LELAKI MUSLIM MENJADI SYARAT PEMIMPIN MENURUT SYARIAT ISLAM
Luthfi Bashori
Menurut para ulama, ada beberapa syarat kepemimpinan dalam pandangan Islam yang perlu dijadikan pedoman hidup oleh umat Islam dalam berkeyakinan, namun dalam artikel ini penulis hanya membatasi dua hal saja yaitu:
Pertama: Pemimpin di Negara Kesatuan Republik Indonesia haruslah beragama Islam, karena mayoritas penduduk Indonesia adalah umat Islam, baik syarat ini mengikuti tinjauan syariat maupun tinjauan sistem demokrasi (suara mayoritas) maka syarat presiden Indonesia beragama Islam, sudah tidak dapat ditawar lagi oleh siapapun.
Demikan juga tentunya para pemimpin daerah yang seharusnya menjabat di wilayah-wilayah berpenduduk muslim mayoritas, maka wajib hukumnya setiap pribadi muslim untuk memilih pemimpin yang beragama Islam. Jika saja umat Islam yang jumlahnya mayoritas itu rela dipimpin non muslim maka madharatnya sangat banyak baik dalam konteks kemashlalahatan dunia lebih-lebih kemashlahatan akhiratnya.
Syarat keharusan beragama Islam ini sangat penting dipenuhi oleh calon pemimpin di Indonesia, mengingat salah satu tugas utamanya adalah menerapkan syari`at Islam secara legal formal.
Adalah suatu hal yang tidak logis bila tugas yang sangat penting ini diserahkan kepada komunitas non-muslim. Bila sampai jabatan pemimpin negara maupun daerah itu dipangku seorang non-muslim, sudah pasti implementasi penegakan syari`at Islam akan sulit terealisasi dan kepentingan-kepentingan umat Islam pun akan sulit diperjuangkan.
Meninjau Firman Allah SWT, yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kalian mengambil mereka (non muslim) menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Maka kalian akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: "Kami takut akan mendapat bencana". Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka. (QS. Al-maidah ayat 51 dan 52).
Ayat di atas menjelaskan haramnya menjalin kerja sama dalam gerakan Islam dengan orang-orang kafir di atas dasar politik. Bahkan suatu keharusan bagi umat Islam menjauhkan diri dalam berpolitik dari komunistas non muslim serta kepentingan mereka. Ini karena, syariat Islam mengharamkan umat Islam mentaati (berwala kepada) non muslim.
Kedua: Pemimpin itu harus seorang laki-laki.
Firman Allah dalam surah An-Nisaa ayat 34, yang artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang salehah ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri (maksudnya tidak berlaku serong ataupun curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya) ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka; maksudnya, Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik).
Ayat ini menegaskan tentang kaum lelaki adalah pemimpin atas kaum wanita. Menurut Imam Ibnu Katsir, lelaki itu adalah pemimpin wanita, hakim atasnya, dan pendidiknya. Karena lelaki itu lebih utama dan lebih baik, sehingga kenabian dikhususkan pada kaum lelaki, dan demikian pula kepemimpinan tertinggi di suatu negara, bahkan di setiap daerah berpenduduk mayoritas muslim.
Senada dengan ayat tersebut, Rasulullah bersabda: Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (kepemimpinan) mereka kepada seorang wanita. (Hadits Riwayat Al-Bukhari dari Hadits Abdur Rahman bin Abi Bakrah dari ayahnya).
Arti hadits tidak akan beruntung adalah suatu kegagalan, baik kegagalannya di dunia lebih-lebih kegagalan di akhirat nanti. Tentunya kegagalan yang dimaksud itu adalah dalam pandangan syariat. Seperti contoh seorang pejabat teras yang korupsi dan menjadi kaya raya, sekalipun tidak ketahuan oleh KPK dan publik, maka hakikatnya dia telah gagal, karena dirinya sudah menjadi pejabat yang tidak jujur dalam mengemban amanat rakyat, dan tentunya kelak akan gagal pula dalam upaya menyelamatkan diri dari ancaman siksa akhirat.
Dalam bahasa anak muda, orang-orang muslim lelaki yang memilih pemimpin wanita, dan taat terhadap kepemimpinan wanita yang sudah divonis tidak akan beruntung oleh Nabi SAW, maka ibarat lakon sinetron Suami-Suami Takut Istri. Tentunya umat Islam yang aqidah dan pemikirannya baik serta sesuai dengan syariat, maka tidak akan bersedia dalam menjalani kehidupan di dunia ini dipimpin oleh wanita, karena pemimpin wanita itu sendiri pada hakikatnya sudah menyalahi kodratnya sebagai muslimah yang baik.
Terlebih, seorang pemimpin wanita di Indonesia, maka akan dituntut untuk dapat tampil di segala komunitas, termasuk pada komunitas lelaki. Tentunya seorang wanita ahli tabarruj yang tanpa malu-malu berani tampil di atas panggung di depan kaum lelaki secara umum, maka tidak dapat lagi disebut sebagai wanita ahli zuhud dan wara yang patut untuk dijadikan tuntunan. Karena salah satu tuntunan syariat Islam adalah dilarangnya kaum wanita berikhtilath (berbaur) dengan komunitas lelaki yang bukan mahramnya.
Sabda Rasulullah SAW: "Tidak boleh seseorang wanita itu bermusafir melainkan dia ditemani oleh mahramnya, dan tidak boleh seseorang lelaki berdua-duaan bersama perempuan kecuali perempuan tadi ditemani oleh mahramnya." (HR. Bukhari).
Dalil di atas membuktikan bahwa wanita muslimah wajib menjaga dirinya dari berikhtilat/bercampur dengan kaum lelaki. Allah melarang serta mengharamkan wanita bermusafir/keluar rumah seorang diri tanpa ditemani mahramnya (keluarga lelaki).
Nabi Muhammad SAW juga bersabda: Jangan sampai pandangan (lelaki dan wanita) yang satu mengikuti pandangan lainnya. Kamu hanya boleh pada pandangan yang pertama, pandangan yang seterusnya tidak dibenarkan. (Riwayat Ahmad Abu Daud dan Tirmidzi).
Di dalam kitab Zaad al-Masiir dinyatakan bahwa wanita bertabarruj hukumnya haram, karena mengikuti kebiasaan wanita jaman jahiliyah. Tabarruj menurut Abu Ubaidah, adalah seorang wanita menampakkan kecantikannya. Sedangkan menurut al-Zujaj tabarruj adalah menampakkan perhiasaan, dan semua hal yang bisa merangsang syahwat laki-laki.
Sifat-sifat tabarruj di jaman jahiliyyah yang diharamkan bagi wanita muslimah itu ada enam pendapat:
Pertama: Seorang wanita yang keluar dari rumah dan berjalan di antara laki-laki (ikhtilath/bercampur dengan lelaki tanpa batas). Pendapat semacam ini dipegang oleh Imam Mujahid. Tentunya sifat ini juga akan mejadi keharusan seorang pemimpin wanita untuk melakukannya sebagai tuntutan profesi.
Kedua: Wanita yang berjalan berlenggak-lenggok dan penuh gaya dan genit. Ini adalah pendapat Imam Qatadah.
Ketiga: Wanita yang memakai wewangian. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Abi Najih.
Keempat: Wanita yang mengenakan pakaian yang terbuat dari batu permata, kemudian ia memakainya, dan berjalan di tengah jalan. Ini adalah pendapat Al-Kalabiy.
Kelima: Wanita yang mengenakan kerudung namun tidak menutupnya, hingga anting-anting dan kalungnya terlihat.
Para wanita muslimah yang baik akan selalu mengikuti contoh dan tuladan para isrti Nabi SAW, yang telah mendapat bimbingan dari Allah dalam surat Al-ahzab, ayat:
31. Dan barang siapa di antara kamu sekalian (istri-istri Nabi) tetap taat pada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscaya Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezeki yang mulia.
32. Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang (lelaki non mahram) yang ada penyakit dalam hatinya (jatuh hati), dan ucapkanlah perkataan yang baik,
33. dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
34. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunah Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.