Ancaman Perpecahan Aswaja
Ernaz Siswanto
Ada pernyataan yang mencambuk hati para mustami’in, ketika mendengar perkataan seorang pemateri aswaja berkata: “Kebutuhan mendesak permasalahan yang musykil di dalam tubuh Nahdlatul ‘Ulama adalah Syi’ah, karena benalu Syi’ah itu berada di dalam tubuh NU.” Memang, dengan memanfaatkan ahlul bait, banyak kasus-kasus konversi (perpindahan agama) dari Ahlussunnah menjadi Syi’ah. Tak pelak lagi, ketika berpindah menjadi Syi’ah, kader-kader NU yang dulunya mencintai sahabat itu, berbalik tajam menjadi pelaknat sahabat dan istri-istri Nabi. Terkhusus terhadap Abu Bakar, Umar, Usman, kebencian mereka seakan tak termaafkan.
Hal ini bukanlah pernyataan fiktif atau kebohongan belaka. Sudah banyak kasus terjadi dan penelitian dilakukan oleh orang-orang yang peduli akan hal itu.
Tak dipungkiri, bahwa banyaknya warga NU yang konversi ke Syi’ah karena dipelopori oleh sebagaian besar anak-anak habaib,yang di dalam kultur NU yang kental, cicit Rasulullah ini didudukkan pada posisi yang mulia, bahkan di sebagian pesantren daerah, mereka dikultuskan. Ada anggapan di kalangan Nahdliyin, bahwa apa-apa yang dibawa habaib pasti benar. Padahal sebagaimana di katakan oleh Imam Malik ketika mengajara murid-muridnya: “kullu kalamin yukhadzu wa yutraku illa kalamin shahibi hadzal qabr” (setiap perkataan bisa diambil dan dibuang kecuali perkataan pemilik kubur ini (Rasulullah SAW).
Artinya, tidak ada seorang pun di dunia yang perkataannya tidak mengandung kesalahan kecuali Rasulullah SAW. Dan hanya Rasulullah yang maksum, sedangkan para sahabat dan keturununan Rasulullah bisa jadi salah secara manusiawi.
Para abna’ habaib yang syi’ah itu hampir keseluruhan adalah orang-orang yang tidak mengikuti jalur pendidikan agama para orang tuanya yang sanadnya bersambung kepada habaib di Hadramaut. Tokoh-tokoh habaib penyebar syi’ah di Indonesia itu umumnya adalah lulusan Iran yang telah melalui pengkaderan dulu di pesantren Syi’ah YAPI-Bangil.
Sebelum ada demo anti syi’ah secara besar-besaran di Bangil beberapa waktu lalu, penulis pernah berkunjung ke pesantren Syi’ah YAPI-Bangil. Di sana penulis di temui oleh pengurus yang waktu itu memang mengakui bahwa YAPI-Bangil adalah sebuah pesantren syi’ah itsna ‘asyariah, yang menurut mereka mengajarkan madzhab ahlul bait. Namun setelah terjadi demo mereka melakukan aksi tutup mulut, baik kepada wartawan maupun orang asing.
Persoalan Syi’ah ini menjadi masalah yang sangat mengganggu sekali di dalam perkembangan ahlussunnah wal jama’ah. Di sisi lain pendidikan ahlussunnah wal jama’ah sementara ini di pesantren-pesantren hanya dipahami oleh para kadernya sebatas masalah furu’iyah saja, seperti tahlil, qunut dan sebagainya. Tetapi sebaliknya masalah yang lebih penting dari itu menyangkut penyimpangan akidah sedikit diremehkan.
Perlu ditegaskan kembali, bahwa Syi’ah yang berkembang dan menjadi virus bagi habaib di Indonesia adalah Syi’ah Ithna ‘Asyariyah Ja’fariyah yang berkembang di Iran semenjak Revolusi 1979. Menurut kategorisasi ad-Dahlawy dalam “Attuhfah Itsna ‘Asyariyah”, sekte ini termasuk dalam kualifikasi Syi’ah Ghulat. Atau dalam literatur lainnya disebut sebagai Rafidhah.
Gerakan Syi’aisasi ini berlangsung sejak pasca Revolusi Iran (1979). Waktu itu terjadi euforia di kalangan umat Islam. Karena Iran saat itu merupakan simbol Islam yang dapat mengalahkan kedigdayaan Amerika dan sekutunya. Banyak dari kalangan muda tepengaruh, dan menjadi simpatik dengan Ayatullah Khomeini. Sebelum itu orang tidak mengenal Syi’ah, kecuali sepotong-potong. Kemudian mendiang Ayatullah Khomeini membuat kebijakan dengan mengekspor revolusi Iran ke negara-negara Islam. Ia waktu itu memberi beasiswa secara besar-besaran kepada pemuda Islam di seluruh dunia, untuk belajar di Qum, dengan target dicetak menjadi da’i Syi’ah. Pada awal-awal revolusi banyak negara Islam yang mendukung Iran dalam batas-batas ukhuwah dan persamaan tauhid.
Berkontainer-kontainer buku dan propaganda syi’ah masuk ke negeri-negeri Islam. Selanjutnya, setelah melakukan interaksi secara intensif tahulah negeri-negeri Islam, bahwa Iran memiliki akidah yang berbeda secara prinsipal dan mereka suka merongrong Ahlu Sunnah. Maka batas-batas hubungan pun dipersempit. Tercatat dalam sejarah, sekitar tahun 1984 Brunei mengharamkan Syi’ah, dan penguasa Malaysia menghentikan droping buku-buku Syi’ah, terutama menyangkut khalifah dan sahabat.
Di Indonesia, semenjak kran kebebasan reformasi dibuka, yang akhirnya menjadi kebebasan yang ‘kebablasan’, Syi’ah semakin berani dan terang-terangan mempropagandakan akidahnya, bukan hanya di tingkat strata muslimin awam menjadi sangat rentan terpengaruh retorika Syi’ah. Bahkan kalangan mahasiswa yang disebut-sebut sebagai ‘kaum intelektual’ pun juga terpengaruh dengan buku-buku syi’ah yang menurut mereka logis, membebaskan dan mencerahkan. Melalui buku-buku, syi’ah mencoba menciptakan keragu-raguan terhadap sendi-sendi keyakinan Ahlu Sunnah. Mereka masuk melalui pemutarbalikan fakta sejarah di dalamnya. Jika ditelaah lebih lanjut, metode yang digunakan persis metodologi penelitian orientalisme: mengembangkan kritik tiada henti sampai kepada bidang-bidang ilmu keislaman yang sudah final.
Misalnya saja, mereka menciptakan keraguan terhadap kitab Shahih Bukhari dengan mengatakan bahwa kitab itu tidak sepenuhnya benar karena di dalamnya terdapat hadis-hadis musykil semacam nabi kena shir, nabi kencing berdiri dan sebagainya. Mereka juga melakukan kritik-kritik terhadap sahabat, disertai pelaknatan dan pendiskreditan. Pada akhirnya mereka ingin menghancurkan menumbangkan sahabat dan riwayat-riwayat hadisnya yang secara otomatis akan meruntuhkan tatanan mazahibul arba’ah diganti dengan mazhab ahlul bait.
Begitulah, alhalim fahim kata pepatah Arab. Telah kita fahami betapa berbahayanya aliran syi’ah ini, yang mengatasnamakan ‘mazhab ahlul bait’. Diakui atau tidak, selama ini Ahlu Sunnah begitu santai dan tertidur ketika menghadapi tantangan akidah semacam ini. Last bot not least, ahlus sunnah harus bangkit, dengan melakukan penelitian, pengkajian, dan pengkaderan secara sistematis dan terencana untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai Sunni yang baik.