Islamisasi Pendekatan Tradisi di Kepulauan Nusantara
KETIKA Islam berkembang di kepulauan Indonesia, para muballigh Walisongo melakukannya dengan pendekatan tradisi, kultural dan tasawuf. Islam yang dibawa oleh para da’i tersebut bercorak Sunni Syafi’i. Ternyata pendekatan ini berhasil.
Prosesnya berlangsung secara gradual dan bertahap mampu mengislamkan kepulauan Nusantara hingga zaman itu berdiri kerajaan-kerajaan Islam yang menerapkan hukum Islam berdasarkan madzhab Syafi’i.
Namun kini, jika mencermati dakwah Syiah, mereka sedang mencari pijakan dengan memanfaatkan isu tradisi, kultur serta tasawuf ini. Buku berjudul “Sejarah dan Budaya Syiah di Asia Tenggara” yang diterbitkan Sekolah Pascasarjana UGM setidaknya menjelaskan upaya Syiah itu dalam klaim tradisi dan budaya itu. Dulu, lini ini menjadi benteng da’i Ahlus Sunnah melalui Walisongo, belakang wilayah tersebut akan ‘direbut’ Syiah.
Metode keturunan Arab bani Alawiyyin dalam menyatu dengan pribumi sangat efektif dalam mengislamkan kepulauan Nusantara. Hamid al-Ghadri berpendapat, bahwa raja-raja Islam atau sultan di kepulauan Nusantara zaman dahulu banyak yang keturunan bani Alawiyyin karena hubungan keturunan Arab dan pribumi telah menyatu selama berabad-abab sebelumnya.
Adalah para muballigh Walisongo yang menjadi pelopor akulturasi antara ras Arab dan pribumi. Tradisi tersebut diwarisi turun-temurun hingga era kejayaan kerajaan Islam. Sebagai contoh, keluarga Kesultanan Pontianak memakai marga al-Qadri, yang tidak lain marga keturunan Arab dari kalangan habaib. Di Riau terdapat kesultanan Siak yang keluarga kesultanannya bermarga bin Shahab. Juga marga kalangan habaib. Begitu pula, kesultanan-kesultanan lainnya misalnya Cirebon, Banten, Demak, Jepara dan lain-lain. Jika dibaca dari sejarah berdirinya, kesultanan-kesultanan tersebut berdiri tidak dengan kekuatan senjata (Hamid al-Ghadri, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Penjajah, hal.39).
Bahkan menurut Hami al-Ghadri, karena begitu lama dan dalamnya penyatuan itu, zaman sebelum penjajahan keturunan Arab disebut juga pribumi. Tapi tidak pernah China atau India disebut pribumi. Meskipun sama-sama hadir di Nusantara.
Belum pernah pula terjadi peperangan keturunan Arab bani Alawiyyin dengan penduduk lokal pribumi. Jika di Jawa mereka tak segan memakai pakaian adat jawa, blankon, batik dan lain-lain. Begitu pula daerah-derah lainnya.
Sebaliknya, dahulu pernah terjadi peperangan-peperangan kecil antara pribmi dan orang China. Seperti yang pernah terjadi di Surabaya dan Pasuruan pada zaman penjajahan Belanda. Biasanya perang kecil itu diletup karena kecemburuan pribumi terhadap China, dimana China mendapatkan perlakukan ‘khusus’ dari penjajah Belanda.
Pendekatan yang digunakan muballigh Sunni itu menunjukkan, bahwa Islamisasi kepulauan Nusantara dilakukan dengan cara yang efektif dan damai. Seperti mereka melakukannya dengan mengislamkan terma-terma atau bahasa yang digunakan. Prof. Syed Naquib al-Attas mengatakan Islam datang ke Nusantara yang dibawa langsung dari Hadramaut telah mengubah pandangan hidup masyarakat secara kuat melalui bahasa.
Bahasa Melayu yang menjadi bahasa pemersatu Muslim kepulauan Nusantara zaman dahulu banyak menyerap dari istilah-istilah bahasa Arab. Misalnya, kata akal, musyawarah, mukadimah, adil, adab, dan lain-lain. Dikenal pula di sini jenis tulisan Arab-Melayu yang sering disebut tulisan Pegon(pego). Jenis tulisan ini populer di pesantren tradisional yang diajarkan berabad-abad lamanya, sejak kedatangan Islam. Namun, sayang jenis tulisan ini tidak lagi populer di Indonesia – hanya dikenal oleh anak-anak Pesantren.
Barangkali sukeses besar itu dapat dipahami karena karakter kaum bani Alawiyyin dari Hadramaut zaman itu memang petualang, berakhlak luhur dan mudah menyatu dengan penduduk asli. Dan nyatanya, pendekatan akhlak dan tasawuf tersebut sangat diminati penduduk kepulauan Nusantara. Leluhur mereka, yaitu Ahmad bin Isa al-Muhajir, mengajarkan akhlak, tasawuf.
Ahmad al-Muhajir asalnya dari Basrah Irak kemudian pada abad ke-10 M hijrah ke Hadramaut karen
Kiriman: Bidin Syihab