Lukisan “Tanpa Makna”
Di sebuah negeri ada seorang pelukis yang sangat tersohor. Hasil lukisannya seringkali terpampang di berbagai event nasional bahkan internasional. Harganya? jangan ditanya! Bisa terjual ratusan juta hingga milyaran rupiah.
Di tengah kehidupannya yang luar biasa mewah, sang pelukis tersebut mempunyai seorang supir pribadi yang sangat setia. Ia telah bekerja sejak masa ayah sang pelukis tersebut masih hidup. Umurnya yang telah renta, membuat sang supir berkeinginan untuk pensiun. Maka diutarakanlah keinginan tersebut pada si pelukis. Akhirnya sang tuan pun tak bisa menolak keinginannya.
Sebagai tanda terima kasih atas pengabdiannya, si pelukis bermaksud memberikan pesangon yang layak bagi supir kesayangan itu. Ketika si pelukis hendak menulis sejumlah rupiah di selembar cheque, sang supir tiba – tiba berkata, “Tuan, saya tidak menginginkan uang sebagai tanda darma berbakti. Saya hanya ingin dibuatkan sebuah lukisan yang tercantum nama tuan. Itu sudah cukup bagi saya.”
Mendengar hal itu lebih mudah dilakukan dan tentu lebih ekonomis, maka segera si pelukis mengambil kanvas serta kaleng-kaleng cat miliknya. Kemudian, melukis dengan cepat dan asal-asalan saja. Warna merah, kuning, hijau, biru, hitam, dan semua cat ia masukkan dalam lukisan. Lalu diberinya judul “Tanpa Makna”. Tak lupa di sudut bawah lukisan ia cantumkan tanda tangan yang bisa terbaca nama dirinya. Sambil berucap terimakasih, dihadiahkan lukisan tersebut pada supir yang telah menunggu.
Bahagia sekali bapak supir itu menerimanya. Maka disimpanlah lukisan itu sekian lama. Hingga beberapa tahun kemudian takdir berkata lain. Si pelukis tersebut telah wafat karena sakit yang dideritanya. Sampai suatu hari terpampang di galeri lelang musium sebuah lukisan yang berjudul “Tanpa Makna”, ditawarkan dengan promosi pamflet di seluruh kota.
Malam lelang berlangsung sangat meriah. Pejabat dan pengusaha dalam negeri hingga luar negeri hadir pula dalam acara tersebut. Mantan supir pelukis juga hadir, dan duduk dikursi VVIP karena dialah yang memiliki lukisan tersebut.
Setelah acara dimulai dengan sambutan wali kota, dibukalah tabir yang menutupi lukisan dengan iringan lagu syahdu. Pengunjung yang tadinya riuh, mendadak hening, dan terpukau oleh lukisan itu. Mereka sibuk berimajinasi dengan fikirannya masing-masing.
“Merah adalah warna yang melambangkan keberanian”, “Oh … ada warna biru yang syahdu, dan hijau yang memukau”. “Wah …. Betapa indahnya. Sungguh pelukis yang jenius”.
Berbagai macam komentar di utarakan oleh pengunjung. Namun di sudut ruangan mantan supir yang mengerti bagaimana lukisan tersebut dibuat hanya tersenyum. Hingga dimulailah penawaran…
“Lima ratus juta… satu milyar… dua milyar… hingga lima milyar. Deal!
“Laku lima milyar!!!” ujar pemandu lelang.
Luar biasa. Lukisan yang tanpa makna bisa laku milyaran rupiah. Lukisan yang bagi pembuatnya tidak bernilai sama sekali. Namun bisa laku mahal karena “nama besarnya”.
Sahabat. Kendati fiktif, namun ada hikmah yang bisa kita petik dari fragmentasi di atas. Betapa saat ini banyak orang terbuai oleh “nama besar” seseorang. Hingga apapun yang dikatakan sang tokoh, serta merta “ditelan mentah-mentah” tanpa reserve. Semuanya diserap tanpa ada proses berpikr lebih jauh dan mendalam. Padahal belum tentu sang tokoh bicara serius dan sesungguhnya.
Sebuah ide positif tetapi muncul dari “orang biasa” sering kali tidak mendapat respon yang baik. Sebaliknya, jika seorang yang masyhur berbicara di anggap sebagai sebuah kebenaran yang final. Bahkan kesalahannya sekalipun di anggap sebagai “strategi jitu” yang mungkin akan dilakukan oleh si tokoh.
Luar biasa! Zaman ini sudah terbalik. Jika dulu ada ungkapan, “Jangan melihat siapa yang berkata, tetapi dengarlah apa yang dikatakan.” Mungkin saat ini telah banyak orang berfikir terbalik, “lihatlah siapa yang berkata, jangan dengar apa yang dikatakan.” Akhirnya yang terjadi adalah melihat siapa yang berkata tanpa harus mengerti dan mencerna apa yang di katakan. Sebuah ironi yang menyedihkan bagi mereka yang mengklaim dirinya sebagai masyarakat berfikir yang modern.
Jangan heran jika saat ini marak bermunculan aliran-aliran sesat “laku keras” dan dianut oleh banyak kalangan, karena dibawa oleh orang-orang nyeleneh yang kebetulan jadi tokoh terkenal di masyarakat, baik secara akademis maupun karena status sosialnya. Sehingga ide-idenya yang ganjil dan menyimpang dari kaidah kebenaran—bahkan keagamaan—dianggap sebagai ide yang jenius.
Masyarakat juga dibuat bingung, bukan hanya dalam menentukan antara salah dan benarnya sebuah ide saja (meskipun telah jelas idenya salah dan menyimpang), namun juga bingung karena yang membawanya adalah seorang tokoh yang terlanjur “dianggap cerdas” oleh banyak orang. Apalagi si pemimpin memiliki dukungan massa yang banyak, akan semakin sukses dalam mengkampanyekan ide-ide yang keliru tersebut.
Orang-orang yang masih kebingungan dalam mencari jati dirinya, sering kali latah dalam menentukan sikap jika berhadapan dengan tokoh-tokoh semacam itu. Mental ikut-ikutan seringkali membuat mereka terkibuli oleh tokoh-tokoh semacam itu. Kemudian larut dalam diskusi-diskusi yang sia-sia perihal ide sang tokoh. Kalangan inilah yang seringkali bersikap fanatik buta. Komunitas inilah yang sering di jadikan kendaraan dalam meng-goal-kan gagasan sang tokoh. Bahkan kalangan inilah yang seringkali menjadi korban bagi ambisi sang tokoh.
Maka dari itu sahabat … kita sebagai masyarakat yang berfikir, sudah seharusnya senantiasa belajar … belajar , dan belajar. Tentunya bukan hanya ikut-ikutan belajar pada asal guru, asal ustadz, kyai, atau profesor sekalipun. Atau asal ada pengajian yang paling ramai kita ikut. Akan tetapi pandanglah akhlak dan pribadinya, sanad keilmuannya, apakah benar-benar bisa kita tauladani dan bisa dipertanggung jawabkan terutama perihal ilmu-ilmu agama. Agar kita dan keluarga kita senantiasa terselamatkan dan tetap pada jalur akidah yang benar yaitu Ahlusunnah Wal Jama’ah, yang di bawa oleh junjungan kita, tokoh idola sepanjang masa, sebagai rahmatan lil ‘alamin, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam..(AR Helmi).