|
Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami
Ustadz H. Luthfi Bashori |
|
 |
Ribath Almurtadla
Al-islami |
|
|
Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ) |
|
|
|
|
|
Book Collection
(Klik: Karya Tulis Pejuang) |
Pengarang: H. Luthfi B dan Sy. Almaliki |
|
• |
Musuh Besar Umat Islam |
• |
Konsep NU dan Krisis Penegakan Syariat |
• |
Dialog Tokoh-tokoh Islam |
• |
Carut Marut Wajah Kota Santri |
• |
Tanggapan Ilmiah Liberalisme |
• |
Islam vs Syiah |
• |
Paham-paham Yang Harus Diluruskan |
• |
Doa Bersama, Bahayakah? |
|
|
|
WEB STATISTIK |
|
Hari ini: Senin, 22 September 2025 |
Pukul: |
Online Sekarang: 8 users |
Total Hari Ini: 59 users |
Total Pengunjung: 6224160 users |
|
|
|
|
|
|
|
Untitled Document
PEJUANG ISLAM - KARYA ILMIAH USTADZ LUTHFI BASHORI |
|
|
MASYARAKAT MADANI DI PERSIMPANGAN - (1) |
Penulis: Pejuang Islam [ 8/9/2016 ] |
|
|
MASYARAKAT MADANI DI PERSIMPANGAN - (1)
Luthfi Bashori
Pada dasarnya, akal yang dimiliki manusia adalah suatu media yang bisa dipergunakan sebagai alat untuk memahami banyak hal, termasuk masalah agama. Sekalipun demikian, akal yang dikaruniakan Allah kepada manusia tersebut tetaplah memiliki keterbatasan dan kelemahan.
Dalam kenyataannya, manusia memang bisa lemah dalam menangkap kenyataan apa pun dan kelemahan itu bersumber dari keterbatasan atau keengganan alat penangkap kebenaran yaitu akal, bukan pada objek permasalahan yang semestinya ditangkap secara benar dan sempurna oleh akal itu sendiri.
Setiap manusia diberi Allah tingkat kekuatan sekaligus kelemahan pada akal secara berbeda. Dengan adanya perbedaan tingkat kemampuan akal, maka di antara manusia terjadi tingkatan-tingkatan yang berbeda dalam banyak hal. Termasuk penerimaan ideologi atau keyakinan dalam menentukan kebenaran agama yang dipeluknya.
Seorang muslim sejati akan menggunakan akal yang dikaruniakan Allah, sebagai alat untuk memfasilitasi diri dalam melaksanakn perintah dan meninggalkan larang-Nya secara mutlak, tanpa mendahulukan kemampuan akal yang mengandung banyak kelebihan sekaligus kekurangan.
Tingkat keislaman secara inilah yang telah diterapkan oleh Shahabat Abu Bakar Ra tatkala mendapat kritikan pedas dari orang-orang kafir dengan pertanyaan mereka, Percayakah Shahabat Abu Bakar Ra terhadap pernyataan Rasulullah SAW bahwa beliau SAW telah melakukan Isra-Mikraj ke langit tujuh dan Sidratul Muntaha dengan ditempuh hanya dalam waktu semalam?
Shahabat Abu Bakar dengan tegas mengatakan, Jika Rasulullah SAW memberi tahu suatu hal yang lebih dari itu pun, pasti aku akan meyakini kebenarannya.
Shahabat Abu Bakar lebih mendahulukan ideologi keislamaannya yang murni dari pada penggunaan rasio akal. Sebab Shahabat Abu Bakar telah meyakini kebenaran hakiki agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW, yaitu kebenaran yang datang dari Allah Swt. Kebenaran itulah yang dinamakan syariat Islam.
Kini ada arus yang sengaja diciptakan dan dikembangkan oleh kaum liberal bahwa inti dari syariat bukanlah pada penerapan makna yang ada dalam teks (nash) atau dari suatu peristiwa yang terjadi pada zaman Rasul SAW.
Tapi, menurut mereka, bahwa syariat itu adalah bagaimana mewujudkan tujuan syariat itu sendiri yang biasa disebut sebagai maqashidus syariah. Tujuan-tujuan dari pemberlakuan syariat (maqashidus syariah) itu adalah demi menjaga agama (hifdzud diin), kehormatan (hifdzul irdl), jiwa (hifdzun nafs), harta (hifdzul maal), dan akal (hifdzul aql).
Namun, hanya dengan menggunakan rasio (akal), mereka gegabah mengatakan bahwa jiwa syariat adalah ini dan itu. Semisal, jika pembunuhan, pencurian, atau perzinaan bisa diatasi dengan hukum sekuler (hukuman penjara), maka tidak perlu lagi diterapkan Qishas, qathul yad (hukum potong tangan), demikian pula tentang hukum rajam, dan sebagainya.
Dengan demikian, menurut kaum liberal, tidak ada hukum Allah yang perlu dilaksanakan di dunia ini, jika dengan cara lain bisa diterapkan dan tujuan syariat itu sudah tercapai.
Padahal syariat Islam adalah milik Allah sepenuhnya. Tidak ada yang berhak mengatakan secara gegabah tentang syariat ini kecuali Allah dan Rasul-Nya. Selain Allah dan Rasul-Nya, maka harus merujuk pada Al-Quran dan sunnah sebagai dasar istimbath (menetapkan hukum).
Dalam banyaka ayat sering disebut bahwa iftiraa alallah itu adalah kedzaliman besar (lihat Al-Anaam: 21 dan Yunus: 17). Mengada-ada bahwa Allah bermaksud begini dan begitu adalah dosa besar.
Untuk bisa mengetahui maqashidus syariah hanya bisa di ketahui dengan mempelajari Kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW dengan penuh ketelitian dan keihklasan.
Mengejar target maqashidus syariah memang hal penting dan paling diperlukan. Tapi pembicaraan tentang masalah ini tidaklah sederhana. Untuk mencapainya perlu kemantapan dalam ushul fiqih, lughah (bahasa), tafsir, ulumul quran, musthalah hadits, dan ilmu-ilmu alat lainnya.
Bahkan yang patut disayangkan, ternyata yang menjadi acuan kaum liberal itu hanyalah tinjauan kemasalahatan-kemaslahatan umum (riayatul mashalihil ammah). Dengan acuan ini, mereka bermaksud untuk mengembangkan konsep lintas gender, lintas status sosial, bahkan lintas agama, yang sering dikenal dengan istilah pluralisme. Mereka tidak mempunyai standar syariat yang jelas kecuali hanya berkiblat pada logika akal.
Di antara hujjah para pejuang pluralisme demi memperjuankan kepentingannya, adalah dengan cara berlindung kepada penggunaan istilah Masyarakat Madani (civil society).
Mereka mengatakan bahwa hanya ada satu fakta kemanusiaan yakni keberagamaan dan kemajemukan. Mereka mengatakan pula bahwa setiap agama haruslah terbuka terhadap kebenaran agama lain, atau setidaknya mengakui adanya kebenaran di dalam agama lain. Dalam propagandanya, mereka mengatakan bahwa tidak ada kebenaran satu agama pun yang mutlak. Artinya bahwa nilai-nilai kebenaran itu selalu ada pada tiap-tiap agama.
Mereka juga mengatakan bahwa sebaik-baik agama di sisi Allah adalah al-hanifiyyatus samhah (semangat kebenaran yang lapang dan terbuka). Mereka berpendapat bahwa al-hanifiyyatus samhah adalah semangat mencari kebenaran secara terbuka, yang membawa sikap toleran, terbuka, tidak sempit, tidak fanatik dan tidak membelenggu jiwa. (BERSAMBUNG).
|
1. |
Pengirim: ilham - Kota: Jaksel
Tanggal: 19/9/2014 |
|
Assalamu'alaikum Wr. Wb
Betul sekali Kyai, bahkan ada atheis yang mengatakan "kebuntuan akal manusialah yang menciptakan eksistensi Tuhan"
Dengan kata lain si atheis berkata, Tuhan itu tidak pernah ada, dan Tuhan itu hanya imajinasi manusia.
Nampaknya kalimat si atheis itu menampakkan bahwa dia adalah orang yang sangat cerdas dalam segala hal, namun jika dilihat kembali, justru ucapannya malah menampakkan kebodohan dirinya sendiri.
Mari ambil contoh, apakah ia (si atheis), tau apa yang sedang terjadi didalam lautan?
Jawabnya tentu tidak
Dan misalnya seorang atheis tersebut adalah seorang ahli sains, namun apakah dia paham perhitungan biaya produksi dalam pembuatan bensin?
Jawabnya tentu tidak
Nah, disinilah terlihat jelas kebodohan dan kedangkalan si atheis tadi, dia hanya mengetahui apa yang ia tau, selebihnya ia tidak tau. Kalau masalah ke dunia an saja sudah banyak yang dia tidak tau, bagaimana bisa ia menggap Tuhan itu tidak ada?
Jika ditarik garis lurus, si atheis mirip dengan konsepnya wahabi
Karena dalam konsep wahabi, karena si wahabi tak tau dalilnya, maka si wahabi menganggap tidak ada dalil.
Kalau atheis tadi, karena si atheis tak tau eksistensi Tuhan (karena ia hanya bergantung pada akalnya yang dangkal), maka ia menganggap Tuhan itu tidak ada
Wassalamu'alaikum Wr. Wb |
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Semoga Allah melindungi kita dan keluarga kita dari kesesatan. |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Kembali Ke atas | Kembali Ke Index Karya Ilmiah
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|