SEJENAK MENGENANG HIDUP BERSAMA ABUYA ALMALIKI.
Luthfi Bashor
i
Konon saat penulis kira-kira dua tahun menjelang pulang dari pesantren Abuya Almaliki di Makkah (dan Madinah), di waktu itulah hubungan batin penulis sangat dekat sekali dengan Abuya Almaliki.
Salah satu ciri khas Abuya Almaliki adalah siapa saja dari kalangan santri yang hubungannya sedang dekat dengan beliau, maka akan mendapat tugas dan tanggung jawab yang semakin banyak macamnya.
Jadi semakin banyak macam dan bentuk tugas maupun tanggung jawab yang didapatkan secara langsung dari Abuya Almaliki, hakikatnya itulah sistem ujian pembelajaran praktek di lapangan bagi santri terkait, setelah sekian banyak mendapatkan tempahan teori-teori ilmiah dari Abuya Almaliki.
Jika seorang santri dianggap mampu menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik dan benar, maka disitulah letak keridhaan Abuya melepaskan para santrinya untuk pulang kampung, hingga diharapkan dapat menjadi orang-orang yang berjiwa tegar dan `tahan banting` dalam menghadapi ragamnya permasalahan umat dan kompleksnya media dakwah yang harus dihadapi.
Adapun hasilnya itu, benar-benar penulis rasakan saat ini, yaitu tatkala penulis hidup bermasyarakat, maka penulis menemui bermacam-macam kondisi, baik positif maupun negatif yang harus dilalui dengan penuh ketegaran dan semangat juang yang tinggi mengikuti ajaran dan tauladan dari Abuya Almaliki.
Konon di antara kewajiban penulis yang diperintahkan langsung oleh Abuya Almaliki saat itu, antara lain menjadi penulis khath tangan untuk membukukan naskah-naskah yang akan dijadikan karya tulis Abuya Almaliki sebelum masuk ke penerbitan.
Karena saat itu masih belum jamannya komputer, maka minimal dua jam lamanya dalam sehari, penulis harus duduk manis di depan meja, kertas, tinta tulis dan hal-hal yang terkait, guna menulis naskah-naskah tersebut, dan setiap hari harus menyetorkan hasil tulisan itu langsung kepada Abuya Almaliki.
Tentu saja sebagai murid, tidak akan berani melanggar perintah guru, apalagi secara otomatis ada pengontrolan langsung dari Abuya saat setor tulisan dan mendapat naskah baru untuk ditulis ulang secara estafet.
Entahlah, berapa banyak buku catatan yang sudah penulis setorkan hasilnya kepada Abuya, karena tugas itu penulis laksanakan selama lima tahun, hingga terakhir kali setor tulisan kepada Abuya Almaliki hanya dua hari sebelum berangkat mudik ke tanah air naik pesawat.
Pernah suatu ketika di bulan Ramadhan, penulis `dipenjara sendirian` oleh Abuya Almaliki, tidak boleh keluar dari ruangan kamar yang menjadi kantor pribadi Abuya, untuk menulis artikel berkala karangan Abuya yang akan dimuat oleh salah satu koran Saudi, yang setiap terbit membutuhkan satu halaman penuh. Artikel itu bertema fadhilah Ramadhan, karena waktunya mendesak maka membutuhkan waktu 3 malam berturut-turut untuk menulisnya, dimulai setelah Tarawih hingga Subuh. (Kebiasaan masyarakat Saudi Arabiah, jika masuk bulan Ramadhan, maka waktu siang hari untuk istirahat total, sedangkan malam harinya suntuk dipergunakan untuk beraktifitas).
Saat mengemban tugas dari Abuya itu, penulis sama sekali tidak pernah membayangkan, kalau ke depan ternyata penulis akan mendapatkan pelajaran yang sangat berharga, yaitu bisa menjadi penulis artikel keislaman seperti saat ini dan dapat menyapa pembaca hampir setiap saat melalui situs ini, sekalipun karya tulis ini hanya sebagai selingan dakwah, serta penyaluran hobi, karena hidup di tengah masyarakat tidak mungkin hanya duduk manis di depan alat tulis ketik semata.
Jadi penulis harus pandai-pandai mengatur waktu di samping pandai-pandai mencari inspirasi tentang tema apa yang hari ini atau esok akan diangkat kepermukaan.Apalagi, sebelumnya penulis tidak pernah belajar ilmu jurnalistik dalam dunia karya tulis berbahasa Indonesia secara resmi, karena ijazah pendidikan formal terakhir penulis adalah tingkat SLTP. Jadi, tugas menulis naskah-naskah dari Abuya Almaliki itulah yang hakikatnya menjadi pendidikan jurnalistik bagi penulis secara otodidak.
Dulunya sebelum berangkat ke Makkah, bentuk tulisan penulis dalam khath huruf Arab adalah ibarat cakar ayam, kemudian ada materi pelajaran khusus khath di kelas pemula, maka penulis pun rajin ikut dan berlatih kepada para senior.
Setelah tiga tahun belajar khath huruf Arab, ternyata Abuya Almaliki cocok dengan bentuk tulisan khath penulis, maka sejak itu pula ditugaskan menulis ulang naskah-naskah yang telah dipersiapkan oleh Abuya Almliki sebagai bahan karya tulis dalam bentuk kitab resmi.
Sebagai petugas bagian penulisan karya ilmiah Abuya Almaliki seperti tersebut di atas, maka sebenarnya tugas itu hanyalah salah satau dari tugas dan tanggung jawab yang diembankan oleh Abuya kepada penulis. Adapun tugas-tugas lainnya juga tentunya masih banyak macamnya.
Contoh lain adalah tugas membuatkan dan menyuguhkan minuman untuk para tamu yang hadir dalam kegiatan rutin majelis ta`lim Abuya Almaliki pada setiap malam di aula pesantren. Ini juga termasuk kewajiban yang penulis emban bersama tim kecil berjumlah empat-lima orang santri untuk setiap harinya.
Adapun jumlah suguhan minum itu pada setiap malamnya harus menyiapkan teh atau kopi di cangkir-cangkir kecil sekitar untuk 200 hingga 300 orang.
Cangkir teh atau kopi Arab di Saudi Arabiah bentuknya memang kecil-kecil, namun untuk membuatkan sekaligus menyuguhkan bagi 200 hingga 300 tamu itu, tentunaya bukan pekerjaan ringan. Nah, sejak penulis masuk pesantrean pada tahun 1983 M hingga hari terakhir menjelang pulang kampung tahun 1991 M, Alhamdulillah Abuya Almaliki masih mempercayai penulis sebagai salah satu petugasnya.
Bahkan, sekitar satu tahun menjelang pulang, penulis mendapat tugas tambahan yaitu khusus untuk membuatkan kopi khas Arab yang menjadi kegemaran Abuya Almaliki pada saat beliau mengajar di majelis ta`limnya.
Biasanya, setelah usai meracik dan membuat kopi Arab khusus Abuya Almaiki itu, penulis duduk di pojok aula bagian depan yang tampak secara langsung oleh Abuya, jika beliau meminta kopi, maka beliau memberi isyarat gerakan khusus kepada penulis agar cangkir kecil kopi beliau itu diisi ulang hingga beberapa kali.
Abuya Almaliki mempunyai selera yang tinggi terhadap rasa kopi Arab, jika penulis salah dalam meraciknya secara manual, maka Abuya Almaliki akan membisikkan kekurangannya di tengah-tengah mengajar di majelis ta`lim itu, dan penulis harus kembali ke dapur guna memenuhi apa yang menjadi permintaan Abuya itu.
Jika ada tamu istimewa dari kalangan ulama dunia, maka Abuya selalu perintah kepada penulis agar membagikan kopi khusus Abuya itu kepada tamu tersebut sebagai penghormatan khusus.
Senangnya, setiap kali penulis memberikan minuman kepada para tamu, baik yang mendapatkan minuman teh atau kopi untuk tamu umum, maupun kopi yang khusus untuk Abuya, maka adatnya para tamu itu akan mendoakan si penyuguhnya.
Tentu saja penulis juga selalu mendapatkan doa dari para tamu umum maupun tamu khusus, yaitu para ulama yang datang dari berbagai belahan dunia. Inilah yang sangat menggembirakan hati penulis.
Semoga di bulan Ramadhan yang menjadi bulan peringatan haul Abuya Almaliki ini, penulis dan para pembaca mendapat barakah yang melimpah ruah karena mengamalkan hadits Nabi SAW: Udzkuruu mahaasina mataakum (sebutkanlah kebaikan mayit kalian). Radhiyallahu `an Abuya Almaliki.