Aku Ingin Balitaku Berhenti Merokok
Faris Khoirul Anam. Lc
Sebenarnya aku juga tak percaya anakku yang masih bau kencur itu sudah merokok. Bayangkan, pada usianya yang keempat saat ini, sehari ia bisa menghabiskan empat batang rokok. Aku merasa serba salah. Kalau nggak dituruti, dia menangis. Tapi kalau dituruti terus, terus terang aku mengkhawatirkan kesehatannya. Tak hanya aku, kakek dan neneknya juga merasakan kekhawatiran yang sama.
Praktis, sudah dua tahun ini Maulana kecanduan rokok. Barang yang biasanya hanya dikonsumsi orang dewasa. Kalau dilihat, memang penampilan dan perilakunya seperti anak-anak pada umumnya. Bahkan banyak orang menyebutnya sebagai anak yang lucu. Bermain biasa bersama anak-anak kampung atau kakek dan neneknya di rumah. Namun ya itu, sambil bermain, dia terkadang merokok layaknya orang dewasa.
Maulana amat piawai memegang dan menyulut rokok. Lincah sekali ia menghisap dan mengeluarkan asapnya. Bukan mengeluarkan dari mulut seperti “pemula”, tapi dari hidung. Bahkan tiga hari kemarin aku sempat dibuatnya kaget. Pasalnya, dia bilang, “Mak, saiki beluke wes iso bunder.” Maksudnya, sekarang ia sudah bisa mengeluarkan kepulan asap rokok ke udara dalam bentuk lingkaran. Ia lalu mempraktekkannya dan memang ternyata benar. Itu kan sulit dan biasanya baru bisa dilakukan oleh orang dewasa yang benar-benar mahir merokok.
Maulana merokok biasanya di siang hari, namun jarang dilakukannnya saat bermain. Kebanyakan merokoknya ya di rumah. Bahkan kalau sudah seharian bermain, dia bisa melupakan rokoknya. Baru kalau sedang jagongan atau kumpul-kumpul, dia minta rokok sama kakeknya.
Memang dulu awal mulanya, ia mencoba-coba rokok milik kakeknya, Priyanto. Sama mbahe (kakeknya, red) dikasih, ya akhirnya kecanduan sampai sekarang. Rokok yang biasa ia hisap merk BMW yang diproduksi PT Gandum, Malang. Terkadang pakai rokok Gudang Garam, tapi jarang.
Maulana punya dua kakak, Dani Iswanto, 17, dan Bayu Andika, 10. Sedang Maulana sendiri sekarang berusia 4,5 tahun. Nama lengkap anak bungsuku itu Maulana Susanto. Aku mengartikan kata “Susanto” itu dengan “Susah-susah Iso Noto” (biar hidup susah, semoga bisa mengaturnya, red). Soalnya, saat masih selapan, atau saat dia masih berada di kandungan usia 36 hari, aku bercerai dengan suami, Suwarno. Dia menikah lagi dan sekarang tinggal di Wagir, Malang.
Maka saat Maulana lahir pada 13 Mei 2004, tak ada ayah yang mendampinginya. Saat ia tumbuh sebagai balita, tak ada ayah yang mengawasi dan mengasuhnya. Aku masih ingat, biaya persalinan waktu itu Rp 300 ribu. Aku dapatkan dari hasil keringatku sendiri dengan bekerja sebagai buruh pabrik di Pabrik Rokok (PR) Penamas yang terletak sekitar satu kilometer dari rumah.
Aku bekerja di sana sampai sekarang, sejak tahun 1992, ketika anak pertamaku masih berusia satu tahun. Dengan gaji sebagai buruh pabrik itu, aku membiayai ketiga anakku, juga kakek dan nenek Maulana yang memang menganggur. Berat juga sih. Makanya anak pertamaku pendidikannya hanya sampai sekolah dasar. Wah, ditambah lagi aku harus mengeluarkan “dana khusus” untuk rokok Maulana. Satu batang rokok BMW, harganya Rp 400. Satu hari, Rp 1600. Itu artinya, untuk rokoknya saja, satu bulan aku harus mengeluarkan uang sekitar Rp 50.000. Angka besar bagi buruh pabrik yang gajinya pas-pasan seperti aku. Belum lagi untuk membeli susu dan jajanannya, serta kebutuhan keluarga lain.
Sehari-hari, Maulana aku titipkan di rumah kakek dan neneknya. Aku harus bekerja tiap hari mulai pukul 07.00 sampai 17.00 WIB. Sedang di hari Sabtu, sampai pukul 11.00. Karena itulah, untuk mengasuh Maulana di siang hari, aku serahkan pada mbahnya. La bagaimana lagi, aku sekarang yang menjadi tulang punggung keluarga ini.
Sampai saat ini, aku belum mendapati penyakit yang disebabkan oleh kebiasaan merokok Maulana. Dia batuk pun kalau sedang pilek saja. Tapi memang ketika dibawa ke dokter, aku tidak terus terang kalau dia perokok. Kalau sedang batuk, kami beri ia obat batuk biasa dan alhamdulillah bisa sembuh. Dia juga suka minum susu. Satu hari, dia minum susu tiga sampai empat botol ukuran sedang.
Aku ingin balitaku ini berhenti merokok. Kakek dan neneknya biasanya juga mengalihkan perhatiannya saat ia meminta rokok. Namun kami akui itu belum maksimal kami lakukan. Minggu kemarin, setelah ada salah satu stasiun televisi dan koran yang memuat tentang kebiasaan Maulana ini, ada therapist yang datang ke sini. Katanya tiap minggu dia akan datang dan tidak memungut biaya pada kami. Tapi minggu ini beliau belum datang. Terus terang kami cari therapist yang gratisan. Karena kalau diminta membayar, kami nggak ada biaya.
Semoga therapist itu rutin datang ke sini untuk menyembuhkan kebiasaan Maulana. Kalau nggak, ya semoga ada lagi orang yang terketuk hatinya. Aku ingin, saat masuk Taman Kanak-kanak (TK) tahun depan, anakku itu sudah tidak merokok lagi. Semoga.
Seperti dituturkan Sulastri, 35, kepada Faris Khoirul Anam di Malang, Jawa Timur.
“Yang Merokok Aku Saja, Kamu Nggak Boleh”
Saat Sabili bertandang ke rumah Paini, 48, Jumat (5/12), Maulana sedang bermain di luar rumah. Maulana diasuh oleh neneknya itu, karena ibunya, Sulastri, 35, mulai pagi hingga sore bekerja di Pabrik Rokok (PR) Penamas. Mereka tinggal di sebuah rumah yang terletak di Jl Cokroaminoto RT 46/RW 08, Dusun Sonosari, Desa Kebonagung, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang.
“Minta rokoknya memang ke saya,” ungkap Priyanto, 55, sang kakek. “Dulu katanya hanya mencoba. Tapi ternyata menjadi kebiasaan hingga sekarang,” sahut Paini yang sore itu juga didampingi Tini, bibi Maulana.
Tak berselang lama, Maulana pulang dari bermain. Tubuhnya mungil, berkulit sawo matang. Sambil berlarian, ia yang sore itu mengenakan baju oranye masuk ke rumah, lalu duduk di pangkuan ibunya yang baru pulang dari pabrik. Sepintas, tak ada yang membedakan bocah 4,5 tahun ini dengan teman sebayanya.
Namun, penampilannya sontak berubah saat anak bungsu ini mulai meminta sebatang rokok pada kakeknya. Karena sudah terbiasa, ia begitu piawai “mempermainkan” benda tujuh senti meter itu. Mulai dari memegang rokok berikut koreknya, hingga cara dia menghidupkan rokok, menghisap dan menghembuskan asap. Hanya saja, barangkali karena jari-jarinya masih lemah, untuk menyalakan korek gas ia perlu “melibatkan” kedua tangannya. Tak lama kemudian, asap rokok mengepul dan berlarian di depan wajah balita ini.
“Sumetno maneh mbah,” pinta Maulana pada kakeknya, untuk menyalakan lagi rokoknya yang dalam hisapan pertama itu apinya tak menyala sempurna. Terlihat lucu, namun sekaligus membuat orang heran dan mengkhawatirkan kesehatannya. Ketika ditanya bagaimana rasa rokok yang dihisapnya, dengan lantang ia menjawab, “Enak!”
Seakan ingin mendemokan keahliannya dalam urusan hisab menghisab rokok, sesekali ia mengeluarkan asap dari mulut mungilnya menjadi lingkaran-lingkaran kecil yang melayang di udara. Begitu pula saat melihat abu di ujung rokoknya akan jatuh, ia sudah tahu apa yang harus dilakukan. “Latune endi?” ujarnya meminta asbak untuk membuang abu rokok itu.
Laiknya balita, gerak-gerik Maulana memang menggemaskan. Namun kelucuan itu terlihat tak lazim saat ia bergaul akrab dengan benda-benda yang biasanya dipegang orang dewasa itu. “Seng ngrokok aku wae yo, kowe gak oleh (yang merokok aku saja ya, kamu nggak boleh, red),” celetuk Maulana kepada seorang teman sebayanya yang duduk di sisinya. “Nasehatnya” itu sontak membuat tertawa anggota keluarga yang tengah berkumpul di ruang tamu sederhana itu.
Saat Sabili bertanya kepada keluarganya, apakah punya keinginan agar Maulana berhenti merokok, mereka kompak menjawab, “Jelas lah.”
“Ya siapa mas ibu yang mau balitanya nyandu rokok, meski saya sendiri memang kerjanya di pabrik rokok,” kata Sulastri sambil tersenyum simpul.
Dimuat Majalah Sabili, Desember 2008