MENGARIFI FATWA HARAM ROKOK
Yusuf Hanafi
Penikmat rokok dan industri rokok kini dirundung kecemasan dan kegelisahan. Pasalnya, MUI dalam Ijtima’ Ulama se-Indonesia di Padang Panjang, Sumatera Barat, 23–26 Januari 2009 lalu telah menfatwakan perihal keharaman rokok. Kekhawatiran mereka sangat beralasan, karena kebiasaan dan bisnis yang mereka jalankan selama ini sedang diusik. Banyak pihak berspekulasi, tingkat konsumsi rokok akan anjlok, karena mayoritas perokok adalah umat Islam.
Namun perlu untuk dicatat bahwa upaya mengharamkan rokok tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Teriakan menentang fatwa haram jauh hari sudah nyaring terdengar. Bukan hanya dari kalangan perokok dan pengusaha, tetapi petani tembakau, buruh pabrik, dan pemerintah pun merasa terancam.
Bisa dibayangkan bagaimana nasib petani di Temanggung dan Madura jika tembakau yang selama ini menjadi gantungan hidup mereka tidak laku dijual. Bagaimana jadinya jika puluhan ribu buruh linting di PT Gudang Garam, HM Sampoerna, Djarum Super, dan Bentoel tidak lagi bisa bekerja, karena pabrik mereka gulung tikar.
Menurut catatan, tidak kurang dari 6,4 juta penduduk Indonesia bergantung pada industri rokok. Pemerintah juga tidak kalah kelabakan. Dari cukai rokok saja, pemerintah bisa meraup pemasukan Rp. 50 triliun atau setara dengan 5% APBN 2008 yang mencapai Rp. 1.000 triliun. Jumlah itu belum termasuk pemasukan dari iklan, percetakan, dan sektor industri lain yang terkait rokok. Dana sebesar itu tentunya sangat bermanfaat untuk membiayai program pendidikan, kesehatan maupun perbaikan infrastruktur.
Menimbang sejumlah variabel ini, para ulama harus melakukan pendekatan yang arif dan bijaksana sehingga fatwa yang akan diambil tidak menimbulkan problem baru yang tidak kalah beratnya. Apalagi di tengah merebaknya PHK massal akibat krisis global.
Rokok dari Perspektif Normatif
Munculnya penggiringan wacana rokok ke dalam aturan agama itu bersumber dari satu persoalan pokok, yakni dampaknya terhadap kesehatan manusia. Fakta menunjukkan bahwa racun utama pada rokok, seperti tar, nikotin, dan karbonmonoksida membuat penghisap asap rokok mengalami risiko 14 kali lebih besar terkena kanker paru-paru, mulut, dan tenggorokan, dan puluhan jenis penyakit membahayakan lainnya. WHO, salah satu sub-organisasi PBB yang membidangi masalah kesehatan, melaporkan hasil penelitiannya bahwa setiap 6 detik ada seorang manusia yang mati terkait dengan rokok.
Alasan inilah yang menjadi landasan moral bagi para ulama untuk mengeluarkan fatwa haram. Untuk lebih meyakinkan bahwa merokok tidak sekadar makruh—seperti diyakini sebagian besar ulama saat ini, kalangan pro fatwa MUI ini coba menganalogikan akibat dari perilaku merokok itu sama halnya dengan akibat mengkonsumsi minuman keras, yakni sama-sama membahayakan baik harta maupun jiwa.
Rokok memang belum ada di masa Rasulullah SAW. Namun dalam Al-Qur’an maupun hadis Nabi, dapat ditemukan banyak kaidah umum yang bisa dipakai untuk melihat sekaligus menentukan hukum dari rokok itu. Dalam Q.S. al-Baqarah:195, Allah SWT menegaskan, “Janganlah kalian menjerumuskan diri sendiri ke dalam kebinasaan.” Selain itu dalam Q.S. al-Nisa’:29, Allah SWT juga menandaskan, “Janganlah kalian membunuh diri sendiri padahal Allah SWT sangat mengasihi kalian.”
Kebiasaan merokok yang meningkat menjadi kecanduan, yang kemudian menjadi ketergantungan kepada rokok, dalam jangka waktu tertentu betul-betul bisa mematikan yang bersangkutan karena mengidap beragam penyakit yang diakibatkan oleh rokok.
Adapun dari sudut pandang ekonomi, aktivitas merokok dipandang sebagai salah satu bentuk penghamburan harta. Dalam Q.S. al-Isra’:26-27, Allah SWT menyatakan, ”Janganlah kalian menghambur-hamburkan harta secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudaranya setan. Dan, setan itu sangat ingkar terhadap Tuhannya.”
Masih terkait dengan persoalan merokok, Rasulullah SAW dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibn Majah, dan Malik menyatakan, “Tidak boleh ada bahaya, dan tidak boleh melakukan perbuatan yang membahayakan.” Rokok itu membahayakan penghisapnya sekaligus orang-orang yang di sekitarnya, dan juga memboroskan harta.
Kini telah ada penelitian yang sangat akurat bahwa khamr (yakni minum-minuman keras yang memabukkan yang secara qathiy dan sarih diharamkan oleh al-Qur’an) itu mempunyai sifat depedensi (ketergantungan). Karenanya, narkoba yang memiliki sifat menyamai khamr juga diharamkan. Ternyata, belakangan ini juga ditemukan bahwa rokok juga mempunyai sifat yang sama dengan khamr, walaupun kadarnya lebih rendah dan pengaruhnya terhadap korban lebih lamban. Penjelasannya adalah sebagai berikut.
Seorang perokok pemula, jika berulangkali mengkonsumsi rokok, ia akan menjadi toleran menerima asap racun rokok, meski tadinya terasa pahit di lidah dan pusing di kepala. Berikutnya, ia akan merasa nikmat saat merokok, badan terasa lebih segar, dan pikiran menjadi lebih mampu berkonsentrasi. Akhirnya, apabila ia merasa tidak bisa berkonsentrasi, letih serta mengantuk, maka dia akan mencari rokok sebagai pelarian dan pelampiasannya. Pada tahap ini, ia sudah terpengaruh rokok sampai taraf adiksi dan dependensi (ketagihan dan kecanduan). Pada saat itulah, ketergantungannya pada rokok itu sama dengan ketergantungannya pada narkoba.
Logikanya, jika narkoba yang tidak disebut dalam al-Qur’an itu diharamkan, mestinya rokok sebagai saudara kembar dari narkoba juga diharamkan. Demikianlah sejumlah pertimbangan dari MUI saat memutuskan keharaman hukum rokok beberapa waktu lalu dalam Ijtima’ Ulama se-Indonesia di Padang Panjang, Sumatera Barat.
Perlunya Kearifan dalam Berfatwa
Kembali kepada topik awal perihal pro-kontra fatwa keharaman rokok, MUI seharusnya mengambil opsi jalan tengah dengan menunda fatwa haram sembari menunggu semua pihak siap menerima fatwa tersebut. Jika kondisi masyarakat yang menjadi pertimbangan utama, pada tahap awal MUI tidak mengharamkan rokok secara total, tetapi mendorong berjalannya sistem yang membatasi ruang gerak konsumsi rokok. Misalnya, mengefektifkan kembali peraturan daerah (perda) tentang keharaman merokok di tempat umum.
MUI juga dapat mendorong pemerintah pusat dan pemerintah-pemerintah daerah agar merevisi aturan larangan merokok di tempat umum menjadi lebih tegas dengan sanksi yang lebih keras. Dengan adanya hukuman yang lebih tegas, masyarakat yang terbiasa seenaknya merokok di tempat umum akan berpikir ulang untuk mengumbar kebiasaan tercelanya itu di sembarang tempat.
Selain itu, MUI dapat pula mengeluarkan rekomendasi yang meminta pemerintah pusat membatasi peredaran rokok, seperti halnya pengaturan penjualan minuman keras. Tujuannya, agar anak-anak yang belum cukup umur dan belum memiliki penghasilan sendiri tidak dengan mudah mendapatkan rokok di sembarang tempat.
Last but not least, memperdebatkan halal-haramnya rokok itu sama halnya dengan memperdebatkan ujung dari gelombang air laut. Persoalan ini tidak akan pernah tuntas dan selesai sama sekali, karena memang persoalan hukum rokok itu berada pada wilayah ijtihad dan memiliki dimensi yang kompleks. Yang terpenting sekarang adalah kesediaan dari masing-masing pihak yang terkait, baik perokok sebagai konsumen, industri rokok sebagai produsen, dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan untuk melindungi kepentingan publik yang lebih luas dari dampak dan efek negatif dari rokok.
Penulis adalah dosen Jurusan Sastra Arab dan peneliti aktif di Universitas Negeri Malang. Saat ini, ia tengah menempuh Program Doktor Tafsir-Hadits di PPS IAIN Sunan Ampel Surabaya. Telp. 081334111537. E-mail: sufi_rmi@yahoo.com.
Note: Artikel ini telah dipublikasikan oleh Majalah Komunikasi Universitas Negeri Malang edisi Januari-Maret 2009.