"Islam Nusantara": Islamisasi Nusantara atau Menusantarakan Islam?
Belakangan ini makin ramai diskusi di media sosial dan forum-forum tentang term “Islam Nusantara”. Agus Sunyoto, budayawan pengkaji sejarah Nasional, menjelaskan istilah ini. “Definisi Islam Nusantara, menurut saya, adalah Islam yang berkembang di Negara Kesatuan Republik Indonesia atau Nusantara yang memiliki ciri khas tersendiri, yang kelihatan berbeda sama sekali dengan Islam yang mainstreamdilakukan di Timur Tengah. Tetapi ada juga sambungan-sambungan dan kaitan-kaitan dari pengaruh Timur-Tengah”, kata Agus Sunyoto dalam wawancara di majalah AULA Mei 2015.
Dari segi terminologi, istilah “Islam Nusantara” sebenarnya kurang tepat. Karena bisa membawa pada pengertian bahwa Islam Nusantara merupakan bagian dari jenis-jenis Islam yang banyak. Kita harus menyatakan bahwa Islam itu satu dan tidak plural (banyak). Adapun yang nampak banyak, sebenarnya adalah ‘madzhab’, aliran pemikiran, pemeluk dan lain-lain bukan Islam itu sendiri.
Menyematkan sifat pada kata Islam perlu hati-hati. Pengggunaan kata sifat yang ditempelkan kepada Islam, misalnya “Islam Jawa”, Islam Bali”, “Islam Arab”, “Islam China”, “Islam Toleran”, “Islam Pluralis” “Islam Sekular” dan lain-lain akan membuat kesan bahwa Islam itu plural, dan menyempitkan makna Islam.
Prof. Syed M. Naquib al-Attas, pakar sejarah Islam Melayu, menekankan pemakaian bahasa secara benar sehingga makna yang benar mengenai istilah dan konsep kunci yang termuat didalamnya tidak berubah atau dikacaukan. Setiap terminologi kunci mengandungkan sebuah paradigma (Syed M Naquib al-Attas,Islam dan Sekularisme, hal. 198).
Karena itu, term ‘Islam’ tidak memerlukan predikat atau sifat lain. Jika Islam diberi sifat yang lain, justru akan mempersempit Islam itu sendiri. Maka, dalam hal ini seharusnya yang lebih tepat adalah menggunakan frase “Muslim Nusantara”, karena hakikatnya pemeluk Islam itu terdiri dari banyak bangsa dan suku, termasuk didalamnya Muslim yang ada di Nusantara ini. Atau lebih tepat menggunakan istilah “Islam di Nusantara”. Karena agama Islam telah menyebar luas ke seluruh dunia, termasuk di Nusantara.
Kesan Islam itu plural dalam term “Islam Nusantara” dadat diduga merupakan bagian dari misi Liberalisasi agama Islam. Pemahaman bahwa Islam itu tidak satu tapi banyak merupakan proyek liberalisasi dengan mengusung ideologi relativisme dan pluralisme. Menggiring kepada sikap pembiaran terhadap model-model Islam yang lain yang belum tentu sesuai dengan ajaran Islam. Aroma relativisme dan permisivisme mendompleng dalam terminologi “Islam Nusantara” bisa disimak dalam pendapat Agus Sunyoto. Dia mengatakan: “Kalau dikumpulkan ya kelompok-kelompok dari aliran kepercayaan macam-macam itu sebetulnya yang mewarisi Islam Nusantara. Saya lama meneliti golongan kebatinan yang beraneka ragam. Karena mereka memiliki traidisi yang sama, tradisi kebudayaan dan keyakinan yang sama pula” (majalah AULA, Mei 2014 hal. 17).
Menurut pendapat tersebut, aliran kebatinan dan aliran-aliran kepercayaan -- yang dipengaruhi animisme dan dinamisme -- dimasukkan dalam rumpun model “Islam Nusantara” yang harus dirawat tidak boleh disalahkan. Akhirnya, penggunakan istilah ini dapat menjadi ajang mempromosikan aliran-aliran kepercayaan atau kebatinan, supaya diakui dan tidak disalah-salahkan, meskipun bertentangan dengan akidah Ahlussunnah.
Padahal aliran kebatinan memiliki ciriiqtha’usy syari’ah (menggugurkan kewajiban syariah). Pesantren Sidogiri Pasuruan menerbitkan buku yang khusus mengkaji masalah ini berjudul Bahaya Aliran Kebatinan (Tim Penulis Pustaka Sidogiri, 1432 H). pada halaman 190 ditulis “Ciri-ciri umum kebatinan itu, baik yang ada di Indonesia maupun yang di bagian lain dunia Islam, adalah iqtha’usy syari’ah,membatalkan ajaran-ajaran agama. Seperti menggugurkan kewajiban ibadah salat, puasa, zakat dan lain-lain. Sementara semua larangan agama dianggap tidak ada dan boleh saja dilakukan. Karenanya Imam Abu Nu’aim al-Ashfihani, ulama sufi dan hafidz abad kelima Hijriyah, menganggap kebatinan itu
Kiriman : Kholili