RASULULLAH SAW BERMUSYAWARAH DENGAN PARA SHAHABAT
Luthfi Bashori
Ma khaba manistasyar, tidak rugi orang yang bermusyawarah. Ini adalah kata mutiara indah dan sangat berfmanfaat, bahkan kebenarannya juga didukung oleh amaliah Nabi Muhammad SAW, sebagaimana diriwayatkan, sebagai berikut:
Diriwayatkan bahwa Ibnu Uyainah menyatakan jika Rasulullah SAW menghendaki suatu kepentingan maka beliau SAW selalu bermusyawarah dengan sejumlah shahabatnya. Lantas bagaimana beliau SAW bermusyawarah dengan manusia untuk kepentingan Tuhannya, padahal Allah adalah Dzat yang mengatur segala urusan manusia? Ternyata beliau sengaja bermusyawarah dengan sejumlah shahabatnya itu untuk memberitahu mereka tata cara serta pentingnya bermusyawarah dengan sesamanya, meskipun beliau SAW sendiri adalah seorang yang selalu mengetahui segala urusan itu dari Tuhannya.
Imam Ibnu Majah dan Atthabarani meriwayatkan sebuah hadits Rasulullah Muhammad SAW, yang artinya:
Tidak ada kemelaratan yang lebih parah dari kebodohan dan tidak ada harta (kekayaan) yang lebih bermanfaat dari kesempurnaan akal.
Tidak ada kesendirian yang lebih terisolir dari ujub (rasa angkuh) dan tidak ada tolong-menolong yang lebih kokoh dari musyawarah.
Tidak ada kesempurnaan akal melebihi perencanaan (yang baik dan matang) dan tidak ada kedudukan yang lebih tinggi dari akhlak yang luhur.
Tidak ada wara` yang lebih baik dari menjaga diri (memelihara harga dan kehormatan diri), dan tidak ada ibadah yang lebih mengesankan dari tafakur (berpikir), serta tidak ada iman yang lebih sempurna dari sifat malu dan sabar.
Dua hadits di atas ini pertanda pentingnya bermusyawarah dan sangat bermanfaat untuk kehidupan umat Islam. Tentunya, dalam menentukan teman bermusyawarah itu memiliki kriteria yang sekira pendapat-pendapatnya itu bisa memberi manfaat positif bagi orang atau anggota yang mengajak bermusyawarah.
Imam Al Mawardi telah menyebutkan beberapa kriteria teman bermusyawarah (ahli syura) yang sesuai syariat, hingga dapat memberi kemanfaatan sesuai dengan harapan, beliau mengatakan:
- Pertama, memiliki akal yang sempurna dan berpengalaman.
- Kedua, intens terhadap agama dan bertakwa karena keduanya merupakan pondasi seluruh kebaikan.
- Ketiga, memiliki karakter senang member nasehat dan penyayang, tidak dengki dan iri, dan jauhilah bermusyawarah dengan wanita.
- Keempat, berpikiran sehat, terbebas dari kegelisahan dan kebingungan yang menyibukkan.
- Kelima, tidak memiliki tendensi pribadi dan dikendalikan oleh hawa nafsu dalam membahas permasalahan yang menjadi topik musyawarah.
(Tertera dalam kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din hlm. 367; Al Umdah fi Idad Al Uddah hlm. 116; Al Ahkam as-Sulthaniyah hlm. 6; Al Ahkam as-Sultaniyah karya Abu Yala hlm. 24; Ghiyats Al Umam hlm. 33).