syi’ah dan mayoritas Muslimin (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) itu tidak saja terjadi perbedaan, namun dalam doktrin Syi’ah ada penyimpangan. Penyimpangan tersebut antara lain menyangkut masalah-masalah yang prinsip, yaitu antara lain adanya pengakuan mushaf Ali dan mushaf Fatimah yang berbeda dengan mushaf Usman. Padahal, mushaf yang berlaku bagi Umat Islam se-Dunia saat ini sampai nanti (kelak Kiamat) adalah tak lain mushaf Usman itu. Apalagi di dalam Al-Kafi ada pengakuan, bahwa al-Qur’an itu 17.000 ayat, sedangkan yang ada 6666 ayat, sisanya 2/3 belum keluar karena masih di tangan Imam Mahdi.
Nah, keyakinan yang kontroversial inilah kemudian yang memicu keresahan masyarakat dan jadi fitnah perpecahan, dan akhirnya menciptakan ketegangan keagamaan di tengah umat. Pemerintah perlu secara serius ‘turun tangan’ untuk menyelesaikan perkara alairan sesat ini. Jika tidak, maka konflik akan meluas – cepat atau lambat akan menjadi ancaman bagi bangsa Indonesia di masa depan!