Tamasya Rukhiyah Di Taman Ma’rifatullah
Oleh Ust. H. Ahmad Faizin, M.Pd.
Dosen IAI Ibrahimy Sukorejo Situbondo
Menatap keagungan Allah yang membentang luas di jagad semesta akan menghantarkan seorang hamba pada taman pencerahan spiritual yang indah. Elok laksana taman surgawi. Seorang hamba akan senantiasa merindukannya, untuk berkunjung dan bertamasya. Melepas dahaga batin dan raga. Meneguk cawan-cawan karunia Ilahi. Untuk senantiasa berdekatan, saling mengenal, dan bercengkrama dengan Dzat Yang Maha Tinggi. Allah Rabbul Izzati.
Perjalanan hidup setiap hamba yang dicipta, bukanlah sesuatu yang kebetulan dan ada begitu saja. Tak pernah Allah sesuatu mencipta dengan sia-sia. Segala yang ada dan dicipta akan bermuara kepada satu titik, yaitu menggapai keridhaan Allah semata. Sementara keridhaan itu takkan tergapai tanpa proses pengenalan seorang hamba kepada Dzat Yang Esa.
Maka, mengenal Allah (ma’rifatullah) adalah tujuan yang harus dijangkau oleh seorang hamba. Ia adalah cita-cita tertinggi yang harus tertancap dalam jiwa. Apabila seorang hamba menghadap Allah, karena dibukakan baginya pintu makrifat, maka dia akan mampu menggapai puncak ketenangan batin. Sang hamba akan menjumpai kenikmatan ruhani yang berlimpah. Seiring itu pula, karunia Allah akan senantiasa melingkupinya. Sehingga timbul hasrat dan motivasi untuk memperbanyak ibadah. Ma’rifatullah akan menghantar seorang hamba untuk kian dekat kepada Tuhannya.
Esensi ma’rifatullah adalah menatapnya seorang hamba kepada Dzat Allah dengan mata hati (basyirah)nya. Secara bahasa, ma’rifah adalah mengenal. Yaitu tatkala seorang mampu mengenal sifat-sifat Allah serta yakin dengan sepenuhnya terhadap sifat-sifat agung milik Allah SWT.
Kedudukan ma’rifatullah tidak boleh bertentangan dengan akidah dan syariat yang bersumber dari al-Qur’an dan sunah. Ma’rifah sangat berperan penting bagi seorang hamba dalam setiap melakukan amal ibadah. Semakin tinggi tingkat ketajaman matahati seorang hamba dalam menatap keagungan Dzat Allah, maka semakin banyak pula ia beribadah dan beramal shaleh. Sebab pada saat yang sama, keimanannya telah bertambah dan meningkat pula. Sementara antara iman, amal, dan ibadah saling berkait berkelindan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dan yang lain. Demikianlah proses penghambaan terbangun dalam rangkaian kesadaran keimanan yang kokoh. Allah SWT berfirman yang artinya,
Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya, (Qs. At-Thin [95]: 06).
Imam Ibnu Abbas berkata:
الأَعْمَالُ عِنْدَ أَهْلِ الْفَنِّ عَلَى ثَلاَثَةَ أَقْسَامٍ، عَمَلُ الشَّرِيْعَةِ وَعَمَلُ الطَّرِيْقَةِ وَعَمَلُ الْحَقِيْقَةِ.
“Perbuatan seorang hamba, menurut ahli Sufi terbagi menjadi tiga macam, syariat, thariqah, dan hakikat.”
Syariat, yakni amaliah dhahir yang harus dilakukan oleh seorang hamba sebagai bagian dari tahapan penghambaan (ibadah) kepada Allah SWT. Di antara amaliah syariat antara lain, shalat, puasa, haji, zakat, sedekah, amar makruf nahi munkar, menjauhi segala bentuk larangan, tolong menolong sesama manusia, memiliki kepekaan sosial yang tinggi, dan mampu menyempurnakan amaliah sunah dalam ibadah. Dengan demikian amaliah dhahir menjadi sempurna.
Dalam kitab al-Hikam disebutkan tips untuk mengevaluasi dan memperbaikai amaliah dhahir.
اِصْلاَحُ الْجَوَارِحِ بِثَلاَثَةِ أُمُوْرٍ، بِالتَّوْبَةِ وَالتَّقْوَى وَالدَّوَامِ
“Tips untuk memperbaiki amaliah dhahir ada tiga cara, yaitu taubat, takwa, dan istiqamah (konsekwen).”
Taubat; merupakan langkah awal bagi seorang hamba untuk menuju ridha Allah. Ada tiga kriteria seorang hamba bisa dikatakan taubat. Pertama, menyesal terhadap perbuatan dosa yang pernah dilakukannya. Kedua, berhenti total dari perbuatan dosa tersebut. Dan ketiga, komitmen untuk tidak mengulanginya kembali.
Takwa; Ibnu Athaillah mengklasifikasi takwa menjadi dua bagian. Pertama, takwa dhahir, yaitu menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala bentuk larangan-Nya. Kedua, takwa secara batin. Yaitu ketika segala perbuatan dilandasi oleh niat yang ikhlas hanya karena Allah semata.
Istiqamah, secara bahasa berarti lurus, tetap, konsekwen, dan disiplin. Ali ad-Daqqaq memberikan definisi tentang istiqamah, yaitu melatih jiwa supaya disiplin dalam melalukan ibadah, menjaga hati dari sifat-sifat yang kotor, lalu terus berusaha untuk dapat menggapai rahasia-rahasia Ilahi (al-asrar al-uluhiyah).
Thariqah: yakni upaya seorang hamba untuk menjaga dari hal-hal yang dapat mengotori hatinya. Dia mampu mengubah sifat-sifat buruk menjadi baik. Dari sifat riya’ menjadi ikhlas, dari sifat kikir menjadi pemurah, pemarah menjadi penyabar, dari tamak menjadi qana’ah, dari sombong menjadi rendah hati, dari tercela menjadi terpuji, dari buruk sangka menjadi baik sangka, dan seterusnya. Dengan demikian, hatinya menjadi jernih dan suci, sehingga terisi dengan nur Ilahiyah.
Kitab al-Hikam memberikan kiat untuk menata hati.
اِصْلاَحُ الْقُلُوْبِ بِثَلاَثِ أُمُوْرٍ، بِاْلإِخْلاَصِ وَالصِّدْقِ وَالطُّمَأْنِيْنَةِ
“Kiat untuk menata hati ada tiga, ikhlas (tulus), siddiq (jujur), dan thuma’ninah (tenang).”
Ikhlas (ketulusan); menurut Imam Junaid, adalah rahasia antara Allah dengan hamba-Nya. Tidak seorang pun yang tahu, baik itu setan, jin, atau malaikat sekalipun. Namun keikhlasan bisa dapat dideteksi dengan beberapa indikasi.
Dzunnun al-Misri mengatakan, bahwa tanda-tandanya orang ikhlas adalah tidak merasa bangga jika dipuji dan tidak merasa susah atau terhina jika dicela. Antara pujian dan celaan nilainya sama ketika ia melakukan kebaikan. Dia tidak pernah mengharapkan balasan dari amal baiknya. Bahkan tidak merasa kalau dirinya sedang melakukan amal baik.
As-Sidqu (jujur); menurut Harits al-Mahasibi, indikasi orang jujur adalah selalu berusaha menata hatinya sehingga tidak memperdulikan pujian dan celaan. Atau dia merasa tidak senang jika amal kebaikannya diekspos. Dia juga tidak merasa benci jika perbuatan jeleknya dipublikasikan. Orang yang jujur berada pada level yang tinggi setelah para nabi. Allah berfirman yang artinya:
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, kaum shiddiiqiin (jujur), orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (Qs. An-Nisa [04]: 69).
Tuma’ninah (tenang); yakni hatinya senantiasa diliputi ketenangan. Jiwanya tak pernah terbebani oleh hal-hal yang meresahkan. Dia selalu dalam kemantapan yang optimal terhadap takdir dan kehendak Allah. Dia merasa sangat dekat dengan Allah. Hamba yang demikian ini identik dengan sebutan wali Allah. Firman Allah yang artinya:
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Qs. Yunus [10]: 62)
Hakikat; yaitu melihatnya seorang hamba kepada Allah dengan basyirah-nya (mata hati) secara kontinyu. sehingga dia tidak pernah lupa kepada Allah walau sedetikpun. Sebagaimana halnya baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
وَكَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهَ وَسَلَّمُ يَذْكُرُ اللهَ فِيْ كُلِّ أَحْيَانِهِ
“Rasulullah terus menerus ingat kepada Allah di setiap waktu-waktunya.”
Rasulullah bersabda,
إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلاَ يَنَامُ قَلْبِيْ
“Mataku tidur terpejam tapi hatiku tidak pernah tidur.”
Yakni hati beliau terus menerus berdzikir kepada Allah. Dengan demikian, tersingkaplah tabir rahasia-rahasia Ketuhanan sehingga dapat mengetahui hal-hal yang ghaib, dapat membaca yang terlintas di hati orang lain, dapat mendeteksi peristiwa-peristiwa yang akan datang. Semuanya keistimewaan (mauhibah) dan keutamaan yang dikaruniakan oleh Allah kepada Rasulullah. Demikian pula yang telah dikaruniakan kepada para kekasih (auliya’) Allah.
Untuk menuju pada tingkat hakikat, hendaklah melalui tiga tahapan, yaitu muraqabah, musyahadah, dan ma’rifah.
Muraqabah; yaitu menjaga hati agar terus-menerus ingat kepada Allah setelah melalui proses penyucian hati dan rohani. Proses ini dikenal dengan istilah takhalli.
Musyahadah; ketika seorang hamba mampu menatap keagungan dan kemuliaan sifat-sifat Allah, baik secara dhahir maupun secara batin. Dengan sendirinya dia dipenuhi dengan sifat-sifat yang mulia dan agung sebagaimana sifat-sifat yang dimiliki oleh Allah. Inilah yang dikenal dengan istilah tahalli.
Ma’rifat; ia ibarat mutiara yang terpendam di dasar laut yang tidak bisa digapai kecuali oleh hamba-hamba yang memang dipilih oleh Allah. Sebagian ulama mengatakan, bahwa orang yang sudah mencapai pada tingkatan ma’rifat billah, kebanyakan mereka lupa akan dirinya sendiri. Dia sudah betul-betul lebur antara dirinya dengan Dzat Allah, karena gelora cintanya yang tak terbendung kepada Dzat Yang Maha Agung. Kondisi semacam ini dikenal dengan istilah Tajalli.
Seorang shufiah wanita, Rabi’ah Al Adawiyah pernah berkata, “Andaikata mati itu dijual, maka saya yang pertama kali membelinya karena ingin segera berjumpa dengan Allah, lebih dekat lagi.”
Kecintaan yang menggelora, kerinduan yang membuhul, kepada Allah Azza wa Jalla, hanya akan dirasakan oleh para hamba yang mampu menangkap tanda-tanda keagungan-Nya. Keagungan yang tercermin dalam segala ciptaan, sifat, kasih sayang, dan asrar (rahasia-rahasia)-Nya. Hal ini berpangkal pada upaya seorang hamba untuk dapat meraih keridhaan Tuhan, dengan menjaga hati, meningkatkan kualitas ibadah, memupuk kepekaan sosial, dan mentafakkuri segala fenomena yang ada di sekitarnya. Di situlah tersirat ayat-ayat kauniyah sebagai tangga untuk menggapai ma’rifatullah.
Ma’rifatullah, adalah ibarat telaga yang akan menjadi penawar dahaga hati dan jiwa setelah ia lelah dengan urusan duniawi. Ma’rifatullah adalah puncak ketenangan jiwa, yang menjadi tujuan tamasya para salik, dalam upaya menggapai ridha Allah Azza wa Jalla.