URL: www.pejuangislam.com
Email: editor@pejuangislam.com
 
Halaman Depan >>
 
 
Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami
Ustadz H. Luthfi Bashori
 Lihat Biografi
 Profil Pejuang Kaya Ide
 Imam Abad 21
 Info Asshofwah
Karya Tulis Pejuang


 
Ribath Almurtadla
Al-islami
 Pengasuh Ribath
 Amunisi Dari Tumapel
 Aktifitas Pengasuh
 Perjuangan Pengasuh
 Kalender Ribath
Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ)
 Sekilas Profil
 Program Pendidikan
 Pelayanan Masyarakat
 Struktur Organisasi
 Pengasuh PIQ
 
Navigasi Web
Karya Tulis Santri
MP3 Ceramah
Bingkai Aktifitas
Galeri Sastra
Curhat Pengunjung
Media Global
Link Website
TV ONLINE
Kontak Kami
 
 
 Arsip Teriakan Pejuang
 
SETAN BISU & SETAN BICARA 
  Penulis: Pejuang Islam  [7/8/2025]
   
AYOO SHALAT MALAM ! 
  Penulis: Pejuang Islam  [4/8/2025]
   
KOMUNIKASI DI MEJA MAKAN 
  Penulis: Pejuang Islam  [28/7/2025]
   
SUJUD SYUKUR 
  Penulis: Pejuang Islam  [27/7/2025]
   
MENGALAHKAN HAWA NAFSU 
  Penulis: Pejuang Islam  [20/7/2025]
   
 
 Book Collection
 (Klik: Karya Tulis Pejuang)
Pengarang: H. Luthfi B dan Sy. Almaliki
Musuh Besar Umat Islam
Konsep NU dan Krisis Penegakan Syariat
Dialog Tokoh-tokoh Islam
Carut Marut Wajah Kota Santri
Tanggapan Ilmiah Liberalisme
Islam vs Syiah
Paham-paham Yang Harus Diluruskan
Doa Bersama, Bahayakah?
 
 WEB STATISTIK
 
Hari ini: Senin, 22 September 2025
Pukul:  
Online Sekarang: 4 users
Total Hari Ini: 206 users
Total Pengunjung: 6224318 users
 
 
Untitled Document
 PEJUANG ISLAM - MEDIA GLOBAL
 
 
JIL yang Nomaden 
Penulis: Samsul Sepat [12/5/2009]
 

                                            JIL yang Nomaden

                                                                 Samsul Sepat

 Pada saat banyak masyarakat muslim Indonesia mengecam dan mengelukan Jaringan Islam Liberal (JIL), saya malah merasa kasihan pada pemuda-pemuda penggiat JIL. Yah mungkin memang berbeda, tapi orang ini namanya perasaan yang datang tanpa diundang dan pulang tanpa diantar?! Ya saya tidak bisa menolak. Walau saya harus dibayar sekalipun untuk menyanjung atau mengecam mereka, dalam hati saya tetap merasa kasihan. Mau bagaimana lagi? Bagaimana tidak kasihan?

 Mereka yang merasa telah betul-betul memperjuangkan Islam ternyata melaju dalam jalur yang salah. Ibaratnya ketika pemuda-pemuda lugu itu begitu antusias berniat beternak pahala dengan berhaji ke Makkah-Madinah, eh ternyata pilot kapal mereka begitu bodohnya membelokkan tujuan pendaratannya ke Amerika. Sudah begitu Las Vegas pula, tempat di mana menjadi surga bagi pegawai-pegawai kasino dan penjual tubuh gadis bule mengait dollar.


Malangnya pemuda-pemuda itu sudah begitu yakinnya dengan dikotomi si pilot bahwasannya tempatnya mendarat sekarang adalah tempat berhaji. Oleh karena itu mereka juga mengikuti cara “ibadah” orang-orang di sana. Ya berjudi, ya minum-minum, ya menjarah orang miskin. Kasihan sekali bukan? Nah kalau sudah begitu siapa yang salah?
Semua kusir di Pasar Singosari pun akan mengangguk setuju kalau saya mengatakan pilotnya yang salah. Bagaimana pun juga si pilot lah yang harus dipetal, dibuat botak kepalanya, lantas dipukul rotan bokongnya. Mungkin, dengan begitu mereka kapok. Kalau masih belum kapok juga membawa jemaah ke Las Vegas, hukum mati saja! Agar tidak menjadi duri dalam daging. Lebih baik memotong satu dahan benalu daripada membiarkannya hidup dan mengambil jatah makan batang pohon yang lain.

Tapi kalau saya boleh jujur, sebetulnya si pilot tadi juga patut dikasihani. Apa pasal? Kalau saya boleh mengibaratkan sebuah ideologi adalah sebuah rumah, maka si pilot tadi seperti pilot tuna wisma. Mereka tidak terdaftar sebagai penghuni di ideologi manapun yang mereka anut. Ya Ideologi Nahdlatul Ulama’ (NU), ya Ideologi Barat, bahkan juga Ideologi Indonesia. Kalau begitu dia bukan WNI dong? Waduh kasihan ya?

Ah... mungkin saya cukup berandai-andai dengan perumpamaan. Saya beri fakta empiris dengan masalah-masalah mereka. Baik saya urutkan satu per satu. JIL dan NU Penggiat-penggiat JIL bilang mereka adalah orang NU yang reformis. Mereka ada untuk memperbaiki NU. Menambal bolong-bolong NU, juga melapisi benteng NU agar lebih tahan pukul. Tapi, alih-alih memperindah NU mereka malah menjejalkan virus-virus baru dalam tubuh NU.

Bicara NU, tentu harus mengikutsertakan pemikiran Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari karena mau mengakui atau tidak Beliaulah pendiri organisasi muslim terbesar negri ini. Konsekuensinya kalau menolak pendapat beliau maka si penolak boleh dipersilakan keluar dari organisasi ini.

Ibaratnya Kiyai Hasyim adalah pemilik sebuah rumah yang sudah menjelaskan peraturan-peraturan yang harus ditaati di rumahnya. Bagi siapa saja yang sefaham dan mau mengikuti aturan main di rumah tersebut maka ia boleh ikut memiliki rumah tadi, seumur hidup sekalipun. Etikanya sebagai pemilik baru dari rumah tadi ia juga harus merawatnya agar tetap indah.

Nah logikanya bagi mereka yang tidak mau mengikuti aturan main yang sudah ditentukan tadi, si tuan rumah akan menolaknya masuk. Itu sah-sah saja, toh yang punya rumah juga si tuan rumah bukan? Bahkan kalau ada yang mencoba mengotori rumah yang indah tadi dengan kotoran binatang, si pemilik berhak menjewernya. Tujuannya supaya ia tahu bahwa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan dan berakhlak lebih baik lagi.

Kembali pada permasalahan JIL versus NU tadi, K.H. Hasyim Asy’ari sudah menjewantahkan undang-undang yang harus diikuti semua yang ingin disebut Oreng NU, Wong NU atau Anggota NU. Undang-undang tadi terangkum dalam karyatama beliau Qanun Asasi Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Maka bagi siapa saja yang tidak sepakat dengan isi dari kitab tersebut ia berhak dicap “bukan anggota NU”. Logika yang sederhana bukan? Kasus I; salah satu isi muqaddimah (pembukaan) Qanun Asasi Jam’iyyah Nahdlatul Ulama adalah anjuran agar warganya tidak terpengaruh aliran Syi’ah Zaidiyad, salah satu aliran Syi’ah yang dianggap paling ringan kesalahannya (WWW.Pejuangislam.Com, 14 Maret 2009, 8:51:53).

Dengan kata lain Kiyai Hasyim tidak rela warganya ikut-ikutan lebih mengutamakan Sayyidina Ali daripada Sayyidina Abu Bakar dkk. Ironisnya salah satu tokoh yang disegani JIL malah berpendapat bahwasannya NU adalah Syi’ah Kultural. Pendiri NU saja mewanti-wanti agar warganya tidak terpengaruh Syi’ah, eh ternyata ada yang bilang NU equal Syi’ah Kultural. Ingat, aturannya jika ada yang mengotori rumah dengan kotoran binatang, maka ia harus dijewer supaya ingat bahwasannya ulahnya telah mengganggu pemilik rumah.

Kasus II; warga NU sangat dikenal sangat tinggi penghormatannya pada hal-hal yang bernuansa Arab. Bahkan ketika saya bersekolah SD dulu teman-teman saya kadang memarahi saya karena saya menaruh tulisan Arab di sembarang tempat. Padahal saya tidak tahu apa maksud tulisan itu, dan saya yakin mereka juga tidak tahu apa artinya. Tapi tidak peduli paham atau tidak maksudnya, tulisan itu harus diagungkan. Kenapa? Karena ia adalah tulisan Arab, dan Bahasa Arab adalah bahasa Kanjeng Nabi Muhammad yang juga merupakan bahasa pengantar dalam Dunia Islam. Ketika saya SMA, saya membaca berita bahwasannya salah satu Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya (IAIN dikenal sebagai tempat pendidikan formal tinggi mahasiswa NU), Sulhawi Ruba, menuliskan lafadz “Allah” lantas menginjak-injaknya di depan mahasiswa-mahasiswanya.

Berbanding terbalik dengan masa SD saya dulu. Dosen itu berpendapat bahwa tulisan itu adalah makhluk, dan setiap makhluk memiliki kedudukan yang sama di mata Tuhannya. Sepintas argumen itu masuk akal, namun ia lupa karena pengaruh beberapa aspek suatu makhluk bernilai lebih mulia dibanding makhluk lain.

Gambaran mudahnya, segelas air putih berharga lebih mahal jika diisikan pada wadah plastik dan diberi tulisan Zam-Zam. Begitu juga selembar kertas akan bernilai lebih jika ditulisi kalimat-kalimat agung. Jangankan lafadz Allah, lafadz Muhammad (jika yang dimaksud adalah Kanjeng Nabi Muhammad SAW) saja dilarang keras dihinakan. Dari dua kasus yang telah dipaparkan saja, sudah menimbulkan pertanyaan yang menyangsikan ke-NU-an orang-orang JIL.

Belum lagi kasus-kasus lain yang tidak kalah mengundang kontroversi. Kasihan sekali bukan? JIL dan Ideologi Barat Salah satu sebab yang membuat orang JIL berbeda opini dengan warga NU kebanyakan adalah karena mereka mencoba mengawinkan Ideologi Islam dengan Ideologi Barat. Lebih-lebih rasionalisme yang sangat mereka agung-agungkan. Ah... saya jadi ingat Mu’tazilah yang begitu mendewakan rasionalisasi dalam berbagai hal.

Tapi ini JIL yang terbangun dari anak muda NU bukan Mu’tazilah! Orang-orang JIL jelas tidak akan terima tuduhan kesamaan antara JIL dan Mu’tazilah itu. Baiklah saya uraikan alasan kenapa JIL juga tidak diterima di “rumah” Ideologi Barat. Ideologi Barat yang dimaksud di sini adalah Ideologi Barat yang subyektif. Bukan ideologi yang fanatik dan tidak mau menerima ideologi baru yang lebih bisa diterima semua orang. Bukan ideologi yang berjargon “right or wrong is my country”, persetan benar atau salah. Ideologi Barat terus menerus diperbarui sejak aufklärung, renaisaance, atau masa pencerahan di Benua Eropa. Filsuf panutan Eropa terus menerus berganti.

Dari Thales yang sangat mengidolakan air, Socrates yang tidak pernah merasa puas, Descartes yang begitu memuja rasio, Hume yang berpengalaman luas, hingga Immanuel Kant dosen yang berasal dari keluarga peternak kuda. Tokoh-tokoh itu silih berganti mencari pembenaran yang lebih benar dari ketidakbenaran yang ditinggalkan pendahulunya.


Dengan kata lain filsuf paling akhir adalah tokoh yang dianggap paling benar, karena belum ada pembenaran yang lebih benar. Oleh karena itu, mau tidak mau jika seseorang bangga disebut sebagai penganut Ideologi Barat yang konsisten, tidak boleh tidak orang itu haruslah seseorang yang selalu mengup to date pengetahuan Filsafat Baratnya. Konklusinya ia harus mau menerima pendapat yang paling benar, jika masih belum memiliki pembenaran yang lebih benar.

Bukannya menerima beberapa pendapat yang dianggapnya benar dan sesuai denga keinginanna, padahal ada pembenaran yang lebih benar. Membahas akan pembenaran dan filsuf panutan Dunia Barat, Luthfi Assyaukanie Pengajar Departemen Agama dan Filsafat, Universitas Paramadina, berpendapat Immanuel Kant dengan Kritisisme-nya adalah puncak dari renaisans. Ia sukses menambal kekurangan Faham Rasionalime dengan kelebihan Faham Empirisme, begitu juga sebaliknya. Padahal dua faham itu saling baku hantam karena sama-sama menganggap dirinyalah yang paling benar.

Menarik untuk dikaji, ketika dua faham filsafat tadi sama-sama mendewakan rasio dan inderawi, Kant muncul dan membeberkan kekurangan keduanya. Menurut Josten Gaarder, Kant datang dan memberitahukan pada dunia bahwasannya ada batas-batas wilayah yang akal tidak mampu untuk mencapainya. Padahal ia nyata adanya. Jalan satu-satunya untuk menjamah wilayah itu hanya dengan iman. Wilayah itulah yang juga membentuk dunia metafisika. Jadi di dunia ini tidak hanya ada substansi dan kausalitas, namun juga metafisika. Ketiganya tidak dapat diingkari kehadirannya.

Penganut faham empirisme haruslah orang yang benar-benar berpengalaman, adapun rasionalisme haruslah orang yang berwawasan luas. Jika dua hal tadi tidak dimiliki seseorang maka ia belum memiliki prasyarat untuk memasuki area keduanya. Untungnya Kant juga menawarkan tempat bagi mereka yang berkemampuan pas-pasan tadi dengan cara iman. Habis perkara.

Akan lucu jadinya jika orang dengan pengetahuan sekelumit, namun mencoba merubah tatanan baku yang sudah dibangun dengan teori, hipotesa, dan metodologi yang sudah mapan. Seperti seorang anak yang masih baru hafal perkalian, tapi mencoba mengoreksi pekerjaan akar kuadrat. Alih-alih mengoreksi, sistematis penyelesaiannya saja belum mereka ketahui. Jangan-jangan teori kesenian yang digunakan untuk mengoreksinya? Sayangnya hal ini yang dilakukan pemuda JIL untuk mengritisi fiqih, hadits, bahkan al-quran. Andai mereka mau sedikit saja mempelajari Filsafat Barat lebih lanjut dan sampai pada tawaran manis Kant, tidak akan amburadul begini jadinya. Contoh kasusnya; mengubah tatanan baku wuquf pada tanggal 9 Dzulhijjah menjadi tanggal acak sepanjang tahun.

Dengan dalih mencegah diri dari berdesakan yang memungkinkan memakan korban. Hal ini sama saja mengritisi masalah fiqih dengan masalah sosial. Memang permasalahan sosial salah satu yang dijadikan pertimbangan dalam fiqih, namun bukan satu-satunya yang dijadikan patokan. Jika masalah sosial yang dijadikan acuan utamanya, maka akan banyak sekali cabang ilmu lain yang dikebiri. Kasus II; kitab hadits yang sudah diakui otensitasnya oleh banyak ulama’ malah mereka ragukan keasliannya. Karena setiap manusia pasti memiliki kesalahan, Kanjeng Rasul sekalipun.

Baik kita akui setiap manusia memang memiliki kesalahan, dan hal ini wajar adanya. Nah, sekarang ambil satu sample “ulama’” dari pengkritik yang hidup di zaman akhir ini dengan satu ulama’ salaf yang dikritik. Bandingkan lebih banyak siapa kemungkinan berbuat salah? Kasihan sekali bukan? JIL dan UUD ’45 sebagai Dasar NKRI Salah satu yang sering digembar-gemborkan anggota JIL adalah mempertahankan UUD ’45 sebagai Dasar Negara Indonesia. Setiap UU telah diolah sedemikian rupa hingga bentuknya sangat dipadatkan.

Oleh karena itu perlu juga melihat aspek suasana batin, penjelasan dan beberapa rujukan lain untuk mengartikan sebuah ayat dari pasal-pasal UUD ’45. Sebelum akhirnya betul-betul mengartikan makna dari kalimatnya. Sering kali anggota JIL terlalu menitikberatkan pluralisme sebagai acuan utama. Sampai-sampai mereka lupa pada titik tembak yang ingin disampaikan oleh UUD ’45. Padahal titik tembak itulah yang seharusnya dijadikan tujuan utama.

Seperti yang terjadi pada kasus Jama’ah Ahmadiyah beberapa waktu yang lalu. Saat banyak ulama’ mengusahakan untuk pemerintah memberikan label sekte sesat yang harus dibrendel pada Ahmadiyah, ternyata anggota JIL banyak yang lebih menginginkan kelanggengannya. Dalilnya? UUD ’45 Bab XI pasal 29 ayat 2; bunyinya: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”.

Pengambilan dalil ini menjadi blunder bagi JIL. Karena pasal itu jelas menjamin kemerdekaan umat untuk menjalani “agamanya” masing-masing. Agama yang diakui di Indonesia ada 6; yakni Buddha, Hindu, Islam, Katolik, Kong hu cu, dan Protestan. Oleh karena itu kemerdekaan beragama yang dijamin adalah 6 agama tadi. Barang siapa yang dianggap menjajah mereka, mereka berhak ditumpas. Jemaah Ahmadiyah mengakui ada nabi setelah Nabi Muhammad SAW.

Bagi Orang Islam mengakui ada nabi setelah Kanjeng Nabi adalah murtad. Karena mereka mengaku mereka Islam, maka mereka pun dihukumi dengan tuntunan Agama Islam. Mereka murtad dan harus dibasmi. Karena jika tidak, mereka hanya akan jadi asap dalam paru-paru Islam. Kalau masih ada yang memperjuangkan eksistansi Ahmadiyah, padahal jelas-jelas mereka menjajah ketenangan Masyarakat Islam dalam beribadah, apa tidak sama artinya dengan menentang UUD ’45? Barang siapa yang mencoba menentang UUD ’45 berarti sama artinya menentang dasar NKRI. Dan barang siapa menentang dasar negara, adalah musuh negara. Kasihan sekali bukan?

   
 Isikan Komentar Anda
   
Nama 
Email 
Kota 
Pesan/Komentar 
 
 
 
1.
Pengirim: Muhammad Bayu Azizi  - Kota: Situbondo
Tanggal: 12/5/2009
 
Gus Dur, Said Agil Siaj, Masdar F. Mas'udi, Hasyim Muzadi adalah di antara tokoh-tokoh PBNU yang menjadi PAYUNG UTAMA bagi anak-anak muda NU yang nge-JIL, bahkan pengiriman putra-putri para Kiai NU Pengasuh Pondok Pesantren ke Amerika juga karena hasil gaya kepimimpinan NU dari empat orang ini. Jadi sudah layak jika ke empat orang inilah yang harus dijewer kupingnya, dipukul bokongnya, dicambuk punggungnya, hingga harus diamputasi dari tubuh NU, bahkan pada tataran perkataan dan pernyataan serta perilaku mereka yang sudah mengandung kemurtadan, maka sudah semestinya diterapkan hukum Islamnya, yaitu i'dam (penghilangan nyawa) seperti pada saat Gus Dur mengatakan Alquran adalah kitab suci paling porno se dunia, atau minimal wajibnya diterapkan hukuman ta'zir bagi mereka. Bukan malahan ke tiga orang (selain Gus Dur) itu diberi kesempatan mencalonkan diri menjadi Rais Tanfidziah PBNU pada Mu'tamar di Makasar mendatang. Jadi harus ada pemunculan figur kandidat lain yang berani berkomitmen akan memotong mata rantai dari blunder maraknya perkembangan JIL dalam tubuh NU itu sendiri.

Saya sepaham dengan Mas Samsul Sepat, sekalipun saya juga tidak akan menyalahkan Ustadz Luthfi dan teman-temannya yang secara tegas dan antusias dalam upaya memurnikan NU untuk menjadi Sunni Syafii yang sesungguhnya. Bahkan dalam tubuh NU wajib ada figur seperti Ustadz Luthfi Bashori. Karena keberadaan figur beliau yang saya hormati ini, dapat berfungsi sebagai filter dan kontrol sosial dalam beraqidah warga NU. Jika tidak ada figur seperti beliau, maka sudah jebol-lah pertahanan NU sejak Gus Dur ber-nyeleneh-ria saat itu.

Masih segar dalam ingatan saya, tatkala para kiai mengatakan Gus Dur itu wali yang 'tidak akan pernah berbuat salah', dan jika berbuat sesuatu yang melanggar syariat, maka harus 'ditakwili' sedemikian rupa sehingga mendapat kesimpulan menjadi 'Gus Dur tidak salah', dan barangsiapa menentang Gus Dur pasti akan kuwalat. Maka di saat itu pula tampil Ustadz Luthfi Bashori sebagai simbul perlawan terhadap kemungkaran perilaku Gus Dur.

Saya juga masih ingat tatkala saya mendengar komentar teman-teman NU yang menghukumi perlawanan Ustadz Luthfi Bashori itu sebagai orang NU yang sudah mutad dari ke-NU-an, sampai-sampai menurut info yang saya dapatkan, beliau pernah disidang oleh beberapa tokoh NU, bahkan pernah direncanakan untuk menculik beliau disebabkan kegigihan Ustad Luthfi Bashori dalam melawan Gus Dur. Namun sekalipun beliau berada di dalam tekanan dahsyat seperti itu, tetap saja beliau melancarkan perlawanannya terhadap Gus Dur, baik lewat tulisan maupun lewat ceramah-caramah beliau. Hasilnya, kini banyak tokoh NU yang semula mengecam Ustadz Luthfi Bashori, saat ini menyatakan mufaraqah (bercerai) dari Gus Dur. Bahkan Muhaimin Iskandar yang pernah menyatakan : Jika Gus Dur mengatakan behwa langit itu merah maka sayapun ikut mengatakan merah, jika Gus Dur menyatakan langit itu hijau, maka sayapun akan mengatakan hijau. Tapi saat ini Muhaimin Iskandar juga sudah ikut gerakan Ustadz Luthfi Bashori yang tidak takut kuwalat kepada Gus Dur.

Sebagai sumbangsih saya sebagai masyarakat kepada jam'iyyah NU, maka saya ikut menyarankan agar cabang-cabang NU merespon hasil MUKERNAS - V Haiah Ash-Shofwah yang ditayangkan oleh Pejuang Islam. Jayalah para pejuang pemurnian Ahlussunnah wal jamaah. Sedang saran saya untuk Mas Samsul Sepat, belajarlah keberanian kepada Ustadz Luthfi Bashori, agar memiliki jiwa yang tegas dalam ber-nahi mungkar, khususnya yang berkaitan dengan aqidah umat Islam.  
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Gus Dur, Said Agil Siaj, Masdar F. Mas'udi, Hasyim Muzadi adalah di antara tokoh-tokoh PBNU yang menjadi PAYUNG UTAMA bagi anak-anak muda NU yang nge-JIL, bahkan pengiriman putra-putri para Kiai NU Pengasuh Pondok Pesantren ke Amerika juga karena hasil gaya kepimimpinan NU dari empat orang ini. Jadi sudah layak jika ke empat orang inilah yang harus dijewer kupingnya, dipukul bokongnya, dicambuk punggungnya, hingga harus diamputasi dari tubuh NU, bahkan pada tataran perkataan dan pernyataan serta perilaku mereka yang sudah mengandung kemurtadan, maka sudah semestinya diterapkan hukum Islamnya, yaitu i'dam (penghilangan nyawa) seperti pada saat Gus Dur mengatakan Alquran adalah kitab suci paling porno se dunia, atau minimal wajibnya diterapkan hukuman ta'zir bagi mereka. Bukan malahan ke tiga orang (selain Gus Dur) itu diberi kesempatan mencalonkan diri menjadi Rais Tanfidziah PBNU pada Mu'tamar di Makasar mendatang. Jadi harus ada pemunculan figur kandidat lain yang berani berkomitmen akan memotong mata rantai dari blunder maraknya perkembangan JIL dalam tubuh NU itu sendiri.

Saya sepaham dengan Mas Samsul Sepat, sekalipun saya juga tidak akan menyalahkan Ustadz Luthfi dan teman-temannya yang secara tegas dan antusias dalam upaya memurnikan NU untuk menjadi Sunni Syafii yang sesungguhnya. Bahkan dalam tubuh NU wajib ada figur seperti Ustadz Luthfi Bashori. Karena keberadaan figur beliau yang saya hormati ini, dapat berfungsi sebagai filter dan kontrol sosial dalam beraqidah warga NU. Jika tidak ada figur seperti beliau, maka sudah jebol-lah pertahanan NU sejak Gus Dur ber-nyeleneh-ria saat itu.

Masih segar dalam ingatan saya, tatkala para kiai mengatakan Gus Dur itu wali yang 'tidak akan pernah berbuat salah', dan jika berbuat sesuatu yang melanggar syariat, maka harus 'ditakwili' sedemikian rupa sehingga mendapat kesimpulan menjadi 'Gus Dur tidak salah', dan barangsiapa menentang Gus Dur pasti akan kuwalat. Maka di saat itu pula tampil Ustadz Luthfi Bashori sebagai simbul perlawan terhadap kemungkaran perilaku Gus Dur.

Saya juga masih ingat tatkala saya mendengar komentar teman-teman NU yang menghukumi perlawanan Ustadz Luthfi Bashori itu sebagai orang NU yang sudah mutad dari ke-NU-an, sampai-sampai menurut info yang saya dapatkan, beliau pernah disidang oleh beberapa tokoh NU, bahkan pernah direncanakan untuk menculik beliau disebabkan kegigihan Ustad Luthfi Bashori dalam melawan Gus Dur. Namun sekalipun beliau berada di dalam tekanan dahsyat seperti itu, tetap saja beliau melancarkan perlawanannya terhadap Gus Dur, baik lewat tulisan maupun lewat ceramah-caramah beliau. Hasilnya, kini banyak tokoh NU yang semula mengecam Ustadz Luthfi Bashori, saat ini menyatakan mufaraqah (bercerai) dari Gus Dur. Bahkan Muhaimin Iskandar yang pernah menyatakan : Jika Gus Dur mengatakan behwa langit itu merah maka sayapun ikut mengatakan merah, jika Gus Dur menyatakan langit itu hijau, maka sayapun akan mengatakan hijau. Tapi saat ini Muhaimin Iskandar juga sudah ikut gerakan Ustadz Luthfi Bashori yang tidak takut kuwalat kepada Gus Dur.

Sebagai sumbangsih saya sebagai masyarakat kepada jam'iyyah NU, maka saya ikut menyarankan agar cabang-cabang NU merespon hasil MUKERNAS - V Haiah Ash-Shofwah yang ditayangkan oleh Pejuang Islam. Jayalah para pejuang pemurnian Ahlussunnah wal jamaah. Sedang saran saya untuk Mas Samsul Sepat, belajarlah keberanian kepada Ustadz Luthfi Bashori, agar memiliki jiwa yang tegas dalam ber-nahi mungkar, khususnya yang berkaitan dengan aqidah umat Islam.

 
Kembali Ke Index Berita
 
 
  Situs © 2009-2025 Oleh Pejuang Islam