Penjelasan Ulama Tentang Hadist Ghadir Khum
MUI Pusat
Kaum Syi`ah mewajibkan beriman kepada imamah Ali bin Abi Thalib RA bedasarkan Hadits yang diperoleh di kalangan Syi`ah yang disebut Hadits Ghadir Khum. Bunyi Hadits tersebut adalah, Man Kuntu Mawlahu fa Aliyyun Mawlahu (siapa yang menjadikan aku (Nabi) sebagai kekasihnya, maka hendaklah Ali juga menjadi kekasihnya), maka perlu dijelaskan hakikatnya secara terang benderang sebagai berikut.
Tidak ditemukan satu pun ayat Al-Quran yang sharih (tegas) dan hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah SAW perihal imamh Ali sebagai rukun iman atau pokok agama (ushuluddin) yang menyebabkan kekafiran orang Islam yang tidak mempercayainya. Untuk mengkukuhkannya, Syi`ah Rafidhah banyak mengandalkan haits Ghadir Khum yang konon isinya Nabi telah melantik Ali sebagai khalifah setelah pulang Haji Wada tahun 10 H pada tanggal 18 Dzulhijah. Sejak era Daulah Buwaihi abad ke 4 H, hari itu dijadikan hari raya Syi`ah yaitu Idul Ghadir yang mereka anggap lebih agung dari Idul Fitri dan Idul Adha.
Keyakinan adanya pelantikan Ali di Ghadir Khum (letak dekat jufah 170 km dari kota Madinah), telah dibantah oleh seluruh ulama dari kalangan shahabat, tabiin dan generasi setelahnya. Peristiwa itu tidak pernah diriwayatkan di dalam kitab-kitab hadits yang shahih seperti Bukhari dan Muslim.
Hadits Ghadir Khum dengan redaksi yang berbeda-beda diriwayatkan oleh Ahmad (lihat Musnad Ahmad (lihat musnad Ahmad vol, 4 hlm 281), Tirmidzi (lihat sunan Tirmidzi vol, 5 hlm 297) dan Al-Hakim (lihat al-mustadrak alas shahihaini, vol, 3 hlm 183 lihat juga Muhammad Nashiruddin al-Albani, silsilat al-hadits as-shahihah, vol, 4 hlm 343, no 1750.).
Menuru para Ulama, teks hadits itu sebatas keutamaan Ali yang memiliki latar belakang khusus (sababal-Wurud) dan bukan pengangkatan sebagai khalifah sesudah Nabi SAW wafat.
Teks hadits itu jelasnya bukan tentang kepemimpinan umat (al-wilayah/al-imarah), melainkan kasih sayang dan tolong menolong yang muncul dari dua pihak (al-wilayah/al-Muwalah yang darinya berasal kata al-waliyyu dan al-mawla sebagaimana teks hadits,ed.) (lihat al-Intishar as-shuhbi wa aal, hlm 329)
Jika teks hadits itu menegaskan (sharih) tentang pelantikan Ali sebagai Khalifah setelah Rasulullah SAW, pasti sudah digunakan sebagai dalil dan hujjah oleh Ali bin Abi Thalib saat Rasulullah SAW wafat, sebelum pengangkatan Abu Bakar RA sebagai khalifah, atau pada saat musyawarah enam tokoh shahabat setelah wafatnya Amirul Mukminin Umar bin Khattab RA untuk menetapkan khalifah baru, dan juga telah dijadikan dalil oleh Abu Musa Al-Asy`ari RA utnuk memantapkan posisi khalifah Ali pada saat peristiwa Tahkim (arbitrase) antara khalifah Ali dan Mu`awiyah pasca perang Shiffin.
Namun tak ada satu shahabat pun, termasuk Ali yang memahami maksud perkataan Rasulullah SAW dan kemurnian bahasa Arab mereka tidak diragukan lagi untuk urusan khilafah. Padahal pemahaman Ulama dari kalangan para shahabat yang menjadi ijma`, adalah bentuk Qath`iy dalam memahami Al-Quran dan hadits.
Para tokoh Ahlulbait seperti Ali bin Abi Thalib RA, al-Hasan bin Ali RA, dan al-Husain bin Ali, mereka berpegang teguh kepada prinsip syura dalam memilih pemimpin dan tak pernah menyinggung soal adanya teks wasiat penunjukan keimamahan mereka, baik dari Rasulullah SAW kepada Ali, ataupun dari Ali kepada al-Hasan dan al-Husain, seperti yang diuraikan panjang lebar oleh seorang tokoh Syi`ah, Ahmad al-Katib.