URL: www.pejuangislam.com
Email: editor@pejuangislam.com
 
Halaman Depan >>
 
 
Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami
Ustadz H. Luthfi Bashori
 Lihat Biografi
 Profil Pejuang Kaya Ide
 Imam Abad 21
 Info Asshofwah
Karya Tulis Pejuang


 
Ribath Almurtadla
Al-islami
 Pengasuh Ribath
 Amunisi Dari Tumapel
 Aktifitas Pengasuh
 Perjuangan Pengasuh
 Kalender Ribath
Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ)
 Sekilas Profil
 Program Pendidikan
 Pelayanan Masyarakat
 Struktur Organisasi
 Pengasuh PIQ
 
Navigasi Web
Karya Tulis Santri
MP3 Ceramah
Bingkai Aktifitas
Galeri Sastra
Curhat Pengunjung
Media Global
Link Website
TV ONLINE
Kontak Kami
 
 
 Arsip Teriakan Pejuang
 
SETAN BISU & SETAN BICARA 
  Penulis: Pejuang Islam  [7/8/2025]
   
AYOO SHALAT MALAM ! 
  Penulis: Pejuang Islam  [4/8/2025]
   
KOMUNIKASI DI MEJA MAKAN 
  Penulis: Pejuang Islam  [28/7/2025]
   
SUJUD SYUKUR 
  Penulis: Pejuang Islam  [27/7/2025]
   
MENGALAHKAN HAWA NAFSU 
  Penulis: Pejuang Islam  [20/7/2025]
   
 
 Book Collection
 (Klik: Karya Tulis Pejuang)
Pengarang: H. Luthfi B dan Sy. Almaliki
Musuh Besar Umat Islam
Konsep NU dan Krisis Penegakan Syariat
Dialog Tokoh-tokoh Islam
Carut Marut Wajah Kota Santri
Tanggapan Ilmiah Liberalisme
Islam vs Syiah
Paham-paham Yang Harus Diluruskan
Doa Bersama, Bahayakah?
 
 WEB STATISTIK
 
Hari ini: Senin, 22 September 2025
Pukul:  
Online Sekarang: 7 users
Total Hari Ini: 413 users
Total Pengunjung: 6224562 users
 
 
Untitled Document
 PEJUANG ISLAM - MEDIA GLOBAL
 
 
GUBERNUR YANG APA ADANYA... 
Penulis: Majalah Mafahim [17/6/2009]
 

              GUBERNUR YANG APA ADANYA...

                                       Majalah Mafahim

Dalam perjalanan sejarahnya, umat Islam telah mencatat babak-babak kehidupan yang gemilang. Pada generasi awal kaum muslimin, potret-potret ketauladanan tak pernah jauh dari kehidupan mereka. Sehingga sejarahpun tak segan menorehkan tinta emasnya di atas lembaran waktu atas prestasi kaum muslimin.

Pada suatu hari, Amirul Mukminin Sayyidina Umar al-Faruq mengutus Sai’d bin Amir untuk menjadi gubernur di kota Hamishah, sebuah kota dekat Damaskus. Berangkatlah si Sa’id dengan memanggul tangguh jawab yang tidak ringan. Jabatan baginya bukanlah sebuah kenikmatan, tetapi ujian. Atau bisa jadi sebagai musibah. Tak tersirat di raut wajahnya rasa bangga dengan jabatan yang baru saja di embannya. Mungkin jika tidak karena ketaatannya kepada Khalifah Umar, lebih baik dia menolak saja. Tapi, mau apa lagi. Ini adalah titah Amirul Mukminin, pemimpin umat.

Tak berapa lama tampuk kegubernuran dipegang oleh Said, ada utusan penduduk Hamishah yang menghadap kepadaSayyidina Umar. Sang Amirul Mukminin-pun bertanya kepada utusan tersebut, “Wahai utusan penduduk Hamishah. Coba engkau data nama-nama penduduk miskin di kotamu. Nanti akan aku subsidi mereka dengan kekayaan yang ada di Baitul Mal.”

Merekapun mendata nama-nama kaum fakir miskin di kotanya. Aneh, di antaranya terdapat nama Said bin Amir. Al-Faruq lantas bertanya, “Siapa Sa’id bin Amir ini?”

Si utusan menjawab, “Dia adalah gubernur kami, wahai Amir!” Betapa kagetnya Sayyidina Umar, sembari menyergah,”Gubernur kalian miskin?”

“Betul, ya Amirul Mukminin. Sudah beberapa hari ini dia tidak pernah memasak. Tak tampak tanda-tanda api tungkuan di rumahnya...” jawaban utusan tersebut membuat Umar tergugah. Tanpa terasa, mata Sayyidian Umar perlahan basah mendengar penuturan utusan dari Hamishah. Air dingin mengalir dari celah-celah pipinya yang mulai menua. Kegagahan al-Faruq tersentuh oleh kesederhanaan gubernur yang dipilihnya. Seorang gubernur yang menguasai sebuah kota yang makmur, bertahan hidup dalam kebersahajaan. Umar lalu memberikan beberapa dinar uang agar diberikan kepada si Sa’id.

Setibanya di kota Hamishah, si utusan tadi menyerahkan amanat Amirul Mukminin kepada Gubernur Sa’id bin Amir. Betapa terkejutnya Sa’id dan berteriak, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un....” seakan-akan dia tertimpa musibah. Kejadian ini diketahui oleh istrinya.

“Ada apa gerangan, wahai suamiku? Apakah Amirul Mukminin meninggal?” sergah sang istri. Sa’id menjawab, “Bukan, istriku. Tetapi masalah ini lebih besar dari sekedar wafatnya Amirul Mukminin. Harta telah meracuni kehidupan duniaku, sehingga urusan akhiratku terlalaikan.”

Istri Sa’id lalu menimpali, “Lepaskan saja dirimu dari masalah itu!” Si istri menasehati suaminya. Lalu Sa’id menghiba kepada istrinya, “Maukah engkau membantuku dalam masalah ini, wahai istriku?” Sang sitri menjawab, “Tentu, saya bersedia. Demi kebaikanmu, suamiku!” Kemudian keping-keping uang dinar itu dibagi-bagikan kepada kaum fakir miskin kota Hamishah.

Selang berapa bulan kemudian, Amirul Mukminin, Sayyidina Umar bin Khattab melakukan inspeksi ke kota Hamishah. Beliau ingin meninjau perkembangan kota itu. Didatangilah beberapa warga kota dan menanyakan tentang kepemimpinan Gubernur Sa’id bin Amir. Para warga pun tak henti-hentinya memuji sang gubernur. Akan tetapi, penduduk Hamishah menyebutkan tiga hal yang tidak mereka sukai pada diri Gubernur Sa’id.

Mendengar keluhan tersebut, Umar langsung memanggil Sa’id dan mengumpulkan warga. Mereka dipertemukan di balairung kota. Setelah warga berkumpul dan Gubernur Sa’id ada di tengah-tengah mereka, Amirul Mukminin mulai membuka pembicaraan.

“Wahai warga kota Hamishah, apa yang kalian keluhkan tentang gubernur kalian ini?” Mereka menjawab, “Wahai Amirul Mukminin. Dia tidak mau keluar melayani kepentingan warga sampai hari beranjak siang...”

Umar menoleh pada Gubernur Sa’id. Kemudian meminta tanggapan dari gubernur. Sejurus kemudian, Sa’id bersuara kendati terpaksa, “Demi Allah, sebenarnya saya enggan untuk mengungkapkan hal ini. Ketahuilah, saya tidak punya pembantu rumah tangga. Saya membuat adonan roti sendiri untuk keluarga saya. Saya masak sendiri dan menunggu hingga roti itu betul-betul matang. Lalu saya hidangkan roti itu kepada keluarga saya. Baru setelah semua rampung, saya berwudlu’, dan keluar untuk melayani warga.”

Umar terdiam. Lalu mempersilahkan warga untuk mengungkapkan keluhannya lagi. “Wahai Amirul Mukminin. Gubernur kami itu tidak pernah melayani urusan kami pada malam hari.” Suara warga itu lantang di hadapan Umar dan Sa’id.

Setelah Khalifah mnempersilahkan Sa’id menanggapi keluhan warganya, sang gubernurpun menjawab, “Demi Allah. Sebenarnya saya juga enggan mengungkapkan hal ini. Saya jadikan malam-malamku hanya untuk beribadah kepada Allah. Dan, saya persembahkan siang hariku untuk berkhidmat kepada umat. Melayani segala kebutuhan wargaku.” Warga terdiam takjub, begitupula Khalifah Umar.

“Ada lagi yang hendak kalian keluhkan?” Sayyidina Umar mempersilahkan warga. “Ada. Dalam setiap bulan, ada satu hari yang mana gubernur kami tidak pernah mau didatangi atau menemui siapapun saja, tanpa terkecuali.” Suara warga itu membahana menunjukkan kepuasan setelah menyampaikan unek-uneknya di hadapan sang Khalifah.

Kembali Khalifah Al-Faruq menoleh kepada gubernurnya, “Apa jawaban anda, hai Gubernur Hamishah?”

Sa’id menghela nafas dalam-dalam. Sejenak terdiam, lalu mulai memberikan jawaban, “Wahai Amirul Mukminin, saya tidak punya pembantu rumah tangga yang akan mencuci pakaian saya. Baju yang saya miliki hanyalah sepotong yang saya pakai ini. Pada hari itu, saya mencuci baju ini. Lalu saya menungguinya sehingga benar-benar kering. Setelah kering, barulah saya bisa keluar, itupun hari sudah mulai sore.....”

Begitulah. Khalifah Umar bin Khattab terdiam membisu, berbaur antara haru dan takjub. Sejurus kemudian terlontar suara lantang dari sang Khalifah, “Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan prasangka burukku padamu, wahai Gubernur kota Hamishah....”

Keteladan seorang pemimpin yang berhiaskan kebersahajaan, itulah penggalan pesan yang terkandung dalam fragmentasi kisah di atas. Sekilas seperti mitos, tapi nyatanya betul-betul terjadi dan sudah menjadi bagian dari sejarah yang sarat hikmah. Sosok pemimpin yang bersahaja, sederhana, apa adanya, menjadi kekuatan tersendiri untuk melahirkan rasa simpati. Ia akan senantiasa ada di hati siapa saja. Kendati waktu telah meninggalkannya bersama perjalanan usia.

Lalu, adakah ruang bagi kita untuk berkilah, bahwa kepemimpinan harus di bangun di atas kemegahan hidup, foya-foya, menghamburkan harta, sebagaimana kita saksikan akhir-akhir ini. Kini, harta telah menjadi tolak ukur kepemimpinan seseorang. Popularitas telah menjadi bumbu seorang pemimpin untuk menaruh simpati orang lain. Padahal berhati-hatilah, jika pemimpin tidak memiliki jiwa bersahaja, pada waktunya nanti dia akan menjadi pemangsa yang lebih buas dari binatang rimba. Dan bagi para pemimpin, petiklah ketauladan pemimpin yang bersahaja. Sebab semua amanat akan dimintai pertanggung jawaban...

 

 

 

 

 

 

   
 Isikan Komentar Anda
   
Nama 
Email 
Kota 
Pesan/Komentar 
 
 
 
 
Kembali Ke Index Berita
 
 
  Situs © 2009-2025 Oleh Pejuang Islam