Revolusi Pendidikan Nasional, Mungkinkah?
(H. Luthfi Bashori)
Secara jujur, kita harus mengatakan sangat prihatin ketika menyaksikan keterpurukan moral generasi muda di tanah air saat ini. Carut-marut wajah pendidikan nasional yang kini dikuasai kaum sekuler, tampaknya dari kualitas hasil produknya.
Keterpurukan akhlaq dan moral, tidak lagi menjadi prioritas penanganan. Padahal, mengatasi degradasi moral inilah yang seharusnya diutamakan oleh kalangan pendidikan, terutama yang ada di jalur formal pada dunia pendidikan.
Namun, orientasi mereka saat ini, justru hanya terjebak pada angka-angka nilai prestasi dalam mata pelajaran yang terus dipacu dan ditekankan kepada para siswa.
Secara tak langsung dan tanpa sadar sifat matrealistis semakin mempengaruhi dan tertanam dalam kejiwaan generasi muda kita, bahkan hal ini tampak paling dominan.
Belum lagi dengan banyaknya perilaku tidak terpuji dan kebobrokan moral, yang kini banyak terjadi pada sebagian pejar dan mahasiswa. Seperti perilaku free seks yang kerap kali berlanjut kepada tindak aborsi, pemakian obat-obatan terlarang, dan perilaku menyimpang lainnya.
Hal ini semakin melengkapi bukti bahwa pendidikan umum tanpa didasari kuatnya input kegamaan justru akan membentuk manusia-manusia pandai tapi jauh dari nilai-nilai yang dianggap baik di masyarakat. Berita tak sedap tentang maraknya cukong-cukong dan om-om hidung belang, yang dengan mudah mendapatkan servis dari para gadis belia setingkat SMU sudah menjadi cerita biasa di koran-koran maupun televisi.
Bahkan ada juga penerbitan yang sengaja merilis berita semacam ini secara berkala sebagai berita yang menghibur.
Cerita remang-remang dunia malam yang dilakoni oleh para remaja usia sekolah, tidak asing lagi di telinga masyarakat. Belum lagi, mode pakaian dan penampilan semisal yang bergaya punk dan metal, turut mewarnai kehidupan remaja masa kini, mulai dari pelajar usia SLTP hingga perguruan tinggi.
Bukankah keadaan semacam ini kerap kali kita saksikan dengan mata kepala sendiri? Tentunya budaya tersebut bukanlah produk asli Indonesia, apalagi produk agama Islam.
Sama sekali tidak. Ini adalah budaya kaum kapitalis yang berorientasi kepada kehidupan yang materialistis serta budaya westernisasi yang telah menjamur di kalang generasi muda negeri ini, akibat jauhnya mereka dari sentuhan pendidikan rohani.
Tak ayal keterpurukan moral ini sulit sekali untuk ditangkal. Terlebih dunia pendidikan nasional kurang berpihak kepada kultur keagamaaan dan budaya timur.
Seakan tolak ukur kemodernan adalah selalu dari budaya barat yang glamour dan hedonist. Misalnya UAN yang saat ini yang menjadi barometer sukses pendidikan, yang diklaim sebagai metode pengukuran bagi kecerdasan siswa, jelas-jelas tidak memberi ruang gerak bagi kurukulum agama untuk masuk di dalamnya.
Belum lagi kecenderungan marginalisasi ulama yang seharusnya diberi porsi terbesar dalam membimbing moral generasi muda Islam dari rana pendidikan formal, semakin melengkapi compang-campingnya sistem pendidikan di wilayah moral, aqidah serta akhlak.
Sebagai bukti kongkrit, dunia pendidikan pesantren sekalipun sebagai pendidikan tertua di Indonesia, yang telah melahirkan jutaan manusia berpotensi dan berakhlak luhur dalam menjalani roda putaran kehidupan bangsa, sejak sebelum jaman penjajahan hingga saat ini, baik yang bersifat resmi maupun non pemerintah. Keberadaannya masih belum diperhitungkan hingga sekarang.
Dunia pendidikan formal hanya setengah hati merespon pendidikan pesantren. Padahal dalam data statistik kependudukan nasional, jumlah masyarakat Indonesia yang beragama Islam, sampai detik ini masih menunjukkan angka mayoritas.
Bukankah ini berkat tangan-tangan terampil tokoh pesantren, dalam melestarikan dan membina keislaman masyarakat di Indonesia. Lantas apa kira-kira yang diinginkan oleh pengelola negeri ini, dengan mengedepankan sistem pendidikan kapitalis yang materialis. Yang sangat jauh dari nilai-nilai keislaman?
Sesungguhnya, untuk mengubah keadaan agar lebih baik dalam membangun Indonesia baru, ada solusi yang dapat dilakukan oleh semua pihak.
Bilamana setiap muslim, baik dari kalangan awam maupun yang memiliki jabatan strategis di pemerintahan bersama-sama melakukan revolusi pendidikan nasional, menuju sinergi dengan porsi fifty-fifty antara sistem pendidikan berbasis agama dengan pendidikan basis science terarah.
Adapun yang dimaksud adalah terklasifikasinya sistem pendidikan sesuai dengan bidangnya masing-masing namun diimbangi pelajaran berbasis akhlaq keislaman. Jika hal ini dapat dilakukan secara bersama-sama maka keterpurukan moral bangsa ini akan terobati.
Revolusi pendidikan ini sudah harus segera dimulai saat ini. Bagi masyarakat muslim kalangan awam, dapat memulainya dengan berkomitmen tidak akan menyekolahkan anak-anaknya di sekolah yang tidak menyediakan porsi lima puluh persen untuk pelajaran agama. Karena sekokah alternatif dengan penerapan sistem fifty-fifty kini banyak bermunculan.
Sedangkan bagi mereka yang mempunyai kedudukan di pemerintahan, dapat mengambil langkah-langkah strategis secara langsung, untuk menuju sebuah revolusi pendidikan secara menyeluruh.
Adapun bagi kalangan pengelola pendidikan formal, hendaknya segera berbenah diri untuk menciptakan lingkungan pendidikan berbasis agama dengan standar science modern. Jika semua umat Islam bersepakat dalam hal ini, maka akan terwujud Indonesia dengan wajah baru yang modern namun tetap santun dan beradab.