MENYESAL vs SOMBONG
Luthfi Bashori
Diriwayatkan dari shahabat Ibnu Abbas, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, Orang yang menyesal itu mengharapkan rahmat dari Allah, dan orang yang sombong akan mendapat murka dari Allah. Hai para hamba Allah, ketahuilah bahwa setiap orang yang beramal akan mendapat balasan amalnya, dan ia tidak keluar dari dunia hingga ia melihat amalnya yang baik dan yang buruk. Sesungguhnya amal-amal itu dinilai pada penghabisannya. Malam dan siang seperti kendaraan. Maka berjalanlah dengan baik di atasnya menuju akhirat. Janganlah kalian suka menunda amal, karena kematian itu datang mendadak. Janganlah seorang dari kalian terpedaya karena menganggap Allah tidak menghukum. Sesungguhnya neraka itu lebih dekat kepada seseorang di antara kamu dari pada tali sandalnya.
Kemudian Rasulullah SAW membaca ayat yang artinya: Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun niscaya akan melihat balasannya, dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat balasannya pula. (Q.S. Al-Zalzalah: 7-8).
Menyesal dari perbuatan dosa itu termasuk taubat kepada Allah. Sedangkan berbangga-bangga dan pamer perbuatan maksiat itu adalah termasuk kesombongan yang sulit diampuni oleh Allah.
Termasuk pamer kemaksiatan, adalah berbuat maksiat secara terang-terangan di depan publik, misalnya perilaku nongkrong bersama pasangan mesumnya di pinggir sungai atau di jalan remang-remang, atau mesra berdua-duaan, apalagi sampai berpelukan di atas sepeda motor. Perilaku semacam ini, saat kini marak sekali dilakukan oleh para pemuda dan pemudi, baik yang hidup di kota maupun di desa.
Itulah salah satu bentuk kemerosostan moral sebagian bangsa Indonesia, yang tidak lagi mempunyai rasa malu untuk berbuat dosa pornoaksi, baik secara sendiri-sendiri, maupun secara berjamaah alias bergerombolan.
Dosa dalam bentuk seperti ini, hakikatnya termasuk dosa yang sulit untuk diampuni oleh Allah, karena sudah masuk dalam wilayah kesombongan dan keangkuhan seorang hamba terhadap Tuhannya.
Mereka yang sengaja bermujaharah (terang-terangan berbuat maksiat), maka jika ingin bertaubat kepada Allah, hendaklah taubatnya itu dilakukan di depan publik, sesuai dengan saat ia melakukan kemaksiatannya di depan publik pula.
Berbeda, bilamana ada seorang hamba yang selalu menjaga kehormatannya, hingga jika suatu saat dirinya terjerumus dalam sebuah kemaksiatan, namun ia tetap berusaha menutup-nutupi perbuatan maksiatnya itu, maka saat ia ingin bertaubat kepada Allah, selagi bukan kejahatan yang menyangkut hak milik orang lain, cukup dengan menyesali perbuatan maksiatnya itu, sudah dikategorikan sebagai pertaubatan kepada Allah.
Namun, dengan catatan dirinya selalu berusaha untuk tidak mengulangi perbuatan maksiat serupa sebagaimana yang pernah ia lakukan, kemudian ditambah dengan memperbanyak bacaan istighfar kepada Allah.