BELAJAR AGAMA ISLAM DI BARAT
Luthfi Bashori
Dewasa ini, marak sekali para pelajar Islam mencari status titel pendidikan dari negara Barat. Di samping biaya yang kini mulai terjangkau, juga berbagai fasilitas sangat mudah didapatkan. Tentunya, jika saja yang dipelajari di Barat itu adalah ilmu teknologi atau bahasa Inggris atau ilmu managemen atau ilmu umum yang lainnya, biasanya tidak banyak membawa dampak negatif.
Bahkan seringkali bermanfaat bagi kepentingan orang banyak. Namun, yang menjadi permasalahan adalah saat para pelajar tersebut mempelajari ilmu agama Islam di Barat kepada kaum orientalis.
Maka yang terjadi adalah terciptanya generasi pembeo terhadap kepentingan Barat di kalangan umat Islam, adakalanya karena unsur kepentingan bisnis yang menjadikan agama sebagai komodite, namun tidak jarang pula karena murni terbangun dari rasa sentimen agama. Yang pasti, kini telah tercipta upaya pengglontoran dan pendangkalan terhadap aqidah umat Islam, sebagaimana yang dilakukan oleh komunitas Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan membawa se gudang pemikiran dan pemahaman kaum orientalis.
Perlu diperhatikan tokoh-tokoh JIL semacam Ulil Abshar Abdalah, Guntur Romli, Imam Ghozali Said, Abul`Ala, Abdul Muqsit Ghozali, Muslim Abdurrahman, Luthfi Syaukani dan sederet nama yang tidak asing di telinga umat Islam, seringkali secara terang-terangan `menjual agama Islam` kepada kepentingan orientalis, dengan cara mengajak umat Islam untuk lebih berani dalam mereduksi hukum-hukum Alquran maupun Hadits Nabi SAW, untuk disesuaikan dengan pemikiran dan kepentingan kaum orientalis yang notabene berstatus kafir.
Ternyata pengaruh kuat liberalisme terhadap pemikiran dan keyakinan para pemuda-pemudi Islam sebagai dampak negatif berguru kepada tokoh-tokoh dunia Barat, tidak dapat dipungkiri lagi, bahkan secara kasat mata dapat dirasakan oleh umat Islam.
Betapa banyak contoh riil terjadi di tengah masyarakat atas keliberalan alumni Barat yang tidak lagi mencerminkan budaya dan pemikiran lokal apalagi sesuai aqidah Islam.
Suatu saat, kami mengadakan muhibah ke Jepara dalam satu kegiatan, kami bertemu dengan beberapa tokoh muda NU.
Dari mereka pula kami mendengarkan informasi, bahwa pada saat kedatangan kami itu, ternyata baru saja komunitas JIL mengundang Aminah Wadud untuk tampil di Jepara.
Aminah Wadud adalah seorang wanita Barat yang pernah bertindak sebagai khatib dan imam shalat Jumat di hadapan jamaah shalat Jumat yang dihadiri oleh kaum lelaki dan kaum wanita dengan formasi duduk tanpa sekat.
Tentunya kedatangan Aminah Wadud itu juga membawa misi penyebaran liberalisme yang dianutnya.
Sedangkan salah satu yang mengomandani kegiatan mereka di Jepara itu adalah salah seorang mantan pelajar putri yang mengambil titel S2 di Barat, bernama Hindun.
Seorang penyair mengatakan :
`Anil mar-i laa tas-as wasal`an qariinihi # fa innal qariina bil muqaarani yaqtadi
Artinya: Jangan kalian bertanya tentang perilaku seseorang, tetapi cukup kalian pahami tentang siapa saja yang menjadi teman-teman setianya.
Jika seorang Hindun berteman dengan tokoh Liberal Aminah Wadud, maka sudah bisa dipastikan adanya keselarasan dalam pemikiran liberalnya.
Padahal tidak ada seorangpun dari ulama Ahlussunnah wal jamaah, baik dari kalangan salaf dan khalaf maupun ulama kontemporer yang menghalalkan wanita menjadi imam shalat Jumat bagi jamaah laki-laki, bahkan wanita sendiri tidak wajib shalat Jumat.
Yang jelas, sikap pro terhadap sebuah kemungkaran, hukumnya adalah haram, apalagi mengamalkan kemungkaran tersebut di depan publik.
Sebagai bukti adanya gerakan non muslim dari kaum liberal adalah maraknya upaya pendangkalan agama dengan menyama-ratakan ajaran agama-agama yang berlainan.
Termasuk kami sendiri saat ini telah menyimpan undangan resmi yang ditujukan untuk kami dari PELANGI KASIH, POBox 60556 Mountain Plaza R.P.O Hamilton, Ontario, CANADA L9C7N7, dengan penyelenggara David Eran. untuk diajak mengikuti kursus kajian perbandingan agama.
Undangan semacam ini marak beredar dan banyak macamnya dengan bervariatif misinya.
Jika sekedar dilihat, maka yang tampak dari luarnya sangat positif, bahkan menarik karena sebagian panitia menjanjikan fasilitas tiket luar negeri secara gratis serta sertifikat berlabel internasional.
Namun karena kebanyakan penerima undangan yang bersedia bergabung adalah dari kalangan masyarakat Islam muda usia yang pemahaman aqidahnya masih sangat lemah, maka sepulang dari kursus kajian perbandingan agama tersebut justru berbalik arah menjadi pembeo bagi kaum orientalis, dengan membawa segudang pemahaman untuk menyudutkan ajaran syariat Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan standar pemahaman Barat.