“Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu: ‘Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar.” (QS. Al-Isra: 4)
Kita dan Sejarah Kebiadaban Yahudi
Faris Khoirul Anam, Lc
Bila diperhatikan, Surah al-Isra juga disebut dengan Surah Bani Israil. Mungkin Anda bertanya, kenapa ia dinamakan demikian? Padahal jumlah ayat yang memperbincangkan Bani Israil dalam surah tersebut hanya berjumlah lima ayat di bagian awal surah, dan empat ayat di bagian akhirnya. Selain itu, bukankah dalam al-Quran ada surah-surah panjang berisi puluhan ayat yang membicarakan berbagai keadaan dan kisah Bani Israil? Sebut saja Surah al-Baqarah, Ali Imran, an-Nisa, al-Maidah, dan al-A’raf.
Lebih dari itu, ada pula surah-surah yang panjangnya sedang dan berisi puluhan ayat yang membahas kisah Musa bersama Fir’aun, serta kisah pembangkang ini dan orang-orang terdekatnya, bersama kaum lemah dari Bani Israil. Misalnya saja Surah Yunus, Thaha, asy-Syu’ara, al-Qashash, dan Ghafir. Dalam kitab suci ini juga ada Surah Yusuf. Semua pembahasannya tentang Yusuf dan saudara-saudaranya, dan mereka adalah nenek moyang suku-suku Bani Israil!
Beberapa ulama, di antaranya Muhammad Ali Daulah dalam kitabnya Latufsidunna fi al-Ardhi Marratain sampai pada sebuah kesimpulan, setelah ia memperhatikan secara seksama kelima ayat di bagian awal surah, juga empat ayat di bagian akhirnya, yakni dari firman Allah di ayat 101, “Dan sesungguhnya Kami telah memberikan kepada Musa sembilan buah mu\`jizat yang nyata,” sampai ayat, “dan Kami berfirman sesudah itu (yakni sesudah Musa, setelah kaumnya membuat kerusakan di muka bumi) kepada Bani Israil: ‘Diamlah di negeri ini, maka apabila datang masa berbangkit, niscaya Kami datangkan kamu dalam keadaan bercampur baur (dengan musuhmu).\" (QS. Al-Isra: 104)
Ternyata, dalam ayat-ayat di atas, terdapat ringkasan yang kandungannya mencakup seluruh kisah hidup Bani Israil (yang pada perkembangannya disebut Yahudi). Disebutkan oleh ayat, pada awalnya mereka mengarungi hidup di atas kenikmatan dan keistimewaan. Namun, “rapot” perjalanan hidup itu kemudian menyebutkan, mereka mengkufuri nikmat tersebut, bukan menyukurinya. Mereka membuat kerusakan, bukan melestarikan. Hidup mereka penuh dengan permusuhan dan aniaya, bukan keadilan dan kasih sayang.
Anugerah yang telah dilimpahkan Allah kepada Bani Israil itu antara lain, mengentaskan mereka dari perbudakan menjadi merdeka; menghilangkan kelemahan hingga menjadi bangsa yang kuat; dari tertindas menjadi bebas; serta menjadikan mereka sebagai khalifah di tanah suci yang dulunya disebut “Bumi Kan’an”. Allah juga mengunggulkan derajat mereka dibandingkan bangsa-bangsa lain yang ada kala itu; mengangkat nabi dan raja dari kalangan mereka sendiri; membentangkan negeri dan memberi mereka sesuatu yang belum pernah diberikan pada seorang pun di zaman itu.
Setelah Nabi Musa meninggal dunia, bangsa ini diasuh oleh sejumlah nabi, kemudian oleh para raja yang sekaligus menjadi nabi. Bani Israil mewarisi tanah suci dengan syarat jelas: agar mereka menyembah Allah semata; tidak menyembah berhala di mana saat itu manusia banyak yang memujanya; mematuhi Allah dan Rasul-Nya; menegakkan Taurat; beramal salih, mengajak yang lain untuk juga melakukan amal salih tersebut; tidak berbuat semena-mena pada yang lain; melestarikan dan tidak membuat kerusakan di muka bumi.
Namun mereka melanggar syarat itu. Mereka membuat kerusakan besar periode pertama di zaman para nabi, sesaat setelah wafatnya panglima dan sang penakluk, Nabi Yusya’ bin Nun. Mereka tidak ajek dalam berpegang teguh pada agama sepeninggal nabi itu kecuali hanya sebentar. Allah pun lantas mendatangkan penduduk Kan’an, Amalek, yang menyerang mereka. Orang-orang ini mengusir Bani Israil dari sebagian wilayahnya, menawan sebagian anak-anak, mengambil Tabut Perjanjian, membunuh banyak orang, memasuki masjid-masjid serta sangat menistakan mereka.
Bani Israil lantas menyadari kesalahannya. Mereka menyatakan taubat. Kepada nabi yang diutus pada mereka kala itu, mereka meminta agar ia mengangkat seorang raja yang bisa memimpin berjihad. Sang nabi mengabulkan permintaan tersebut, yang lalu mendaulat seorang pemberani dan alim sebagai raja, yakni Thalut.
Sang raja memimpin Bani Israil berjihad melawan musuh-musuhnya. Masuk dalam barisan tentaranya kala itu adalah Dawud, sebelum ia diangkat menjadi nabi. Kali ini Allah memberikan kemenangan bagi Bani Israil. Berdirilah sebuah kerajaan besar di tengah bangsa ini. Secara bergilir yang bertindak sebagai rajanya adalah Thalut, Dawud, dan Sulaiman.
Namun lagi-lagi, Bani Israil tak konsisten untuk berlaku baik. Inilah yang dinamakan dengan tindak kerusakan kedua sebagaimana dimaksudkan dalam ayat di atas. Peristiwa ini terjadi sesaat setelah meninggalnya Nabi Sulaiman. Kerajaan mereka terpecah menjadi dua kerajaan kecil yang saling berkonflik. Israil dan Yehuda.
Kerusakan kedua ini terus berlangsung dan tak pernah berhenti selama ratusan tahun. Di antara rangkaian hari kelam itu, mereka sebenarnya telah dihukum dengan musibah-musibah besar. Namun mereka tak bisa mengambil pelajaran.
Pada tahun 722 SM, orang-orang Asur (Asyer) menguasai kerajaan di selatan (yakni Israil) dan menawan sepuluh suku Bani Israil (Asbath). Kaum Asur lalu menggiring para tawanan itu ke utara Irak. Kesepuluh suku itu tak pernah kembali lagi. Pada tahun 586 SM, Raja Babilonia Nebukhadnezzar menguasai kerajaan Bani Israil di selatan (Yehuda). Ia menggiring puluhan ribu tawanan dari penduduk daerah itu ke Babilonia. Mereka hidup sebagai budak di daerah itu sampai Raja Persia Koresh berhasil merebut Babilonia pada tahun 539 SM. Raja ini mememperkenankan para tawanan itu kembali ke Yerusalem dan membangun kembali haikalnya di sana.
Maka kembalilah kelompok besar Bani Israel itu ke Yerusalem dan membangun haikal. Kali ini mereka tak lagi menyembah berhala. Namun meski demikian, mereka terus saja mengubah kandungan kitab suci, merusak keyakinan tentang dzat Allah SWT, menyombongkan diri di hadapan para nabi, bahkan kembali berusaha membunuh para utusan Allah itu, sebagaimana mereka pernah melakukannya kepada para Nabi Allah: Zakariyya, Yahya, dan al-Masih Isa putra Maryam.
Tindak kerusakan bangsa Yahudi kali ini makin parah. Mereka melakukan pemberontakan terhadap tirani yang berkuasa di wilayah mereka, hingga Allah memberikan kemenangan kepada para penjajah itu. Kaum Yahudi memberontak kepada orang-orang Ptolemaic (Bathalisah), Saluk, dan para gubernur Aleksander Agung. Dan akhirnya, kaum ini memberontak kepada pihak Romawi. Sebagai akibatnya, mereka harus bertekuk lutut di hadapan kekuatan bangsa Romawi. Masjid mereka dirusak dan mereka diusir dari Palestina. Mereka mendapatkan perlakuan kasar dari Titus pada tahun 70 M, kemudian oleh Hadrian pada tahun 135 M.
Seorang pakar sejarah Bani Israil bernama Josephus, yang mengalami langsung masa Titus, menulis, “Aku tidak mungkin memikirkan sebab kejadian ini, hanya saja Allah telah menentukan kehancuran kota yang najis ini.” (al-Yahud, Nasy-atuhum wa ‘Aqidatuhum wa Mujtama’ahum, Yahudi, Pertumbuhan, Keyakinan, dan Masyarakat Mereka, Zaki Senode, 1974)
Mereka membuat kerusakan di kebanyakan masa keberadaan mereka di tanah suci, lebih dari seribu tahun. Hanya ada satu cara untuk menghentikan kerusakan mereka di Palestina, yakni dengan cara mengusir mereka. Setelah itu, kembali mereka membuat kerusakan di setiap jengkal tanah yang mereka lalui. Kita menyaksikan, kini mereka kembali membuat kerusakan ketiga kalinya di Palestina. Mereka terus melanjutkan agresinya berkat peran dan dukungan negara-negara Barat.
Ayat-ayat dalam Surah al-Isra –meskipun jumlahnya sedikit– telah menghimpun dan meringkas keseluruhan kisah kaum Yahudi. Siapa yang ingin mengetahui ringkasan sejarah mereka, silakan membaca ayat-ayat itu. Tadabburilah dan mari kita bertanya:
Siapakah sekarang yang telah mendapatkan nikmat namun mengkufuri? Siapakah Bani Israil versi sekarang yang melanggar perintah Allah, tidak menegakkan ajaran kitab suci, serta meninggalkan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar? Siapakah Persia versi sekarang yang telah memperkenankan Bani Israel kembali memasuki Yerusalem? Lalu siapakah kita di tengah rentetan sejarah itu? Di barisan manakah kita berada? Kita berlindung kepada Allah agar kerusakan-kerusakan itu tidak menjadi tradisi: sebuah fakta sejarah yang mempengaruhi kehidupan manusia pada masa berikutnya.
(Dimuat Majalah Sabili, Januari-Februari 2009).