PENDAPAT HADRATUS SYEIKH
KH. HASYIM ASYARI
Alih bahasa bebas:
LUTHFI BASHORI
KEWAJIBAN BERTAQLID BAGI ORANG YANG TIDAK MEMILIKI KEAHLIAN BERIJTIHAD:
Menurut pendapat mayoritas ulama, wajib hukumnya untuk bertaqlid/mengikuti hasil ijtihad para ulama Ahli Ijtihad bagi kalangan awwam yang tidak memiliki kemampuan berijtihad, sekalipun telah memahami beberapa keilmuan agama namun belum sampai kepada standar kemampuan berijtihad mutlak.
Demikian ini karena termasuk menjalankan salah satu firman Allah Fas aluu ahladz dzikri in kuntum laa talamuun (Bertanyalah kepada para ulama apabila kalian tidak memahami masalah-masalah agama), sekaligus untuk membebaskan diri (menunaikan tugas) dari kewajiban-kewajiban yang diperintahkan oleh Allah setelah mengamalkan apa yang telah diajarkan oleh para ulama.
Ayat di atas sifatnya umum, baik itu umat Islam yang hidup di jaman para shahabat, para tabiin, maupun di masa kini, selagi belum mampu berijtihad dengan standar syarat-syarat yang diakui dan diterima oleh para ulama, maka wajiblah mereka bertaqlid kepada para ulama.
Wajib juga secara umum tentang sifat masalah yang ditanyakan oleh kalangan awwam, untuk diselaraskan solusinya oleh para ulama dengan menggunakan prinsip standar syariat Islam.
Para ulama memiliki wewenang untuk segera memecahkan problematika umat tanpa harus menyertakan dalil-dalilnya jika menghadapi kalangan awwam. Karena tugas para ulama adalah menjembatani antara kebutuhan awwam terhadap hukum-hukum agama dengan isi kandungan Alquran dan Hadits. Sekalipun demikian para ulama tidak boleh menutup diri bilamana ditanya tentang dalil-dalil jika dibutuhkan oleh kalangan awwam.
Di kalangan para ulama dari generasi pertama hingga seterusnya, terdapat kesepakatan pendapat tentang wajibnya kalangan awwam untuk bertaqlid kepada para ulama.Sedangkan kalangan para ulama yang belum memiliki kemampuan berijtihad mutlak maka wajib bertaqlid kepada para mujtahid mutlak.
Demikian ini karena pemahaman kalangan awwam secara langsung terhadap Aquran dan Hadits, tidak dapat diterima untuk menentukan sebuah hukum agama, dan rawannya bertentangan dengan pemahaman para ulama mujtahid yang memiliki spesialisasi mencetuskan hukum-hukum agama,dengan mengambil dan bersumber dari Alquran dan Hadits, setelah merumuskannya dengan menggunakan standar ilmu-ilmu yang terkait.
Seringkali terjadi, ada oknum dari kalangan awwam yang tiba-tiba mendeklarasikan diri menjadi figur sumber agama dan berbicara tentang kandungan Alquran dan Hadits, namun ternyata melakukan perilaku bidah dan pemahaman sesat dan menyesatkan orang lain yang sama-sama dari kalangan awwam.
Sehingga tidak dapat memecahkan problematika umat, bahkan menambah permasalahan baru. (Risalah Ahlissunnah wal Jamaah, hal 16).
Keterangan tambahan dinukil dari kitab Alqawaaidul Asasiyyah fi Ushulul Fiqhi halaman 93 (karangan Abuya Sayyid Muhammad Almaliki)
Tentang syarat-syarat seseorang menjadi mujtahid mutlak antara lain:
1. Memahami Alquran dengan segala macam ilmu yang berkaitan dengannya, seperti ilmu tafsir, ilu ulumul quran, ilmu tajwid, makhorijul huruf, ilmu qiraat, dll.
2. Memahami Hadits dengan segala macam ilmu yang berkaitan dengannya, seperti ilmu musthalahul hadits, ilmu rijaalul hadits, ilmu takhriijul hadiits, dll.
3. Memahami masalah-masalah fiqih, kaedah-kaedah fiqih, cabang-cabang fiqih yang yang menjadi khilafiyah para ulama.
4. Memahami ajaran madzhab-madzhab yang sudah berlaku sehingga hasil ijtihadnya bukanlah menukil dari hasil ijtihad para pendahulunya.
5. Menjauhi pendapat-pendapat syaadz (sesat), asing di kalangan umat Islam, dan yang berlawanan dengan nash sharih serta ijma para ulama.
6. Mendalami ilmu nahwu, ushul fiqih, sastra Arab, ilmu Balaghah, serta hal-hal yang berkaitan dengan bahasa Arab dengan kreteria minimal yang dapat membedakan suatu kalimat dalam bahasa Arab itu mengandung susunan yang benar, atau salah, atau khilafiyah dengan ketentuan mana yang terkuat dan mana yang dianggap lemah
7. Mendalami korelasi ayat-ayat serta hadits-hadits secara mutlak terhadap suatu masalah yang diijtihadinya
8. Memahami dengan sesungguhnya secara mandiri keadaan perawi sebuah hadits yang dipergunakan sebagai dalil bagi masalah yang diijtihadi, apakah termasuk perawi yang diterima atau tidak, dengan pemahaman tanpa bertaqlid kepada seorang muhaddits lainnya.
9. Mendalami ayat-ayat nashikh dan manshukh di dalam Alquran sehingga tidak menjadikan yang manshukh itu sebagai matruuk.
10. Memahami asbaabun nuzuul dan asbaabul wuruud.
11. Memahami penempatan hadits mutawatir dan ahaad sesuai dengan proporsinya.
12. Memahami masalah-masalah yang menjadi khilafiyah para ulama, serta ijma para ulama demi menjaga eksistensi hukum, yang khilafiyah tetap di hukumi khilafiyah dan yang sudah menjadi ijma tidak dirobah menjadi khilafiyah karena bertentangan dengan ijtihad barunya..
13. Dan lain sebagainya.