ADA REZEKI HALAL, KOK MEMILIH YANG HARAM
Luthfi Bashori
Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a suatu saat akan masuk ke masjid. Saat berada di halaman, beliau mendapati seorang lelaki yang berada di situ, ibarat juru parkir di masa kini, lantas beliau berkata kepada lelaki yang berdiri di depan pintu masjid itu, Peganglah keledaiku. Lantas beliau masuk masjid untuk shalat. Namun, ternyata lelaki tadi justru mencuri penutup mulut keledai itu dan pergi meninggalkannya.
Kemudian Sayyidina Ali keluar sedangkan di tangannya sudah disiapkan uang dua dirham untuk memberi imbalan kepada lelaki itu sebagia upah karena telah memegangi keledainya.
Akan tetapi beliau mendapati di halaman masjid tidak seorang pun yang memegang keledainya, bahkan penutup mulut keledai itu pun sudah hilang. Maka Sayyidina Ali menaiki keledainya dan pulang ke rumahnya. Saat tiba di rumah, beliau memanggil pelayannya dan memberikan uang dua dirham itu kepada si pelayan untuk membeli penutup mulut keledainya.
Ternyata si pelayanan itu mendapati penutup mulut keledai milik Sayyidina Ali itu di pasar. Rupanya, si pencuri itu telah menjualnya dengan harga dua dirham. Kemudian Sayyidina Ali r.a. berkata kepada pelayannya: Sesungguhnya seorang hamba terkadang menghalangi dirinya dari rezeki halal karena tidak sabar, dan ia hanya mendapat apa yang telah di tetapkan baginya (alias uang haram).
Seandainya lelaki itu mau sabar, semestinya ia akan menerima upah dari Sayyidina Ali uang dua dirham yang halal. Akan tetapi karena ia tidak sabar, maka ia mencuri penutup mulut keledai itu dan menjualnya ke pasar seharga dua dirham yang haram hukumnya.
Contoh kejadian di atas tentunya hanyalah sekelumit gambaran, bahwa ternyata banyak sekali karakter manusia yang lebih mengedepankan hawa nafsunya daripada meyakini bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Pemberi rezeki bagi seluruh hamba-Nya.
Secara jelas Allah menyebutkan dalam firman-Nya pada surat Huud, ayat 6 yang artinya:
Dan tidak ada suatu binatang/makhluk melata pun (termasuk manusia) di muka bumi, melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia Maha Mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).
Jadi, pada hakikatnya setiap orang itu telah ditentukan nominal rezekinya, hanya saja adakalanya orang itu mengambil jatah rezekinya secara halal, namun tak jarang orang itu mengambil jatah rezekinya dengan cara yang haram.
Sedangkan berapa jumlah nominal rezeki seseorang itu dan kapan saja rezekinya dapat dinikmati, maka tentunya urusan ini adalah menjadi rahasia Allah semata. Jika saja Allah telah menentukan bahwa hari ini Dia tidak akan memberikan rezeki-Nya pada seseorang, maka dikejar kemanapun dan dengan cara apapun, pasti orang tersebut tidak akan mendapatkan jatah rezekinya itu. Sebaliknya, jika Allah menghendaki bahwa hari ini ada pembagian rezeki bagi seseorang, maka sekali pun orang itu tidur lelap di atas ranjang, maka pasti rezekinya itu akan datang sendiri kepadanya, tanpa harus bersusah payah mengejarnya.
Contoh kongkrit, ada kalanya Allah menggerakkan hati seseorang untuk mengadakan selamatan keluarga dengan cara kirim makanan (berkatan) kepada para tetangganya, di sisi lain Allah telah menentukan adanya pembagian rezeki berupa kiriman makanan (berkatan) itu bagi para tetangganya. Maka sekalipun ada tetangga yang ternyata sedang tidur lelap di atas ranjang, ia pun akan mendapatkan jatah rezekinya yang berupa kiriman makanan (berkatan) itu, tanpa harus susah-susah mencarinya.
Sekalipun demikian, Allah memberi kesempatan kepada setiap orang agar berikhtiar dan berusaha untuk mencari rezekinnya masing-masing, karena min sunnatillah la yaf`alu syaian illa bi asbab (dari kebiasaan Allah tidak akan menentukan sesuatu kecuali ada penyebabnya terlebih dahulu). Sebabnya Allah memberikan rezeki kepada seseorang itu karena umumnya orang tersebut telah berikhtiar dan berusaha mencari rezekinya itu.
Sekalipun Allah adalah Dzat Yang Maha Mampu untuk memberi rezeki kepada seseorang hanya berdasarkan kehendak-Nya, kun fayakuun (Jadilah, maka terjadilah apa yang Dia kehendaki). Namun karena kebiasaan Allah untuk menentukan sesuatu itu berdasarkan adanya suatu sebab, maka setiap orang harus mencari penyebab yang sangat memungkinkan Allah akan membagi rezeki-Nya kepada dirinya. Misalnya, dengan sebab bekerja yang halal, maka sangat memungkinkan Allah akan membagi rezeki-Nya yang halal untuk para pekerja itu.