URL: www.pejuangislam.com
Email: editor@pejuangislam.com
 
Halaman Depan >>
 
 
Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami
Ustadz H. Luthfi Bashori
 Lihat Biografi
 Profil Pejuang Kaya Ide
 Imam Abad 21
 Info Asshofwah
Karya Tulis Pejuang


 
Ribath Almurtadla
Al-islami
 Pengasuh Ribath
 Amunisi Dari Tumapel
 Aktifitas Pengasuh
 Perjuangan Pengasuh
 Kalender Ribath
Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ)
 Sekilas Profil
 Program Pendidikan
 Pelayanan Masyarakat
 Struktur Organisasi
 Pengasuh PIQ
 
Navigasi Web
Karya Tulis Santri
MP3 Ceramah
Bingkai Aktifitas
Galeri Sastra
Curhat Pengunjung
Media Global
Link Website
TV ONLINE
Kontak Kami
 
 
 Arsip Teriakan Pejuang
 
SETAN BISU & SETAN BICARA 
  Penulis: Pejuang Islam  [7/8/2025]
   
AYOO SHALAT MALAM ! 
  Penulis: Pejuang Islam  [4/8/2025]
   
KOMUNIKASI DI MEJA MAKAN 
  Penulis: Pejuang Islam  [28/7/2025]
   
SUJUD SYUKUR 
  Penulis: Pejuang Islam  [27/7/2025]
   
MENGALAHKAN HAWA NAFSU 
  Penulis: Pejuang Islam  [20/7/2025]
   
 
 Book Collection
 (Klik: Karya Tulis Pejuang)
Pengarang: H. Luthfi B dan Sy. Almaliki
Musuh Besar Umat Islam
Konsep NU dan Krisis Penegakan Syariat
Dialog Tokoh-tokoh Islam
Carut Marut Wajah Kota Santri
Tanggapan Ilmiah Liberalisme
Islam vs Syiah
Paham-paham Yang Harus Diluruskan
Doa Bersama, Bahayakah?
 
 WEB STATISTIK
 
Hari ini: Senin, 22 September 2025
Pukul:  
Online Sekarang: 8 users
Total Hari Ini: 64 users
Total Pengunjung: 6224166 users
 
 
Untitled Document
 PEJUANG ISLAM - KARYA ILMIAH USTADZ LUTHFI BASHORI
 
 
INFO YOUTUBE KH. LUTHFI BASHORI 
Penulis: Pejuang Islam [ 29/10/2013 ]
 
INFO YOUTUBE KH. LUTHFI BASHORI

Bismillahir rahmanir rahim.

Sekarang satu lagi rekaman video pelajaran kelas KH. Luthfi Bashori bersama para santri Ponpes Ribath Almurtadla Al-islami  Singosari Malang, bertema: Kesesatan Syiah, Wahhabi dan JIL. Rekaman bisa diikuti lewat tayangan youtube.com dengan mencari judul, KH. LUTHFI BASHORI:  TIGA ALIRAN MURTAD. Semoga dapat menambah wawasan dan kewaspadaan umat Islam Indonesia pada khususnya. Selamat menikmati.

(ADMIN)
   
 Isikan Komentar Anda
   
Nama 
Email 
Kota 
Pesan/Komentar 
 
 
 
1.
Pengirim: Dwi  - Kota: Surabaya
Tanggal: 29/10/2013
 
Assalamualaikum Ustadz, Mohon maaf, mengenai usulan kami kapan hari mengenai Praktek Wudlu yang benar ala Madzhab Syafi'i kapan ya di realisasikan, kami sedang menunggu...Terima Kasih. 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Mohon doa.

2.
Pengirim: amir  - Kota: cibinong
Tanggal: 29/10/2013
 
Assalamu alaikum
Beberapa hal yg hrs dikoreksi dr tulisan di blog ini dan video
1. Apa dasar me-murtad-kan atas dakwah yg dibawa oleh Muhammad bin Abd Wahab? Karena dalil tentang keberadaan Allah, wajah Allah, Tangan Allah adalah membatasi dg apa2 yg disampaikan oleh nash, tanpa ta'thil, takyif dan tahrif dan tamtsil (penyerupaan).
Sebaliknya kaum Asy'ariyah yg mentakwil sifat Allah dg tanpa dalil yg datangnya dari Rasulullah..
2. Manhaj Aswaja (dg pemahaman Sahabat)sangat berhati2 dalam menetapkan keluarnya seseorang dari Islam. Bukan aswaja yg mudah menganggap murtad (scr serampangan) tanpa dallil.
Ahlussunnah lifahmissalaf bahkan tidak bs menetapkan sesorang sbg ahli bid'ah sebelum dapat dipastikan bahwa ilmu agama yg haq ini sdh sampai padanya. Apalagi urusannya sampai pd tahap keluar dr Islam (murtad). Allahu musta'an.
3. Ustadz Luthfi perlu banyak introspeksi, kasihan murid2 antum.
4. Yang pasti sama sikap kita adalah bahwa syi'ah di Luar Islam yg mulia ini.

Semoga bermanfaat.. 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Anda sebaiknya mulai belajar banyak membaca, agar tahu pendapat para ulama salaf tentang:

Kaum Mujassimah

Adapun yang dinamakan dengan kaum Mujassimah adalah orang yang membendakan Tuhan. Menyatakan Tuhan itu bersifat materi. Mereka terdiri dalam golongan, seperti:

1. Sebagian kaum Mujassimah beri’tiqad bahwa Allah itu adalah Jauhar dan Maujud.
2. Sebagian kaum Mujassimah beri’tiqad bahwa Allah itu adalah Jisim, tetapi tidaklah sama dengan jisim yang lain.
3. Sebagian kaum Mujassimah beri’tiqad bahwa Allah itu mempunyai rupa seperti rupa manusia.
4. Sebagian kaum Mujassimah beri’tiqad bahwa Allah itu memiliki darah, daging, anggota tubuh, wajah, tangan, kaki, dan jari.
5. Sebagian kaum Mujassimah beri’tiqad bahwa Allah itu datang dan turun dengan ZatNya, serta bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
6. Sebagian kaum Mujassimah beri’tiqad bahwa Allah itu duduk di atas ‘Arasy.
7. Sebagian kaum Mujassimah beri’tiqad bahwa Allah itu masuk ke dalam ‘Arasy, dan ‘Arasy itulah yang menjadi tempat kediamanNya. Mereka mengambil pegangan dengan dalil-dalil dhahir ayat al-Qur’an dan Hadits mutasyabihat. Oleh karena itu, kaum Mujassimah ini dinamakan juga dengan kaum Mutasyabihah.

Menurut Imam Fakhruddin ar-Razi, “Setiap Mujassimah itu pasti Mutasyabihah. Menyerupakan Tuhan dengan sesuatu, dan faham Mutasyabihah itu kafir, karena mengitsbatkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu berjisim, dan jisim itu pula yang mereka sembah. Maka barangsiapa menyebut Allah itu Jisim; menyembah Jisim, kafirlah dia karena telah menyembah selain Allah”.

Imam Ahmad berpendapat, “Barangsiapa mentasybihkan, menyerupakan Allah dengan makhluk, maka kafirlah dia”.
Telah berkata penulis Jauhar Nafsiah, “Barangsiapa mengi’tiqadkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu Jisim, maka hukumnya kafir”.
(Sumber: Al-Banjari)

Mujassim maksudnya orang yang mengatakan Allah adalah benda (Jism) atau bersifat dengan sifat benda (Jism), bicara tentang Mujassimah pasti tidak terlepas dari Musyabbihah, Musyabbihah adalah orang yang menyamakan Allah dengan dzat makhluk atau sifat makhluk, antara Musyabbihah dan Mujassimah tidak bisa dipisahkan karena keduanya bersatu dalam satu dalil dan satu hukum, cuma berbeda bentuk dan cara nya saja, karena kadang-kadang seorang Mujassimah menampakkan Tajsim nya secara nyata (shorih) tapi tetap saja ada Tasybih tidak nyata dalam Tajsim tersebut, dan terkadang seorang Mujassimah menyembunyikan Tajsim nya, tapi menampakkan Tasybihnya, dan dari segi bentuk dan cara nya Mujassimah dan Musyabbihah dapat terbagi kepada 4 macam yaitu :

1. Mujassimah shorih (nyata), Musyabbihah ghairu shorih (tidak nyata).
2. Mujassimah ghairu shorih (tidak nyata), Musyabbihah shorih (nyata).
3. Mujassimah dan Musyabbihah shorih keduanya.
4. Mujassimah dan Musyabbihah ghairu shorih keduanya.

Mujassimah dan hukumnya tentu tidak ada nash yang shorih tentang nya dalam Al-Quran ataupun Hadits, tapi hukum nya dikembalikan ke hukum Musyabbihah, karena Mujassimah termasuk dalam bagian Musyabbihah, bahkan kesesatan Mujassimah adalah kesesatan Musyabbihah itu sendiri, yaitu Tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk), dan dalam Tajsim ada Tasybih yang tidak nyata, maka keduanya Mujassimah dan Musyabbihah sesat karena satu kesalahan yang sama yaitu menyerupakan Allah dengan makhluk (Tasybih), berdasarkan ayat berikut ini :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia (Allah) itu Maha Mendengar dan Maha Melihat”

Mereka Menyebar Kebohongan Aqidah padahal Ayat ini adalah dasar Tauhid yang kuat bagi siapa pun, agar tidak terpengah dengan syubhat-syubhat Tauhid dalam rangka mencari hakikat Tuhan, ayat ini menjadi dasar untuk menafsirkan ayat atau Hadits lain yang dhohirnya menunjuki kepada kesamaan dzat atau sifat Allah dengan dzat atau sifat makhluk, dengan melupakan ayat ini maka seseorang akan sangat mudah tergelincir dalam jurang Tasybih dan Tajsim, ayat ini meniadakan sekaligus larangan menyerupakan Allah dan sifat-Nya dengan makhluk, sama sekali tidak ada keserupaan antara Khaliq dan Makhluk, baik pada hakikatnya atau kaifiyatnya, baik secara shorih atau tidak shorih, ayat ini adalah nahs yang sangat jelas tentang larangan Tasybih, dan juga sebagai dalil larangan Tajsim, karena Tajsim terkandung Tasybih yang tidak shorih di dalam nya, maka Aqidah Tasybih dan Tajsim adalah Aqidah sesat dan kafir siapa saja yang beraqidah demikian, dan inilah aqidah wahabi itu.

MUJASSIMAH DALAM MADZHAB HANAFI

Mujassimah menurut pandangan ulama Madzhab Hanafi, terbagi dalam beberapa macam, hukum nya tergantung bagaimana Tajsim /Tasybih nya, karena ini masalah Aqidah tentu tidak ada yang tau, kecuali dia sendiri yang menampakkan perkataan nya, dari dhohir perkataan nya itulah di kaji bagaimana hukum orang yang berkata demikian, para Ulama Hanafi membagi dua macam sebagi berikut :

1. Orang yang berkata bahwa Allah itu benda seperti benda-benda lain, atau ia berkata bahwa Allah itu benda tanpa menyamakan dengan benda lain, maka ia sudah terjatuh dalam Bid’ah yang mengkafirkan nya [Bid’ah Mukfirah], begitu juga hal nya orang yang menyatakan Allah punya tangan seperti tangan lain-Nya, punya mata seperti mata makluk, punya telinga seperti telinga makhluk, atau anggota /sifat makhluk lain nya, maka ini termasuk dalam pernyataan Bid’ah yang membuat orang tersebut menjadi kafir sebagaimana pendapat ini. [Maha suci Allah dari segala sifat makhluk].

2. Orang yang berkata bahwa Allah itu benda tapi bukan seperti benda lain, maka ia telah berada diantara dua pendapat, menurut pendapat yang kuat ia telah terjatuh dalam Bid’ah yang memfasiqkan nya [Bid’ah Mufsiqah], dan menurut satu pendapat lagi, ia termasuk dalam Bid’ah Mukfirah juga. Begitu juga orang yang menyatakan Allah punya tangan tapi tidak sama dengan tangan lain, punya mata tapi tidak sama dengan mata makhluk, punya telinga tapi tidak sama dengan telinga makhluk, atau anggota badan makhluk lain nya, maka orang tersebut termasuk dalam pendapat ini yaitu antara dua pendapat fasiq atau kafir, lain hal nya bila menyatakan tangan Allah tapi maksud nya bukan tangan [bukan anggota badan], tapi maksud nya kekuasaan atau lain sebagainya, maka ini hanya bahasa kiasan dan bukan dalam artian yang sebenarnya. [Maha suci Allah dari segala sifat makhluk].

Setiap muslim hendaknya berhati-hati dalam masalah Aqidah ini, apalagi akhir-akhir ini banyak pernyataan atau tulisan orang-orang yang terlalu kagum dengan kecerdasan nya hingga menyatakan apa yang bertolak belakang dengan Aqidah para Ulama, kecerdasan mereka tidak diimbangi oleh kehati-hatian dalam Aqidah, hingga tanpa sadar telah bertentangan dengan Aqidah Islam sesungguhnya, sebagaimana Aqidah Rasulullah dan para sahabat nya, dan dilanjutkan oleh para ulama Salaf dan Kholaf dan seterusnya, Ahlus Sunnah Waljama’ah sangat membedakan Allah dengan makhluk-Nya sebeda-beda nya, sedikitpun tidak ada persamaan Allah dengan makhluk-Nya, baik pada dzat-Nya atau sifat-Nya, baik sebelum menjadikan makhluk-Nya atau sesudah menjadikan makhluk-Nya, baik sebelum menciptakan ‘Arasy-Nya atau sesudah menciptakan ‘Arasy-Nya, adapun kesamaan nama-nama sifat seperti mendengar, melihat dan sebagainya, itu hanyalah kesamaan nama saja, sementara hakikat atau maksud dari sifat tersebut sunggung sangat jauh berbeda dengan hakikat sifat makhluk, kesamaan nama ini memang telah ada dalam Al-Quran, Allah sendiri memberitakan tentang-Nya dalam Al-Quran dengan bahasa manusia, menggunakan bahasa manusia untuk mengenali sifat-Nya tentu saja terjadi kesamaan nama.

PENDAPAT ULAMA MADZHAB HANAFI TENTANG MUJASSIMAH

Berkata Imam Abu Hanifah
“من قال بحدوث صفة من صفات الله أو شكّ أو توقف كفر”
“Siapa yang berkata baharu sifat dari sifat-sifat Allah atau ragu-ragu atau terhenti (antara baharu atau tidak) niscaya ia telah kafir”. [kitab Al-Washiyyah]

Berkata Fakhruddin Utsman Ibnu Ali Adz-Dzaila’i Al-Hanafi
وَلَا يُصَلِّي خَلْفَ مُنْكِرِ الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ وَالْمُشَبِّهِ إذَا قَالَ لَهُ تَعَالَى يَدٌ وَرِجْلٌ كَمَا لِلْعِبَادِ فَهُوَ كَافِرٌ مَلْعُونٌ وَإِنْ قَالَ جِسْمٌ لَا كَالْأَجْسَامِ فَهُوَ مُبْتَدِعٌ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ فِيهِ إلَّا إطْلَاقَ لَفْظِ الْجِسْمِ عَلَيْهِ وَهُوَ مُوهِمٌ لِلنَّقْصِ فَرَفَعَهُ بِقَوْلِهِ لَا كَالْأَجْسَامِ فَلَمْ يَبْقَ إلَّا مُجَرَّدَ الْإِطْلَاقِ وَذَلِكَ مَعْصِيَةٌ تَنْتَهِضُ سَبَبًا لِلْعِقَابِ لِمَا قُلْنَا مِنْ الْإِيهَامِ بِخِلَافِ مَا لَوْ قَالَهُ عَلَى التَّشْبِيهِ فَإِنَّهُ كَافِرٌ وَقِيلَ يَكْفُرُ بِمُجَرَّدِ الْإِطْلَاقِ أَيْضًا وَهُوَ حَسَنٌ بَلْ أَوْلَى بِالتَّكْفِيرِ
“Dan tidak boleh Sholat di belakang orang ingkar boleh menyapu dua sepatu, dan di belakang Musyabbihah, apabila ia menyatakan bagi Allah ada tangan atau kaki sebagaimana yang ada pada hamba, maka ia kafir lagi terlaknat, dan jika ia berkata bahwa Allah itu benda bukan seperti benda-benda lain, maka ia adalah ahlu Bid’ah [Mubtadi’] karena tidak ada dalam pernyataan nya tersebut kecuali hanya sebatas pemakaian kata “BENDA” untuk dzat Allah subhanahu wata’ala, dan penyebutan benda kepada dzat Allah seperti itu dapat menunjuki kepada kurang atau keserupaan pada dzat Allah dan telah di hilangkan dengan pernyataan sesudahnya “Laa Ka al-Ajsam” [tidak sama dengan benda lain], maka pemakaian kata “BENDA” bukan maksudnya benda seperti biasa, tapi maksudnya adalah dzat Allah, dan pernyataan seperti demikian kepada dzat Allah adalah maksiat yang menggiringnya kepada sebab diazab nya karena alasan yang telah kami sebutkan yakni dapat menunjuki kepada kurang pada dzat Allah, sebaliknya bila ia menyatakan dengan menyerupakan Allah, maka ia menjadi kafir, dan menurut satu pendapat ia juga menjadi kafir hanya dengan pernyataan yang mutlak, pendapat tersebut bagus, bahkan orang ini lebih aula menjadi kafir (dengan pernyataan mutlak nya)”. [Tabyin Al-Haqaiq Syarah Kanzu Ad-Daqaiq- Jilid 1 halaman 135]

Selanjutnya pada halaman yang sama :
وَاعْلَمْ أَنَّ الْحُكْمَ بِكُفْرِ مَنْ ذَكَرْنَا مِنْ أَهْلِ الْأَهْوَاءِ مَعَ مَا ثَبَتَ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيِّ عَنْ عَدَمِ تَكْفِيرِ أَهْلِ الْقِبْلَةِ مِنْ الْمُبْتَدَعَةِ كُلِّهِمْ مَحْمَلُهُ أَنَّ ذَلِكَ الْمُعْتَقَدَ نَفْسُهُ كُفْرٌ فَالْقَائِلُ بِهِ قَائِلٌ بِمَا هُوَ كُفْرٌ وَإِنْ لَمْ يَكْفُرْ بِنَاءً عَلَى كَوْنِ قَوْلِهِ ذَلِكَ عَنْ اسْتِفْرَاغِ وُسْعِهِ وَمُجْتَهِدًا فِي طَلَبِ الْحَقِّ لَكِنْ جَزْمُهُمْ بِبُطْلَانِ الصَّلَاةِ خَلْفَهُ لَا يَصِحُّ هَذَا الْجَمْعُ
“Ketahuilah, bahwa hukum kufur mujassimah yang telah kami sebutkan dari ahlu hawa, padahal telah sebut dari Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’I bahwa tidak mengkafirkan ahlu qiblat dari semua ahlu Bid’ah, sasarannya (mahalnya) adalah bahwa diri sesuatu yang dii’tiqad (Mu’taqad) itu kufur, maka orang yang berkata demikian berarti ia berkata dengan perkataan kufur, sekalipun ia tidak menjadi kafir karena ketidakmampuan nya dan sedang mencari kebenaran (ia belum tau itu tidak boleh), tetapi jazam para ulama dengan batal sholat di belakangnya, tidak boleh ini gabungan (artinya batal sholat di belakangnya sekalipun ia tidak menjadi kafir dengan aqidah nya karena keadaan nya yang awam)”. [Tabyin Al-Haqaiq Syarah Kanzu Ad-Daqaiq- Jilid 1 halaman 135]

Berkata Ibnu Najim Zainuddin Ibnu Ibrahim
وإنما يجوز الاقتداء به مع الكراهة إذا لم يكن ما يعتقده يؤدي إلى الكفر عند أهل السنة أما لو كان مؤديا إلى الكفر فلا يجوز أصلا كالغلاة من الروافض ………………………
وكالجهمية والقدرية والمشبهة القائلين بأنه تعالى جسم كالأجسام ومن ينكر الشفاعة أو الرؤية أو عذاب القبر أو الكرام الكاتبين أما من يفضل عليا فحسب فهو مبتدع من المبتدعة الذين يجوز الاقتداء بهم مع الكراهة وكذا من يقول أنه تعالى جسم لا كالأجسام ومن قال أنه تعالى لا يرى لجلاله وعظمته
“Dan sesungguhnya boleh beserta makruf ikut imam dengan nya, apabila tidak adalah sesuatu yang dii’tiqad nya membawa kepada kufur menurut Ahlus Sunnah, adapun bila dapat membawanya kepada kufur maka tidak boleh ikut sholat di belakang nya sama sekali, contoh yang kafir seperti Syi’ah Rafidhoh yang ghuluw (dan seterusnya………), dan seperti Jahmiyyah, dan Qadariyyah, dan Musyabbihah yang berkata sesungguhnya Allah ta’ala itu benda (Jism) seperti benda lain, dan seperti orang yang ingkar Syafa’ah atau Ru’yah atau Azab kubur, atau Kiram al-Katibin, adapun orang yang melebihkan Sayyidina Ali, maka ia boleh [jadi Imam], ia termasuk Mubtadi’ yang boleh diikuti tetapi makruf, begitu juga orang yang berkata sesungguhnya Allah itu benda (Jism) tapi tidak sama dengan benda lain, dan begitu juga orang yang berkata bahwa Allah tidak bisa di lihat karena keagungan-Nya dan kebesaran-Nya (bukan karena kekurangan-Nya)”. [kitab Al-Bahru Ar-Raik- Jilid 5 halaman 151]

Berkata Al-Khadimi Al-Hanafi :
والكفر كاعتقاد الجسمية كسائر الأجسام
dan yang kufur (dari aqidah bid’ah) itu seperti I’tiqad men-Jism-kan Allah seperti Jism lain” [kitab Bariqah Mahmudiyah- Jilid 1 halaman 95"

Lebih lanjut Al-Khadimi menuliskan
( وفيها ) ( رجل وصف الله تعالى بالفوق أو بالتحت ) ( فهذا تشبيه ) أي بالأجسام فتجسيم ( وكفر ) لعله إن كان مراده من الفوق هو العلو , والرفعة , والقهر , والغلبة فلا يكفر بل ينبغي إجراء التفصيل السابق من إرادة حكاية ما في الأخبار
“Dan dalam nya (kitab Fatawa At-Tatarkhaniyah) disebutkan, seorang yang mensifati Allah ta’ala dengan “di bawah” atau “di atas” maka ini adalah Tasybih (menyerupakan) yakni dengan semua benda, maka di sebut Tajsim, dan ia telah kafir, tapi mudah-mudahan jika ia maksud dari kata “di atas” adalah tinggi martabat (bukan tinggi tempat) dan menguasai, maka ia tidak kafir, tapi sepantasnya di sini berlaku rincian yang telah disebutkan yaitu karena hendak menghikayah lafadh yang ada dalam khabar”[kitab Bariqah Mahmudiyah- Jilid 1 halaman 228]

Berkata Ibnu Abidin
( قوله كقوله جسم كالأجسام ) وكذا لو لم يقل كالأجسام , وأما لو قال لا كالأجسام فلا يكفر لأنه ليس فيه إلا إطلاق لفظ الجسم الموهم للنقص فرفعه بقوله لا كالأجسام , فلم يبق إلا مجرد الإطلاق وذلك معصية )
“(Qauluhu : seperti perkataannya “Allah itu Jism seperti Jism lain”) dan seperti demikian kalau ia tidak berkata “seperti benda lain” , dan adapun kalau ia berkata “tidak sama dengan benda lain” maka ia tidak kafir, karena tidak ada pada perkataan nya kecuali hanya pemakaian kata “Jism” yang menunjuki kepada kekurangan, maka ia hilangkan kekurangan tersebut dengan kata “tidak sama dengan Jism lain” maka yang tersisa hanya pemakaian kata saja (tanpa makna sesungguhnya), dan yang demikian itu maksiat (tidak kufur tapi berdosa)”.[kitab Hasyiyah Ibnu Abidin- Jilid 1 halaman 562]

Berkata : Al-Mulla ‘Ali Al-Qari
من اعتقد أن الله لا يعلم الأشياء قبل وقوعها فهو كافر وإن عُدّ قائله من أهل البدعة، وكذا من قال: بأنه سبحانه جسم وله مكان ويمرّ عليه زمان ونحو ذلك كافر، حيث لم تثبت له حقيقة الإيمان
“Siapa yang meyakini bahwa Allah tidak mengetahui semua sesuatu yang belum terjadi, maka ia kafir, sekalipun yang berpendapat (berfatwa) ini di anggap sebagai ahlu Bid’ah, dan seperti demikian juga orang yang berkata bahwa Allah (subhanahu wa ta’ala) itu Benda (Jism) dan bagi-Nya ada tempat, dan berlaku masa bagi-Nya, dan seumpama demikian, maka ia menjadi kafir, sekiranya tidak sebut baginya hakikat Iman”.[kitab Syarah Al-Fiqh Al-Akbar – halaman 271]

Berkata Ibnu Amir Al-Hajj Al-Hanafi
ولا تقبل شهادة المجسمة لأنهم كفرة
“Dan tidak bisa di terima kesaksian Mujassimah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk) karena sesungguhnya mereka kafir”. [kitab At-Taqrir wa At-Tahbir- Jilid 3 halaman 319]

Itulah nash-nash ulama Madzhab Hanafi tentang siapakah Mujassimah dan Musyabbihah serta hukum nya, hendaknya pendapat-pendapat ulama tersebut dapat membantu kita kembali ke Al-Quran dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Rasul dan para sahabat serta para Salafus sholeh, bukan malah sebaliknya, kembali ke Al-Quran dan As-Sunnah dengan meninggalkan dan bahkan mengabaikan pendapat para ulama dan lebih memilih pemahaman sendiri dengan segenap kebodohan yang ada, niat yang baik ingin kembali ke Al-Quran dan As-Sunnah justru semakin tersesat lebih jauh lagi, insyaallah dengan dengan bimbingan para ulama ahlus sunnah wal jama’ah, kita bisa mengerti mana yang dilarang dalam Al-Quran tentang Musyabbihah, kita lebih tau rincian Mujassimah dan batas-batas nya, hingga kita terhindar dari Aqidah Tajsim dan Tasybih dan tetap berada dalam Manhaj Aqidah yang selamat, tanpa para ulama kita akan bingung mana yang selamat mana yang sesat, tanpa para ulama kita Cuma bisa mengandalkan akal dan nafsu untuk bisa keluar dari kebingungan, akhirnya terjebak dalam kehinaan Tajsim dan Tasybih, na’uzubillah, Semoga kita senantiasa dalam Aqidah Tanzih, insyaallah

(Sumber: T.M. Syuhada)

3.
Pengirim: amir  - Kota: cibinong
Tanggal: 31/10/2013
 
Assalamu alaikum
berikut sy sampaikan artikel bantahan tuduhan serampangan mujassimahterhadap ahlussunnah.

Jahmiyah dan Asy'ariyah Menuduh Ahlus Sunnah sebagai Musyabbihah/MujassimahJAHMIYAH (JUGA ASY’ARIYAH) MENUDUH AHLUS SUNNAH SEBAGAI MUSYABBIHAH/MUJASSIMAH

Imam Abu Utsman bin Sa’id Ad-Darimi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Adz-Dzahabi pun tidak lepas dari tuduhan musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk) / mujassimah oleh Jahmiyah dan Asy’ariyah. Bahkan imam yang empat pun juga terkena tuduhan tersebut.
Abu Hatim Ar-Razi mengatakan: “Dan tanda Jahmiyyah adalah menggelari ahli sunnah dengan musyabbihah (menyerupakan Allah dgn makhluk)”. (Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah wal Jama’ah Al-Lalikai 1/204, Dzammul Kalam al-Harawi 4/390)
Ibnu Abu Hatim Ar-Razi: “Tanda–tanda kaum jahmiyah adalah mereka menyebut ahlus sunnah sebagai kaum musyabbihah.” (Ushulus Sunnah Wa I’tiqad Dien)
Abu Utsman Ismail Ash-Shabuni meriwayatkan dari Ibnu Abi Hatim, dari ayahnya, Abu Hatim Ar-Razi, dia mengatakan: “Tanda-tanda Jahmiyah adalah menamakan Ahlus Sunnah dengan musyabbihah.” (Aqidatus Salaf Ashabil Hadits)
Ishaq bin Rahawaih (166-238 H) mengatakan: “Tanda Jahm dan pengikutnya adalah menuduh ahli sunnah dengan penuh kebohongan dengan gelar musyabbihahpadahal merekalah sebenarnya Mu’atthilah (meniadakan/mengingkari sifat bagi Allah).” (Syarh Ushul I’tiqad al-Lalikai (937), Syarh Aqidah At-Thahawiyyah 1/85 oleh Ibnu Abi Izzi Al-Hanafi muridnya Ibnu Katsir)
Ibnu Taimiyyah (guru Ibnu Katsir, Adz-Dzahabi, Ibnul Qayyim) berkata: “Kelompok Mu’tazilah dan Jahmiyyah dan sejenisnya dari kalangan pengingkar sifat, mereka menuduh orang-orang yang menetapkannya dengan gelar Mujassimah/Musyabbihah (menyerupakan Allah dgn makhluk), bahkan di antara mereka ada yang menuduh para imam populer seperti Malik, Syafi’i, Ahmad dan para sahabatnya dengan gelarmujassimah dan musyabbihah sebagaimana diceritakan oleh Abu Hatim, penulis kitab “Az-Zinah” dan sebagainya”. (Minhajus Sunnah 2/75)
Ibnu Abdil Bar (Ulama madzhab Maliki) berkata: “Seluruh ahli sunnah telah bersepakat untuk menetapkan sifat-sifat yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mengartikan secara zhahirnya. Tetapi mereka tidak menggambarkan bagaimananya sifat-sifat tersebut. Adapun Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Khawarij mereka mengingkari sifat-sifat Allah dan tidak mengartikannya secara zhahirnya. Lucunya mereka menuding bahwa orang yang menetapkannya termasukmusyabbih.” (At-Tahmid 3/351)
Adapun tentang tuduhan tasybih, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan : “Dan yang dimaksud di sini, Ahlus Sunnah sepakat bahwa tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah. Tidak dalam Dzaat-Nya, sifat-Nya, ataupun perbuatan-perbuatan-Nya. Akan tetapi lafadh tasybih dalam perkataan manusia adalah lafadh yang mujmal. Apabila yang diinginkan dengan penafikan tasybih adalah apa-apa yang dinafikkan Al-Qur’an dan ditunjukkan oleh akal (sehat), maka ini benar. Hal ini dikarenakan kekhususan-kekhususan Rabb Ta’ala tidaklah disamai sesuatupun dari makhluk-makhluk,.... Dan apabila yang diinginkan dengan tasybiih tersebut bahwa tidak ada satu pun sifat yang boleh ditetapkan untuk Allah, sehingga tidak boleh dikatakan pada-Nya ilmu, qudrah, dan hidup, karena hamba juga disifati dengan sifat-sifat ini; maka ia mengkonsekuenskan tidak boleh dikatakan pada-Nya : Yang Maha Hidup, Yang Maha Mengetahui, dan Maha Berkuasa, karena hamba juga dinamai dengan nama-nama ini. Begitu juga halnya dengan firman-Nya, pendengaran-Nya, pengelihatan-Nya, ru’yah-Nya, dan yang lainnya.....” (Minhajus-Sunnah, melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw lidz-Dzahabi oleh Al-Albaani, hal. 68; Al-Maktab Al-Islaamiy, Cet. 2/1412 H).
Imam Ahmad berkata: “Al Musyabbihah adalah orang yang mengatakan: pendengaran Allah seperti pendengaranku, penglihatan Allah seperti penglihatanku, tangan Allah seperti tanganku.” (Al Ibaanah oleh Ibnu Baththah: 3/327)
Ishaq bin Rahawaih rahimahullah (guru dari Imam Bukhari dan Imam Muslim) berkata :”Tasybih itu hanya terjadi ketika seseorang itu mengatakan : ”Tangan (Allah) seperti tanganku, pendengaran (Allah) seperti pendengaranku”. Inilah yang dinamakan tasybih (penyerupaan). Adapun jika seseorang mengatakan seperti firman Allah : ’Tangan, pendengaran, penglihatan’ , kemudian ia tidak menyatakan : ’bagaimana’ dan ’seperti’; maka itu tidak termasuk tasybih. Allah berfirman : ”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [Mukhtashar Al-’Ulluw lidz-Dzahabi, hal. 69]
At-Tirmidzi berkata: Dan telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin Al-‘Alaa’ : Telah menceritakan kepada kami Wakii’ : Telah menceritakan kepada kami ‘Abbaad bin Manshuur : Telah menceritakan kepada kami Al-Qaasim bin Muhammad, ia berkata : Aku mendengar Abu Hurairah berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah menerima shadaqah dan mengambilnya dengan tangan kanan-Nya. Lalu mengembangkannya untuk kalian sebagaimana salah seorang di antara kalian membesarkan anak kudanya. Hingga, sesuap makanan akan mengembang menjadi segunung Uhud”.Dan hal itu dibenarkan dalam Kitabullah ‘Azza wa Jalla : “Tidakkah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat” (QS. At-Taubah : 104). Dan : “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah” (QS. Al-Baqarah : 276).Abu ‘Isa (At-Tirmidzi-pen) berkata : “Hadits hasan shahih”.Dan telah diriwayatkan hal itu dari ‘Aisyah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang semisal dengannya. Tidak sedikit dari ulama yang mengatakan tentang hadits ini dan yang semisalnya yang membicarakan tentang shifat dan turunnya Rabb Tabaaraka wa Ta’ala pada setiap malam ke langit dunia. Mereka berkata : Sungguh telah shahih riwayat-riwayat tentang hal ini, mereka mengimaninya, tidak salah paham, dan mereka tidak menanyakan ‘bagaimana’ (hakekat sifat tersebut). Demikianlah yang diriwayatkan dari Maalik, Sufyaan bin ‘Uyainah, ‘Abdullah bin Al-Mubaarak, bahwasannya mereka berkata dalam hadits-hadits ini : ‘Kami memperlakukannya tanpa menanyakan ‘bagaimana’. Dan demikianlah perkataan para ulama dari kalangan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Adapun Jahmiyyah mengingkari riwayat-riwayat ini. mereka (jahmiyyah) berkata : “ini adalah tasybih”. Allah ‘Azza wa Jalla telah di tempat yang lain dalam Kitab-Nya : tangan (al-yadd), pendengara (as-sam’), dan penglihatan (al-bashar), maka Jahmiyyah menta’wilkan dan mentafsirkan ayat-ayat ini selain dari yang ditafsirkan para ulama. Mereka (Jahmiyyah) berkata : “Sesungguhnya Allah tidah menciptakan Adam dengan kedua tangan-Nya”. Dan mereka (Jahmiyyah) berkata : “Sesungguhnya makna tangan dalam ayat ini adalah kekuatan (al-quwwah)”.Dan Ishaaq bin Rahawaih berkata : “Tasybih itu hanya terjadi ketika seseorang itu mengatakan : ‘tangan (Allah) seperti tangan (makhluk), pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk)”. Jika ia berkata : ‘Pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk)’, maka inilah yang dinamakan tasybih (penyerupaan).Adapun jika seseorang mengatakan seperti firman Allah : ’tangan, pendengaran, penglihatan’, kemudian ia tidak mengatakan : ’bagaimana’ dan tidak pula mengatakan’seperti’ pendengaran makhluk; maka itu tidak termasuk tasybih. Dan itu sebagaimana firman Allah Ta’ala : ”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS. Asy-Syuuraa : 11).” [selesai – Sunan At-Tirmidzi, hadits no. 662].
Abu ‘Utsmaan Ash-Shaabuuni rahimahullah berkata : “Dan tidak mentahrif (merubah) perkataan dari tempatnya, (seperti misal) dengan membawa makna ‘dua tangan’ pada makna ‘dua nikmat’ atau ‘dua kekuatan’ sebagaimana tahrif kelompok Mu’tazilah dan Jahmiyyah – semoga Allah membinasakan mereka - . Tidak pula men-takyif-nya dengan (pertanyaan) ‘bagaimana’, atau men-tasybih-nya dengan tangan kedua makhluk seperti tasybih-nya kelompok Musyabbihah – semoga Allah tidak memberi pertolongan kepada mereka – “ (Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabil-Hadiits, hal. 37).
Adz-Dzahabi rahimahullah berkata : “Tidaklah penetapan sifat-sifat-Nya mengkonsekuensikan adanya penetapan tasybiih dan tajsiim, karena tasybiih itu hanyalah jika dikatakan : ‘tangan seperti tanganku’...... Adapun jika dikatakan : ‘tangan namun tidak menyerupai tanganku’, sebagaimana Dzaat-Nya tidak menyerupai dzat-dzat makhluk, pendengaran-Nya tidak menyerupai pendengaran-pendengaran makhluk, dan penglihatan tidak menyerupai penglihatan-penglihatan makhluk, maka itulah yang disebut tanziih” (Al-Arba’iin min Shifaati Rabbil-‘Aalamiin oleh Adz-Dzahabi, hal. 104, tahqiq : ‘Abdul-Qaadir ‘Athaa’; Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 1/1413 H).
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :  “Dan tidaklah mungkin terjadi pada orang yang berbicara tentang Allah sesuatu yang ternashkan dalam kitab-Nya disebut sebagai musyabbih, ketika ia tidak men-takyif-nya sedikitpun dan mengatakan tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya” (Al-Istidzkaar oleh Ibnu ‘Abdil-Barr, 8/150, tahqiq : Dr. ‘Abdul-Mu’thiy Al-Qal’ajiy; Daar Qutaibah, Cet. 1/1414 H). 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Apa bedanya Fir'aun dengan kaum Wahhabi Mujassimah?

Fira’un berasal dari komunitas penyembah berhala, yang meyakini konsep tajsim dan tasyabuh. Ia mempercayai bahwa Tuhan bertempat dan berposisi, dan secara fisik memiliki kesamaan dengan mahluk.

Oleh karena itu ia merasa bisa melihat Tuhan dengan kasat mata, dan meyakini bahwa Tuhan berada di langit. Untuk itulah ia memerintahkan kaumnya untuk membangun bangunan tinggi, agar ia dapat menaiki bangunan tersebut dan melihat Tuhan. Hal ini teredaksi dalam Quran, dalam surat Al Qashash:38.

“Dan berkata Fir’aun: ‘Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui Tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah Hai Haman untukku TANAH LIAT kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahawa Dia dari orang-orang pendusta.”

Firaun adalah seorang mujassimah dan musyabihah, selain pengakuan dirinya sebagai Tuhan. Karakater yang sama di temui pada golongan Salafi Wahabi, yang meyakini bahwa Tuhan berada di langit.

Firaun dan Salafi Wahabi memiliki pola fikir yang sama, bahwa Tuhan bertempat dan diliputi oleh sesuatu (ciptaanNya). Seperti terlihat dalam surat Al Qashash 38 diatas, bahwa Firaun berkeinginan melihat Tuhan di langit melalui bangunan tinggi untuk ia naiki.

Cara berfikir merek ini memiliki kesamaan dengan para Salafi Wahabi Mujassimah yang meyakini bahwa Tuhan ada di langit. Jadi Salafi Wahabi sama seperti Firaun.

Ini merupakan argumen tidak terbantahkan yang kita ambil dari Al Quran bahwa Salafi Wahabi adalah Mujassimah seperti komunitas penyembah berhala. Allahu a’llam Bissawab.

4.
Pengirim: Achmad alQuthfby  - Kota: Probolinggo
Tanggal: 1/11/2013
 
Judul: INFO YOUTUBE KH. LUTHFI BASHORI
Assalamu alaikum berikut sy sampaikan artikel bantahan tuduhan serampangan mujassimahterhadap ahlussunnah. Jahmiyah dan Asy'ariyah Menuduh Ahlus Sunnah sebagai Musyabbihah/MujassimahJAHMIYAH (JUGA ASY’ARIYAH) MENUDUH AHLUS SUNNAH SEBAGAI MUSYABBIHAH/MUJASSIMAH Imam Abu Utsman bin Sa’id Ad-Darimi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Adz-Dzahabi pun tidak lepas dari tuduhan musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk) / mujassimah oleh Jahmiyah dan Asy’ariyah. Bahkan imam yang empat pun juga terkena tuduhan tersebut. Abu Hatim Ar-Razi mengatakan: “Dan tanda Jahmiyyah adalah menggelari ahli sunnah dengan musyabbihah (menyerupakan Allah dgn makhluk)”. (Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah wal Jama’ah Al-Lalikai 1/204, Dzammul Kalam al-Harawi 4/390) Ibnu Abu Hatim Ar-Razi: “Tanda–tanda kaum jahmiyah adalah mereka menyebut ahlus sunnah sebagai kaum musyabbihah.” (Ushulus Sunnah Wa I’tiqad Dien) Abu Utsman Ismail Ash-Shabuni meriwayatkan dari Ibnu Abi Hatim, dari ayahnya, Abu Hatim Ar-Razi, dia mengatakan: “Tanda-tanda Jahmiyah adalah menamakan Ahlus Sunnah dengan musyabbihah.” (Aqidatus Salaf Ashabil Hadits) Ishaq bin Rahawaih (166-238 H) mengatakan: “Tanda Jahm dan pengikutnya adalah menuduh ahli sunnah dengan penuh kebohongan dengan gelar musyabbihahpadahal merekalah sebenarnya Mu’atthilah (meniadakan/mengingkari sifat bagi Allah).” (Syarh Ushul I’tiqad al-Lalikai (937), Syarh Aqidah At-Thahawiyyah 1/85 oleh Ibnu Abi Izzi Al-Hanafi muridnya Ibnu Katsir) Ibnu Taimiyyah (guru Ibnu Katsir, Adz-Dzahabi, Ibnul Qayyim) berkata: “Kelompok Mu’tazilah dan Jahmiyyah dan sejenisnya dari kalangan pengingkar sifat, mereka menuduh orang-orang yang menetapkannya dengan gelar Mujassimah/Musyabbihah (menyerupakan Allah dgn makhluk), bahkan di antara mereka ada yang menuduh para imam populer seperti Malik, Syafi’i, Ahmad dan para sahabatnya dengan gelarmujassimah dan musyabbihah sebagaimana diceritakan oleh Abu Hatim, penulis kitab “Az-Zinah” dan sebagainya”. (Minhajus Sunnah 2/75) Ibnu Abdil Bar (Ulama madzhab Maliki) berkata: “Seluruh ahli sunnah telah bersepakat untuk menetapkan sifat-sifat yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mengartikan secara zhahirnya. Tetapi mereka tidak menggambarkan bagaimananya sifat-sifat tersebut. Adapun Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Khawarij mereka mengingkari sifat-sifat Allah dan tidak mengartikannya secara zhahirnya. Lucunya mereka menuding bahwa orang yang menetapkannya termasukmusyabbih.” (At-Tahmid 3/351) Adapun tentang tuduhan tasybih, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan : “Dan yang dimaksud di sini, Ahlus Sunnah sepakat bahwa tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah. Tidak dalam Dzaat-Nya, sifat-Nya, ataupun perbuatan-perbuatan-Nya. Akan tetapi lafadh tasybih dalam perkataan manusia adalah lafadh yang mujmal. Apabila yang diinginkan dengan penafikan tasybih adalah apa-apa yang dinafikkan Al-Qur’an dan ditunjukkan oleh akal (sehat), maka ini benar. Hal ini dikarenakan kekhususan-kekhususan Rabb Ta’ala tidaklah disamai sesuatupun dari makhluk-makhluk,.... Dan apabila yang diinginkan dengan tasybiih tersebut bahwa tidak ada satu pun sifat yang boleh ditetapkan untuk Allah, sehingga tidak boleh dikatakan pada-Nya ilmu, qudrah, dan hidup, karena hamba juga disifati dengan sifat-sifat ini; maka ia mengkonsekuenskan tidak boleh dikatakan pada-Nya : Yang Maha Hidup, Yang Maha Mengetahui, dan Maha Berkuasa, karena hamba juga dinamai dengan nama-nama ini. Begitu juga halnya dengan firman-Nya, pendengaran-Nya, pengelihatan-Nya, ru’yah-Nya, dan yang lainnya.....” (Minhajus-Sunnah, melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw lidz-Dzahabi oleh Al-Albaani, hal. 68; Al-Maktab Al-Islaamiy, Cet. 2/1412 H). Imam Ahmad berkata: “Al Musyabbihah adalah orang yang mengatakan: pendengaran Allah seperti pendengaranku, penglihatan Allah seperti penglihatanku, tangan Allah seperti tanganku.” (Al Ibaanah oleh Ibnu Baththah: 3/327) Ishaq bin Rahawaih rahimahullah (guru dari Imam Bukhari dan Imam Muslim) berkata :”Tasybih itu hanya terjadi ketika seseorang itu mengatakan : ”Tangan (Allah) seperti tanganku, pendengaran (Allah) seperti pendengaranku”. Inilah yang dinamakan tasybih (penyerupaan). Adapun jika seseorang mengatakan seperti firman Allah : ’Tangan, pendengaran, penglihatan’ , kemudian ia tidak menyatakan : ’bagaimana’ dan ’seperti’; maka itu tidak termasuk tasybih. Allah berfirman : ”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [Mukhtashar Al-’Ulluw lidz-Dzahabi, hal. 69] At-Tirmidzi berkata: Dan telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin Al-‘Alaa’ : Telah menceritakan kepada kami Wakii’ : Telah menceritakan kepada kami ‘Abbaad bin Manshuur : Telah menceritakan kepada kami Al-Qaasim bin Muhammad, ia berkata : Aku mendengar Abu Hurairah berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah menerima shadaqah dan mengambilnya dengan tangan kanan-Nya. Lalu mengembangkannya untuk kalian sebagaimana salah seorang di antara kalian membesarkan anak kudanya. Hingga, sesuap makanan akan mengembang menjadi segunung Uhud”.Dan hal itu dibenarkan dalam Kitabullah ‘Azza wa Jalla : “Tidakkah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat” (QS. At-Taubah : 104). Dan : “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah” (QS. Al-Baqarah : 276).Abu ‘Isa (At-Tirmidzi-pen) berkata : “Hadits hasan shahih”.Dan telah diriwayatkan hal itu dari ‘Aisyah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang semisal dengannya. Tidak sedikit dari ulama yang mengatakan tentang hadits ini dan yang semisalnya yang membicarakan tentang shifat dan turunnya Rabb Tabaaraka wa Ta’ala pada setiap malam ke langit dunia. Mereka berkata : Sungguh telah shahih riwayat-riwayat tentang hal ini, mereka mengimaninya, tidak salah paham, dan mereka tidak menanyakan ‘bagaimana’ (hakekat sifat tersebut). Demikianlah yang diriwayatkan dari Maalik, Sufyaan bin ‘Uyainah, ‘Abdullah bin Al-Mubaarak, bahwasannya mereka berkata dalam hadits-hadits ini : ‘Kami memperlakukannya tanpa menanyakan ‘bagaimana’. Dan demikianlah perkataan para ulama dari kalangan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Adapun Jahmiyyah mengingkari riwayat-riwayat ini. mereka (jahmiyyah) berkata : “ini adalah tasybih”. Allah ‘Azza wa Jalla telah di tempat yang lain dalam Kitab-Nya : tangan (al-yadd), pendengara (as-sam’), dan penglihatan (al-bashar), maka Jahmiyyah menta’wilkan dan mentafsirkan ayat-ayat ini selain dari yang ditafsirkan para ulama. Mereka (Jahmiyyah) berkata : “Sesungguhnya Allah tidah menciptakan Adam dengan kedua tangan-Nya”. Dan mereka (Jahmiyyah) berkata : “Sesungguhnya makna tangan dalam ayat ini adalah kekuatan (al-quwwah)”.Dan Ishaaq bin Rahawaih berkata : “Tasybih itu hanya terjadi ketika seseorang itu mengatakan : ‘tangan (Allah) seperti tangan (makhluk), pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk)”. Jika ia berkata : ‘Pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk)’, maka inilah yang dinamakan tasybih (penyerupaan).Adapun jika seseorang mengatakan seperti firman Allah : ’tangan, pendengaran, penglihatan’, kemudian ia tidak mengatakan : ’bagaimana’ dan tidak pula mengatakan’seperti’ pendengaran makhluk; maka itu tidak termasuk tasybih. Dan itu sebagaimana firman Allah Ta’ala : ”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS. Asy-Syuuraa : 11).” [selesai – Sunan At-Tirmidzi, hadits no. 662]. Abu ‘Utsmaan Ash-Shaabuuni rahimahullah berkata : “Dan tidak mentahrif (merubah) perkataan dari tempatnya, (seperti misal) dengan membawa makna ‘dua tangan’ pada makna ‘dua nikmat’ atau ‘dua kekuatan’ sebagaimana tahrif kelompok Mu’tazilah dan Jahmiyyah – semoga Allah membinasakan mereka - . Tidak pula men-takyif-nya dengan (pertanyaan) ‘bagaimana’, atau men-tasybih-nya dengan tangan kedua makhluk seperti tasybih-nya kelompok Musyabbihah – semoga Allah tidak memberi pertolongan kepada mereka – “ (Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabil-Hadiits, hal. 37). Adz-Dzahabi rahimahullah berkata : “Tidaklah penetapan sifat-sifat-Nya mengkonsekuensikan adanya penetapan tasybiih dan tajsiim, karena tasybiih itu hanyalah jika dikatakan : ‘tangan seperti tanganku’...... Adapun jika dikatakan : ‘tangan namun tidak menyerupai tanganku’, sebagaimana Dzaat-Nya tidak menyerupai dzat-dzat makhluk, pendengaran-Nya tidak menyerupai pendengaran-pendengaran makhluk, dan penglihatan tidak menyerupai penglihatan-penglihatan makhluk, maka itulah yang disebut tanziih” (Al-Arba’iin min Shifaati Rabbil-‘Aalamiin oleh Adz-Dzahabi, hal. 104, tahqiq : ‘Abdul-Qaadir ‘Athaa’; Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 1/1413 H). Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata : “Dan tidaklah mungkin terjadi pada orang yang berbicara tentang Allah sesuatu yang ternashkan dalam kitab-Nya disebut sebagai musyabbih, ketika ia tidak men-takyif-nya sedikitpun dan mengatakan tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya” (Al-Istidzkaar oleh Ibnu ‘Abdil-Barr, 8/150, tahqiq : Dr. ‘Abdul-Mu’thiy Al-Qal’ajiy; Daar Qutaibah, Cet. 1/1414 H)

Mohon maaf, kami ucapkan kepada Sdr. Amir. Mohon dihindari tulisan yg copas. Karena tulisan yg anda copas itu tdk bermaksud ditujukan kepada tulisan/artikel/ceramah KH. LUTHFI BASHORI ALWY. Jadi terlalu general tulisannya. Coba lah anda lebih berkarya jangan hanya copy dan paste di website pejuang islam ini.

Kami akan menanggapinya secara global saja dengan memuat dialog dari guru kami :
Ada sebuah dialog yang unik antara seorang Muslim Sunni yang meyakini Allah
subhanahu wa ta‘ala ada tanpa tempat, dengan seorang Wahhabi yang
berkeyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bertempat. Wahhabi berkata:
“Kamu ada pada suatu tempat. Aku ada pada suatu tempat. Berarti setiap
sesuatu yang ada, pasti ada tempatnya. Kalau kamu berkata, Allah ada tanpa
tempat, berarti kamu berpendapat Allah tidak ada.” Sunni menjawab; “Sekarang
saya akan bertanya kepada Anda: “Bukankah Allah telah ada tanpa tempat
sebelum diciptakannya tempat?” Wahhabi menjawab: “Betul, Allah ada tanpa
tempat sebelum terciptanya tempat.” Sunni berkata: “Kalau memang wujudnya
Allah tanpa tempat sebelum terciptanya tempat itu rasional, berarti rasional pula
dikatakan, Allah ada tanpa tempat setelah terciptanya tempat. Mengatakan Allah
ada tanpa tempat, tidak berarti menafikan wujudnya Allah.”
Wahhabi berkata: “Bagaimana seandainya saya berkata, Allah telah bertempat
sebelum terciptanya tempat?” Sunni menjawab: “Pernyataan Anda mengandung
dua kemungkinan. Pertama, Anda mengatakan bahwa tempat itu bersifat azali
(tidak ada permulaannya), keberadaannya bersama wujudnya Allah dan bukan
termasuk makhluk Allah. Demikian ini berarti Anda mendustakan firman Allah
subhanahu wa ta‘ala:
“Allah-lah pencipta segala sesuatu.” (QS. al-Zumar : 62).
Kemungkinan kedua, Anda berpendapat, bahwa Allah itu baru, yakni wujudnya
Allah terjadi setelah adanya tempat, dengan demikian berarti Anda mendustakan
firman Allah subhanahu wa ta‘ala:
“Dialah (Allah) Yang Maha Awal (wujudnya tanpa permulaan) dan Yang Maha
Akhir (Wujudnya tanpa akhir).” (QS. al-Hadid : 3).
Demikianlah dialog seorang Muslim Sunni dengan orang Wahhabi. Pada
dasarnya, pendapat Wahhabi yang meyakini bahwa wujudnya Allah subhanahu
wa ta‘ala ada dengan tempat dapat menjerumuskan seseorang keluar dari
keyakinan yang paling mendasar setiap Muslim, yaitu Allah subhanahu wa ta‘ala
Maha Suci dari segala kekurangan.
Tidak jarang, kaum Wahhabi menggunakan ayat-ayat al-Qur’an untuk
membenarkan keyakinan mereka, bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bertempat
di langit. Akan tetapi, dalil-dalil mereka dapat dengan mudah dipatahkan dengan
ayat-ayat al-Qur’an yang sama.

 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Untuk Amir Cibinong

5.
Pengirim: Aris  - Kota: Probolinggo
Tanggal: 1/11/2013
 
Dialog Terbuka di Surabaya dan Blitar
Pada tahun 2009, saya pernah terlibat perdebatan sengit dengan seorang
Ustadz Salafi berinisial AH di Surabaya. Beberapa bulan berikutnya saya
berdebat lagi dengan Ustadz Salafi di Blitar. Ustadz tersebut berinisial AH pula, tetapi lain orang. Dalam perdebatan tersebut saya bertanya kepada AH:
“Mengapa Anda meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit?”
Menanggapi pertanyaan saya, AH menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an yang
menurut asumsinya menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di
langit. Lalu saya berkata: “Ayat-ayat yang Anda sebutkan tidak secara tegas
menunjukkan bahwa Allah ada di langit. Karena kosa kata istawa, menurut para
ulama memiliki 15 makna. Di samping itu, apabila Anda berargumentasi dengan
ayat-ayat tersebut, maka argumen Anda dapat dipatahkan dengan ayat-ayat lain
yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit.
Misalnya Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman: “Dan Dia bersama kamu di mana
saja kamu berada.” (QS. al-Hadid : 4). Ayat ini menegaskan bahwa Allah
subhanahu wa ta‘ala bersama kita di bumi, bukan ada di langit. Dalam ayat lain
Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman:
“Dan Ibrahim berkata, “Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku (Palestina),
yang akan memberiku petunjuk.” (QS. al-Shaffat : 99).
Dalam ayat ini, Nabi Ibrahim alaihissalam berkata akan pergi menuju Tuhannya,
padahal Nabi Ibrahim alaihissalam pergi ke Palestina. Dengan demikian, secara
literal ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bukan ada di
langit, tetapi ada di Palestina.” Setelah saya berkata demikian, AH tidak mampu
menjawab akan tetapi mengajukan dalil lain dan berkata: “Keyakinan bahwa
Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit telah dijelaskan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang budak
perempuan yang berkulit hitam: “Allah ada di mana?” Lalu budak itu menjawab:
“Allah ada di langit.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya; “Saya siapa?” Ia
menjawab: “Engkau Rasul Allah.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
kepada majikan budak itu, “Merdekakanlah budak ini. Karena ia seorang budak
yang mukmin.” (HR. Muslim).”
Setelah AH berkata demikian, saya menjawab begini: “Ada tiga tinjauan
berkaitan dengan hadits yang Anda sebutkan. Pertama, dari aspek kritisisme
ilmu hadits (naqd al-hadits). Hadits yang Anda sebutkan menurut para ulama
tergolong hadits mudhtharib (hadits yang simpang siur periwayatannya),
sehingga kedudukannya menjadi lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah.
Kesimpangsiuran periwayatan hadits tersebut, dapat dilihat dari perbedaan
setiap perawi dalam meriwayatkan hadits tersebut. Ada yang meriwayatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bertanya di mana Allah subhanahu wa ta‘ala.
Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, apakah kamu bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah.
Kedua, dari segi makna, para ulama melakukan ta’wil terhadap hadits tersebut
dengan mengatakan, bahwa yang ditanyakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebenarnya adalah bukan tempat, tetapi kedudukan atau derajat Allah
subhanahu wa ta‘ala. Lalu orang tersebut menjawab kedudukan Allah
subhanahu wa ta‘ala ada di langit, maksudnya Allah subhanahu wa ta‘ala itu
Maha Luhur dan Maha Tinggi.
Ketiga, apabila Anda berargumen dengan hadits tersebut tentang keyakinan
Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit, maka argumen Anda dapat dipatahkan
dengan hadits lain yang lebih kuat dan menegaskan bahwa Allah subhanahu wa
ta‘ala tidak ada di langit, bahkan ada di bumi. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan
dalam Shahih-nya:
“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melihat dahak di arah kiblat, lalu beliau menggosoknya dengan
tangannya, dan beliau kelihatannya tidak menyukai hal itu. Lalu beliau bersabda:
“Sesungguhnya apabila salah seorang kalian berdiri dalam shalat, maka ia
sesungguhnya berbincang-bincang dengan Tuhannya, atau Tuhannya ada di
antara dirinya dan kiblatnya. Oleh karena itu, janganlah ia meludah ke arah
kiblatnya, akan tetapi meludahlah ke arah kiri atau di bawah telapak kakinya.”
(HR. al-Bukhari [405]).
Hadits ini menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di depan orang
yang sedang shalat, bukan ada di langit. Hadits ini jelas lebih kuat dari hadits
riwayat Muslim, karena hadits ini riwayat al-Bukhari. Setelah saya menjawab
demikian, AH juga tidak mampu menanggapi jawaban saya. Sepertinya dia
merasa kewalahan dan tidak mampu menjawab. Ia justru mengajukan dalil lain
dengan berkata: “Keyakinan bahwa Allah ada di langit itu ijma’ ulama salaf.” Lalu
saya jawab, “Tadi Anda mengatakan bahwa dalil keyakinan Allah ada di langit,
adalah ayat al-Qur’an. Kemudian setelah argumen Anda kami patahkan, Anda
beragumen dengan hadits. Lalu setelah argumen Anda kami patahkan lagi, Anda
sekarang berdalil dengan ijma’. Padahal ijma’ ulama salaf sejak generasi
sahabat justru meyakini Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Al-Imam Abu
Manshur al-Baghdadi berkata dalam al-Farqu Bayna al-Firaq:
“Kaum Muslimin sejak generasi salaf (para sahabat dan tabi’in) telah bersepakat
bahwa Allah tidak bertempat dan tidak dilalui oleh waktu.” (al-Farq bayna al-
Firaq, 256).
Al-Imam Abu Ja’far al-Thahawi juga berkata dalam al-’Aqidah al-Thahawiyyah,
risalah kecil yang menjadi kajian kaum Sunni dan Wahhabi:
“Allah subhanahu wa ta‘ala tidak dibatasi oleh arah yang enam.”
Setelah saya menjawab demikian kepada AH, saya bertanya kepada AH:
“Menurut Anda, tempat itu makhluk apa bukan?” AH menjawab: “Makhluk.” Saya
bertanya: “Kalau tempat itu makhluk, lalu sebelum terciptanya tempat, Allah ada
di mana?” AH menjawab: “Pertanyaan ini tidak boleh, dan termasuk pertanyaan
yang bid’ah.” Demikian jawaban AH, yang menimbulkan tawa para hadirin dari
semua kalangan pada waktu itu. Kebetulan pada acara tersebut, mayoritas
hadirin terdiri dari kalangan Salafi, anggota jamaah AH.
Demikianlah, cara dialog orang-orang Wahhabi. Ketika mereka tidak dapat
menjawab pertanyaan, mereka tidak akan menjawab, aku tidak tahu,
sebagaimana tradisi ulama salaf dulu. Akan tetapi mereka akan menjawab,
“Pertanyaanmu bid’ah dan tidak boleh.” AH sepertinya tidak mengetahui bahwa
pertanyaan Allah subhanahu wa ta‘ala ada di mana sebelum terciptanyan alam,
telah ditanyakan oleh para sahabat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkata kepada mereka, bahwa
pertanyaan tersebut bid’ah atau tidak boleh. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan
dalam Shahih-nya:
“Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berada bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang sekelompok dari penduduk Yaman
dan berkata: “Kami datang untuk belajar agama dan menanyakan tentang
permulaan yang ada ini, bagaimana sesungguhnya?” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah telah ada dan tidak ada sesuatu apapun
selain Allah.” (HR. al-Bukhari [3191]).
Hadits ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Allah
subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya makhluk, termasuk tempat. Al-Imam
al-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam al-Sunan berikut ini:
“Abi Razin radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, di
manakah Tuhan kita sebelum menciptakan makhluk-Nya?” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada tanpa sesuatu apapun yang
menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu.
Lalu Allah menciptakan Arasy di atas air.” Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa
Yazid bin Harun berkata, maksud hadits tersebut, Allah ada tanpa sesuatu
apapun yang menyertai (termasuk tempat). Al-Tirmidzi berkata: “hadits ini
bernilai hasan”. (Sunan al-Tirmidzi, [3109]).
Dalam setiap dialog yang terjadi antara Muslim Sunni dengan kaum Wahhabi,
pasti kaum Sunni mudah sekali mematahkan argumen Wahhabi. Ketika Wahhabi
mengajukan argumen dari ayat al-Qur’an, maka dengan mudahnya dipatahkan
dengan ayat al-Qur’an yang lain. Ketika Wahhabi mengajukan argumen dengan
hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti kaum Sunni dengan mudahnya
mematahkan argumen tersebut dengan hadits yang lebih kuat. Dan ketika Sunni
berargumen dengan dalil rasional, pasti Wahhabi tidak dapat membantah dan
menjawabnya. Keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada tanpa tempat
adalah keyakinan kaum Muslimin sejak generasi salaf, kalangan sahabat dan
tabi’in. Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Allah subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya tempat. Dan keberadaan Allah
sekarang, sama seperti sebelum adanya tempat (maksudnya Allah tidak
bertempat).” (al-Farq bayna al-Firaq, 256).

 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Untuk Amir Cibinong.

6.
Pengirim: Achmad alQuthfby  - Kota: Probolinggo
Tanggal: 1/11/2013
 
Al-Imam al-Bukhari dan Ta’wil
Kalau kita mengamati dengan seksama, perdebatan orang-orang Wahhabi
dengan para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah, akan mudah kita simpulkan, bahwa kaum Wahhabi seringkali mengeluarkan vonis hukum tanpa memiliki
dasar ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan. Bahkan tidak jarang,
pernyataan mereka dapat menjadi senjata untuk memukul balik pandangan
mereka sendiri. Ustadz Syafi’i Umar Lubis dari Medan bercerita kepada saya.
“Ada sebuah pesantren di kota Siantar, Siamlungun, Sumatera Utara. Pesantren
itu bernama Pondok Pesantren Darus Salam. Setiap tahun, Pondok tersebut
mengadakan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengundang
sejumlah ulama dari berbagai daerah termasuk Medan dan Aceh. Acara puncak
biasanya ditaruh pada siang hari. Malam harinya diisi dengan diskusi. Pada
Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tahun 2010 ini saya dan beberapa
orang ustadz diminta sebagai pembicara dalam acara diskusi. Kebetulan diskusi
kali ini membahas tentang Salafi apa dan mengapa, dengan judul Ada Apa
Dengan Salafi?
Setelah presentasi tentang aliran Salafi selesai, lalu tibalah sesi tanya jawab.
Ternyata dalam sesi tanya jawab ini ada orang yang berpakaian gamis
mengajukan keberatan dengan pernyataan saya dalam memberikan keterangan
tentang Salafi, antara lain berkaitan dengan ta’wil. Orang Salafi tersebut
mengatakan: “Al-Qur’an itu diturunkan dengan bahasa Arab. Sudah barang tentu
harus kita fahami sesuai dengan bahasa Arab pula”. Pernyataan orang Salafi itu,
saya dengarkan dengan cermat. Kemudian dia melanjutkan keberatannya
dengan berkata: “Ayat-ayat al-Qur’an itu tidak perlu dita’wil dan ini pendapat
Ahlussunnah”.
Setelah diselidiki, ternyata pemuda Salafi itu bernama Sofyan. Ia berprofesi
sebagai guru di lembaga As-Sunnah, sebuah lembaga pendidikan orang-orang
Wahhabi atau Salafi. Mendengar pernyataan Sofyan yang terakhir, saya
bertanya: “Apakah Anda yakin bahwa al-Imam al-Bukhari itu ahli hadits?” Sofyan
menjawab: “Ya, tidak diragukan lagi, beliau seorang ahli hadits.”
Saya bertanya: “Apakah al-Bukhari penganut faham Ahlussunnah Wal-
Jama’ah?” Sofyan menjawab: “Ya.” Saya berkata: “Apakah al-Albani seorang ahli
hadits?” Sofyan menjawab: “Ya, dengan karya-karya yang sangat banyak dalam
bidang hadits, membuktikan bahwa beliau juga ahli hadits.” Saya berkata: “Kalau
benar al-Bukhari menganut Ahlussunnah, berarti al-Bukhari tidak melakukan
ta’wil. Bukankah begitu keyakinan Anda?” Sofyan menjawab: “Benar begitu.”
Saya berkata: “Saya akan membuktikan kepada Anda, bahwa al-Bukhari juga
melakukan ta’wil .” Sofyan berkata: “Mana buktinya?” Mendengar pertanyaan
Sofyan, saya langsung membuka Shahih al-Bukhari tentang ta’wil yang beliau
lakukan dan memberikan photo copynya kepada anak muda itu. Saya berkata:
“Anda lihat pada halaman ini, al-Imam al-Bukhari mengatakan:
Artinya, “Bab tentang ayat : Segala sesuatu akan hancur kecuali Wajah-Nya,
artinya Kekuasaan-Nya.”
Nah, kata wajah-Nya, oleh al-Imam al-Bukhari diartikan dengan mulkahu, artinya
kekuasaan-Nya. Kalau begitu al-Imam al-Bukhari melakukan ta’wil terhadap ayat
ini. Berarti, menurut logika Anda, al-Bukhari seorang yang sesat, bukan
Ahlussunnah. Anda setuju bahwa al-Bukhari bukan Ahlussunnah dan pengikut
aliran sesat?”.
Mendengar pertanyaan saya, Sofyan hanya terdiam. Sepatah katapun tidak
terlontar dari lidahnya. Kemudian saya berkata: “Kalau begitu, sejak hari ini,
sebaiknya Anda jangan memakai hadits al-Bukhari sebagai rujukan. Bahkan
Syaikh al-Albani, orang yang saudara puji itu, dan orang-orang Salafi memujinya
dan menganggapnya lebih hebat dari al-Imam al-Bukhari sendiri. Al-Albani telah
mengkritik al-Imam al-Bukhari dengan kata-kata yang tidak pantas. Al-Albani
berkata: “Pendapat al-Bukhari yang melakukan ta’wil terhadap ayat di atas ini
tidak sepatutnya diucapkan oleh seorang Muslim yang beriman”. Inilah komentar
Syaikh Anda, al-Albani tentang ta’wil al-Imam al-Bukhari ketika menta’wil ayat:
Secara tidak langsung, seolah-olah al-Albani mengatakan bahwa ta’wilan al-
Imam al-Bukhari tersebut pendapat orang kafir. Kemudian saya mengambil
photo copy buku fatwa al-Albani dan saya serahkan kepada anak muda Salafi
ini. Ia pun diam seribu bahasa. Demikian kisah yang dituturkan oleh Syafi’i Umar
Lubis dari Medan, seorang ulama muda yang kharismatik dan bersemangat
dalam membela Ahlussunnah Wal-Jama’ah.

 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Untuk Amir Cibinong

7.
Pengirim: amir  - Kota: Cibinong Tegar Beriman
Tanggal: 1/11/2013
 
@ sdr. achmad Q dan sdr. Aris (semoga Allah memberi Taufiq kepada antum sekalian).

Agar lebih fokus pembahasannya, sy mengajak antum sekalian mengekerucutkan pembahasan tentang Aqidah bahwa Allah di atas Arsy.

Berikut ini beberapa ucapan para tokoh ulama Syafi'iyah yang secara tegas mengatakan bahwa Allah berada di atas 'Arsy yang sesuai dengan kemulian-Nya.

a. Imam Syafi'i
Imam Syafi'i berdalil dg hadist Mu'awiyah ibn hakam r.a (tentang budak yang dimerdekakan setalah Rasulullah bertanya di mana Allah? budak itu menjawab Allah di atas langit )dalam beberapa kitabnya (Al-Umm 5/280 dan Ar-Risalah :7-8) dengan tanpa mngkritik isi kandungannya.

Imam syafi'i rahimahullah jg mengatakan: "pendapat dalam sunnah (aqidah) yang saya yakini dan diyakini oleh kawan-kawan saya ahli hadist yang saya bertemu dengan mereka dan belajar kepada mereka seperti Sufyan, Malik dan selain keduanya adalah menetapkan syahadat bahwa Tidak ada yang berhak untuk diibadahi secara benar kecuali hanya Allah saja dan bahwasannya bahwa Muhammad adlh utusan Allah dan bahwa ALLAH DI ATAS Arsy-Nya di langitnya dekat dengan para hamba-Nya sekehendak Dia dan Dia turun ke langit Dunia sekehendak-Nya". (Adab Al-Syafi'i wa manaqibuhu hal 93 karya Ibn Abi Hatim. I'titiqad Al-Imam Al-Syafi'i no.4 karya Al-Hakari.

Riwayat ini sangat tegas menyatakan bahwa Allah berada di atas langit. Atsar ini ternyata jg diriwayatkan dari banyak jalur. ulama mazhab Syafi'iyyah yang menukil ucapan Imam Syafi'i diantaranya Al-Banzanji (wafat 1103 H).

Demikian jg ditegaskan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar, beliau berkata " dan Al-baihaqi telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ahmad ibn Abil Hawari... dan dari jalur Abu Bakr Al-Daba'i ia berkata "Madzhab ahlussunnah terhadap firman Allah "Dan Ar-Rahman ber-Istiwa di atas Arsy " adalah tanpa ditanya bagaimananya. Dan Atsar-atsar dari salaf tentang ini banyak sekali. Dan inilah jalan al-Imam as-Syafi'i dan Ahmad Ibn Hanbal" (Fath al-Bari 13/407)

2. Al-Imam Al-Muzanni (175-264 H).(Murid Senior Imam Syafi'i).
Beliau mengatakan :
"Tinggi di atas Arsy-Nya, Dia (Allah) dekat pada hamba-Nyadengan Ilmu-Nya. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu....(Syarh al-sunnah al-Muzanni hal.79).
" Tinggi di atas Arsy-Nya, terpisah dengan mahluk-Nya. Allah itu ada, bukannya tidak ada dan hilang (hal. 82).

3. Al-Imam bin Said ad-darimi(200-280 H)
Beliau berkata:
" Telah bersepakat kalimat kaum muslimin dan kafirin bahwa Allah di atas langit" (Naqd Abi Sa'id'ala al-Marisi al_fahmi al-Anid 1/228)

4. Al-Imam Ibn Khuzaimah (223-311H)
Beliau berkata:
"Maka hadist-hadist ini seluruhnya menunjukkan bahwa pencipta berada di atas langit yang ke tujuh. Hal ini tidak sebagiamana dipersangkakan oleh Mu'attilah (penafi/penolak sifat-sifat Allah) bahwasannya sesembahan mereka bersama mereka di rumah mereka" (Kitab At-Tauhid 1/273).

5. Imam Abu Hasan al-asy'ari (260-324 H)

beliau berkata :
"Dan kaum Mu'tazilah, Haruriyah, dan Jahmiyyah beranggapan bahwa Allah berada di setiap tempat. Hal ini melazimkan mereka bahwa Allah berada di perut Maryam, tempat sampah dan WC. Faham ini menyelisihi agama. Maha tinggi Allah dari perkataan rendah mereka". (Al-Ibanah fi Ushul Diyanah hal.26).

6. Ulama Syafi'iyyah lainnya dianatara Al-Khattabi (319-388H), Imam Nawawi dll...

Semoga bermanfaat..
 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Untuk Sdr. Achmad Alquthfby dan Sdr. Aris, mohon direspon.

8.
Pengirim: Achmad alQuthfby  - Kota: Probolinggo
Tanggal: 2/11/2013
 
a. Imam Syafi'i Imam Syafi'i berdalil dg hadist Mu'awiyah ibn hakam r.a (tentang budak yang dimerdekakan setalah Rasulullah bertanya di mana Allah? budak itu menjawab Allah di atas langit )dalam beberapa kitabnya (Al-Umm 5/280 dan Ar-Risalah :7-8) dengan tanpa mngkritik isi kandungannya. Imam syafi'i rahimahullah jg mengatakan: "pendapat dalam sunnah (aqidah) yang saya yakini dan diyakini oleh kawan-kawan saya ahli hadist yang saya bertemu dengan mereka dan belajar kepada mereka seperti Sufyan, Malik dan selain keduanya adalah menetapkan syahadat bahwa Tidak ada yang berhak untuk diibadahi secara benar kecuali hanya Allah saja dan bahwasannya bahwa Muhammad adlh utusan Allah dan bahwa ALLAH DI ATAS Arsy-Nya di langitnya dekat dengan para hamba-Nya sekehendak Dia dan Dia turun ke langit Dunia sekehendak-Nya". (Adab Al-Syafi'i wa manaqibuhu hal 93 karya Ibn Abi Hatim. I'titiqad Al-Imam Al-Syafi'i no.4 karya Al-Hakari). Riwayat ini sangat tegas menyatakan bahwa Allah berada di atas langit. Atsar ini ternyata jg diriwayatkan dari banyak jalur. ulama mazhab Syafi'iyyah yang menukil ucapan Imam Syafi'i diantaranya Al-Banzanji (wafat 1103 H). Demikian jg ditegaskan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar, beliau berkata " dan Al-baihaqi telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ahmad ibn Abil Hawari... dan dari jalur Abu Bakr Al-Daba'i ia berkata "Madzhab ahlussunnah terhadap firman Allah "Dan Ar-Rahman ber-Istiwa di atas Arsy " adalah tanpa ditanya bagaimananya. Dan Atsar-atsar dari salaf tentang ini banyak sekali. Dan inilah jalan al-Imam as-Syafi'i dan Ahmad Ibn Hanbal" (Fath al-Bari 13/407) 2. Al-Imam Al-Muzanni (175-264 H).(Murid Senior Imam Syafi'i). Beliau mengatakan : "Tinggi di atas Arsy-Nya, Dia (Allah) dekat pada hamba-Nyadengan Ilmu-Nya. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu....(Syarh al-sunnah al-Muzanni hal.79). " Tinggi di atas Arsy-Nya, terpisah dengan mahluk-Nya. Allah itu ada, bukannya tidak ada dan hilang (hal. 82). 3. Al-Imam bin Said ad-darimi(200-280 H) Beliau berkata: " Telah bersepakat kalimat kaum muslimin dan kafirin bahwa Allah di atas langit" (Naqd Abi Sa'id'ala al-Marisi al_fahmi al-Anid 1/228) 4. Al-Imam Ibn Khuzaimah (223-311H) Beliau berkata: "Maka hadist-hadist ini seluruhnya menunjukkan bahwa pencipta berada di atas langit yang ke tujuh. Hal ini tidak sebagiamana dipersangkakan oleh Mu'attilah (penafi/penolak sifat-sifat Allah) bahwasannya sesembahan mereka bersama mereka di rumah mereka" (Kitab At-Tauhid 1/273). 5. Imam Abu Hasan al-asy'ari (260-324 H) beliau berkata : "Dan kaum Mu'tazilah, Haruriyah, dan Jahmiyyah beranggapan bahwa Allah berada di setiap tempat. Hal ini melazimkan mereka bahwa Allah berada di perut Maryam, tempat sampah dan WC. Faham ini menyelisihi agama. Maha tinggi Allah dari perkataan rendah mereka". (Al-Ibanah fi Ushul Diyanah hal.26). 6. Ulama Syafi'iyyah lainnya dianatara Al-Khattabi (319-388H), Imam Nawawi dll... Semoga bermanfaat.

Tanggapan :
Sebelumnya sudah saya katakan, bahwa anda jangan terlalu banyak copas disini. Karena kami bisa saja copas dan itu tidak kami lakukan untuk menjaga proses dialog berjalan dengan komunikatif dan pemaparan dalil benar-benar ditujukan untuk menanggapi tulisan KH Luthfi Bashori dan komentar saya.

Dalil-Dalil anda telah kami patahkan, dan sekarang anda berdalil perkataan dan pernyataan Imam Syafii dan pengikutnya. Apakah anda membenarkan taqlid? Anda mau membahas dalil quran dan sunnah atau pendapat para ulama?

Coba anda teliti: Imam syafi'i rahimahullah jg mengatakan: "pendapat dalam sunnah (aqidah) yang saya yakini dan diyakini oleh kawan-kawan saya ahli hadist yang saya bertemu dengan mereka dan belajar kepada mereka seperti Sufyan, Malik dan selain keduanya adalah menetapkan syahadat bahwa Tidak ada yang berhak untuk diibadahi secara benar kecuali hanya Allah saja dan bahwasannya bahwa Muhammad adlh utusan Allah dan bahwa ALLAH DI ATAS Arsy-Nya di langitnya DEKAT DENGAN PARA HAMBA-NYA sekehendak Dia dan Dia turun ke langit Dunia sekehendak-Nya". (Adab Al-Syafi'i wa manaqibuhu hal 93 karya Ibn Abi Hatim. I'titiqad Al-Imam Al-Syafi'i no.4 karya Al-Hakari)

Kalo dekat dengan HambaNya berarti Alloh di bumi?
Didalam pernyataan imam syafii –kalo pun itu tidak didistorsi oleh wahabi- terlihat jelas bahwa imam syafii menyatakan Alloh tidak butuh tempat. Alloh itu bukan mahkluk dan berbeda dengan makhluknya yang butuh tempat; karena pencipta tempat itu Alloh dan Alloh tidak butuh kepada ciptaanNya.

ijma’ ulama salaf sejak generasi sahabat justru meyakini Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi berkata dalam al-Farqu Bayna al-Firaq: “Kaum Muslimin sejak generasi salaf (para sahabat dan tabi’in) telah bersepakat
bahwa Allah tidak bertempat dan tidak dilalui oleh waktu.” (al-Farq bayna al-
Firaq, 256).

Al-Imam Abu Ja’far al-Thahawi juga berkata dalam al-’Aqidah al-Thahawiyyah,
risalah kecil yang menjadi kajian kaum Sunni dan Wahhabi: “Allah subhanahu wa ta‘ala tidak dibatasi oleh arah yang enam.”

Ayat-ayat yang Anda sebutkan tidak secara tegas menunjukkan bahwa Allah ada di langit. Karena kosa kata istawa, menurut para ulama memiliki 15 makna. Di samping itu, apabila Anda berargumentasi dengan ayat-ayat tersebut, maka argumen Anda dapat dipatahkan dengan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit. Misalnya Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman: “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. al-Hadid : 4). Ayat ini menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bersama kita di bumi, bukan ada di langit.

Jika memang Alloh itu bertempat/berlokasi, menurut anda tempat itu makhluk apa bukan?. Kalau tempat itu makhluk, lalu sebelum terciptanya tempat, Allah ada di mana?. Jawab hal ini !!!!

Bahkan didalam hadist yang shahih, Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melihat dahak di arah kiblat, lalu beliau menggosoknya dengan
tangannya, dan beliau kelihatannya tidak menyukai hal itu. Lalu beliau bersabda:
“Sesungguhnya apabila salah seorang kalian berdiri dalam shalat, maka ia
sesungguhnya berbincang-bincang dengan Tuhannya, atau Tuhannya ada di
antara dirinya dan kiblatnya. Oleh karena itu, janganlah ia meludah ke arah
kiblatnya, akan tetapi meludahlah ke arah kiri atau di bawah telapak kakinya.”
(HR. al-Bukhari [405]).

Hadits diatas menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di depan orang
yang sedang shalat, bukan ada di langit.

Keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada tanpa tempat
adalah keyakinan kaum Muslimin sejak generasi salaf, kalangan sahabat dan
tabi’in. Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Allah subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya tempat. Dan keberadaan Allah
sekarang, sama seperti sebelum adanya tempat (maksudnya Allah tidak
bertempat).” (al-Farq bayna al-Firaq, 256).


 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Untuk Amir Cibinomg.

9.
Pengirim: syahril ramadhan  - Kota: jakarta selatan
Tanggal: 3/11/2013
 
Assalammu'alaikum wr wb

Teriring salam semoga pak kyai selalu dalam keadaan sehat wal afiat, dan senantiasa dalam kesuksesan dunia dan akhirat , amiinn

Pak kyai, saudara kita si amir dari cibinong inikan sudah NGETOP di situs ini sebagai salapi "COPAS" dan "NGEYEL", selalu dalam setiap kesempatan dalam dialog via situs ini beliau sdr amir tidak menunjukkan INTELEKTUALITAS dan KEILMUAN yg sepatutnya (alias kurang cerdas gt), contoh simplenya beliau senantiasa COPAS tanpa paham apa yg tertuang dalam copasannya, PADAHAL ARGUMEN2 DALAM COPAS SUDAH TERBANTAH DAN DIBANTAH, baik oleh pak kyai, ust achmad al qurthuby, dkk TAPI TETEP SAJA ARGUMEN COPAS DIULANG2 OLEH BELIAU (sdr Amir ).

Dialog tidak pernah 2 ARAH, dialog yg baik, dialog yg menunjukkan jati diri bahwa seseorang itu benar2 mencari pemahaman yg terbaik, pemahaman yg benar sesuai pemahaman Baginda Sayyidina Rasulullah SAW, para sahabat, tabi'in dan tabi'- tabiin SEHARUSNYA DIAlOG 2 ARAH, bukan MONOLOG, PAPAR ARGUMEN SEMPIT TANPA MENGINDAHKAN BANTAHAN ATAU KOREKSI DARI ORANG LAIN.

Oleh karena itu ada baiknya bagi saudara kami bpk Amir dari cibinong untuk lebih INTELEK, ILMIAH , tidak JUMUD dan Mau menang sendiri, dialog ada tata caranya loh!!!

dan saya atas nama pribadi sebagai pengunjung situs www.pejuangislam.com BERHARAP agar komen dari orang seperti AMIR dari cibinong TIDAK USAH DITANGGAPI, sudah cukup bagi seluruh pengunjung situs ini MELIHAT dan MENYAKSIKAN, seperti NYATA dan TERANGNYA MATAHARI di SIANG BOLONG, bahwa sdr Amir seakan BERDIALOG BUKAN DNG SEMANGAT UNTUK MENCaRI KEBENARAN, melainkan hanya MEMPERTONTONKAN KEJUMUDAN ATAS PEMAHAMANNYA YG PARSIAL!!! Karena sudah berkali2 dipatahkan argumennya dalam banyak pembahasan di situs ini, tapi tetap mengulang2 hal yg sama.

Mohon maaf kepada pak Kyai, saya cuma gk ridho waktu pak kyai jd terkuras untuk melayani 1 orang yg NGEYEL, karena ummat yg gak NGEYEL lebih banyak, dan lebih membutuhkan pak kyai.

Akhhirnya cuma do'a keatas segenap saudara2 kita semoga Alloh SWT berikan pemahaman yg benar untuk kita semua, amiinn  
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Terima kasih atas sarannya, insyaallah kami perhatikan.

 
 
Kembali Ke atas | Kembali Ke Index Karya Ilmiah
 
 
 
  Situs © 2009-2025 Oleh Pejuang Islam