PBNU: Berbahaya Sekali Jika Tanah Haramain Dikelola Multinegara
Terkait munculnya gagasan memindahkan otoritas pengelolaan tanah haram (Makkah dan Madinah) dari tangan kerajaan Arab Saudi kepada otoritas multinasional, Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf mengatakan, salah kelola atas tanah suci Makkah dan Madinah yang menjadi tujuan Muslim dunia bukan alasan pelimpahan wewenang dari Kerajaan Arab Saudi ke otoritas multinasional dalam segala bentuknya.
Gus Yahya, pnggilan akrabnya, menganggap pelimpahan wewenang kelola hanya karena kesalahan otoritas kerajaan Saudi merupakan gagasan yang tidak solutif bahkan destruktif.
“Gagasan merampas kedaulatan atas Haramain dan manajemen tuan rumah ibadah haji dari tangan kerajaan Arab untuk diserahkan kepada otoritas multinasional dengan segala wujudnya, adalah gagasan konyol, produk gelap mata,” katanya beberapa waktu lalu seperti dikuti situs resmi PBNU, NU Online, Sabtu (26/09).
Menurut Gus Yahya, perampasan kedaulatan itu hanya melahirkan instabilitas dunia Islam dan ancaman keamanan tak berkesudahan atas tanah suci. “Tak ada prospek di dalamnya. Membiarkan kerajaan Arab berkuasa atas tanah suci seperti sekarang ini adalah pilihan paling aman,” katanya.
Terkait tindakan eksploitasi tanah suci sebagai aset untuk kepentingan ekonomi atau sebagai alat-tawar dalam politik internasional oleh kerajaan Arab, Gus Yahya menilainya sebagai sesuatu yang wajar. “Ya anggap saja itu sejenis upahnya satpam. Toh politik tidak akan terpaku hanya pada urusan agama,” ujarnya.
Pengasuh pesantren Raudlatut Thalibin Rembang ini meyakini, kalau kedaulatan atas tanah suci dijadikan multilateral, negara-negara Islam hanya akan menjadikannya objek pertengkaran tak berujung karena rebutan saham kuasa. Gus Yahya menambahkan, nasib tanah suci akan bergantung pada konstelasi hubungan diplomatik yang terlalu rumit karena kebanyakan aktor. “Dan itu berbahaya sekali bagi keamanan tanah suci,” ujarnya.(zr/suara-islam).
“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka, perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu”
(Hasyim Asy’ari menukil Ibnu Sirin dalam Risalah Ahlis Sunnah wal Jama’ah,hal. 17).
http://suara-nu.com