MENYIKAPI SIFAT KHUSUS NABI MUHAMMAD SAW
Sy. Muhammad Alwi Almaliki Alhasani
A
Para ulama memberikan perhatian besar terhadap keistimewaan-keistimewaan khusus Nabi Muhammad SAW dengan menyusun beberapa karangan dan memberikan komentar (syarah) dengan membuat kajian khusus dalam masalah tersebut. Karya paling populer dan terlengkap tentang keistimewaan Nabi Muhammad SAW adalah Al-Khashaishul Kubra yang disusun oleh Al-Imam Al-Hafidz Jalaluddin Al-Suyuthi.
Dalil tentang keistimewaan Nabi Muhammad SAW ini sangatlah banyak. Ada yang sanadnya shahih dan adda yang tidak. Maka persoalan semacam ini adalah persoalan khilafiah (hal yang memicu perbedaan pendapat).
Diskusi para ulama mengenai keistimewaan kenabian ini, ada semenjak dahulu dan hanya berkisar antara benar dan salah, sah dan batal, namun tidak terkait antara kufur dan iman. Para ulama berselisih pendapat dalam banyak hadist. Mereka berbeda pendapat dalam menilai keshahihan, kelemahan, atau bahkan penolakan sebuah hadist semata-mata karena perbedaan perspektif dalam menilai sanad dan kredibilitas perawinya.
Siapapun yang menshahihkan hadist dhaif atau mendhaifkan hadist shahih, menetapkan hadist yang ditolak atau menolak hadist yang ditetapkan dengan argumentasi, penafsiran, atau (syubhat) kesamaran dalili, berarti ia telah menempuh metode para ulama dalam melakukan kajian dan analisa. Dalam hal ini adalah haknya sebagai manusia yang dikaruniai akal dan pemahaman. Kesempatan telah terbuka, medan terbentang luas, dan ilmu akan tersebar di tengah komunitas manusia.
Sungguh Nabi Muhammad SAW selaku imamnya para cendekiawan, penghulu para ulama, Nabi teragung dan Rasul termulia, telah memberikan motivasi umatnya untuk mengkaji dan menganalisa. Beliau SAW telah menetapkan dua pahala bagi mujtahid yang mencapai kebenaran dan satu pahala bagi yang gagal mencapainya.
Para ulama senantiasa memberikan toleransi dalam mengutip keistimewaan khusus Nabi SAW. Mereka berpendapat bahwa keistimewaan ini dapat dikelompokan dalam keutamaan beramal (fadhailil amal). Keistimewaan ini tidak ada hubungannya dengan hukum halal dan haram.
Berdasarkan hal ini, para ulama merumuskan kaidah-kaidah pengamalannya menggunakan hadits-hadits yang statusnya lemah untuk keutamaan beramal, selama hadits tersebut tidak termasuk kategori palsu dan bathil, yang sesuai dengan kriteria-kriteria yang masuk pada persoalan ini.
Para ulama tidak mensyaratkan shahih secara makna yang diistilahkan padanya. Jika kami berpendapat dengan mensyaratkan dalil-dalil tentang keistimewaan ini dengan kriteria yang baku, tentu tidak mungkin bagi kami untuk mengisahkan sejarah perjalanan hidup Nabi SAW sebelum dan sesudah diangkat menjadi Nabi SAW.
Di sisi lain, anda menjumpai kitab-kitab para pakar hadist yang menjadi sandaran (rujukan) dan perbuatan mereka yang menjadi pedoman. Dari merekalah kami mengerti mengenai yang boleh dan yang tidak dalam menyebutkan hadist dhaif. Anda akan menjumpai keistimewaan khusus Nabi SAW dalam kitab-kitab para pakar hadist dipenuhi dan sarat dengan hadist-hadist maqthu (disandarkan pada tabiin), hadist hadist mursal (menggugurkan satu rawi dari kalangan sahabat), dan informasi yang dikutip dari para dukun atau semisalnya karena hal itu adalah sesuatu yang diperbolehkan untuk disebutkan pada persoalan ini.
Catatan: Di antara sifat khusus Nabi SAW yang tidak sama dengan umat Islam adalah bolehnya berpoligami lebih dari empat istri, dan darah beliau SAW tidak najis.