|
Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami
Ustadz H. Luthfi Bashori |
|
 |
Ribath Almurtadla
Al-islami |
|
|
Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ) |
|
|
|
|
|
Book Collection
(Klik: Karya Tulis Pejuang) |
Pengarang: H. Luthfi B dan Sy. Almaliki |
|
• |
Musuh Besar Umat Islam |
• |
Konsep NU dan Krisis Penegakan Syariat |
• |
Dialog Tokoh-tokoh Islam |
• |
Carut Marut Wajah Kota Santri |
• |
Tanggapan Ilmiah Liberalisme |
• |
Islam vs Syiah |
• |
Paham-paham Yang Harus Diluruskan |
• |
Doa Bersama, Bahayakah? |
|
|
|
WEB STATISTIK |
|
Hari ini: Senin, 22 September 2025 |
Pukul: |
Online Sekarang: 7 users |
Total Hari Ini: 199 users |
Total Pengunjung: 6224311 users |
|
|
|
|
|
|
|
Untitled Document
PEJUANG ISLAM - KARYA ILMIAH USTADZ LUTHFI BASHORI |
|
|
HUKUM JUAL BELI SECARA KREDIT |
Penulis: Pejuang Islam [ 7/10/2016 ] |
|
|
HUKUM JUAL BELI SECARA KREDIT
Luthfi Bashori
Berikut ini adalah pertanyaan yang disampaikan kepada penulis, karena termasuk hal penting, maka perlu dibaca dan diketahui oleh umat, sebagai berikut:
PENANYA: Assalamu`alaikum wr wb. Mohon ijin kyai, sekarang marak dengan adanya KPR (Kredit Perumahan Rakyat), dengan cicilan perbulan sesuai yang ditentukan, namun bila diakumulasi dengan nilai daya beli uang pada beberapa tahun ke depan justru menguntungkan konsumen, karena cicilan semakin terasa ringan dan harga jual rumah serta tanah sudah mengalami kenaikan niominal yang sangat jauh lebih tinggi. Selain itu gaji pekerja juga terus naik, seiring bertambahnya tahun, sementara cicilan relatif tetap. Bagaimana hukumnya dalam Islam Kyai? Mohon nasehat kyai.
PEJUANG: Boleh saja beli rumah dengan cara angsuran kredit seperti itu, jika tidak ada unsur tipu menipu, tidak ada unsur riba, dan penjualnya juga tidak dirugikan. Tentunya, oleh penjual sudah diperhitungkan keuntungan sebelumnya, biasanya diambil dari uang muka secara kolektif untuk mengembalikan modal usahanya. Adapun hasil angsuran perbulan itu adalah nilai keuntungannya semata. Prinsipnya tidak ada orang berdagang yang ingin rugi dengan sistem yang dia terapkan.
Salah satu cara developer meraup keuntungan juga dengan membeli tanah calon perumahan yang sangat murah, setelah jadi perumahan maka harga tanah dan bangunannya dinaikkan berlipat ganda.
Belum lagi penerapan standar rendah (minimal) terhadap konstruksi bangunan, namun dijual dengan harga standar normal/tinggi.
Contoh umum untuk penghematan belanja, biasanya developer akan mengintruksikan kepada mandor bangunan, misalnya dengan mematok semen 10 sak untuk satu unit rumah, dan tidak boleh lebih dari itu. Maka mandor dan para tukang harus pandai mengatur sedemikian rupa, yang penting bangunan jadi dan tidak menggunakan lebih dari 10 sak semen. Entah konstruksi bangunannya rapuh atau tidak, itu tidak jadi masalah bagi developer maupun para tukang.
PENANYA: Namun, realitanya harga rumah dan tanah tersebut, pada tahun ke 15, bisa melebihi jumlah total harga kreditnya. Sehingga konsumen justru diuntungkan. Seumpama suatu saat rumah tersebut dijual, pemilik rumah justru diuntungkan dan tidak rugi. Mohon ijin bagaimana hukumnya kyai? Karena bagi beberapa orang yang sering berpindah-pinadh tugas, lebih menyikapinya pembelian rumah KPR itu sebagai investasi hari tua. Namun, untuk jangka pendeknya digunakan sebagai rumah pribadi. Mohon nasehat kyai, agar orang awam bisa tahu, karena banyak kontroversi di kalangan awam. Apabila harus kontrak, di kota besar justru sangat memberatkan dirinya, karena mahal.
PEJUANG: Setahu saya ya boleh saja. Yang penting sistem pembayaran kreditnya tidak melanggar syariat. Contoh saja pada pembelian tanah secara tunai Rp 100 juta. Setelah 15 th mendatang bisa dijual Rp 150 juta. Alias untung Rp 50 juta, kan nggak apa-apa. Namanya juga investasi pasti ingin mendapat keuntungan. Tapi kalo diniati niaga rumah/tanah maka ada kewajiban zakat perdagangan.
Sebaliknya, jika dalam sistem pembayaran kreditnya mengandung unsur riba, maka hukumnya jadi haram. Hukum haramnya itu bukan terletak pada status kreditnya ,tetapi karena tercampur hukum ribanya.
Metode kredit di bank yang diperbolehkan oleh syariat, jika konsepnya adalah jual beli secara murabahah, dan bank diperbolehkan mengambil keuntungan. Contohnya seseorang akan mengadakan akad membeli handphone dengan kredit di bank, maka hendaklah secara transparan bank menerangkan kepada nasabah jika bank telah membeli tunai handphone yang dimaksud itu dengan harga standar Rp3 Juta, dan nasabah harus tahu juga harga stardar tunainya itu, lantas bank menjualnya kepada nasabah dengan harga Rp 3,5 Juta secara kredit selama 12 bulan. Maka bank akan memperoleh keuntungan Rp 500 ribu.
Nah, keuntungan seperti itu boleh diambil oleh bank apabila konsepnya jual beli, bukan pinjaman tunai Rp 3 juta dibayar Rp 3,5 juta secara cicilan, karena akad pinjaman seperti itu termasuk riba.
Dalam kredit yang diperbolehkan itu harus disepakati kedua belah pihak, yaitu antara bank dengan nasabah.
Kemudian kata-kata pegawai bank dalam akadnya itu bukan meminjamkan, melainkan menjual secara kredit kepada nasabah dengan harga Rp 3,5 juta. Keuntungan yang diambil bank itu secara jelas diketahui oleh nasabah, maka sistem inilah yang disebut transaksi murabahah, yaitu transaksi jual beli dimana keuntungan yang diperoleh penjual telah disepakati oleh kedua belah pihak.
(Silahkan baca juga artikel kami berjudul: Sifat Pemakan Riba).
|
1. |
Pengirim: ilham - Kota: jaksel
Tanggal: 25/11/2013 |
|
Assalamu'alaikum wr.wb
mohon maaf kyai, mau sedikit menambahkan sekaligus bertanya
dalam pembelian rumah atau apartemen,biasanya developer memberikan 2 pilihan pembayaran, cash atau kredit.
Kalau cash, ya seperti jual-beli di pasar
nah kalau kredit, developer menjualnya kepada bank, kemudian bank nya menjual kepada pembeli dengan cara di kredit, dan dimana dalam bank konvensional, menerapkan sistem uang muka dan angsuran, angsurannya sendiri terdiri dari 2 unsur, yakni angsuran pokok dan bunga, persentase bunga itu bisa naik dan turun tergantung kebijakan ban itu sendiri
nah,bagaimana hukum membeli rumah dengan cara kredit yang seperti itu?
Karena sistem kredit yang seperti itulah yang digunakan dalam kehidupan sehari2, misalnya kredit mobil, tanah, apartemen, ruko, mobil, motor, bahkan emas sekalipun |
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Mohon maaf, kami tidak terlalu mengerti secara detil tentang pelaksanaan dunia simpan, pinjam dan kredit pada bank konvensional, jika berkenan kami nukilkan beberapa cuplikan artikel, mudah-mudahan ada keselarasan dan bermanfaat untuk akhi, minimal untuk tambahan referensi . Namun, jika ada jawaban yang lebih tepat dari pengunjung yang lain, kami ucapkan terima kasih.
@ > Bunga adalah hal yang telah disepakati keharamannya oleh semua lapis umat Islam. Sebab bunga itu dengan mudah bisa dibedakan dengan jual beli yang halal.
Betapapun kecil bunga yang dikenakan, tetaplah bunga dan Allah SWT telah mengharamkannya.
Sebab keberadaan bunga itu memang wujud dari riba itu sendiri, yang didalam Al-Quran Al-Kariem telah disebutkan harus ditinggalkan sekecil-kecilnya.
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. (QS.Al-Baqarah : 278)
Sedangkan fasilitas kredit itu sendiri hukumnya tergantung dari bagaimana anatomi sistemnya. Bila masih terdapat unsur bunga ribawi, maka menjadi haram. Sedangkan bila murni akad kredit yang syar’i, maka hukumnya halal.
Kredit dibolehkan dalam hukum jual beli secara Islami. Kredit adalah membeli barang dengan harga yang berbeda antara pembayaran dalam bentuk tunai tunai dengan bila dengan tenggang waktu. Ini dikenal dengan istilah : bai` bit taqshid atau bai` bits-tsaman `ajil.
Gambaran umumnya adalah penjual dan pembeli sepakat bertransaksi atas suatu barang (x) dengan harga yang sudah dipastikan nilainya (y) dengan masa pembayaran (pelunasan) (z) bulan.
Harga harus disepakati di awal transaksi meskipun pelunasannya dilakukan kemudian.
Contoh 1: Ahmad menawarkan sepeda motor pada Budi dengan harga rp. 12 juta. Karena Budi tidak punya uang tunai Rp.12 juta, maka dia minta pembayaran dicicil (kredit). Untuk itu Ahmad minta harganya menjadi Rp. 18 juta yang harus dilunasi dalam waktu 3 tahun. Harga Rp. 18 juta tidak berdasarkan bunga yang ditetapkan sekian persen, tetapi merupakan kesepakatan harga sejak awal. Transaksi seperti ini dibolehkan dalam Islam.
Contoh 2: Ali menawarkan sepeda motor kepada Iwan dengan harga Rp. 12 juta. Iwan membayar dengan cicilan dengan ketentuan bahwa setiap bulan dia terkena bunga 2 % dari Rp. 12 juta atau dari sisa uang yang belum dibayarkan. Transaksi seperti ini adalah riba, karena kedua belah pihak tidak menyepakati harga dengan pasti, tetapi harganya tergantung dengan besar bunga dan masa cicilan. Yang seperti ini jelas haram.
Al-Qaradawi dalam buku HALAL HARAM mengatakan bahwa menjual kredit dengan menaikkan harga diperkenan-kan. Rasulullah s.a.w. sendiri pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo untuk nafkah keluarganya.
Ada sementar pendapat yang mengatakan bahwa bila si penjual itu menaikkan harga karena temponya, sebagaimana yang kini biasa dilakukan oleh para pedagang yang menjual dengan kredit, maka haram hukumnya dengan dasar bahwa tambahan harga itu berhubung masalah waktu dan itu sama dengan riba.
Tetapi jumhur (mayoritas) ulama membolehkan jual beli kretdit ini, karena pada asalnya boleh dan nash yang mengharamkannya tidak ada. Jual beli kredit tidak bisa dipersamakan dengan riba dari segi manapun.
Oleh karena itu seorang pedagang boleh menaikkan harga menurut yang pantas, selama tidak sampai kepada batas pemerkosaan dan kezaliman. Kalau sampai terjadi demikian, maka jelas hukumnya haram.
Imam Syaukani berkata: “Ulama Syafi’iyah, Hanafiyah, Zaid bin Ali, al-Muayyid billah dan Jumhur berpendapat boleh berdasar umumnya dalil yang menetapkan boleh. Dan inilah yang kiranya lebih tepat.”
Para ulama Merumuskan kaidah tentang hukum transaksi (mu'amalah) bahwa pada prinsipnya hukum bertransaksi adalah boleh (mubah) kecuali kalau didalamnya terdapat unsur penipuan (gharar), spekulasi (maysir), riba dan barangnya dijual dua kali, yang dimaksud dengan yang dijual dua kali adalah menjual suatu barang pada dua orang atau lebih.
Dan mentransaksikan barang dengan harga kredit dan harga tunai tetapi si pembeli langsung membawanya tanpa menjelaskan apakah membeli dengan secara tunai atau dengan secara kredit.
Untuk transaksi jenis kredit, para ulama berbeda pendapat :
1. Jumhur Ahli Fiqih, seperti mazhab Hanafi, Syafi'i, Zaid bin Ali dan Muayyid Billahi berpendapat bahwa jual beli yang pembayarannya ditangguhkan dan ada penambahan harga untuk pihak penjual, karena penangguhan itu adalah sah. Menurut mereka penangguhan itu adalah harga. Mereka melihat pada dalil umum yang membolehkan.
2. Jumhur ulama menetapkan, bahwa seorang pedagang boleh menaikan harga menrut yang pantas karena pada asalnya boleh dan nash yang mengharamkannya tidak ada. Sebaliknya kalau sampai kepada batas kezaliman hukumnya berubah menjadi haram.
3. Pendapat lainnya yang mengatakan bahwa upaya menaikan harga diatas yang sebenarnya lantaran kredit (penangguhan pembayaran) lebih dekat kepada riba nasiah (tambahan harga karena limit waktu) yang jelas dilarang oleh nash Al-Qur'an al-Karim.
Jadi, hukum transaksi jual beli secara kredit hukumnya sah dan halal asalkan akad (transaksinya) antara penjual dan pembeli dilakukan secara jelas (aqd sharih).
Artinya antara penjual dan pembeli sama-sama mengetahui dan terdapat kesepakatan harga barang dan batas waktu pada saat akad.
Transaksi jual beli secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dibanding membeli secara kontan hukumnya sah dan halal. Dengan syarat, transaksi antara penjual dan pembeli dilakukan dengan aqd sharih 'adam al jahalah (dilakukan secara jujur dan menyepakati batas waktu dan harga barang.
Jangan sampai akad sudah selesai dan barang sudah dibawa pulang sementara antara penjual dan pembeli belum ada kesepakatan, apakah membeli secara tunai atau kredit.
Sehingga si pembeli memutuskan sendiri dengan akadnya setelah beberapa waktu dari waktu transaksi. Ketidak jelasan seperti ini hukumnya adalah haram karena akadnya tidak jelas (sharih).
Jual-Beli Tanpa Ada Kesepakatan Dahulu.
Aqad (kontrak kesepakatan) merupakan salah satu hal terpenting dalam muamalah. Karena tanpa aqad, sebuah jual-beli ataupun pernikahan tidak dianggap sah.
Tanpa aqad nikah seorang perempuan tidak akan sah menjadi istri bagi suaminya.
Tanpa aqad jual-beli sebuah sepeda motor tidak bisa pindah hak kepemilikan, dan demikianlah seterusnya.
Akan tetapi pergeseran zaman dan perkembangan teknologi membuat aqad dinomer duakan karena adanya kesepahaman tata nilai, seperti halnya yang terjadi di minimarket maupun pasar swalayan modern yang lain.
Dimana seorang calon pembeli tidak perlu lagi bertransaksi dan melakukan aqad jual beli dengan si penjual.
Karena harga barang telah dipastikan dan diinformasikan kepada pembeli, baik dengan ditempel maupun ditulis. Sehingga pebeli hanya menyerahkan uang kepada kasir selaku petugas penerima pembayaran.
Begitu pula dengan kelaziman yang terjadi dalam jual-beli di warung makan. Pembeli biasa memesan makanan terlebih dahulu, lalu memakannya tanpa bertanya harga barang pesanan itu, baru kemudian membayarnya.
Bahkan lebih canggih dari itu, di beberapa tempat telah berlaku penjualan minuman mekanik. Hanya dengan memasukkan koin atau uang dengan besaran tertentu ke dalam kotak, kemudian muncullah minuman yang diinginkan.
Cara transaksi tanpa shigat aqad seperti ini dalam fiqih dikenal dengan sebutan mu’athah, yang para ulama masih berbeda pendapat.
Kelompok pertama,termasuk di dalamnya adalah Al-Bajuri dan Shahibul Muhadzzab menggap transaksi model mu’athah tidak sah, karena menghilangkan salah satu rukun aqad yaitu shighah.
Dalam al-Muhadzzab dijelaskan. ولاينعقد البيع إلا بالإيجاب والقبول, فأماالمعاطاة فلاينعقد بها البيع لأن اسم البيع لا يقع عليهAkad jual-beli tidak sah kecuali dengan ijab-qabul sedangkan transaksi model mu’athah tidaklah sah karena komponen jual-beli tidak terdapat di dalamnya.
Kelompok kedua menganggap transaksi model mu’athah sah secara mutlak. Pendapat ini didukung oleh Imam Malik dan sebagian ulama Syafi’iyah.
Mereka menganggap bahwa hal terpenting dalam jual-beli tidak terdapat pada ijab-qabul tetapi pada kerelaan antar keduanya (penjual dan pembeli).
Dengan demikian maka yang dijadikan patokan adalah adat kebiasaan masyarakat setempat. Jika satu masyarakat telah menganggapnya sebagai kebiasaan maka hukumnya sah-sah saja.
Keterangan ini dinukil oleh al-Bajuri dari an-Nawawiواختار النووى وجماعة صحة البيع بها (أى المعاطاة فى كل مايعده الناس بيعا, لأن المدار فيه على رضا المتعاقدين ولم يثبت اشتراط لفظ رفيرجع فيه الى
العرف
An-nawawi dan sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat syahnya transaksi dengan menggunakan model mu’athah terhadap transaksi yang oleh kebanyakn orang dianggap sebagai jual-beli.
Karena yang diperhitungkan dalam jual beli adalah kerelaan antara penjual dan pembeli.
Dan lagi tidak terdapat ketentuan secara eksplisit yang menyatakan harus mempergunakan lafaldz, oleh karenanya dalam hal ini dikembalikan pada adat kebiasaan (al-urf)
Adapun pendapat ketiga mensyahkan mu’athah dengan syarat adanya obyek jual-beli merupakan sesuatu yang tidak besar dan dianggap remeh.
Misalnya kebutuhan sehari-hari, makanan di warung makan, minuman dan lain sebagainya.
Pendapat didukung oleh Sayyid Sabiq dan sebagian uama Syafi’iyyah sekaligus juga merupakan jalan tengah yang menjembatani kedua pendapat sebelumnya. Hal ini disebutkan oleh Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah وينعقد بالايجاب والقبول ويستثنى من ذلك الشيئ الحقير فلايلزم فيه إيجاب والقبول وإنمايكتفى فيه بالمعاطاة ة ويرجع فى ذلك الى العرف وما جرت به عادات الناس غالبا
Akad jual-beli menjadi sah dengan ijab dan qabul, kecuali pada hal-hal yang remeh, maka dalam hal ini tidak wajib mempergunakan ijab-qabul tapi jukup dengan aqad mu’athah, dalam hal ini cukup dikembalikan pada adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat.
Mengenai barang yang dianggap remeh dan bersifat keseharian dijelaskan dalam Kifayatul Akhyarوالمحقر كرطل خبز ونحوه ممايعتاد فيه المعاطاة Sesuatu yang remeh ini misalkan satu rithl (satuan timbangan masyarakat arab) roti dan yang semacamnya, yang biasa dijualbelikan dengan cara mu’athah.Demikianlah tiga pendapat mengenai hukum jual-beli tanpa kesempurnaan aqad karena tidak adanya ijab-qabul.
Bagi masyarakat awam diberikan hak memilih salah satu dari ketiganya. Karena ikhtilaful aimmah rahmatul ummah.
|
|
|
|
|
|
|
|
2. |
Pengirim: syahril ramadhan - Kota: jakarta selatan
Tanggal: 27/11/2013 |
|
Assalammu'alaikum wr wb
Teriring salam semoga pak kyai selalu dalam kesehatan dan senantiasa diberikan kesuksesan ditiap langkahnya, amiinn
Pak kyai mohon maaf, sekedar menambahkan informasi saja perihal KPR (kredit Pemilikan Rumah), kebetulan kami berkecimpung dibidang perumahan.
Dengan makin suburnya perbankan syariah di Indonesia, konsumen memiliki banyak ragam pilihan pembiayaan yg disediakan oleh bank syariah. Jadi manfaatkan dan selalu berusaha untuk menggunakan Bank syariah dalam setiap usaha/kredit yg kita ambil, agar selamat dunia dan akhirat. . Khusus dalam pembiayaan pemilikan rumah (PPR) (dalam istilah bank konvensional disebut KPR) selain akad MUDHARABAH (seperti yg telah pak kyai uraikan) ada juga jenis akad lainnya, yg menurut kami selain HALAL jg MENGUTUNGKAN bagi konsumen. Jenis akad tsb adalah "IJARAH MUNTAHIYA BITTAMLIK"
IJARAH MUNTAHIYA BITTAMLIK (IMBT) adalah akad pembiayaan pemilikan rumah dengan akad SEWA MENYEWA DIAKHIRI dengan KEPEMILIKAN. Jadi konsumen yg berminat terhadap suatu rumah/apartemen mengajukannya ke bank syariah, kemudian bank syariah akan membeli rumah tersebut dari developer, kemudian rumah yg sudah menjadi milik bank tsb disewakan oleh pihak bank syariah kepada nasabah/konsumen yg td berminat, dengan akad sewa menyewa yg ketika diakhir masa sewa kepemilikan rumah/apartemen tsb akan menjadi hak milik si nasabah/konsumen. Dengan akad ini pihak bank biasanya hanya akan mengambil keuntungan dari upah sewa menyewa, dan secara perhitungan. Dan peraturan BI dan DSN dengan model akad ini pihak bank syariah akan mengambil bagi hasil yg jauh lebih sedikit dibanding bila menggunakan akad MUDHARABAH, sebagai ilustrasi bank syariah yg menggunakan akad IMBT bila dikonversikan kedalam prosentase maka bagi hasil yg dikenakan ke nasabah cuma berkisar 6% sd 7%, bandingkan dengan bank syariah yg menggunakan akad MUDHARABAH yg biasa sampai 11%, artinya konsumen yg menggunakan akad IMBT akan jauh lebih diuntungkan karena cicilan rumah/apartemennya jauh lebih murah
.Proses
Untuk proses biasanya nasabah atau konsumen dipersilakan mencari rumah/apartemen yg sesuai dengan selera, kemudian semua kelengkapan dokumen rumah (shm,imb,pbb) dan dokumen nasabah (ktp,kk,npwp,slip gaji, sk pegawai tetap) diserahkan kpd bank syariah. Kemidian bank akan memverifikasi data tsban setelah klop baru bank akan memverifikasi fisik, yaitu dengan mendatangi si nasabah dan mengecek rumah yg mau dibeli. Untuk verifikasi thdp rumah pihak bank biasanya akan menggunakan jasa tim penilai independen, dimana mereka akan bertugas melakukan taksiran terhadap nilai tanah dan bangunan tsb, jadi insya alloh apa yg dikhawatiran pak kyai bisa diatasi, apabila ada pengembang nakal yg membuat rumah dengan asal2an maka resikonya nilai rumah yg disetujui juga akan rendah, tidak bisa kita buat rumah dng modal 50juta kemudian kita bilang kpd bank modal 100jt, insya alloh bank akan tahu karena bangunan secara detail akan dicek. Setelah semua verifikasi selesai dan disetujui maka bank syariah akan melakukan akad dengan developer utk membeli rumah tsb sekaligus akad dengan nasabah/konsumen . |
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Terima kasih atas tambahan ilmu dan pengalamannya, semoga bermanfaat untuk umat. |
|
|
|
|
|
|
|
3. |
Pengirim: alam.noor - Kota: Makassar
Tanggal: 30/5/2014 |
|
Assalamu’alaikum, mau tany,saya ini sudah lama usaha kredit namun sempat berhenti 5 tahun karena ragu dan takut akan riba, skrg sy ingin memulainya kembali namun masih satu hal yg mengganjal di hati saya "pertanyaannya saya adalah bagaimana jika saya menyicilkan barang, saya yang membelinya dari toko dan konsumen saya pun paham saya beli dari salah toko diapun tahu harga dari toko tsb tapi karena mau dicicil harga menjadi sekian,sekian dan kami sama2 ridha dia setuju utk membayar sekian,,sekian itu, akan tetapi barang tersebut misalnya (lemari/sprinbed) langsung dari toko ke rumah konsumen saya namun tetap atas nama pembeli dari toko tsb adalah saya, gimana nih hukumnya apakah barang tsb dapat dikatakan belum sempat saya miliki seperti halnya orang yg kredit motor melalui pembiayaan, minta jawabanya (tambahan saya sebenarnya tidak mau usaha kredit lagi karena sudah pernah rugi karena banyak yg tidak bayar tapi biarlah ini menjadi pahala saya kelak nanti, akan tetapi melihat banyaknya praktek kredit yg di masuki oleh pembiayaan, banyaknya teman saya meminta untuk dibelikan barang dan meminta cicil dari saya karena tidak mau berurusan dgn yg namanya pembiayaaa, saya menjadi berpikir kembali) |
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Menyicilkan barang itu boleh hukumnya, selama:
1. Tidak menipu, seperti menjual barang rusak.
2. Hanya memberi satu harga saat transaksi/aqad jual beli. Misalnya aku jual dg harga Rp 150 rb, dicilil tiga kali pembayaran.
3. Tidak memberi dua harga, misalnya kalau kontan Rp 100 rb kalau nyicil Rp 150 rb. Yang begini yang haram.
Wallahu a'lam. |
|
|
|
|
|
|
|
4. |
Pengirim: zainul abidin - Kota: pasuruan
Tanggal: 9/6/2014 |
|
AssalamualakanabiuwarohmatuLLOHiwabarokatu, assalamualaina waalaibadillahissolikhin
Saya mau bertanya...
Untk hadis dari zubbir radhiallahu an bahwasannya Rosululloh bersabda, rosul mengutuk penjual, pembeli, penulis dan 2 saksi dalam riba.dan mereka itu jatuh dalam dosa.
Yg menjadi pertanyaan, saya sudah terlanjur kredit motor dan sampai lunas. Dan didalam proses kredit ada pihak pembiayaan lanjut barang tersebut saya ambil sendiri dari dieler motor bukan dari pihak pembiayaan. Dan saya mengerti itu haram setelah semua sudah terlanjur. Bagaimana dngan barang yg sudah saya beli secara kredit itu, apakah setatusnya haram, sedangkan DP dan angsuran yg insyaALLAH dari uang yang halal. Dan apabila motor yg sy miliki sekarang itu haram apa saya harus membuangnya atau bagaimana. Dan dari artikel yg pernah saya baca lebuh cenderung menjelaskan kpd penjual, seperti misal
" dan jika km terlanjur jatuh dalam riba dan ingin bertaubat. Diperbolehkan untuk mengambil pokoknya( modal ) dan sisa riba bisa di gunakan untuk umum contohnya WC umum.
Terus bagaimana dengan pembelinya.
Tolong siapa saja yg mengerti tentang ini hendaklah menjawab. Wassalam
|
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Kami persilahkan jika ada pengunjung yg ingin menjawabnya.
Jg belum dijelaskan adalah proses jual belinya, siapa pihak yg dirugikan. |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Kembali Ke atas | Kembali Ke Index Karya Ilmiah
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|