Mewaspadai Fitnah Kaum Khawarij Era Baru
(Muhammad Ali Rabini Spd.I)
Umat Islam akhir-akhir ini mengalami ujian beruntun. Mulai dari ketidakstabilan sosial, ekonomi, hingga masalah politik. Namun dari sekian ujian tersebut, yang paling dianggap membahayakan adalah munculnya sekelompok orang yang mengaku bahwa dirinya adalah komunitas yang memurnikan akidah umat yang dianggap sudah keluar dari ajaran Islam. Sehingga dengan mudahnya mereka men-takfir (mengklaim kafir) orang lain. Klaim tersebut muncul hanya lantaran berbeda pendapat tentang hukum-hukum furu’iyah, seperti peringatan Maulid, tradisi tahlil, atau ziarah kubur.
Selanjutnya, akan muncul pertanyaan, apa yang mendasari prilaku takfir tersebut? Bolehkah kita meniru cara mereka (talfir) dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar? Di sini penulis mencoba menelaah tentang prilaku Takfir dan bagaimana menyikapi trend baru namun membahayakan idiologiu umat ini?
Takfir artinya menvonis orang lain sebagai kafir. Klaim semacam ini hendaknya hanya ditujukan kepada orang yang sengaja mengingkari hukum yang telah baku dalam al-Quran (aksiomatik) secara terang terangan. Namun yang ini tidak. Takfir sering digunakan oleh sekelompok orang untuk memaksakan pendapatnya agar diterima oleh orang lain. Juga untuk menakut nakuti orang lain sehingga ia mau menghentikan amaliah yang telah ia yakini kebenaranya. Berdasarkan fenomena seperti inilah, maka definisi takfir yang sebenarnya itu telah mengalami pendistorsian. Takfir digunakan tidak pada tempatnya.
Mengenai cikal bakal munculnya budaya takfir, Abuya Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki al-Hasani menjlentrehkan dalam realesse Dialog Monumentalnya, bahwa budaya takfir berawal dari golongan Khawarij yang kala itu mengkafirkan sahabat Ali bin Abi Tholib RA. Mereka menganggap bahwa sang menantu Nabi SAW ini telah berhukum kepada selain al-Qur’an.
Meskipun tuduhan ini tidak terbukti, namun kasus ini menjadi awal fitnah dan cikal bakal budaya takfir terhadap sesama kaum Muslimin sepanjang sejarah Islam. Dan terus menjamur hingga kini.
Abuya Sayyid Muhammad al-Maliki menambahkan, mudahnya mengkafirkan orang lain adalah cermin dari keangkuhan dan kesombongan diri yang terbalut dalam misi dakwah. Ia menganggap hanya diri dan pendapatnya yang paling benar. Kesombongan dan keangkuhan dalam segala bentuknya adalah sifat yang di benci Allah bila hinggap di hati makhluq-Nya. Keangkuhan dan kesombongan lah yang menyebabkan setan terusir dari surga-Nya.
Islam sangat melarang budaya takfir terhadap sesama Muslim. Apalagi hanya lantaran memiliki sudut pandang berbeda dalam menganalisa sebuah masalah ikhtilaf fiqhi. Larangan takfir terhadap Ahlu Qiblat (sesama Muslim), menurut Sayyid Ahmad Masyhur bin Thoha al-haddad telah menjadi sebuah Ijma’ (konsensus) ulama Ahlussunnah. Sehingga ijma’ tersebut tidak dapat terpungkiri oleh siapapun juga. Akan tetapi akan lain halnya manakala perbedaan tersebut pada wilayah teologis atau ikhtilaf aqo’idi, semisal mengingkari ke-Esaan Allah, meyakini adanya Nabi lagi setelah Nabi Muhammad SAW. dan atau meragukan adanya kehidupan akhirat. Maka penetapan hukum takfir di sini diselaraskan dengan konsep al-Qur’an yang sudah ada. (Miftah al Jannah, Daar al Hawi : 101).
Pen-takfir-an secara gegabah tersebut tidak hanya berdampak negatif bagi yang tertuduh, namun juga bagi dirinya sendiri. Maka siapapun dari kalangan Muslim dilarang memvonis kafir kepada siapapun sebelum ada bukti nyata yang mengarah terhadap perbuatan kafir secara konkrit (qoth’iy). Nabi Muhammad SAW pernah bersabda,
إِذَا قَالَ الرَّجُلُ ِلأَخِيْهِ يَا كَافِرَ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
“Apabila ada seseorang berkata kepada saudaranya (sesama muslim), “Hai kafir !“, maka sungguh di antara keduanya itu pulang dengan membawa predikat (kafir) tersebut.“ (HR. Bukhari dari Abu Hurairah RA).
Kita patut prihatin menyaksikan fenomena merebaknya budaya takfir ini. Kenapa hal ini harus terjadi? Tidakkah mereka tahu bahwa dalam menyampaikan suatu masalah agama perlu menggunakan metode hikmah (bijaksana), mauidzah hasanah (pitutur yang mempesona), serta menempuh ahsan al-mujadalah (dialog yang argumentatif)? Hal ini sejalan dengan sebagaimana firman Allah SWT yang artinya :
”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Qs. An-Nahl [16]: 125).
Dalam konteks ini, Nabi Muhammad SAW adalah suri tauladan bagi kita dalam menyerukan keimanan yang benar dan lurus. Beliau tidak pernah menggunakan takfir kepada para sahabat beliau. Bahkan disebutkan dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, beliau amat marah terhadap sahabat Usamah RA. lantaran ia bertindak gegabah membunuh seorang kafir yang telah bersyahadat yang dikala itu ia sedang terdesak dalam sebuah peperangan. Sahabat Usamah RA sempat memberikan alasan kepada Rasulullah mengapa ia tetap membunuhnya meski telah mengucapkan kalimah syahadat. Besar kemungkinan orang kafir tersebut bersyahadat karena takut di bunuh. Maka apa jawab Nabi Saw. ?
“Halla syaqogta qolbuhu?” Artinya, Apakah engkau telah membelah hatinya, sehingga engkau mengerti kalau ia bersayahadat karana takut kau bunuh?
Dari hadis ini semakin jelas kiranya bahwa sebaik apapun niat dan tujuan kita dalam melaksanakan kebaikan, harus menghindari cara-cara yang mendeskriditkan (menyudutkan) orang lain dengan takfir atau semisalnya. Karena hal itu sama sekali tidak dibenarkan dalam Islam, sebelum ada bukti nyata bahwa ia benar-benar telah kafir.
Maka akhirnya penulis menyimpulkan, kini sudah tidak relefan lagi berdakwah dengan menggunakan cara menjajakan program takfir demi memurnikan akidah umat. Atau dengan cara mensyirikkan orang lain yang tengah melaksanakan ritual-ritual yang bersifat furu’iyah dan ijtihad, seperti Maulid, Tahlil dan Tawassul. Apalagi selama ini ritual-ritual tersebut telah menjadi bagian yang terpisahkan dengan tradisi umat Islam Ahlussunnah wal Jamaah dan sebagai bagian thoriqoh hasanah. Bagaimanapun juga dalam melaksanakan amaliah, para ulama tidak asal asalan. Mereka berpijak pada dalil dalil syar’iy yang akurat dan kredibel.
Dan yang kita perlukan saat ini adalah merapatkan barisan umat Islam guna menghadapi konspirasi global dari pihak pihak musuh Islam yang selalu bersatu padu untuk menghancurkan akidah umat Nabi Muhammad yang telah merasuki berbagai sendi kehidupan ini. Masih banyak PR kita daripada terus berbenturan sesama muslim karena beda pendapat yang bersifat ikhtilaf fiqhi. (Sumber Majalah Mafahim)