Membedah Pemikiran KH. Hasyim Asy`ari
(EDISI REVISI, NOV 2013)
(Luthfi Bashori)
Muqaddimah
Bismillahir rahmaanir rahiim
KH. Hasyim Asy`ari, tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama, adalah seorang shaleh dan alim khususnya dalam bidang aqidah islamiyah. Beliau mempunyai pandangan yang sangat luas, sehingga mampu menganalisa perkembangan umat Islam dari zaman ke zaman. Beliau bahkan mampu memprediksikan apa yang bakal terjadi khususnya di Indonesia, tentunya dengan kecermatan dan wawasan beliau yang sangat dalam serta ma`unah dari Allah SWT.
Dalam sebuah risalah karangan oleh KH.Hasyim Asy`ari yang berjudul Risalah Ahlis Sunnah wal Jamaah, dan diterbitkan ulang oleh salah seorang cucu beliau, Almarhum Gus M. Ishom Hadziq Tebuireng Jombang, dengan gamblang diterangkan di dalammnya tentang perbedaan paham-paham serta perilaku umat Islam yang berkembang di Indonesia. Dalam menilai suatu paham atau perilaku umat Islam, KH. Hasyim Asy`ari menggunakan paham Ahlus sunnah wal jamaah sebagai barometer, yaitu faham aqidah yang dianut oleh mayoritas dunia Islam, dengan menganut empat madzhab dalam berfiqih, yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi`i, dan Hanbali. Sedangkan khusus bagi warga Nahdlatul Ulama, beliau lebih mengkhususkan madzhab Syaf`i sebagai barometer dan pijakan dalam pemahaman bersyariat serta aqidah Asy`ariyah dalam urusan bertauhid. .
Beliau juga menerangkan tentang beberapa golongan yang disinyalir telah keluar dari keyakinan umat Islam mayoritas, dikarenakan adanya perbedaan prinsipil dengan pemahaman para pengikut sunnah Rasulullah SAW, yang dilanjutkan oleh para Sahabat RA, dan dilestarikan oleh para ulama salaf, hingga dapat dilaksanakan dan diamalkan oleh mayoritas umat Islam hingga saat ini, yaitu penganut Ahlus sunnah wal jamaah. Realita ini pada hakikatnya adalah implikasi dari sabda Rasulullah SAW: "Alaikum bis sawaadil a`dham" (Hendaklah kalian memegang teguh (keyakinan) kelompok mayoritas)
Dalam hadits yang cukup terkenal, Rasulullah saw bersabda: "Penganut Yahudi telah terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan, penganut Nasrani telah terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan." Para sahabat bertanya: "Siapa mereka (yang selamat itu) wahai Rasulullah?" Beliau SAW menjawab: "Mereka adalah ahlu sunnahku dan jamaahku."
Tatkala Rasulullah SAW ditanya tentang siapakah Ahlus sunnah wal jamaah, beliau menjawab: "Maa ana `alaihi wa ashhaabi" (Golongan yang mengikuti aku dan para shahabatku)
Golongan Ahlus sunnah wal jamaah inilah yang dianut oleh mayoritas umat Islam dihampir segala penjuru dunia. Golongan ini mempunyai ciri-ciri khusus, yaitu selalu memegang teguh al Quran dan hadits-hadits shahih maupun hasan di dalam menentukan hukum fiqih halal dan haram, dan mengamalkan hadits dha`if di dalam urusan fadhaailul a`maal (keutamaan amal) yang bersifat kemuliaan akhlaq. Tentunya selagi hadits dha`if tersebut bukan dalam derajat matruukul hadits (hadits yang wajib ditinggalkan) sesuai dengan kaedah yang telah disepakati oleh para ulama salaf.
Adapun kaedah ini bisa dipelajari dalam kitab-kitab musthalahul hadits (ilmu yang berkaitan dengan hadits) dan kitab-kitab lainnya. Termasuk ciri khas golongan Ahlus sunnah wal jamaah ini selalu mempertimbangkan ijma para ulama serta menggunakan qiyas pada saat diperlukan.
Dewasa ini, di tanah air Indonesia, khususnya di kalangan warga NU, banyak perilaku umat Islam yang apabila dikaji dengan cermat, telah menyeleweng bahkan disinyalir telah keluar dari ajaran Islam Ahlus sunnah wal jamah, sekalipun para pelakunya masih bersikukuh mengaku bahwa dirinya adalah penganut ahlus sunnah wal jamaah. Tentunya pengakuan ini tidak bisa dibenarkan apabila perilaku dan keyakinan mereka bertentangan dengan ajaran Ahlus sunnah wal jamaah itu sendiri.
Sebagai ilustrasi, apabila terjadi dalam suatu instansi, sebut saja Yayasan "Al-Ikhlash", yang menerapkan peraturan baku pada setiap orang yang mendaftarkan diri menjadi anggotanya, misalnya syarat menjadi anggota adalah harus lelaki dewasa dan beristri, serta terdaftar secara resmi lewat notaris. Maka jika ada seorang bujangan, atau duda, atau aad orang yang tidak mendaftarkan diri lewat notaris, sudah jelas bukan anggota yayasan "Al Ikhlash", karena tidak sesuai dengan peraturan atau syarat jadi anggotanya, sekalipun tiga kelompok ini mengaku-ngaku sebagai anggota resmi instansi tersebut.
Umat Islam yang jeli dan selalu menjaga kemurnian aqidah agamanya, tentunya tidak akan mudah tergoyah sedikitpun dengan maraknya aliran-aliran yang kini bermunculan bak jamur di musim hujan, sekalipun mereka mengaku sebagai Ahlus sunnah wal jamaah.
Aliran-aliran ini ada yang cara mendakwakan ajarannya melalui perilaku (amalan) secara fisik, dan ada juga yang lebih dominan lewat ajaran pemikiran. Namun kedua metode yang diterapkan itu berpotensi besar merusak aqidah umat Islam, karena asli ajarannya sudah bertentangan dengan aqidah Ahlus sunnah wal jamaah.
Dengan membedah pemikiran KH. Hasyim Asy`ari, penulis mencoba mengajak umat Islam, khususnya warga NU, agar tidak salah langkah memilih rujukan, khususnya dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan aqidah, maupun tata cara beribadah kepada Allah SWT, sebab seringkali terjadi karena ketidakmengertian umat, disertai gencarnya pengaruh aliran-aliran yang baru bermunculan, menjadikan sebagian umat Islam terperosok jauh dalam kesalahpahaman terhadap ajaran agamanya.
Adapun metode penulis dalam Membedah Pemikiran KH. Hasyim Asy`ari itu, tidak berupa terjemahan dari karya tulis KH. Hasyim Asy`ari, Risalah Ahlis Sunnah wal Jamaah yang menggunakan Bahasa Arab, dan juga tidak menukil lengkap dari sebuah pemikiran beliau, tetapi penulis akan menyampaikan makna yang tersirat dari karya KH. Hasyim Asy`ari, sesuai dengan pemahaman penulis setelah membaca karya tulis beliau. Sekalipun demikian pada bagian-bagian tertentu, penulis akan menampilkan terjemahan dari karya tulis beliau, Risalah Ahlis Sunnah wal Jamaah.
Metode ini dipilih, karena penulis ingin mempertahankan karakter yang selama ini dipergunakan oleh penulis dalam memaparkan karya-karya lainnya, namun tetap berusaha menyampaikan ide dasar dari seorang shaleh yang alim dan arif billah KH. Hasyim Asy`ari.
Dengan membaca tulisan ini, diharapkan umat Islam lebih mudah untuk membedakan mana ajaran yang benar dan mana yang salah, sehingga bisa lebih berhati-hati di dalam melaksanakan amalan ibadahnya kepada Allah dan tidak salah dalam melangkah.
Definisi Bid�ah dan Sunnah
Di dalam tulisan ini akan dikupas tentang bid`ah (perilaku agama yang tidak diamalkan di zaman Rasulullah SAW) dan sunnah dengan mengacu kepada pengertian dan pemahaman yang tersirat dalam pemikiran KH. Hasyim Asy`ari. Namun sebelum membahas arti dan perilaku bid`ah secara panjang lebar, maka untuk mempermudah bagi para pemula, perlu diterangkan terlebih dahulu arti sunnah yang menjadi kebalikan bid`ah.
Adapun `sunnah` itu sendiri mempunyai beberapa arti, sesuai dengan bidang ulama yang membahasnya. Di antara pengertian `sunnah` sebagaimana yang ditulis oleh Dr. Assayid Muhammad bin Alwi al Maliki al Hasani dalam kitabnya Almanhalul Lathif, sunnah dibagi menjadi beberapa bidang, di antaranya sebagai berikut:
1. Menurut ulama ahli hadits, arti sunnah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan atau disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, sifat, maupun ketetapan beliau saw terhadap suatu perbuatan yang dilakukan para sahabat di masa beliau SAW hidup.
2. Menurut ulama usul fiqih, arti sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah SAW selain Alquran, yang bisa dan cocok untuk dijadikan dalil dan landasan bagi hukum syariat.
3. Menurut ulama fiqih, arti sunnah adalah segala sesuatu yang datang dari Rasulullah SAW untuk dilaksanakan oleh umat, yang sifatnya bukan fardhu atau wajib, atau segala sesuatu yang selain wajib, haram, makruh, dan bukan pula jaiz (boleh).
4. Menurut ulama ahli dakwah dan mau`idhah, arti sunnah adalah segala sesuatu yang menjadi lawan bid`ah, sedangkan bid`ah adalah perkara/perilaku keagamaan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw, atau tidak pernah dilakukan di zaman Rasulullah SAW.
Assunnah menurut etimologi berarti perilaku/amalan, sebagaimana yang dipergunakan oleh Rasululluh SAW dalam sabdanya: "Man sanna fil Islaam sunnatan hasanatan falahu ajruhaa wa ajru man `amila bihaa ba`dahu min ghairi an yangqusha min ujuurihim syaik, wa man sanna fil Islaami sunnatan sayyiatan kaana `alaihi wizruhaa wa wizru man `amila bihaa min ba`dihi min ghairi an yangqusha min auzaarihim syaik. (Barangsiapa memulai di dalam Islam suatu perilaku/amalan yang baik, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan mendapat pahala orang yang mengikuti/mencontoh sesudahnya tanpa mengurangi pahala pengikutnya sedikitpun; dan barangsiapa memulai di dalam Islam suatu perilaku/amalan yang jelek, maka ia akan mendapatkan dosanya dan mendapat dosa orang yang mengikuti/mencontoh sesudahnya tanpa mengurangi dosa pengikutnya sedikitpun).
Di dalam hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda: "Latattabi`unna sasanal ladziina min qablikum syibran bi syibrin wa dziraa`an bi dziraa`in. (Pasti kalian akan mengikuti perilaku/amalan orang-orang sebelum kalian (yaitu Yahudi dan Nasrani) se jengkal demi se jengkal, dan se hasta demi se hasta)
Dua contoh hadits di atas, di samping sebagai acuan untuk memahami arti sunnah secara etimologi, sekaligus memberi pengertian bahwa sepeninggalan Rasulullah SAW, akan banyak terjadi perilaku umat Islam yang tidak pernah dicontohkan oleh beliau SAW maupun oleh para shahabat sebelumnya. Namun secara bijak beliau SAW telah memberi batasan, bahwa perilaku baru yang boleh diamalkan adalah khusus amalan-amalan baik yang tidak bertentangan dengan ajaran syariat, bahkan pelakunya akan mendapat pahala atas amalan barunya itu serta mendapat bonus kiriman pahala apabila diikuti oleh orang lain.
Sedangkan berbuat amalan yang jelek dan bertentangan dengan ajaran syariat, lebih-lebih jika amalan itu tidak pernah dilakukan di zaman Rasulullah SAW, dan membawa dampak negataif (dosa) bagi pelakunya, maka hal tersebut dilarang di dalam ajaran Islam, sebab perilaku yang demikian ini sudah masuk dalam wilayah bid`ah dhalalah yang tercela.
KH. Hasyim Asy`ari menukil perkataan Syeikh Zaruq di dalam kitabnya, Iddatul muriid sebagai berikut: Bid`ah menurut syara adalah: menciptakan suatu perilaku baru di dalam agama, yang menyerupai ajaran agama, padahal perilaku itu bukanlah termasuk dari ajaran agama itu sendiri, dan bid`ah tersebut adakalanya sebatas gambaran/pemikiran, atau benar-benar diamalkan secara kongkrit . Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang artinya: "Barangsiapa yang menciptakan perilaku baru di dalam agama kami ini, padahal perilaku itu bukan termasuk dari agama ini (karena bertentangan dengan syariat), maka perilaku tersebut ditolak".
Rasulullah SAW bersabda: "Iyyaakum wa muhdatsaatil umuur, fainna kulla muhdatsatin bid`ah, wa kulla bid`atin dhalaalah, wa kulla dhalaalatin fin naar" (Sekali-kali janganlah kalian menciptakan perilaku-perilaku baru, sesungguhnya setiap perilaku baru itu adalah bid`ah, dan sebagian besar bid`ah itu adalah sesat, dan setiap yang sesat itu tempatnya di neraka). (Risalah Ahlis Sunnah wal Jamaah. hal. 6)
Di dalam menerjemakan hadits di atas, tepatnya pada lafadz "Kulla" ada perbedaan antara yang pertama (kulla muhdatsatin) yang diartikan "setiap perilaku baru", dengan yang kedua (kulla bid`atin) yang diartikan "sebagian besar bid`ah". Hal ini dikarenakan beberapa pertimbangan di antaranya:
Sesuai dengan hadits `man sanna fil islaami sunnatan hasanatan falahu ajruha wajru man amila biha` (Barangsiapa memulai/membuat suatu perilaku baru yang baik di dalam agama Islam, maka akan mendapatkan pahalanya dan pahala sebanyak pahala orang yang mengikuti amalannya)dst. Hadits ini menerangkan bahwa perilaku baru atau bid`ah yang baik, diperbolehkan dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW, bahkan akan mendapat pahala, selagi tidak bertentangan dengan syariat.
Tidak semua lafadz "kulla" diartikan "setiap", sebagaimana firman Allah SWT: "Wa ja`alnaa minal maa-i kulla syai-in hayyin" (dan Kami jadikan dari air sperma sebagian besar makhluk hidup), apabila lafadz kulla pada ayat ini diterjemahkan "setiap" sebagaimana berikut (dan Kami jadikan dari air sperma setiap makhluk hidup), maka sangat bertentangan dengan realita bahwa setan sebagai makhluk hidup ternyata diciptakan dari api, sebagaimana yang tertera di dalam firman Allah SWT:
Andaikata `kulla bid`atin dhalalah` diterjemahkan `setiap bid`ah itu sesat`, maka tidak ada satupun dari umat Islam saat ini yang selamat dari `bid`ah dhalalah`, sebab setiap orang yang membaca Alquran lewat mushaf yang beredar di kalangan umat Islam, secara otomatis telah mengamalkan perbuatan bid`ah. Perlu diketahui bahwa pembukuan Alquran dalam bentuk mushaf, tidak dilakukan di saat Rasulullah SAW masih hidup, dan juga tidak ada perintah pembukuan Alquran dari beliau SAW secara langsung. Adapun pembukuan Alquran terjadi di zaman pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan RA, jadi yang dilakukan Khalifah Utsman bin Affan RA ini adalah tergolong bid`ah hasanah (bid`ah yang baik).
Demikian juga dengan bid`ahnya para ahli qira`ah dan tartil Alquran, yang merekam suaranya ke dalam kaset, lantas diperdengarkan di masjid-masjid menjelang shalat Subuh, shalat Jumat, shalat Maghrib, serta di rumah tangga umat Islam. Perilaku rekaman ini tidak pernah dilaksanakan di zaman Nabi Muhammad SAW, namun hampir seluruh umat Islam di dunia dewasa ini telah melaksanakannya karena dianggap bid`ah yang baik.
Bagi para ahli qira`ah yang mengawali atau memulai atau yang mempunyai ide merekam bacaan Alquran yang ternyata sangat bermanfaat bagi umat Islam, dapat dikategorikan sebagai kelompok `man sanna fil Islami sunnatan hasanatan`.
Adapun KH. Hasyim Asy`ari dalam mendefinisikan Assunnah, beliau mengikuti pendapat Assyeikh Abul Baqaa, yaitu secara etimologi adalah Atthariiqah (jalan/perilaku/ajaran) baik yang diridlai oleh Allah maupun yang tidak. Adapun Assunnah secara syara adalah sebuah nama dari Atthariiqah (jalan/perilaku/ajaran) yang diridlai Allah, dan dilaksanakan dalam mengamalkan ajaran agama, sebagaimana yang dijalani oleh Rasulullah SAW, atau para penerusnya yang mumpuni di dalam bidang ilmu agama, semisal para shahabat RA.
Pengertian ini sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku, dan sunnah para Khalifah Arraasyidin setelah aku tiada. Adapun dalam pengertian umum tentang Assunnah, adalah apa yang menjadi kebiasaan/adat seorang public figur agamis, baik itu seorang nabi, atau wali kekasih Allah (atau orang-orang shaleh, maupun kalangan ulama) (Risalah Ahlis Sunnah wal Jamaah, hal. 5)
Dalam kaitannya dengan pengertian secara umum, maka sering didengar istilah sunnah Rasul, sunnahnya Imam Syafi`i, sunnahnya Walisongo, dan lain sebagainya. Dalam bahasa Arab, sunnah-sunnah selain dari Rasulullah SAW, disebut Dakbu (kebiasaan baik), contoh dakbus shalihin adalah amalan berdzikir di malam hari di saat orang lain sedang pulas beristirahat.
Sekilas tentang pemahaman sunnah tersebut di atas, dirasa cukup sebagai bahan untuk memulai pemaparan tentang bid`ah dalam pengertian devinisi dan keterkaitannya dengan perilaku umat Islam dewasa ini, khususnya perilaku warga NU.
Definisi Bid�ah
Bid`ah berasal dari kata badaa dalam bahasa Arab yang berarti memulai atau mengadakan sesuatu yang baru dari tidak ada menjadi ada. Allah menamakan diri-Nya sendiri di dalam Alquran dengan Albadii yang berasal dari kata bada`a, dalam ayat badii`us samawaati wal ardl (Dzat Yang memulai/mengadakan/mencipta langit dan bumi dari tidak ada menjadi ada). Maka pengertian bid`ah menurut etimologi berati memulai sesuatu yang belum pernah dilaksanakan oleh siapapun sebelumnya.
Sebagai contoh kasus, adalah setiap penemuan baru yang pada akhirnya berkembang di tengah masyarakat hingga saat ini, misalnya:
Yang pertama kali atau memulai pembuatan batu bata adalah bangsa Mesir dan Siria. Padahal pembuatan batu bata ini belum pernah dilakukan sebelumnya oleh bangsa manapun. Mesir juga dikenal sebagai bangsa yang pertama kali memulai sistem pembajakan untuk mengelola sawah mereka.
Adapun revolusi industri pertama kali yang memulainya adalah bangsa Inggris, yang pada akhirnya dikenal dengan istilah invasi suatu bangsa terhadap perekonomian bangsa lain. Demikian ini karena untuk kepentingan revolusi industrinya, bangsa Ingris harus menjadi penjajah terhadap bangsa lain.
Bangsa China juga dikenal sebagai bangsa yang memulai penemuan roket, kompas magnetic, dan umpan peluru.
Adapun dalam kasus perorangan, yang dikenal sebagai orang yang pertama kali memulai sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya antara lain adalah Chaster Carlson (Amerika) adalah penemu foto copy; Ibnu Sina sebagai penemu ilmu kedokteran; Howard Aiken (Amerika) dikenal sebagai penggagas computer digital otomatic; Albert Einstein adalah penemu teori matematika, dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya, yang semua ini bisa dikatagorikan sebagai prilaku bid`ah jika ditinjau dari segi bahasa.
Bid`ah dalam pengertian syara` adalah melakukan suatu perilaku yang berkaitan dengan keagamaan, yang mana perilaku tersebut belum pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, atau dilakukan di masa hidup beliau SAW.
Perilaku para shahabat RA dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian. Pertama perilaku mereka di saat Rasulullah SAW masih hidup, yang berarti pula di masa eksisnya penurunan ayat-ayat Alquran. Sehingga jika terjadi suatu perilaku dari para shahabat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan beliau SAW belum mengetahuinya, maka pasti Allah mengutus malaikat Jibril untuk menyampaikan kepada Rasulullah SAW dengan menurunkan ayat-ayat Alquran untuk menegurnya
Hal ini sebagaimana pernah terjadi pada kasus pengamalan Keluarga Berencana (KB) atau pengaturan kehamilan dari sepasang suami istri yang dilakukan oleh sebagian para shahabat. Mereka mengatakan nahnu na`zil wal quran yanzil (kami melakukan azl sedangkan ayat-aya Alquran tetap turun tanpa larangan). Azl adalah menumpahkan air sperma di luar vagina saat bersenggama. Andaikata azl dilarang oleh agama, maka pasti Allah akan menurunkan ayat pelarangannya, dan perilaku azl dari sepasang suami istri di zaman itu, tidak mungkin diketahui secara kasat mata oleh orang lain termasuk Rasulullah SAW. Perilaku azl ini tidak dapat dikatagorikan bid`ah karena dilakukan di masa hidup Beliau SAW.
Klasifikasi yang kedua adalah perilaku para Sahabat RA yang dilakukan sepeninggal Rasulullah SAW. Maka apabila terjadi perilaku para shahabat dalam tahap ini, yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, atau tidak pernah dilakukan oleh siapapun semasa hidup beliau SAW, maka dapat dikatagorikan sebagai bid`ah dalam pengertian syara secara umum.
Sebaimana terjadi perilaku Sy. Umar bin Khatthab RA yang mengumpulkan umat Islam untuk melaksanakan shalat tarawih secara berjamaah selama bulan Ramdhan suntuk, yang mana perilaku ini tidak pernah dilaksanakan oleh Rasulullah SAW maupun di masa hidup Rasulullah SAW.
Dalam mengomentari shalat tarawih berjamaah itu sendiri, Sy Umar bin Khatthab berujar, ni`matil bid`atu haadzihi (paling nikmat/baiknya bid`ah adalah ini, atau shalat tarawih berjamaah)
Pembagian Bid`ah
Menurut para ulama Ahlus sunnah wal jamaah, bid`ah secara garis besar dibagi menjadi dua macam. Yaitu bid`ah hasanah (bid`ah yang baik) dan bid`ah dlalalah (bid`ah yang sesat).
Bid`ah Hasanah adalah seorang muslim melakukan suatu amalan keagamaan yang sebelumnya tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, atau tidak pernah dilakukan di masa Rasulullah SAW hidup, dan tidak bertentangan dengan nas sharih (doktrin yang jelas) baik dari Alquran maupun Hadits, serta membawa dampak positif bagi dirinya dan umat Islam pada umumnya. Perilaku yang demikian inilah yang dinamakan bid`ah hasanah. Perilaku ini juga bisa dinamakan sunnah atau dakbu bagi pelakunya, sebagaimana telah diuraikan di atas, dan pelakunya akan mendapatkan pahala dari amalannya, bahkan mendapatkan pahala seperti pahala para pengikut amalannya tersebut.
Sebagaimana perilaku Sy Umar bin Khatthab RA, di samping beliau mendapatkan pahala saat mengumpulkan ummat Islam untuk melaksanakan shalat tarawih berjamaah, juga memdapatkan kiriman pahala sebanyak pahala orang-orang yang melaksanakan shalat tarawih secara berjamaah hingga kelak.
Adapun contoh kekinian bid`ah hasanah yang terjadi adalah kasus shalat tahajjud dilaksanakan secara berjamaah yang diadakan di Masjid Haram Makkah, maupun di Masjid Nabawi Madinah pada setiap bulan Ramadlan. Perilaku keagamaan ini jelas tidak pernah dilaksanakan di masa hidup Rasulullah SAW, dan sudah ribuan orang yang telah ikut melaksanakannya dari tahun ke tahun, baik yang berasal dari kalangan warga Saudi Arabiah, maupun orang-orang yang datang dari berbagai negara untuk berumrah di bulan Ramadlan, sekaligus mengikuti shalat tarawih dan dilanjutkan dengan shalat tahajjud yang dilakukan secara berjamaah.
Bid`ah Dlalalah adalah seorang muslim melakukan suatu amalan keagamaan yang sebelumnya tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, atau tidak pernah dilakukan di masa Rasulullah SAW hidup, dan perilaku itu bertentangan dengan nas sharih (doktrin yang jelas) baik dari Alquran maupun Hadits. Sebagaimana bidah yang dilakukan oleh Kamal Attaturk tatkala menjadi penguasa Turki, dia memerintahkan penggantian adzan yang berbahasa Arab dengan adzan berbahasa Turki.
Atau bid`ah yang dilakukan oleh Lia Eden Aminuddin, seorang perempuan yang mengaku beragama Islam dan mengaku mendapat wahyu dari Allah, sebagaimana yang terjadi baru-baru ini di Jakarta. Yang jelas bahwa wahyu Allah telah terputus dengan kemangkatan Rasulullah SAW, dan Allah tidak menurunkan wahyu-Nya kepada seorang perempuan, karena Allah hanya mengutus para nabi dan rasul dari kalangan lelaki.
Adapun KH. Hasyim Asy`ari, secara khusus menukil dari perkataan Assyeikh Zaruuq, dengan membagi bid`ah menjadi tiga macam:
Pertama adalah bid`ah sharihah (jelas kesesatannya), yaitu perilaku keagamaan yang tidak ada dalil asli syar`i (doktrin Alquran atau Hadits), dan bertentangan dengan ketentuan hukum syara baik yang wajib, sunnah, maupun yang mubah (boleh), serta mematikan relevansi perilaku sunnah, atau bahkan bertentangan dengan perkara yang haq (benar).
Kedua adalah bid`ah idlafiyyah (nisbi) yaitu bid`ah yang dinisbatkan atau disandarkan kepada suatu amalan keagamaan, sekalipun bisa diterima namun masih terjadi perselisihan pendapat, apakah perilaku tersebut termasuk sunnah atau perkara biasa yang tidak termasuk dalam katagori bid`ah.
Ketiga adalah bid`ah khilafiyyah (selisih pendapat) yaitu perilaku yang berlandaskan dua dalil yang saling berselisih atau tarik menarik antara dua kubu yang berbeda pandangan, apakah perilaku tersebut dikatagorikan bid`ah yang sesat atau sunnah yang baik. (Risalah Ahlis Sunnah wal Jamaah, hal. 8)
KH. Hasyim Asy`ari juga menukil pendapat Assyeikh Muhammad Waliyuddin Assyabtsiri yang menerangkan Hadits Nabi SAW, Man ahdatsa hadatsan au aawa muhditsan fa`alaihi la`natullah (Barang siapa melakukan perilaku bid`ah dhalalah, atau mendatangi/menyertai pelaku bid`ah sesat, maka pasti Allah melaknatnya).
Termasuk dalam katagori bid`ah dlalalah sesuai dengan Hadits ini, adalah aqidah-aqidah serta aliran-aliran sesat yanmg marak berkembang di masyarakat, juga praktek hukum fiqih atas dasar kebodohan atau pemikiran sesat dan bertentangan dengan ajaran Islam.
Sedangkan masalah-masalah fiqih yang sifatnya ijtihadiyyah sekalipun tidak terdapat dalil-dalil kongkrit secara langsung selain dlannul mujtahid (dugaan kuat seorang mujtahid) tidak termasuk bid`ah dlalalah, sebagai misal adalah pembukuan mushaf Alquran; pendirian madzhab-madzhab; pencetusan ilmu-ilmu dasar seperti nahwu dan hisab (berhitung).
Karena itu pula Assyeikh Ibnu Abdis Salam membagi Alhawaadits (bid`ah) itu menjadi lima macam. Beliau mengatakan Bid`ah adalah perilaku keagamaan yang tidak pernah dilakukan di masa hidup Rasulullah SAW:
Pertama: Bid`ah yang hukumnya wajib, seperti belajar ilmu nahwu, gharaib (kata-kata asing) dari Alquran dan Hadits, sebagai kewajiban bagi mereka yang ingin mendalami ajaran syariat.
Kedua: Bid`ah yang hukumnya haram, seperti aliran Qadariyah (yang beranggapan bahwa setiap makhluq itu menciptakan perbuatannya sendiri), Jabariyah (yang menisbatkan semua perbuatan makhluq yang baik dan yang buruk kepada ketentuan Allah, semisal, Saya mencuri karena sudah ditakdirkan oleh Allah menjadi seorang pencuri, jadi saya tidak bersalah), Mujassimah (yang beranggapan bahwa Allah memiliki mata, tangan, raga, cara berjalan, dll, seperti milik kita).
Ketiga: Bid`ah yang hukumnya sunnah seperti pendirian pondok-pondok pesantren dan sekolah-sekolah, dan setiap kebaikan yang tidak terdapat di masa hidup Rasulullah SAW.
Keempat: Bid`ah yang hukumnya makruh seperti memberi hiasan masjid dan mushaf Alquran dengan gambar ornamen dan kaligrafi.
Kelima: Bid`ah yang hukumnya mubah (boleh), seperti berjabat tangan seusai shalat berjamaah, memperluas pengalaman memasak dan membuat bentuk makanan yang halal, atau minuman, atau pakaian, dan lain sebagainya. (Risalah Ahlis Sunnah wal Jamaah, hal. 8).
KH. Hasyim Asy`ari Gencar Memerangi Aliran dan Pemikiran Sesat
Ketegaran dan ketegasan KH. Hasyim Asy`ari dalam memerangi aliran sesat sangatlah kentara dan nyata. Hal ini terbukti dengan nukilan-nukilan beliau secra jeli dan tajam dari pendapat ulama-ulama salaf mengenai aqidah-aqidah yang dinyatakan sesat oleh para ulama salaf, semisal Qadariyah, Jabariyah, dan Mujassimah. Tentunya Beliau tidak sekedar menukil, tetapi mepunyai maksud-maksud tertentu dengan penukilannya itu.
Umumnya, seorang penulis dan pemikir sejati itu pasti memiliki target tertentu dalam karya tulisnya. Biasanya sangat berbeda antara seorang penerjemah atau pensyarah (pemberi keterangan) terhadap sebuah kitab, yang umumnya secara darar saja dalam menelorkan terjemahannya itu, sedangkan bagi seorang penulis yang sekaligus sebagai pemikir, akan memilih nukilan-nukilan tertentu dari pendapat orang lain, disesuaikan dengan kondisi yang sedang dihadapinya. Demikian inilah yang dilakukan oleh KH. Hasyim Asy`ari dalam penukilan pendapat para ulam salaf.
Karena KH. Hasyim Asy`ari, adalah seoran penulis yang pemikir, maka setiap apa yang keluar dari tangan beliau yang berupa karya tulis, teks pidato, surat-menyurat, dan lain sebagainya merupakan gambaran dari sikap tegas dan lugas beliau.
Sebagai gambaran kongkrit, apa yang beliau sampaikan dalam muqaddimah Qanun Asasi Jam`iyyah Nahdlatul Ulama, mengenai larangan beliau terhadap warganya agar tidah terpengaruh apalagi mengikuti aliran Syi`ah Zaidiyad. Padahal Syiah Zaidiyah tergolong aliran yang relatif ringan kesalahannya, yaitu mereka berkeyakinan bahwa Sy. Ali bin Abi Thalib lebih afdlal dari pada Sy. Abu Bakar dan Sy. Umar bin Khatthab RA.
Tentunya KH. Hasyim Asy`ari juga akan gencar memerangi aliran Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah yang kini dikembangkan di Indonesia, yaitu ajaran Syiah yang diadopsi dari Negara Iran, dan salah satu ajarannya itu adalah mencaci-maki, melaknat hingga mengkafirkan Sy. Abu Bakar dan Sy. Umar bin Khatthab.
KH. Hasyim Asy`ari bukan sekedar memerangi aliran dan pemikiran sesat, bahkan perilaku sesatpun tidak luput dari perhatian beliau. Sebagaimana yang dilontarkan beliau, Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh sebagian orang memungut secara liar harta orang lain di pasar-pasar malam, atau permainan kartu remi atau yang semisalnya, adalah sejelek-jelek bid`ah. (Risalah Ahlis Sunnah wal jamaah, hal. 8).
Umat Islam bisa membayangkan, bagaimana sekira KH. Hasyim Asy`ari hidup di zaman sekarang, dengan banyaknya aliran sesat, pemikiran liberal, penerapan hukum yang keluar dari syariat, pemutarbalikan dalil-dalil agama, dan lain sebagainya yang sangat subur berkembang bak jamur di musim hujan. Bahkan keadaan ini lebih sering terjadi di kalangan warga NU, sebuah organisasi yang didirikan oleh beliau sendiri.
Coba tengok, seorang tokoh yang menjabat sebagai fungsionaris PBNU, dengan gegabah melontarkan pemikiran nyeleneh-nya tentang pelaksanaan ibadah haji, yang menurutnya bahwa wuquf di Arafah tidak harus terfokus pada tanggal 9 Dzulhijjah, sehingga melempar Jumrah di Mina pun bisa dilaksanakan selain tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah, demi menghindari berdesak-desakannya jamaah haji, dengan harapan bisa meminimalisir korban kematian. Menurutnya, bahwa pelaksanaan ibadah haji baik wuquf di Arafah maupun amalan haji lainnya, bisa dilaksanakan mulai bulan Syawwal hingga Dzulhijjah, dengan dalil firman Allah, Alhajju asyhurun ma`luumat (haji itu dilaksanakan pada bulan-bulan yang dimaklumi). Tentunya dengan asumsi bahwa jamaah haji yang ingin wuquf di Arafah misalnya pada akhir bulan Syawwal dipersilahkan, sekalipun di padang arafah hanya sendirian tanpa ada jamaah haji lainnya, yang justru akan membahayakan jiwanya.
Pendapat ini jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam yang berkenaan dengan hukum manasik haji, sebagaimana yang telah diamalkankan oleh Rasulullah SAW, para shahabat, para ulama salaf, dan segenap ummat Islam, termasuk oleh KH. Hasyim Asy`ari sendiri.
Alangkah sesatnya pemikiran fungsionaris PBNU ini. Padahal pemikiran sesat yang demikian inilah menurut KH. Hasyim Asy`ari sebagai perilaku bid`ah dlalalah, yang harus diperangi dan dihindari oleh umat Islam khususnya warga NU. Sebab pelaku bid`ah dlalalah dan para pendukungnya, adalah dilaknat oleh Allah SWT, sebagaimana yang dikutip oleh beliau dari sabda Rasulullah SAW.
Banyak terjadi saat ini, perilaku dan pemikiran sesat terlontar dari publik figur yang dikenal masyarakat sebagai tokoh-tokoh NU, bahkan tak jarang membawa dampak negatif bagi warga NU sendiri. Terlebih warga NU itu dikenal memiliki fanatisme yang terkadang berlebihan terhadap pemimpin spiritualnya.
Beberapa contoh perilaku atau pendapat sebagian tokoh NU yang tergolong Bid`ah Dhalalah dan tidak sesuai dengan keyakinan KH. Hasyim Asy`ari :
Sebuah wawancara yang pernah dirilis dalam situs Islam Liberal:
JIL: Gus, ada yang bilang kalau kelompok-kelompok penentang RUU APP ini bukan kelompok Islam, karena katanya kelompok ini memiliki kitab suci yang porno?
GUS: Sebaliknya menurut saya. Kitab suci yang paling porno di dunia adalah Alqur`an, ha-ha-ha.. (tertawa terkekeh-kekeh).
JIL: Maksudnya?
GUS: Loh, jelas kelihatan sekali. Di Alqur`an itu ada ayat tentang menyusui anak dua tahun berturut-turut. Cari dalam Injil kalau ada ayat seperti itu. Namanya menyusui, ya mengeluarkan tetek kan?! Cabul dong ini. Banyaklah contoh lain, ha-ha-ha!
Pernyatan
Gus di atas ini jelas-jelas termasuk pelecehan dan penodaan terhadap agama Islam, dan sangat bertentangan dengan keyakinan serta akhlaq KH. Hasyim Asy`ari sebagai pendiri NU.
Buku TASAWUF SEBAGAI KRITIK SOSIAL karangan Said Aqil Siroj, tebitan Mizan, September 2006. Pada judul KEBHINNEKAAN DAN PLURALISME bab 13:
Pengarang mengatakan: Meski berasal dari bahasa Sansekerta yang dikatakan identik dengan ajaran Hindu/Budha, sebetulnya semboyan Bhinneka Tunggal Ika sangat relevan pula dengan ajaran-ajaran agama besar sesudahnya. Dalam agama Islam misalnya, secara tegas Allah berfirman (artinya): Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. Al-Hujurat 13).
Pengarang melanjutkan: Selanjutnya kemajmukan manusia tersebut dipungkasi pula dengan ayat yang sama, `Sesungguhnya orang yan paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang bertaqwa di antara kamu (paling taat dan patuh kepada-Nya)`. Esensi firman Tuhan tersebut berlaku bagi semua agama di dunia, terutama agama monoteis (Yahudi, Kristen, dan Islam). Kristen Protestan, Katolik, Islam, Hindu, Budha Konghucu, ataupun agama-agama lainnya, HAKIKATNYA SAMA, yakni mengakui adanya Zat yang menciptakan dunia dan isinya. Zat inilah yang wajib disembah dan ditaati oleh semua orang tanpa pandang bulu sehingga kualitas ketaatan seorang manusia berada di atas ras, golongan, status sosial, warna kulit, serta perbedaan-perbedaan lahiriah lainnya. (halaman 279-280).
Ini adalah bentuk sinkretisme (pencampuradukan agama-agama) yang dilakukan oleh pengarangnya, bahkan termasuk bentuk upaya pengarangnya dalam menyamaratakan semua agama yang ada di dunia, dan perilaku ini jelas-jelas tergolong Bidah Dhalalah.
Bagaimana Teknis Pelaksanaan Doa Bersama Lintas Agama, Tgl 16 September 2012.
Terutama bagi partai-partai politik, dari uraian diatas disimpulkan ada 4 momentum peristiwa politik di bulan September , yakni tanggal 1 September di Surakarta, 7 September di Jakarta , 20 September di Jakarta dan 30 September di Jakarta. Seluruh momentum politik tersebut mempunyai hubungan langsung dengan Kepentingan Nasional kita , dipilihnya tanggal 16 September 2012 , karena hari tersebut adalah hari Minggu , dan berada di tengah bulan September 2012, secara politik ideologi negara kita Pancasila adalah ideologi tengah dan dari sudut geopolitik, letak negara kita yang terdiri dari berbagai suku bangsa, pulau pulau dan diikat oleh lautan juga berada ditengah .oleh karenanya pemilihan waktu juga menentukan yakni Hari Minggu 16 September jam 12.05 serentak di Jakarta dan Surakarta.
Kapan kita mulai berdoa , untuk memulainya bisa kapan saja dan dimana saja karena berdoa merupakan kewajiban bagi setiap dari kita kepada Sang Pencipta , akan tetapi untuk memantapkan pemahaman kita kepada Pancasila sebagai dasar negara , khusus tanggal 16 September 2012 , kita serentak berdoa memohon kepada ALLOH swt/ Tuhan YME agar kita mendapatkan pemimpin negara diperbagai tingkatan Presiden/ Wakil Presiden , Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/ Wakil Bupati, Walikota/ Wakil Walikota yang memegang teguh Sumpah/ Janji Jabatannya selama 5 ( lima ) tahun tanpa cacat.
Apabila Doa Bersama Lintas Agama ini, ingin dilaksanakan secara massal dalam suatu gedung misal nya maka hal ini dapat ditanyakan pada ahlinya, sepengetahuan kami hal seperti ini biasa dilakukan oleh Nahdatul Ulama.
Jakarta Minggu 9 September 2012
Ketua
BAGUS SATRIYANTO
Ketua Umum Forum Renovasi Indonesia/FRI,
Kader Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia/PNBK I
Pernyataan Bagus Sastriyanto sebagai orang awwam agama, adalah sebagai bukti banyaknya oknum tokoh NU yang ikut aktif menghadiri acara Doa Bersama Lintas Agama. Di sisi lain, bahwa hukum Doa Bersama Lintas Agama menurut Forum Bahtsul Masail al-Diniyah al-Waqiiyyah Muktamar NU di PP Lirboyo Kediri, 21-27 November 1999, menyatakan, bahwa Doa Bersama Antar Umat Beragama hukumnya HARAM.
Di antara dalil yang mendasarinya: Kitab Mughnil Muhtaj, Juz I hal. 232: Wa laa yajuuzu an-yuammina alaa duaa-ihim kamaa qaalahu ar-Rauyani li-anna duaal kaafiri ghairul maqbuuli. (Lebih jauh, lihat: Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam: Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004), penerbit: Lajtah Talif wan-Nasyr, NU Jatim, cet.ke-3, 2007, hal. 532-534).
Mengundang Tarian Barongsai sebagai selingan di antara kegiatan sebagian warga NU, yang marak dilakukan dewasa ini, juga termasuk bid`ah dhalalah yang sering dilanggar oleh tokoh-tokoh NU.
Sebagai contoh, pada tahun 1432 H/2011 M, penulis diundang ceramah Maulid Nabi SAW di wilayah Sumenep Madura. Sejatinya panitia meminta agar penulis mengupas bahaya Syiah bagi aqidah umat Islam.
Namun, di saat penulis memasuki wilayah pengajian umum yang diadakan di tengah lapangan, ternyata acara itu dimulai dengan pertunjukan Barongsai sebagai pra acara, maka dalam materi pengajian pun penulis mengupas haramnya mengadopsi Tarian Ritual Barongsai yang menjadi ciri khas Ritual kaum Khong hu cu non muslim, dan perilaku ini termasuk bid`ah dhalalah yang wajib dijauhi olel umat Islam, sekaligus mengupas bahaya Syiah bagi umat islam sesuai harapan panitia.
Keadaan Umat Islam di Tanah Air
Menurut pandangan KH. Hasyim Asy`ari, umat Islam Tanah Air di masa lampau adalah mempunyai kesamaan aqidah dan kesamaan dalam memahami dan menjalankan syariat Islam. Mereka mempelajari Islam dari dari sumber yang sama. Semuanya berhukum fiqih menganut madzhab Imam Syafi`i, dan beraqidah tauhid mengikuti madzhab Imam Abu Hasan Al-asy`ari, sedangkan berakhlaq tashawwuf berkiblat kepada Imam Ghazali dan Imam Abu Hasan As-syadzili. Kemudian semenjak tahun 1330 H mulai berkembang bermacam-macam kelompok golongan, pemikiran-pemikiran yang kontradiksi, tokoh-tokoh agama yang saling berebut pengaruh, dan lain sebagainya.
Namun di antara mereka, masih ada kalangan umat Islam yang selalu memegang teguh ajaran ulama salaf, dengan mengamalkan kitab-kitab yang mu`tabarah (diakui keabsahannya oleh salaf) secara periodik dari masa ke masa, dengan menghormati dan mencintai Ahlil bait keluarga Nabi SAW (secara arif), menghormati para shahabat, serta menghormati para wali kekasih Allah (semisal Walisongo), para ulama, dan orang-orang shaleh, serta berziarah mau ke makam Rasulullah SAW saat melaksanakan ibadah haji, dengan tujuan mendapatkan syafa`at beliau SAW kelak di akhirat nanti, karena mereka melaksanakan hadits: man zaara qabri wajabat syafaa`ati (Barangsiapa berziarah kemakam/kuburanku, maka kelak akan mendapatkan syafa`atku) (Risalah Ahlis Sunnah wal Jamaah, hal. 9).
Dari banyaknya golongan yang berkembang saat itu, ada sekelompok orang yang mengingkari aqidah Asy`ariyah serta keyakinan ummat Islam Indonesia yang diyakini kebenarannya sejak masa pertama kali Islam diperkenalkan di bumi persada Nusantara.
Ada pula golongan yang selalu mencacimaki para Sahabat Nabi khususnya Sy. Abu Bakar, Sy. Umar bin Khatthab, St. Aisyah dan St. Hafshah RA. Golongan ini tiada lain adalah kaum Rafidhah yang dikenal juga dengan Syi`ah Imamiyah Itsna Asyariyah.
Mereka ini mengaku sebagai pecinta Sy. Ali bin Abi Thalib RA dan keturunannya, namun kecintaan mereka terlalu berlebihan. Untuk menerangkan kesesatan kaum Rafidlah, KH. Hasyim Asy`ari menukil pendapat Assayyid Muhammad pengarang kitab Syarhul Qamuus sebagai berikut: Sebagian penganut Syi`ah ada yang tingkat kesesatannya sampai pada batas kekafiran.
Dalam kitab Assyifa karangan Alqaadi Iyaadl, terdapat hadits yang diriwayatkan dari shahabat Abdullah bin Mughaffal RA mengatakan, Rasulullah SAW telah bersabda, Takutlah kalian kepada Allah, takutlah kalian kepada Allah, (saat menyikapi) para shahabatku, janganlah mereka ini kalian jadikan sasaran cacimakian sesudah aku tiada, barang siapa mencintai mereka, maka dengan kasih sayangku aku menyintainya, dan barang siapa membenci mereka, maka dengan kemarahanku aku membencinya, barang siapa mengusik mereka, sama halnya ia telah menyakitiku, dan barang siapa yang menyakitiku, maka sungguh ia telah menentang Allah, dan barang siapa yang menentang Allah, pasti Allah akan menyiksanya.
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah SAW bersabda, Jangan kalian mencacimaki para shahabatku, maka barang siapa mencacimaki para shahabatku, pasti Allah, para malaikat, dan seluruh umat Islam akan melaknatnya, dan Allah tidak akan menerima amalan ibadahnya serta persaksiannya. Beliau SAW juga bersabda, Jangan kalian memcacimaki para shahabatku, sesungguhnya akan datang pada akhir zaman, suatu kaum yang selalu mencacimaki para shahabatku, maka janganlah kalian menjalin silaturrahim dengan mereka, janganlah kalian shalat dengan mereka, janganlah kalian menikahkan (dan menghadiri pernikahan) mereka, janganlah kalian bergaul dengan mereka. Apabila mereka sakit, jangan kalian menengoknya. Rasulullah SAW bersabda, Barang siapa mencacimaki para shahabatku, maka pukullah dia.Rasulullah SAW telah memberitahukan kepada umat Islam bahwa cacimakian yang ditujukan kepada para shahabat, sangatlah menyakitkan Belaiu SAW, dan perilaku yang menyakitkan Nabi SAW hukumnya haram.
Rasulullah SAW bersabda, Jangan kalian menggangguku dengan (mencacimaki) para shahabatku, barang siapa mengganggu mereka sungguh ia telah menyakitkanku. Beliau SAW bersabda, Jangan kalian menggangguku dengan menyakiti Aisyah. Beliau SAW juga bersabda mengenai putri Beliau, St, Fathimah RA: (Fathimah) adalah darah dagingku, dengan mengganggunya sama halnya dengan menyakitiku. (Risalah Ahlis Sunnah wal Jamaah, hal. 11)
Betapa tegasnya KH. Hasyim Asy`ari dalam menukil Hadits Nabawi, yang dengan terang-terangan memilih tema-tema khusus, untuk memerangi aliran sesat yang berkembang di dunia Islam saat itu. Sangat jauh perbedaan antara cara pandang KH. Hasyim Asy`ari sebagai pendiri dan sekaligus pemimpin tertinggi NU kala itu, dengan sikap sebagian tokoh-tokoh NU dewasa ini.
Sebagai ilustrasi nyata adalah saat menyikapi golongan Rafidlah atau aliran sesat Syiah (Iran), sebagian tokoh-tokoh NU ada yang terang-terangan menyatakan bahwa, NU adalah Syi`ah kultural, disertai pujian terhadap Khomaeni pemimpin tertinggi Syi`ah Imamiyyah, bahkan ada yang menganggapan Khomeini sebagai wali terbesar abad ini.
Padahal dalam ajaran aqidah Syi`ah Imamiyah itu penuh dengan pencacimakian terhadap para shahabat Nabi RA. Belum lagi pengingkaran mereka terhadap keaslian dan kemurnian Alquran mushaf Utsmani milik umat Islam. Pengingkaran tersebut termaktub dalam kitab rujukan utama mereka Al-kaafi karangan Alkulaini, salah seorang tokoh Syi`ah Imamiyyah.
Jelas sekali bagi umat Islam khususnya warga NU, bahwa pandangan KH. Hasyim Asy`ari saling bertolak belakang, bahkan praktis sangat bertentangan dengan pandangan tokoh-tokoh NU yang mengklaim NU adalah Syi`ah kultural. Dengan demikian pandangan nyeleneh ini tiada lain adalah perilaku bid`ah dlalalah yang dilaknat oleh Allah, para malaikat, dan seluruh umat Islam.
KH. Hasyim Asy`ari juga menyoroti kesesatan golongan Abahiyun, yaitu kelompok yang berpendapat, bahwa orang yang sudah mencapai pada ketinggian derajat cinta dan kedekatannya kepada Allah, serta memiliki kebersihan hati yang tidak pernah melupakan Allah dalam dirinya, maka ia tidak berkewajiban melaksanakan syariat fiqhiyah semisal shalat dan zakat. Apabila ia melakukan dosa besarpun tidak akan masuk neraka. Adapun cara ibadah mereka cukup hanya dengan ingat kepada Allah (Risalah Ahlis Sunnah wal Jamaah hal. 11).
Dewasa ini, golongan Abahiyun sering disebut dengan Aliran Kebathinan, yang mana cara beribadahnya cukup dengan eling (ingat) kepada Allah, tanpa disertai shalat, zakat, puasa, dan lain sebagainya. Golongan ini juga banyak macamnya serta mempunyai dalih yang berbeda-beda, namun tujuannya hanya satu, yaitu penafian terhadap pelaksanaan syari`at Islam yang bersifat fisik, mereka menganggap hukumnya tidak wajib, karena merasa telah sampai pada batas derajat yang tertinggi, dan menganggap Allah telah menyatu dalam dirinya.
Di antara latar belakang mereka terjerumus mengikuti aliran semacam ini, seringkali dimulai dari penyalahgunaan kedudukan atau kehormatan yang mereka dapatkan dari masyarakat, disertai ketidakmengertian terhadap agama dengan baik dan benar.
Golongan ini sangat berbahaya karena yang terlibat seringkali justru dari kalangan keluarga terhormat. Adapun dampak negatif bagi umat Islam adalah adanya pengikut-pengikut dari kalangan awam yang terseret hanya dilatarbelakangi oleh fanatisme semata.
Umat Islam seharusnya jeli, di dalam masalah ini, bagaimana tidak, Rasulullah SAW sebagai makhluq yang paling sempurna diciptakan oleh Allah, dan diberi derajat yang paling tinggi dibandingkan makhluq lainnya, termasuk lebih mulia dari pada malaikat sekalipun. Namun Rasulullah SAW masih melaksanakan kewajiban shalat lima waktu, puasa pada bulan Ramadlan, serta ibadah-ibadah fisik lainnya.
Bahkan di kalangan para shahabat pun sebagai generasi muslim yang paling utama, tidak ada seorangpun di antara mereka yang merasa telah terbebas dari kewajiban-kewajiban ibadah yang bersifat fisik. Allah pun pasti tidak akan mengangkat seseorang untuk dijadikan kekasih-Nya dari kalangan mereka yang dengan sengaja meninggalkan syariat yang telah diwajibkan oleh Allah kepada hamba-Nya.
Innallaha laa yakmurukum bis suu`i wal fakhsyaai wal mungkari wal baghi (sesungguhnya Allah tidak akan pernah memerintah kalian untuk melakukan keburukan dosa, kejelekan, kemungkaran, dan kejahatan) padahal meninggalkan perintah wajib itu adalah kejahatan dosa dan kemungkaran yang sangat jelek.
Menurut Syeikh Abu Amr bin Al`alak sebagaimana yang dikutip oleh KH. Hasyim Asy`ari, kebanyakan pengikut Abahiyun yang terjadi di Iraq, disebabkan minimnya pengetahuan mengenai bahasa Arab secara baik dan benar, sehingga memahami agama ini secara asal-asalan dan disesuaikan dengan keinginan dan kepentingan mereka. Adapun keyakinan bahwa Allah telah menyatu pada diri mereka, adalah telah masuk dalam wilayah kekafiran. (Risalah Ahlis Sunnah wal Jamaah, hal 11)
Pada prinsipnya, apa yang terjadi di Iraq sebagaimana yang dikatakan oleh Syeikh Amr bin Al`alak, tidak jauh berbeda dengan keadaan awam dari kalangan umat Islam, termasuk di Indonesia. Kebanyakan dari para pengikut aliran-aliran baru yang berkembang dewasa ini, tiada lain karena minimnya pemahaman bahasa Arab. Sebagai ilustrasi adalah kasus penggagas shalat dwi bahasa, Yusman Roy, yang mana sesuai dengan pengakuannya sendiri bahwa dia sangat minim dalam memahami bahasa Arab.
Hanya masalahnya, dia tidak mau memperbaiki kekurangan tersebut, misalnya dengan belajar kepada sumber yang semestinya dari kalangan ulama, namun justru dia berupaya mereka-reka ajaran agama dengan keterbatasan ilmu yang dia miliki. Sehingga apa yang dia cetuskan menjadi sangat kontradiksi dengan ajaran syariat yang semestinya.
Peristiwa salah persepsi juga sering kali muncul di tengah masyarakat, khususnya di kalangan warga NU, jika mereka menemukan seorang tokoh agama yang terhormat di kalangan masyarakat, atau menemukan ada keluarga dari seorang tokoh agama, lantas melakukan sesuatu perilaku yang dianggap nyeleneh dan tidak semestinya, maka seringkali dengan serta merta dianggap sebagai wali kekasih Allah, yang harus diikuti dan disanjung. Bahkan segala bentuk perilakunya yang menyimpang itu dianggap sebagai bukti kewaliannya, sekalipun bertentangan dengan syariat, atau penyimpangannya itu sampai pada batas kefasikan hingga taraf kekafiran, tetap saja dinilai positif, bahkan di asumsikan barang siapa berani menentangnya dianggap akan menuai kuwalat (celaka).
Hal tersebut karena masyarakat awam masih melihat faktor lingkungan atau keturunan. Padahal semestinya umat Islam harus mengerti dengan seksama, bahwa Allah SWT, tidak akan mengangkat seseorang menjadi wali kekasih-Nya dari kalangan orang-orang bodoh, terutama terhadap ajaran Islam.
Sehingga sekira Allah mengangat seseorang untuk dijadikan wali kekasih-Nya, pasti Allah akan memberinya ilmu agama yang memadai, serta menjaganya dari perbuatan yang bertentangan dengan syariat-Nya.
Adapun peristiwa-peristiwa yang terjadi di kalangan para wali kekasih Allah semisal keadaan majdzuub (tidak ingat kehidupan dunia) atau masluubul aql, (akal duniawinya dicabut oleh Allah), hal tersebut boleh saja terjadi jika Allah menghendaki. Andaikata umat Islam menemukan peristiwa semacam itu terjadi pada seseorang, maka umat Islam tidak boleh menjadikan yang bersangkutan sebagai qudwah (pemimpin atau panutan) dalam melaksanakan ajaran Islam, baik dalam kehidupan sehari-hari, bermasyarakat dan bernegara.
Cukuplah umat Islam menghormati para wali kekasih Allah yang mendapatkan maqam (derajat) khusus dari Allah semacam itu, termasuk menghormati kehidupan mereka sesuai dengan ketentuan Allah. Karena Allah memberi derajat kepada setiap orang itu sangat bervariatif, termasuk memberi derajat dan keadaan khusus kepada kalangan tertentu, yang Allah sendiri tidak memberi pilihan kepada kalangan ini selain menjalani kehidupannya dengan hati dan perasaan selalu bersama Allah, alias tidak merasa butuh menjalani kehidupan dan kenikmatan dunia, sebagaimana layaknya manusia normal pada umumnya.
Keadaan semacam itu tidak bisa dicari-cari oleh siapapun, melainkan pemberian murni dari Allah kepada orang-orang yang dikehendak. Sebagaimana Allah memberikan maqam (derajat) kenabian kepada seseorang, bukanlah lantaran pilihan dari yang bersangkutan, melainkan pemberian dari Allah secara langsung. Maka Allah juga tidak membuka peluang bagi umat manusia untuk memilih menjadi nabi, atau wali kekasih Allah, dengan cara mencari-cari atau berupaya dari dirinya sendiri.
Sekalipun demikian Allah tetap membuka peluang bagi mereka yang ingin menjadi hamba-Nya yang terhormat dan ingin selalu dekat dengan-Nya, dengan cara mendalami serta mengamalkan ilmu syariat agama yang telah diturunkan-Nya, dengan menjadi ulama-ulama yang benar-benar mengamalkan ilmu yang dikuasainya, terutama bagi mereka yang selalu berinovasi dalam mengembangkan kedalaman ilmunya, yarfaillahu ladziina aamanu walladziina uutul ilma darajaat (Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang mencari ilmu).
Untuk mendapatkan maqam yang tinggi, Allah juga membuka peluang bagi hamba-Nya yang selalu beramal shaleh, dengan berupaya menjalankan seluruh kewajiban bersyariat dan meninggqalkan semua larangannya, serta selalu mendekatkan diri kepada Allah.
Yaitu mereka yang tidak hanyut oleh manisnya tipu daya kehidupan dunia, sekalipun mereka ini tetap menggelutinya. Yaitu orang-orang yang mampu membedakan mana yang halal dan yang haram, yang boleh dan yang tidak, yang maslahat dan yang bahaya, yang baik dan yang buruk, yang haq dan yang bathil, demikianlah seterusnya.
Al-imam Alqadli Iyyadh Alyahsubi, seperti yang dinukil oleh KH. Hasyim Asyari, mengatakan dalam kitabnya, Assyifa, Sesungguhnya semua pendapat yang terang-terangan menafikan ketuhanan Allah, atau kemahaesaan-Nya, atau penyembahan kepada selain Allah, atau menyekutukan Allah, maka hukumnya adalah kafir. Seperti ucapan orang-orang Atheis/Komunis, Nasrani, Majusi, dan kaum Paganis penyembah berhala, penyembah malaikat, penyembah setan, matahari, bintang, api, atau lainnya, demikian juga pelaku pemahaman manunggaling kawulo gusti (menyatu dengan Allah).
Untuk itulah KH. Hasyim Asy`ari menegaskan bahaya kemunculan kelompok Abahiyun, yakni golongan yang mempebolehkan dirinya melakukan apa saja yang disukai dengan keyakinan, bahwa sesungguhnya seorang hamba, ketika ia telah sampai kepada puncak rasa cintanya kepada Allah, dan hatinya telah suci dan terbersihkan dari sifat lupa, dan telah memilih iman dari pada kufur, maka gugurlah ia dari tuntutan perintah (syariat) Allah dan terbebas dari larangan-Nya, bahkan Allah tidak akan memasukkan dirinya ke dalam neraka sekalipun ia melakukan dosa-dosa besar.
Sebagian mereka meyakini: Bagi seorang hamba yang telah sampai pada puncak posisi mahabbah (cinta kepada Allah), maka telah gugur dari kewajiban melaksanakan ibadah-ibadah dhahir seperti shalat, zakat, puasa dan haji, maka sebagai gantinya cukuplah bertafakkur kepada Allah dan memperbaiki akhlaq bathiniahnya saja.
Syayid Muhammad di dalam syarah ihya nya berkata : Pernyataan ini adalah kufur zindik dan kesesatan, tetapi golongan Abahiyun ini memang sudah ada sejak zaman dulu, penganutnya adalah orang-orang bodoh dan sesat, mereka tidak memiliki pemimpin yang mengerti tentang ilmu syari`at sebaagimana layaknya. (Risalah Ahlis Sunnah wal jamaah, hal.12)
Belum lagi bahaya munculnya aliran Tanasukhil arwah (Reinkarnasi), yaitu kelompok yang mengaku sebagai titisan ruh-ruh yang selalu berpindah untuk selama-lamanya dari satu jasad seseorang ke jasad yang lain baik sejenis maupun berlainan jenis. Mereka menyangka bahwa siksaan dan kenikmatan yang dirasakan oleh arwah tersebut didasarkan atas pertimbangan bersih dan kotornya arwah tersebut. (Risalah Ahlis Sunnah wal Jamaah, hal. 12)
Reinkarnasi dari bahasa Latin artinya "lahir kembali" atau "kelahiran semula atau titis, hal ini merujuk kepada kepercayaan bahwa seseorang itu akan mati dan dilahirkan kembali dalam bentuk kehidupan lain. Yang dilahirkan itu bukanlah wujud fisik sebagaimana keberadaan kita saat ini. Yang lahir kembali itu adalah jiwa orang tersebut yang kemudian mengambil wujud tertentu sesuai dengan hasil pebuatannya terdahulu.
Dalam aliran reinkarnasi, terdapat diua keyakinan yaitu:
Pertama: Mereka yang mempercayai bahwa manusia akan terus menerus lahir kembali.
Kedua: Mereka yang mempercayai bahwa manusia akan berhenti lahir semula pada suatu ketika, apabila mereka melakukan kebaikan yang mencukupi atau apabila mendapat kesadaran agung (Nirvana) atau menyatu dengan Tuhan (Moksha). Agama Hindu menganut aliran yang kedua in.
Kelahiran kembali diyakini adalah suatu proses penerusan kelahiran di kehidupan sebelumnya. Dalam agama Hindu dan Buddha, filsafat reinkarnasi mengajarkan manusia untuk sadar terhadap kebahagiaan yang sebenarnya dan bertanggung jawab terhadap nasib yang sedang diterimanya. Selama manusia terikat pada siklus reinkarnasi, maka hidupnya tidak luput dari duka. Selama jiwa terikat pada hasil perbuatan yang buruk, maka ia akan bereinkarnasi menjadi orang yang selalu duka. Dalam filsafat Hindu dan Buddha, proses reinkarnasi memberi manusia kesempatan untuk menikmati kebahagiaan yang tertinggi. Hal tersebut terjadi apabila manusia tidak terpengaruh oleh kenikmatan maupun kesengsaraan duniawi sehingga tidak pernah merasakan duka, apabila mereka mengerti arti hidup yang sebenarnya.
Imam al-Syihab al-Khafaji dalam mensyarahi kitab Al-Syifa berkata : Sungguh para ulama ahli syariat telah menghukumi kafirnya penganut reinkarnasi, karena dalam menyampaikan pendapat-pendapatnya banyak melakukan pembohongan terhadap Allah SWT, Rasulullah SAW, dan kitab suci-Nya.
Ada lagi di jaman sekarang golongan yang menganut ajaran Hulul dan Ittihad (Manunggaling Kawulo Gusti), alias menyatu dengan Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang menjalankan tasawufnya dengan kebodohan, mereka berkeyakinan bahwa Allah SWT adalah wujud yang mutlak. Maksudnya, segala sesuatu yang selain dari Allah tidak memiliki sifat Al-Wujud sama sekali, sehingga bila dikatakan Al-Insanu Maujudun (manusia itu ada) maka makna yang dikehendaki adalah bahwa manusia itu memiliki hubungan dengan Alwujudl Mutlaq yakni Allah Ta`ala.
Al-allamah Al-amir di dalam kitab Hasyiyah karangan Imam Abdi al-Salam, berkata: Ucapan dengan pemahaman seperti di atas, adalah jelas-jelas kufur (kafir), karena hulul dan ittihad itu tidak mungkin terjadi.
Bila terdengar dari pembesar para wali pernyataan seperti itu maka harus dita`wili dengan arti yang sesuai dengan kondisi dan derajat kewalian mereka. Seperti ucapan dari sebagian para wali: Maa fil jubbati illallah (Tidak ada di dalam jubah ini kecuali Allah ), maka yang dimaksud adalah: Apa saja yang ada di dalam jubah, bahkan apapun yang ada di alam semista ini, tidaklah terwujudkan kecuali atas kehendak Allah. (Risalah Ahlis Sunnah wal Jamaah, hal. 12)
Untuk memperkuat argumentasi ini, KH. Hasyim Asy`ari menukil pendapat Syeikh Muhammad Assafarini yang mengatakan di dalam kitab Lawaaihul Anwar: Sebagian dari tanda sempurnanya kema`rifatan adalah kemampuan seorang hamba untuk menyaksikan Tuhannya.
Setiap Arif (orang yang ahli ma`rifat) selama ia masih menafikan pengetahuan atas Tuhannya pada setiap waktu, maka bukanlah dinamakan sebagai Arif, tetapi hanya disebut sebagai Shahibul haal (tidak sadar secara dhahir), dimana Syuhudihi Rabbahu, (penyaksiannya terhadap realitas tuhannya) hanya terjadi pada waktu-waktu tertentu saja. Nah, keberadaan Shahibul haal ini sama dengan orang yang sedang mabuk, dimana pengetahuan spiritualnya beluml cukup mengukuhkan dirinya sebagai seorang Arif.
Jadi jelaslah, bahwa apa yang dimaksud dengan Wihdatul wujud dan Ittihad dalam madzhab tasawuf, bukan hanya sekedar menggunakan pemahaman dhahir saja, atau atas dasar persangkaan belaka. Karena pernyataan secara dhahi semacam itu menyerupai pernyataan para penyembah berhala yang mengatakan: Kita tidak menyembah berhala ini kecuali hanya sebagai perantara agar kita dapat mendekatkan diri kepada Dzat Allah..! Bagaimana mungkin pelaku Wihdatul Wujud semacam ini dianggap sebagai orang-orang yang ma`rifat (Arifin)?
Padahal makna yang subtansial dari ittihad itu sendiri adalah sebagaimana dikatakan oleh seorang Arif : wa ilmuka anna kulla amrin amri (Pengetahuan kalian atas segala sesuatu adalah urusan saya), seperti inilah makna yang sesungguhnya dinamakan sebagai Al-ittihad.
Jadi jelaslah bahwa setiap umat Islam memiliki kemampuan dan kesempatan untuk meraih maqam/derajat ini walaupun pada tingkat yang berbeda-beda. (Risalah Ahlis Sunnah wal Jamaah, hal. 12)
KH. Hasyim Asy`ari melanjutkan pernyataannya secara jelas sebagai berikut: Sengaja saya membahas secara panjang lebar terhadap sekte/golongan ini, karena saya menyaksikan bahwa golongan inilah yang sesungguhnya paling membahayakan terhadap kaum muslimin dibandingkan bahaya yang dimunculkan oleh kaum kafir dan para ahli bid`ah lainnya. Karena mayoritas orang Islam akan mengagungkan golongan ini dan begitu antusiasnya kalangan awwam mendengarkan fatwa-fatwanya, padahal dengan ketidak mengertiannya terhadap uslub-uslub atau gramatika bahasa Arab.
Jadi untuk diperhatikan bahwa Imam Asmu`i meriwayatkan sebuah hadits dari Imam Khalil dari Abi Amrin bin Ala, beliau berkata: Kebanyakan orang yang kafir zindik dari penduduk Irak adalah disebabkan oleh ketidakmengertian mereka terhadap literatur Arab, mayoritas dari mereka menjadi kufur karena keyakinan mereka yang salah terhadap pemahaman Hulul dan Ittihad. (Risalah Ahlis Sunnah wal Jamaah, hal. 13)
KH. Hasyim Asy`ari menukil perkataan Alqadli Iyadh Alyahshubi di dalam kitabnya Assyifa: Sesungguhnya setiap bentuk perkataan yang secara sharih, terang-terangan menafikan atau menghilangkan sifat ketuhanan dan ke Maha Esaan Allah, atau melakukan penyembahan terhadap selain Allah atau mempersekutukan Allah pada sesembahannya adalah merupakan bentuk kekufuran yang nyata. Seperti juga pernyataan yang diucapkankan oleh Kaum Dahriyah, Nasrani, Majusi, dan orang-orang yang mempersekutukan Allah dengan menyembah berhala, malaikat, setan, matahari, bintang, api atau menyembah segala sesuatu selain Allah. Demikian juga kekufuran itu terjadi pada orang-orang yang menyakini adanya hulul (menempatnya Dzat Allah pada diri makhluk) dan terjadinya Attanasukh (reinkarnasi pada diri seorang hamba).
Kekufuran itu dapat pula terjadi pada orang yang mengakui ketuhanan Allah dan ke-Maha Esaannya tetapi ia menyakini bahwa Allah tidak hidup, atau bukan Dzat yang Qadim (terdahulu), atau sesungguhnya Allah adalah dzat yang hadits (baru datang), atau Allah itu memiliki bentuk tubuh (alias yang diyakini oleh kaum mujassimah), atau menyangka bahwa Allah memiliki anak istri, atau Allah itu terlahirkan dari sesuatu yang ada sebelum-Nya, atau sesungguhnya ada sesuatu selain Allah yang menyertai-Nya di zaman Azali (sebelum diciptaka makhluq), atau menyakini bahwa ada Dzat lain selain Allah yang menciptakan dan mengatur alam ini. Semua keyakinan dan pernyataan di atas, adalah merupakan bentuk kekufuran (kekafiran) menurut ijma kaum muslimin.
Demikian juga kekufuran itu terjadi pada seseorang yang menganggap dirinya dapat duduk bersama Allah, menyertai-Nya naik ke Arasy, berbincang-bincang dengan-Nya, atau meyakini bahwa Dzat Allah dapat menyatu pada diri seseorang, sebagaimana yang dipahami oleh sebagian kaum Tasawuf namun tidak memiliki ilmu agama yang cukup, maupun yang dipahami oleh penganut aliran kebatinan dan orang-orang Nasrani.
Termasuk bentuk kekufuran yang lain adalah seseorang yang menyakini adanya sifat ketuhanan dan ke Maha Esaan Allah, tetapi mengingkari pokok-pokok kenabian secara umum atau sifat-sifat kenabian Nabi Muhammad SAW secara khusus. Atau mengingkari kenabian salah seorang yang sudah dinash oleh Allah sebagai seorang nabi, maka tanpa ragu lagi atas orang yang semacam ini dihukumi kafir. Demikian pula menjadi kafir seseorang yang menyatakan bahwa Nabi kita Muhammad Saw adalah bukanlah orang asli di Makkah dan Hijaz.
Kekufuran itu juga akan terjadi disebabkan, antara lain : Seseorang yang mengakui adanya nabi lain yang hidup bersamaan dengan hidupnya Nabi Muhammad SAW, atau meyakini masih akan ada nabi lagi setelah kenabian Nabi Muhammad SAW. Atau seseorang yang mengklaim bahwa kenabian Muhammad SAW adalah hanya dikhususkan untuk kalangan atau golongannya sendiri (bukan Nabi yang Rahmatan lil alamin). Demikian juga terjadi kekufuran apabila ada seorang yang kondang sebagai ahli tasawwuf, tetapi hingga kebablasan menyatakan diri bahwa ia menerima wahyu dari Allah Ta`ala walaupun ia tidak sampai mengaku-aku menjadi Nabi.
Imam Yusuf Al-ardhabili di dalam kitab Al-anwarnya menyatakan dengan tegas bahwa : Dapatlah dipastikan kekafiran itu terjadi pada setiap orang yang mengucapkan suatu perkataan yang sebab ucapan itu umat menjadi terjerumus pada lembah kesesatan. Apalagi jika sampai mengkafirkan para shahabat (seperti yang dilakukan olerh pengikut Syiah Imamiyah).
Termasuk kufur (kafir) juga setiap orang yang melakukan perbuatan, yang sekira perbuatan itu tidak pernah muncul kecuali dari orang-orang kafir, seperti sujud pada salib atau menyembah api, atau seperti masuk ke gereja bersama para pengikut Nasrani, atau masuk pure bersama para pengikut Hindu, atau mengenakan atribut-atribut yang menjadi ciri khas kaum kafir, semisal ciri kaum Nasrani yaitu memakai ikat pinggang khas gereja, kalung salib dan sebagainya.
Demikian kufur (kafir)-nya orang yang mengingkari eksistensi syiar keislaman Makkah, Ka`bah, Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan syiar keislaman lainya yang sudah dimaklumi oleh seluruh umat islam, bilamana keingkaran itu muncul dari seorang yang secara umum dianggap memahami permasalah itu, (alias bukan orang bodoh/idiot), karena secara riil orang yang mengingkarinya itu telah bergaul dengan orang-orang Islam lainnya, jadi sudah pasti tahu hakikatnya. (Risalah Ahlis Sunnah wal Jamaah, hal. 14)
Cara Pandang NU terhadap Umat Nasrani
Melihat nukilan KH. Hasyim Asy`ari mengenai agama Nasrani, beliau memilih teks dari Al-imam Alqadli Iyadl Alyahsubi yang cukup jelas dan tegas, bahwa Umat Nasrani adalah kafir, karena mereka menyekutukan Allah.
Pada dasarnya cara pandang ini tiada lain adalah bentuk aplikasi dari firman Allah laqad kafaral ladziina qaalu innallah tsalitsu tsalaatsah (ungguh telah kafir orang-orang Nasrani yang mengatakan adannya trinitas dalam diri Allah); laqad kafaral ladziina qaalu innallaha huwal masiihubnu maryam (Sungguh telah kafir orang-orang Nasrani yang mengatakan bahwa Allah itu adalah Almasih Isa putra Maryam).
Lebih tegas KH. Hasyim Asy`ari menukil dari kitab Al-anwar (tanpa menyebut pengarang): Bahwa termasuk dalam katagori kafir adalah setiap perkataan yang dengan terang-terangan menganggap seluruh umat Islam itu sesat, atau menganggap para shahabat Nabi itu kafir. Demikian juga (pelakunya) termasuk dikatagorikan kafir adalah perilaku yang tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang kafir, seperti sujud ke salib, sujud ke api, atau berjalan menuju gereja beserta penganut Nasrani, dengan berperilaku seperti mereka (Risalah Ahlis Sunnah wal Jamaah, hal. 14)
Jiwa dan sikap tegas KH. Hasyim Asy`ari telah dituangkan dalam nukilan-nukilan di atas. Dibalik upaya merintis dan memimpin ormas Islam terbesar ini, ternyata beliau telah mengajarkan kepada umat Islam agar bersikap tegas, yang mana hal itu termasuk sikap yang bersifat Qur`ani dan tergolong pengamal Hadits Nabawi.
Nash sharih (doktrin yang jelas) tentang jenis perilaku kekafiran, dengan serta merta beliau tuangkan dalam risalah yang ditulisnya itu. Inilah termasuk kejelian beliau dalam menangkap masalah-masalah yang bakal terjadi di kalangan umat Islam tanah air, khususnya di kalangan warga NU.
Pada dasarnya beliau ingin menjaga keimanan dan kemurnian aqidah umat Islam, agar tidak terjerumus pada perilaku yang menyebabkan kekafiran, khususnya di kalangan warga NU. Beliau menginginkan keutuhan warga NU dalam menjaga aqidahnya agar kelak bisa tetap bersama beliau baik di padang mahsyar terlebih di sorganya Allah SWT, dalam naungan bendera Rasulullah SAW.
(BERSAMBUNG)