Waspadai Perpecahan Bangsa Akibat Sempalan Agama
Pria berkumis dan bertubuh tegap itu dengan lancar membaca teks dalam kertas yang digenggam dengan kedua tangannya. “Saya bertobat, dan kemudian saya hanyalah pengemban risalah Allah dan Rasul-Nya atau biasa disebut da’i atau muballigh. Dan saya bersaksi bahwa tiada Tuhan Selain Allah dan Nabi Muhammad Utusan Allah.” Meskipun sempat membuat umat Islam geram, namun akhirnya Ahmad Mushaddeq yang pernah mengaku menjadi Nabi itu tobat dan diikuti dengan pertobatan massal oleh para pengikutnya di beberapa daerah.
Entah kenapa, Indonesia sebuah negara besar dengan mayoritas muslim seringkali dijadikan sasaran pelecehan agama baik oleh agama lain maupun aliran sempalan. Kita ambil contoh saja; kasus Lia Eden, disusul kasus pelecehan qur’an, kemudian nabi palsu dan yang masih hangat adanya pendeta yang mengaku mantan Kiai dari Malang. Kita tak tahu isu apalagi yang akan mendera umat Islam besok, lusa atau minggu depan?
Ada yang memprediksi maraknya pelecehan terhadap Islam ini memang merupakan sebuah ‘skenario besar’ untuk melemahkan umat Islam. Dan tampaknya memang ada agen-agen dari kalangan kaum munafik yang selalu memberikan pernyataan kabur dan membingungkan umat.
Kita ambil contoh kasus Ahmadiyah dan al-Qiyadah yang mengatakan ada Nabi setelah Muhammad. Atas dalih hak asasi manusia seseorang yang mengaku sebagai ‘cendekiawan muslim’ membela dengan dasar dalil-dalil yang ditafsirkan secara subjektif atas lahirnya aliran al-Qiyadah al-Islamiyah dan Ahmadiyah yang mengusung ajaran nabi baru itu. Dalam sebuah dialog di salah satu stasiun TV swasta ia mengatakan “munculnya aliran semacam al-qiyadah dan ajaran yang berbeda dengan mayoritas umat Islam itu merupakan buah dari demokrasi. Ajaran mereka dilindungi oleh konstitusi negara yang berlandaskan pada Pancasila, serta asas-asas hak asasi manusia.”
Atas nama HAM, umat Islam dipojokkan sebagai sebuah umat mayoritas yang tidak memiliki rasa keadilan dan semena-mena terhadap minoritas. Padahal, mayoritas muslim juga memiliki hak asasi yang sama untuk membela akidahnya dari rongrongan paham yang menyesatkan. Seandainya saja aliran-aliran yang mengatakan mereka mendapatkan wahyu, mengaku memiliki kitab suci sendiri itu mendirikan agama baru dengan tidak ada embel-embel Islam, tentu masyarakat Islam tidak akan ambil peduli. Masalahnya ketika membawa ajaran barunya yang bertentangan dengan syari’at Islam secara ijma’ alaih (kesepakatan seluruh ‘ulama Islam) di sisi lain mereka tetap mengaku sebagai muslim. Lia Eden ketika mengaku sebagai Jibril di sisi lain ia tetap muslim, para pengikut Ahmadiyah yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi di sisi lain mereka mengaku bagian dari kaum muslimin.
Masih segar dalam ingatan kita beberapa waktu lalu terdapat sebuah partai politik besar yang dipecah oleh pengikutnya sendiri dengan mendirikan partai politik tandingan. Sehingga muncul partai A versi Kiai dan partai A versi Santri. Maka atas nama hak asasi pengikut partai A yang asli merasa marah dan hal itu menjadi hak asasinya untuk membela partainya. Hingga berlanjut ke pengadilan dan hakim memutuskan partai yang asli berhak menggunakan segala atribut dan logo partai, sedangkan partai yang palsu harus lepas secara penuh dan tidak boleh menyamai bahkan memakai logo partai yang asli.
Agama jelas jauh berbeda dengan partai politik. Karena agama sebagai penuntun manusia menuju kehidupan yang hakiki dan kekal. Maka jika sebuah agama dibuat main-main atau dilecehkan, sudah menjadi hak asasi mutlak bagi pengikutnya untuk membela agama dan akidahnya. Merupakan hak asasi bagi setiap individu muslim untuk menolak dan menyuarakan ketidaksetujuannya dengan keberadaan aliran-aliran sesat yang ‘mendompleng’ nama besar Islam namun mengajarkan ajaran-ajaran yang tidak sesuai keyakinan umat Islam secara ijmak ‘alaih, seperti menyuarakan adanya nabi baru setelah Rasulullah, mengatakan bahwa al-qur’an kurang, meniadakan kewajiban shalat dan puasa, shalat dengan bahasa daerah, mencaci maki sahabat nabi dan sebagainya.
Pemerintah Indonesia sekali lagi memiliki ‘PR’ besar dalam hal kepastian hukum. Maraknya berbagai aliran dan pelecehan agama tidak lain akibat lemahnya sistem hukum Indonesia dalam melindungi agama-agama yang diatur oleh negara. Tentunya kita semua tidak menginginkan atas nama HAM semua orang memiliki kebebasan untuk menyempal dan membuat ajaran nyeleneh dengan mengaitkan nama besar Islam. Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang memiliki penduduk mayoritas Islam Sunni. Dengan maraknya aliran-aliran sempalan yang mengatasnamakan Islam akan menjadikan umat Islam berpecah belah, yang secara otomatis menggulirkan bibit perpecahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga yang memiliki wewenang untuk membuat undang-undang harus segera membuat sebuah payung hukum yang tegas agar dapat melindungi pelaksanaan ibadah pemeluk agama mayoritas maupun minoritas dalam konteks agama yang diakui oleh negara, agar tidak khawatir lagi ajaran agamanya yang asli tercerabut oleh adanya aliran-aliran baru yang memang hakikatnya merusak agama tersebut. Oleh karenanya dengan semangat persatuan dan dukungan para ulama umat Islam harus bersatu padu untuk mendesak DPR agar dapat segera menyusun dan mengesahkan undang-undang tersebut. (Ernaz)