PERTANGGUNGJAWABAN KEPADA ALLAH
Luthfi Bashori
Dalam menghadapi pemilu 2014, umat Islam harus tetap mempertimbangkan ajaran syariat Islam sebagai pedoman dalam menentukan pilihannya.
Baik itu pilihan caleg mulai dari daerah hingga pusat, terlebih nanti jika sudah waktunya pemilihan presiden, maka haruslah yang menjadi pertimbangannya itu adalah kriteria syariat.
Umat Islam tidak boleh salah pilih, karena di dalam firman Allah subhanahu wa ta`ala, disebutkan bahwa sesungguhnya pendengaran, penglihatan serta hati nurani, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah subhanahu wa ta`ala.
Maka sangat salah, bila ada orang yang mengatakan, urusan politik itu tidak ada kaitanya dengan urusan agama.
Pernyataan semacam ini, adalah termasuk upaya kaum sekular dalam memisahkan antara urusan negara atau politik dengan urusan agama, dan sekularisme itu sama sekali bukan ajaran Islam.
Setiap langkah yang dilakukan oleh seorang hamba itu semuanya dicatat oleh Allah, yang kelak di hari kiamat dimintai pertanggungjawaban. Karena itu tidak boleh seorang muslim ikut meyakini bahwa urusan politik tidak ada kaitanya dengan agama.
Dengan memahami kewajiban seorang muslim dalam menentuan pilihan partai maupun caleg dan capres/cawapres, maka sudah menjadi keharusan bagi setiap pribadi untuk memilih partai yang lebih berorientasi terhadap syariat Islam.
Bahkan juga jika datang waktunya pemilihan presiden dan wakilnya, maka harus memilih kriteria yang lebih dekat dengan aturan syariat Islam.
Sekalipun di Indonesia ini belum ada calon presiden dan wakilnya, yang benar-benar tepat dengan kriteria syariat Islam, namun tentunya masih ada figur-figur calon presiden dan wakilnya yang di dalam kesehariannya, secara dhahir pro kepentingan umat Islam dan aktif mengamalkan ibadah shalat, zakat, puasa syukur-syukur kalau sudah melaksanakan ibadah haji.
Semacam inilah salah satu tata cara memilih calon presiden dan wakilnya. Atau dapat juga dengan cara menyeleksi di saat kampanye, jika banyak melanggar syariat seperti menampilkan bentuk kampanye dengan artis-artis seronok, maka jangan dipilih, atau berkampanye dengan tetap menjaga nilai-nilai keislaman dan menjaga kesopanan, maka iniah termasuk pilihan yang tepat.
Seorang presiden itu kedudukannya sama dengan hakim tertinggi dalam sebuah negara, yang dapat menentukan keabsahan urusan kehakiman, termasuk keabsahan wali hakim bagi para wanita yang tidak memiliki wali keluarga dalam melaksanakan pernikahan.
Dengan demikian, terpilihnya presiden dan wakil non muslim atau presiden wanita, akan mempersulit status kedudukan para wali hakim, baik yang bertugas di kantor Departemen Agama atau Kantor Urusan Agama.
Kaedah ini sudah menjadi patokan hukum fiqih mengikuti mazhab Syafi`i yang dianut oleh umat Islam bangsa Indonesia.
Jadi, sudah menjadi syarat mutlak bagi umat Islam dalam memilih presiden dan wakilnya, demgan kriteria minimal sesuai dengan standar fiqih madzhab Syafi`i sekalipun kurang sempurna.