MUI: Negara Jangan Minta Maaf Kepada PKI
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan penolakannya terhadap gagasan permintaan maaf oleh pemerintah kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). MUI beralasan, dalam sejarahnya PKI adalah pelaku pemberontakan. Selain itu, para ulama juga telah menjadi korban kebiadaban PKI.
“Wah, PKI itu kan memberontak, kok minta maaf sih. Nah ini persepsinya seperti apa. Kalau kita kan menganggap PKI itu memberontak,” ungkap Ketua Umum MUI Pusat KH Ma’ruf Amin usai pengukuhan Pengurus MUI Pusat Masa Khidmat 2015-2010 di Gedung MUI Pusat, Jl Proklamasi, Jakarta, Selasa (29/09) kemarin.
Karena PKI adalah pemberontak terhadap pemerintahan yang sah, Kyai Ma’ruf berpendapat tidak sepantasanya pemerintah meminta maaf kepada anak cucu PKI sekarang.
“Nggak pantas dong. Kalau begitu harus minta maaf sama DI/TII, mau minta maaf sama Permesta, terus minta maaf…wah kacau itu!,” tandasnya.
Apalagi, kata Kyai Ma’ruf, dalam pemberontakan PKI tahun 1948 dan 1965, para ustaz, guru ngaji, dan ulama juga banyak yang dibunuh oleh PKI.
Meski tidak setuju permintaan maaf, tetapi Kyai Ma’ruf setuju bila dilakukan rekonsialiasi untuk mempersatukan bangsa. Tetapi sekali lagi bukan berarti pemerintah harus minta maaf karena merasa telah bersalah pada PKI.
“Kalau rekonsiliasi sih bagus saja, namanya kita untuk mempersaudarakan bangsa ini. Tetapi bukan kemudian pemerintah harus minta maaf. Merasa bersalah, itu tidak betul. Kalau rekonsiliasi baguslah,” pungkasnya.
Editor: Zahir
“Wahai para ulama’ yang fanatik terhadap madzhab-madzhab atau terhadap suatu pendapat, tinggalkanlah kefanatikanmu terhadap perkara-perkara furu’, dimana para ulama telah memiliki dua pendapat yaitu; setiap mujtahid itu benar dan pendapat satunya mengatakan mujtahid yang benar itu satu akan tetapi pendapat yang salah itu tetap diberi pahala.
Tinggalkanlah fanatisme dan hindarilah jurang yang merusakkan ini (fanatisme). Belalah agama Islam, berusahalah memerangi orang yang menghinal al-Qur’an, menghina sifat Allah dan perangi orang yang mengaku-ngaku ikut ilmu batil dan akidah yang rusak. Jihad dalam usaha memerangi (pemikiran-pemikiran) tersebut adalah wajib”
(KH. Hasyim Asy`ari, al-Tibyan fi al-Nahyi ‘an Muqatha’ati al-Arham wa al-‘Aqarib wa al-Ikhwan, 33)
http://suara-nu.com