ABUYA ALMALIKI BERI`TIKAF RAMADHAN SEBULAN PENUH DI MASJIDIL HARAM
Luthfi Bahori
Setelah membahas kepedulian Abuya Almaliki terhadap janda-janda kota Makkah, yang selalu beliau santuni uang shadaqah ke rumah masing-masing sebagaimana penulis sampaikan dalam artikel berjudul: RAMADHAN MENCARI JANDA-JANDA KOTA MAKKAH, maka penulis juga ingin mengenang saat menyertai Abuya Almaliki beri`tikaf Ramadhan sebulan suntuk di Majidil Haram Makkah Almukarramah.
Setelah shalat Ashar dan usai membaca wirid yang telah ditentukan oleh Abuya Almaliki, biasanya para santri berharap-harap, apakah dirinya termasuk ikut rombongan yang diajak untuk beri`tikaf di Masjidil Haram apa termasuk kelompok yang berjaga di pesantren, atau akan berangkat umrah sunnah hari itu?
Ada pembagian tiga kelompok yang sering dilakukan oleh Abauya Almaliki, kelompok santri yang berjaga dan berbuka ta`jil puasa di pesantren.
Kelompok santri yang berangkat ke Tan`im untuk melaksakan umrah sunnah, dan kelompok santri yang berkhidmat khusus menyertai Abuya beri`tikaf di Masjidil Haram Makkah.
Entah pertimbangan apa yang dilakukan oleh Abuya Almaliki, karena di saat akhir priode penulis akan pulang kampung, ternyata beliau lebih senang menunjuk langsung nama-nama santri yang akan diajak beri`tikaf, tanpa ada penjadwalan terlebih dahulu seperti pada tahun-tahun sebelumnya.
Tentunya mata batin beliau jauh lebih arif dibanding pemahaman penulis dan para santri lainnya, mengapa si Polan harus menjaga pesantren agar jangan sampai kosong, dan mengapa si Polan yang lain harus ikut rombongan berangkat umrah, dan mengapa pula si Polan harus menyertai Abuya beri`tikaf di Masjidil Haram.
Tidak seorang pun dari para santri yang mempermasalahkannya, karena para santri yakin bahwa semua keputusan beliau itu sudah dipikirkan dan ditentukan dengan pertimbangan yang bijaksana. Para santri hanya melaksanakan dengan penuh sam`an wa thaa`atan (kami dengar dan kami taat).
Hanya saja, Abuya Almaliki seringkali akan lebih memperhatikan para santri yang sudah mendapatkan lampu hijau untuk pulang kampung, pada tahun yang beliau tentukan, umumnya mereka diberi kesempatan lebih banyak menyertai perjalanan beliau secara langsung, dibanding para santri yang masih tinggal lama di pesantren.
Penulis termasuk yang medapat prioritas seperti itu tentunya, maka di bulan Ramadhan pada priode terakhir menjelang penulis mudik ke Tanah Air itulah, hampir setiap hari penulis diajak beliau menyertai langsung saat Abuya Almaliki berangkat i`tikaf dengan naik mobil pribadi beliau.
Pernah dalam suatu perjalanan dari pesantren menuju Masjidil Haram, yang berjarak sekitar 7 km itu, Abuya mengajak penulis bercanda, beliau sengaja bertanya dengan nada bergurau yang intinya: Ada apa sih kamu kok pulang segala? Karena beliau mengajak bercanda, maka penulis juga merespon dengan sedikit bercanda pula: Yaa saya ingin menikah sebelum datang hari Qiamat...!
Mendengar jawaban konyol dari penulis itu, beliau tertawa dan langsung mengatakan: Oh, enta beghaitaz zuwaaj, hadzaa sahl, syuuf quddaam baabil bait fi katsiir takruniyah, enta tekhtaar wahdah, khalaas enta abyadh wa hi aswad, ba`din waladak yakun Abyadhsud, ya`ni Ahmar (Ooh, ternyata kamu ingin menikah yaa, itu sih gampang, coba kamu lihat-lihat banyak di depan pintu rumah itu ada wanita-wanita negro (Afrika), kamu pilih satu, kaan kamu ini putih dan dia hitam, jadi anakmu nanti warnanya Abyadsud (campuran hitam putih) maksudku Merah...! Lantas beliau bersama rombongan di mobil itu tertawa, dan penulis juga ikut tersenyum...!
Di saat Abuya Almaliki beri`tkaf, beliau membaca Alquran sambil menunggu adzan Maghrib.
Para santri yang khusus menyertai beliau juga mengikuti apa yang beliau contohkan. Namun beliau tetap meminta agar penulis dan beberapa kawan itu memperhatikan, jika ada orang lewat di sekitar tempat i`tikaf Abuya dan tampaknya patut diberi shadaqah, maka Abuya Almaliki akan menyuruh mengambil uang dari tas khusus yang sudah dipersiapkan di amplop-amplop untuk diberikan kepada yang bersangkutan.
Penulis diberi tugas membuka tas tersebut dan mengambilkan uangnya, lantas ada kawan santri lain yang bertugas menyampaikan kepada orang-orang yang sekira layak untuk disantuni, baik orang itu memang datang untuk meminta maupun yang kebetulan lewat di dekat tempat i`tikaf Abuya Almaliki.
Demikan ini dilakukan setiap hari selama sebulan suntuk Ramadhan.
Jadi penulis tidak tahu dengan persis berapa jumlah uang yang Abuya shadaqahkan untuk kaum dhu`afa yang berada di Masjid Haram itu untuk setiap harinya, karena banyak sekali orang-orang yang lalu lalang di tempat Abuya Almaliki beri`tikaf dan berkali-kali beliau perintah untuk memberinya shadaqah.
Radhiyallahu `an abuuya Almaliki.