URL: www.pejuangislam.com
Email: editor@pejuangislam.com
 
Halaman Depan >>
 
 
Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami
Ustadz H. Luthfi Bashori
 Lihat Biografi
 Profil Pejuang Kaya Ide
 Imam Abad 21
 Info Asshofwah
Karya Tulis Pejuang


 
Ribath Almurtadla
Al-islami
 Pengasuh Ribath
 Amunisi Dari Tumapel
 Aktifitas Pengasuh
 Perjuangan Pengasuh
 Kalender Ribath
Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ)
 Sekilas Profil
 Program Pendidikan
 Pelayanan Masyarakat
 Struktur Organisasi
 Pengasuh PIQ
 
Navigasi Web
Karya Tulis Santri
MP3 Ceramah
Bingkai Aktifitas
Galeri Sastra
Curhat Pengunjung
Media Global
Link Website
TV ONLINE
Kontak Kami
 
 
 Arsip Teriakan Pejuang
 
SETAN BISU & SETAN BICARA 
  Penulis: Pejuang Islam  [7/8/2025]
   
AYOO SHALAT MALAM ! 
  Penulis: Pejuang Islam  [4/8/2025]
   
KOMUNIKASI DI MEJA MAKAN 
  Penulis: Pejuang Islam  [28/7/2025]
   
SUJUD SYUKUR 
  Penulis: Pejuang Islam  [27/7/2025]
   
MENGALAHKAN HAWA NAFSU 
  Penulis: Pejuang Islam  [20/7/2025]
   
 
 Book Collection
 (Klik: Karya Tulis Pejuang)
Pengarang: H. Luthfi B dan Sy. Almaliki
Musuh Besar Umat Islam
Konsep NU dan Krisis Penegakan Syariat
Dialog Tokoh-tokoh Islam
Carut Marut Wajah Kota Santri
Tanggapan Ilmiah Liberalisme
Islam vs Syiah
Paham-paham Yang Harus Diluruskan
Doa Bersama, Bahayakah?
 
 WEB STATISTIK
 
Hari ini: Senin, 22 September 2025
Pukul:  
Online Sekarang: 9 users
Total Hari Ini: 102 users
Total Pengunjung: 6224209 users
 
 
Untitled Document
 PEJUANG ISLAM - KARYA ILMIAH USTADZ LUTHFI BASHORI
 
 
TAHLILI SAJA MAYITMU SAMPAI 7 HARI, NO PROBLEM ! 
Penulis: Pejuang Islam [ 15/9/2016 ]
 
TAHLILI SAJA MAYITMU SAMPAI 7 HARI, NO PROBLEM !

Luthfi Bashori

Jika ada di antara umat Islam, yang benar-benar penganut Ahlus sunnah wal jamaah, tengah mendapatkan musibah ditinggal wafat oleh anggota keluarganya, maka hendaklah handai taulan mayit itu mengamalkan ajaran para Shahabat Nabi SAW dan para Tabi`in, yaitu mentahlili mayitnya itu selama 7 hari.

Adapun salah satu ajaran para Shahabat dan para Tabi`in itu telah diriwayatkan oleh Imam Suyuthi Rahimahullah dalam kitab Al-Hawi li al-Fatawi-nya, beliau mengatakan bahwa Imam Thawus Attabi`i berkata: Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia itu difitnah (diuji) dalam kuburannya selama 7 hari, karena itu mereka (para shahabat Nabi SAW) menganjurkan (bersedekah) memberi makanan atas nama para mayit itu pada hari-hari tersebut .

Dalam riwayat lain disebutkan: Dari Ubaid bin Umair beliau berkata: Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah (diuji) selama tujuh hari, sedangkan seorang munafiq disiksa selama empat puluh hari. Menurut Imam Suyuthi, para perawinya adalah shahih. (al-Hawi) li al-Fatawi, juz III hlm. 266-273, Imam As-Suyuthi).

Adapun, sebagaimana dimaklumi oleh umat Islam, bahwa sedekah itu sendiri dalam pandangan syariat adalah bervariatif, sebagaimana disebut dalam sabda Nabi SAW:

Bukankah Allah telah menjadikan untuk kalian sesuatu yang kalian bisa sedekahkan? Sesungguhnya setiap ucapan tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap ucapan tahlil adalah sedekah, amar ma`ruf adalah sedekah, nahi munkar adalah sedekah, dan pada kemaluan kalian juga terdapat sedekah. Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, apakah orang yang mendatangi syahwatnya di antara kami juga akan mendapatkan pahala? Beliau menjawab, Bagaimana menurut kalian jika dia menyalurkan syahwatnya pada sesuatu yang haram, apakah dia akan mendapat dosa? Maka demikian pula jika dia menyalurkannya pada sesuatu yang halal, dia pun akan mendapatkan pahala. (HR. Muslim)

Dari Abu Hurairah RA beliau berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Setiap anggota tubuh manusia wajib disedekahi, setiap hari dimana matahari terbit lalu engkau berlaku adil terhadap dua orang (yang bertikai) adalah sedekah, engkau menolong seseorang yang berkendaraan lalu engkau bantu dia untuk naik kendaraanya atau mengangkatkan barangnya adalah sedekah, ucapan yang baik adalah sedekah, setiap langkah ketika engkau berjalan menuju shalat adalah sedekah dan menghilangkan gangguan dari jalan adalah sedekah. (HR. Bukhari dan Muslim).

Adapun dalam kegiatan tahlilan itu sendiri mencakup pembacaan surat Yasin seperti yang diperintahkan oleh Nabi SAW: Bacakanlah surat Yasin untuk mayit kalian. (HR. Abu Dawud).

Kemudian membaca kalimat thayyibah seperti: Tahlil, Takbir, Tahmid, Hasbana, Hauqala, Istighfar, Shalawat Nabi, serta doa-doa untuk kebaikan mayit, Semua amalan ini termasuk dalam kategori sedekah yang dianjurkan oleh Nabi SAW sebagai ibadah sunnah.

Belum lagi, keluarga yang ketempatan dalam kegiatan tahlilan rutin di kampung-kampung, atau para tetangga dari keluarga yang terkena musibah, umumnya ikut mengeluarkan sedekah berupa suguhan bagi para pelayat, yang mana amalan ini juga termasuk sunnah bagi umat Islam.

Jadi menentukan tahlilan untuk mayit dalam keadaan apapun, serta dalam waktu kapanpun, khususnya memilih waktu pada hari ke 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 itu bukanlah tradisi Hindu seperti yang dituduhkan oleh kaum Wahhabi, namun telah dicontohkan dan diamalkan oleh para Shahabat dan para Tabi`in sebagaimana tersebut di atas.

< # # # # # # # # # # # # # # # # # # >


MENGENAL IMAM THAWUS

(sumber: www.kajiansalaf.com)

Beliau adalah Abu Abdirrahman Thawus bin Kaisan al-Yamani al-Himyari maula Bakhir bin Kuraisan al-Himyari, termasuk keturunan bangsa Persia. Ibu beliau dari keturunan Persia, sedang ayah beliau dari Qasith.

Beliau termasuk kibaar at-taabiiin, sangat dikenal dalam memberi wasiat dan nasihat, dan tidak gentar dalam meluruskan setiap kesalahan. Sebab itu, beliau banyak disegani oleh setiap kaum muslimin sampaipun oleh para raja dan khalifah kaum muslimin.

Ada yang berkata bahwa nama asli beliau adalah Dzakwan, sedangkan Thawus adalah nama julukan. Diriwayatkan dari Yahya bin Ma`in ia berkata, Beliau dijuluki Thawus (burung merak) karena beliau banyak menimba ilmu (berkeliling) kepada para qurraa (ahli qiraah). [Tahdzibul Kamal 13/357]

Beliau lahir di zaman para sahabat, sehingga beliau banyak berjumpa dan menimba ilmu dari para sahabat Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam, di antaranya adalah Jabir bin Abdillah, Abdullah bin Abbas, Mu`adz bin Jabal, Abdullah bin Umar, Abu Hurairah radhiyallaahu anhum, dan para kibaar ash-shahaabah lainnya. Bahkan beliau juga menimba ilmu kepada Ummul Mukminin Aisyah radhiyallaahu anhaa.

Demikian ilmu dan pemahaman yang beliau dapatkan dari para pendahulunya itu pun beliau ajarkan kepada orang-orang yang setelahnya, karena merekalah para penerus dakwah. Sebut saja di antara murid-murid beliau yang ternama seperti Wahb bin Munabbih, Atha bin Abi Rabah, Amr bin Dinar, Mujahid, Laits bin Abi Salim rahimahumullaah-, dan yang lainnya.
Berkata adz-Dzahabi rahimahullaah, Aku berpendapat bahwa beliau dilahirkan pada masa khilafah Utsman radhiyallaahu anhu atau sebelum itu. [Siyar Alam an-Nubala 5/38]

Diriwayatkan dari Abdul Malik bin Maisarah dari Thawus rahimahullaah ia mengatakan, Sungguh aku bertemu dengan 50 orang sahabat-sahabat Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam. [Tahdzibut Tahdzib 5/9].

PUJIAN ULAMA KEPADA IMAM THAWUS

Beliau memiliki bagian yang banyak dalam hal mengambil ilmu dan mengajarkan kepada umat, yang dengan itulah nama beliau tidak asing bagi para penuntut ilmu.

Berkata Ibnu Hibban rahimahullah,Thawus adalah ahli ibadah penduduk Yaman, ahli fiqih mereka, dan termasuk salah satu pembesar tabiin. [Ats-Tsiqat 4/391]

Berkata Hubaib bin asy-Syahid rahimahullaah, Aku berada di sisi Amr bin Dinat lalu disebutlah perihal Thawus, lalu ia (Amr bin Dinar) mengatakan, Aku tidak melihat seorang pun yang semisal Thawus. [Al-Jarh wat Ta`dil 4/2203]

Dari Utsman bin Said rahimahullaah ia berkata, Aku berkata kepada Yahya bin Main, Apakah Thawus lebih engkau cintai atau Said bin Zubair? Beliau menjawab, Ia seorang yang tsiqah yang tidak diperbandingkan.

Atha bin Abi Rabah [lihat biografi beliau pada majalah AL-FURQON edisi 107] rahimahullaah meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas radhiyallaahu anhumaa bahwa beliau mengatakan, Sungguh aku menyangka bahwa Thawus adalah termasuk penduduk surga. [Siyar Alam an-Nubala 5/39].


   
 Isikan Komentar Anda
   
Nama 
Email 
Kota 
Pesan/Komentar 
 
 
 
1.
Pengirim: udin  - Kota: Solo
Tanggal: 19/6/2013
 
Ustadz yang selalu dirahmati Alloh, Menurut keterangan diatas, mohon disebutkan nama para Shahabat mentahlili mayitnya itu selama 7 hari kalau itu ajaran salah satu sahabat. Mohon juga sumber rujukanya juga dicantumkan . Jazakalloh atas jawabanya 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Nuwun sewu. Mbok yaa sampean baca artikel kami secara teliti dan tuntas, wong sudah kami sebut jelas-jelas:

Imam Thawus lahir di zaman para sahabat, sehingga beliau banyak berjumpa dan menimba ilmu dari para sahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, di antaranya adalah Jabir bin Abdillah, Abdullah bin Abbas, Mu’adz bin Jabal, Abdullah bin Umar, Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhum, dan para kibaar ash-shahaabah lainnya. Bahkan beliau juga menimba ilmu kepada Ummul Mukminin Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa.
Demikian ilmu dan pemahaman yang beliau dapatkan dari para pendahulunya itu pun beliau ajarkan kepada orang-orang yang setelahnya, karena merekalah para penerus dakwah. Sebut saja di antara murid-murid beliau yang ternama seperti Wahb bin Munabbih, Atha’ bin Abi Rabah, Amr bin Dinar, Mujahid, Laits bin Abi Salim –rahimahumullaah-, dan yang lainnya.

Berkata adz-Dzahabi rahimahullaah, “Aku berpendapat bahwa beliau dilahirkan pada masa khilafah Utsman radhiyallaahu ‘anhu atau sebelum itu.” [Siyar A’lam an-Nubala’ 5/38]

Diriwayatkan dari Abdul Malik bin Maisarah dari Thawus rahimahullaah ia mengatakan, “Sungguh aku bertemu dengan 50 orang sahabat-sahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.” [Tahdzibut Tahdzib 5/9]

Salah satu guru Imam Thawus adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib, sebagaimana pernyataan Imam Thawus:, “Aku mendengar Amirul Mukminin Ali berkata, “Sesungguhnya di dalam neraka terdapat ular¬-ular sebesar tiang-tiang dan terdapat kalajengking-kala¬jengking sebesar keledai mematuk setiap pemimpin yang tidak adil terhadap rakyatnya”.

Berikut ini keterangan dari gurunya Imam Thawus yaitu St. Aisyah, istri Nabi SAW, bahwa apabila seseorang dari keluarga Aisyah meninggal, lalu orang-orang perempuan berkumpul untuk berta’ziyah, kemudian mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang dekatnya, maka Aisyah menyuruh dibuatkan talbinah (sop atau kuah dari tepung dicampur madu) seperiuk kecil, lalu dimasak. Kemudian dibuatkan bubur. Lalu sop tersebut dituangkan ke bubur itu. Kemudian Aisyah berkata: “Makanlah kalian, karena aku mendengar Rasulullah bersabda: “Talbinah dapat menenangkan hati orang yang sakit dan menghilangkan sebagian kesusahan.” (HR. Muslim [2216]).

Hadits di atas mengantarkan pada kesimpulan bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta’ziyah telah berlangsung sejak generasi sahabat (atas perintah Khalifah Umar sebelum wafat), dan dilakukan oleh Sayyidah Aisyah. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi kenduri kematian bukanlah perbuatan yang dilarang dalam agama.

Tentang tradisi kaum salaf sejak generasi sahabat yang bersedekah makanan selama tujuh hari kematian untuk meringankan beban si mati. Dalam hal ini, al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd:
“Dari Sufyan berkata: “Thawus berkata: “Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah makanan selama hari-hari tersebut.”

Hadits di atas diriwayatkan al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Zuhd, al-Hafizh Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ (juz 4 hal. 11), al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur (32), al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (juz 5 hal. 330) dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi (juz 2 hal. 178).

Tradisi bersedekah kematian selama tujuh hari berlangsung di Kota Makkah dan Madinah sejak generasi sahabat, hingga abad kesepuluh Hijriah, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh al-Suyuthi.

Pendapat Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, bahwa hidangan kematian yang telah menjadi tradisi masyarakat dihukumi jaiz (boleh), dan tidak makruh. Hal ini seperti dipaparkan oleh Syaikh Abdullah al-Jurdani, dalam Fath al-‘Allam Syarh Mursyid al-Anam, juz 3 hal. 218.

Berdasarkan paparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa hukum memberi makan orang-orang yang berta’ziyah masih diperselisihkan di kalangan ulama salaf sendiri antara pendapat yang mengatakan makruh, mubah dan Sunnat.

Di kalangan ulama salaf tidak ada yang berpendapat haram. Bahkan untuk selamatan selama tujuh hari, berdasarkan riwayat Imam Thawus, justru dianjurkan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat dan berlangsung di Makkah dan Madinah hingga abad kesepuluh Hijriah.

Sedangkan tradisi kenduri pada hari ke 40, 100, 1000 dan lain-lain, adalah boleh dan hal tersebut hanya semata-mata tradisi yang berkembang. (Syaikh Nawawi Banten, Nihayah al-Zain, hal. 281). Hal ini didasarkan pada hadits berikut ini:

“Dari Ibnu Umar , beliau berkata: “Nabi selalu mendatangi Masjid Quba setiap hari Sabtu dengan berjalan kaki dan berkendaraan.” Abdullah bin Umar juga sering melakukannya.”

Mengomentari hadits tersebut, al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fath al-Bari:
“Hadits ini, dengan jalur-jalurnya yang berbeda-beda, mengandung petunjuk atas bolehnya menentukan sebagian hari-hari tertentu dengan sebagian amal saleh dan melakukannya secara terus menerus.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari, juz 3 hal. 69).

Berikut ada cuplikan info dari negeri Jiran, bagus untuk sampean pahami:

Kesahihan Hadis Thawwus r.a.
Dalam Kitab Al Hawi lil Fatawa m.s 178 , juzuk 2 :
Sudut pertama: Sanadnya.
Kedua-dua hadis tersebut adalah Sahih Isnadnya dan Marfu’. Imam As Sayuthi mengulas dalam kitab tersebut katanya:
Rijal Isnad hadis yeng pertama adalah rijal yang sahih. – Thawwus – seorang dari kalangan pembesar Tabi’en. Abu Nuim berkata dalam kitab al Hilyah beliau : Beliau ( thawwus ) adalah dikalangan angkatan pertama dari orang Yaman . Abu Nuim juga meriwayatkan , Thawwus berkata: Saya berjumpa 50 guru dari kalangan Sahabat Rasulullah s.a.w. ( Berkata Ibnu Sa’ad : Pada hari kewafatannya beliau berumur awal 90 tahun. Sufiyan Athhawri Sesungguhnya menjumpai Thawwus , maka sesungguhnya kewafatan beliau awal tahun 110 hijrah menurut salah satu pendapat, sementara Sufiyan Athhawri pula dilahirkan pada tahun 97 hijrah tetapi (sekalipun ) kebanyakan riwayat beliau dari Thawwus adalah melalui wasitah perantaraan seseorang (maka itu tidak jadi muskil sebab “kebanyakan” tidak menafikan terdapatnya sebahagian riwayat Sufian dari thawus tanpa wasithah.)}
Sudut kedua: Maknanya:
Ertinya: Imam Rafie r.a berkata didalam Syarah Musnad: Perkara yang seumpama lafaz ( yang diucapkan oleh Thawus ) ini , yang dikehendaki maksudnya bahawa berlaku pada masa ( para Sahabat) tersebut tanpa ada pengingkaran. Maka perkataan Thawus r.a yang tersebut : “ Maka adalah mereka menyukai”. Jika diihtimalkan (di maksudkan) ianya adalah marfu’ sebagaimana pendapat yang pertama, nescaya adalah yang demikian menyempurnakan Hadis Mursal. Dan jadilah hadis Thawus tersebut melengkapi dua perkara: Pertamanya ; Asal I’tiqod. Yaitu fitnah kubur bagi mayyit-mayyit dalam masa 7 hari. Keduanya; Hukum Syara’ yang cabang; yaitu KESUNNATAN bersedekah dan menjamu makan ganti daripada mereka (maksudnya bersedekah makanan untuk disedekahkan pahalanya kepada mayyit) selama 7 hari selepas kematian. Himpunan dua sebab tersebut menjadikan nya Isnad yang Mursal kerana ditujukan kalimat Tabi’en kepada Thawus, tidak di dinamakan beliau sebagai Sahabat yang telah memberitakan kepada nya berita tersebut. Maka jadilah ia Maqbul disisi mereka yang menerima Hadis Mursal sebagai hujjah secara muthlaq dan Maqbul juga disisi mereka yang mensyaratkan terdapat penguat-penguat (untuk diterima sesuatu hadis Mursal) kerana adanya hadis Mujahid dan Ubaid bin Umair .Maka ketika itu tiada Ikhtilaf pendapat dikalangan para imam untuk berhujjah dengan Hadis Mursal (Thawus) ini. Tammat.
As- Sayuthy berkata dimuka surat 185:
Maka hadis Thawus tersebut Maqbul( diterima disisi ulamak hadis ) dan dibuat hujjah dengannya , kerana perkara beredar diantara bahawa samada dihukumkan muttasil dan antara mursal. Sedangkan yang berlawanan dengan hadis Thawus itu pula adalah mursal kedua-duanya.
Sementara “perbuatan sebahagian sahabat atau perbuatan semua mereka ” , atau “ perbuatan kesemua umat yang berada dimasa tersebut” pula maka ini memaksudkan satu pengakuan atas qobulnya hadis tersebut dan berhujjah dengannya dari dua sudut yaitu pelajaran hadis dan usul fekah.
Berkenaan hadis Umair bin Ubaid yang sahih yang tiada pertikaian , disudut hubungannya dengan hadis Thawus tersebut apabila digabungkan (dikompromikan kesemua hadis-hadis tersebut ) beliau memberi komentar :
Dari Ubaid bin Umair r.a , berkata “ Difitnahkan (dalam kubur) dia jenis orang , yang beriman dan yang munafik . maka yg beriman difitnahkan selama 40 pagi hari”
Jika berkata orang yang bertanya “ Tiada warid pada seluruh hadis-hadis tersebut keterangan dengan menyebut 7 hari?. Kami menjawab:Tiada jelas juga menafikan (7 hari) dan tiada warid juga ( acara) keadaan masa fitnah tersebut sekali atau banyak , bahkan muthlak , boleh dikatakan sekali atau banyak. Maka apabila telah warid sebutan “7 hari” yang datang dari jalan periwayatan yang maqbul , wajiblah menerimanya . Adalah disisi ahli hadis dikatakan bab “ Tambahan dari rawi yang thiqah , adalah diterima”. Sementara disisi ahli usul pula termasuk dalam kaedah “ mengihtimalkan yang muthlak atas muqayyad”.
Tammat muka surat 187.
Ringkasan: Hadis Thawus ini adalah Mursal yang Marfu’ pada maknanya samada pada perkara Tauhid yaitu “Fitnah Kubur” atau Furu’ Fekah yaitu “Sunat membuat jamuan makan selepas kematian selama 7 hari ”. Kesimpulan hadis tersebut, matan hadis adalah diterima pakai dari awal hingga akhirnya, samada berkenaan perkara akidah azab kubur maupun adanya acara kenduri 7 hari yang dilakukan salaf .Ini kerana kaedah “ TAMBAHAN PARA RAWI THIQOH , DITERIMA”. Oleh itu jika diterima berita azab , wajib juga diterima berita berkenaan adanya acara kenduri jamuan makan sebab kematian yang pernah dilakukan oleh Para salaf as-Soleh.
Ada setengah orang menuduh Tuan-tuan Guru pondok telah tergesa-gesa mensahihkn hadis kenduri 7 hari Imam Sayuthi tersebut?. Siapa pula yang tergesa-gesa mensahihkan hadis yang memang telah telah disahihkan oleh Imam Sayuthi itu. Yang mana Imam Sayuthi telah menyatakan kesahihannya berdasarkan kaedah-kaedah ilmiah. Bukan fikiran rasa-rasa taksub pada pendapat sendiri. Kalau pembantah cuba untuk menolak pentashihan Imam Sayuthi tersebut, silakan dan cuba lah buat sedaya upayanya dengan apa jalan pun. Habis bahas pun akan berakhir juga dengan kesimpulan itu perkara ikhtilaf yang telah diizinkan oleh Syariat Allah s.w.t dan Rasulullah s.a.w.
Ada pula setengah yang lain pula cuba mentarjih dan tajrih hadis A’shim Kulaib tersebut , mana yang mahfuzh , mana yang tidak mahfuzhnya…. Dan dikomentari dengan ayat-ayat yang seolah-olahnya hadis Ashim bin Kulaib itulah semata-mata tunjang dalil kenduri arwah yang diamalkan masyarakat?..
Tak ada sesiapa pun dikalangan ulamak yang mengharuskan kenduri tahlil arwah dengan semata-mata berteraskan hadis ‘ashim tersebut. Hadis tu sebahagian dalil sokongan. Bukan asasnya. Lagi pula pendapat dan komen para muhadisin terhadap status hadis yang menyebut “penyeru isteri mayat” dengan muqayyad itu telah berikhtilaf ulamak. Ada yang mensahihkannya bukannya takde seperti dakwaan pembantah. Jadi apa salahnya beramal dengan hadis-hadis yang begitu. Ke saja nak taksub ke pendapat sendiri?..
Ini perbahsan berkenaan hadis-hadis yang seperti ini yang sangatlah panjang. Kalau nak meluaskan pengetahuan rajin-rajin lah membelek kitab-kitab musthalah dan usul fikah.
Akhirnya:
Perbahasan yang panjang lebar telah di bawakan oleh Imam Sayuthi didalam kitab beliau Al Hawi lil Fatawa juzuk 2 . m.s 178-196 , hampir 19 muka surat membahaskan hadis tersebut , samada disudut sanadnya maupun maknanya. Sesiapa yang berminat bolehlah merujuk kitab tersebut. Wallahu a’lam.
Saya menyeru kepada mereka yang berkebolehan dalam menyelidik dalil-dalil, terutamanya Tuan-tuan Guru dan para penuntut Ilmu , agar lebih peka untuk memberi penerangan dengan lebih jelas kepada masyarakat berkenaan perkara sebegini . Sekalipun ianya dianggap perkara kecil , furu; remeh tetapi akan menjadi perkara besar jika sampai ketahap membid’ah dan menghukum kufurkan segolongan besar umat Islam. Lihatlah kepada usaha-usaha mereka yang semakin berkembang terutamanya dikalangan mereka yang tiada asas pengetahuan agama.
Setelah kita meneliti dan menghalusi perbincangan , dimanakah lagi logik dan betulnya dakwaan mereka yang mengharamkan dan membid’ahkan kenduri arwah dengan alasan-alasan yang keliru dan samar? . Alasan yang remeh temeh, yang hanya menunjjukan kebodohan diri sendiri disisi para ilmuan?. Alasan yang sentiasa bertukar-tukar apabila ternyata rapuh setelah dijawab . Maka mudahan-mudahan risalah ini dapat meredakan ketegangan yang sentiasa akan menyala apabila ditiup oleh mereka yang nampaknya bagus ideanya tapi hakikat batinnya siapa yang tahu hanya Allah saja, mungkin mencari publisiti saja.
Sesiapa saja yang membaca risalah ini , jika terdapat musykil, sila lah merujuk kepada ahlinya atau berhubung terus dengan penulis untuk mendapat penerangan lanjut. Wassalam


2.
Pengirim: rahman  - Kota: bandung
Tanggal: 19/6/2013
 
Artikel di atas sulit untuk dibantah oleh kaum WAHABI karena memakai hadist yang Tabi'in generasi pertama yang telah bertemu para Sahabat R.A. bila WAHABI menolak hadist tersebut maka menjadi jelaslah bahwa aliran sesat ini bukan pengikut Salafus Sholeh. akan tetapi pengikut SARAF dan SALAH.  
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Syukran kunjungannya.

3.
Pengirim: udin  - Kota: solo
Tanggal: 20/6/2013
 
Maturnuwun Kyai atas kesabaranya untuk menjawab, sekarang jadi jelas dan bisa dipahami 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Alhamdulillah Amalan-amalan warga NU itu tidak BID'AH DHALALAH. Hanya kaum Wahhabi saja yang suka menuduh Bid'ah Dhalalah terhadap amalan warga NU. Padahal jelas-jelas kaum Wahhabi Indonesia telah melakukan BID'AH DHALALAH sesuai definisi dari kaum Wahhabi sendiri, itu loh membuat TAYANGAN DAKWAH TV RODJA, padahal Nabi SAW tidak pernah membuat TAYANGAN TV segala.

4.
Pengirim: Agus  - Kota: sidoarjo
Tanggal: 21/6/2013
 
Kyai, kenapa sih sifat memenggal bacaan dan tulisan dan arti tulisan itu menjadi permanen dalam diri kelompok wahhabi ?? 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Jurus mereka memang demikian, kalau dalam bahasa ushul fiqih diistilahkan jurus: Kalimatu haqqin uriida bihal baathil (menggunakan kalimat yang haq (benar) untuk tujuan kejahatan).

Teringat kebiasaan kaum Yahudi yaitu: Yukminuuna bi ba'dhil kitaabi wayakfuruuna bi ba'dh (mereka beriman kepada sebagian kitab suci dan mengingkari sebagian yang lain). maksudnya ajaran yang cocok-cocok saja yang mereka laksanakan sedang yang dirasa tidak cocok maka mereka ingkari. Demikian juga kaum Wahhabi mengimani satu, dua, tiga dalil yang mencocoki hati mereka dan akan mengingkari dalil-dalil yang lain yang dirasa tidak memenuhi selera mereka, sekalipun misalnya ada seribu ulama salaf Islam beresepakat mendukung dan mengamalkannya. Yaa tetap saja kaum Wahhabi pada pendiriannya. Bahkan, gara-gara sifat cengkal dan sok benar sendiri inilah Al-albani tokoh sentral Wahhabi yang baru muncul kemarin sore, sudah berani menyalahkan hadit-hadits Imam Bukhari dan Imam Muslim yang dijadikan sebagai rujukan utama umat Islam dunia.

5.
Pengirim: Achmad alQuthfby  - Kota: Probolinggo
Tanggal: 22/6/2013
 
Ustadz yang selalu dirahmati Alloh, Menurut keterangan diatas, mohon disebutkan nama para Shahabat mentahlili mayitnya itu selama 7 hari kalau itu ajaran salah satu sahabat. Mohon juga sumber rujukanya juga dicantumkan . Jazakalloh atas jawabanya

- Tradisi tahlilan itu bukan murni tradisi Indonesia atau Jawa. Kalau kita menyimak fatwa Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani, tradisi tahlilan telah berkembang sejak sebelum abad ketujuh Hijriah, Dalam kitab Majmu' Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiah disebutkan:
"Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah ditanya, tentang seseorang yang memprotes ahli
dzikir (berjamaah) dengan berkata kepada mereka, "Dzikir kalian ini bid'ah,
mengeraskan suara yang kalian lakukan juga bid'ah". Mereka memulai dan
menutup dzikirnya dengan al-Qur'an, lalu mendo’akan kaum Muslimin yang
masih hidup maupun yang sudah meninggal. Mereka mengumpulkan antara
tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqalah (laa haula wa laa quwwata illa billaah) dan
shalawat kepada Nabi SAW. Lalu Ibn Taimiyah menjawab: "Berjamaah dalam
berdzikir, mendengarkan al-Qur'an dan berdoa adalah amal shaleh, termasuk
qurbah dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu. Dalam Shahih al-
Bukhari, Nabi SAW bersabda, "Sesungguhrrya Allah memiliki banyak Malaikat
yang selalu bepergian di muka bumi. Apabila mereka bertemu dengan
sekumpulan orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka memanggil,
"Silahkan sampaikan hajat kalian", lanjutan hadits tersebut terdapat redaksi,
"Kami menemukan mereka bertasbih dan bertahmid kepada-Mu"... Adapun
memelihara rutinitas aurad (bacaan-bacaan wirid) seperti shalat, membaca'a Qur'an, berdzikir atau berdoa, setiap pagi dan sore serta padi sebagian waktu
malam dan lain-lain, hal ini merupakan tradisi Rasulullah SAW dan hambahamba
Allah yang saleh, zaman dulu dan sekarang.” (Majmu’ Fatawa Ibn
Taimiyah, juz 22, hal. 520)

Dan apakah menjadi sebuah dalil, mengukur keharaman sesuatu itu dengan bersandar bahwa sesuatu tsb tidak pernah dilakukan di zaman sahabat???
Haram dan tidak, boleh dan tidak boleh, itu bersandar kepada dalil quran dan sunnah, bukan karena sesuatu tsb tidak pernah dilakukan pada zaman sahabat. Ini artinya anda seakan-akan menambah ketentuan didalam hukum Islam bahwa sesuatu yg tdk pernah dilakukan pada zaman sahabat itu adalah HARAM. Mohon disebutkan dalil yang menyatakan keharaman sesuatu apabila itu tidak dilakukan pada zaman sahabat?. Mohon juga sumber rujukanya juga dicantumkan . Jazakalloh atas jawabanya

 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Gaya Kaum Wahhabi selalu demikian, kalau saat menilai amalan umat Islam, maka kaum Wahhabi menuntut dalil2 syar'i kepada umat Islam. Tapi kalau kaum Wahhabi sendiri yang mengamalkan Bid'ah, maka mereka lakukan tanpa dalil2 syar'i, bahkan bisanya hanya taqlid buta kepada tokoh2nya saja, seperti Al-abani, Bin Baz, Utsaimin dan cs-nya.

6.
Pengirim: amir  - Kota: cibinong
Tanggal: 27/6/2013
 
Semoga Ustadz dirahmati Allah SWT.

Terlepas dari shahih atau tidaknya dalil yang Ustadz sampaikan terkait tahlilan 7 hari dimana keluarga musibah bersusah payah menyediakan makanan utk org yg bertakziyah, yang saya herankan bgmn antum membolehkan tahlilan 7 hari, 40 hari, 100 hari dan 1000 hari? walaupun ini antum anggap tradisi, bukankah ini ritual Hindu? Bagaimana mungkin agama yang mulia dan sempurna ini mencontoh agama kaum musyrikin?  
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Sebenarnya kami agak malas menjawab pertanyaan kadaluarsa ini, apalagi mau membahas derajat Hadits segala, paling2 akhi bisanya kopas pendapatnya Al-albani, itupun kalau ada. Karena pertanyaan akhi ini membuktikan jika akhi bukan orang yang teliti dalam membaca artikel-artikel kami yang sudah lama kami posting:

APA TAHLILAN HARI KE 7 & 40 MELAWAN SYARIAT ?

Dewasa ini, banyak tuduhan negatif dari kaum Wahhabi terhadap umat Islam yang mengadakan tahlilan dan kirim doa kepada ahli kubur, yang dilaksanakan pada hari ke 1, 2, 3 atau hingga hari ke 7, dan pada hari ke 40, 100, 1000, atau pelaksanaan haul tahunan. Kaum Wahhabi mengatakan bahwa waktu-waktu yang dipilih itu adalah hasil konversi dari adat istiadat Hindu yang diadopsi oleh para pengamalnya.

Karena itulah kaum Wahhabi melarang kelompoknya mengikuti tradisi Hindu tersebut. Untuk menyanggah tuduhan Wahhabi ini sangatlah mudah.

Adat istiadat yang tidak bertentangan dengan ajaran syariat Islam, maka boleh saja diadopsi oleh umat Islam.

Contoh, kebiasaan bercelana panjang (pantalon) dengan memakai baju hem dan berdasi adalah adat istiadat si penjajah Belanda sang penyebar agama Kristren di Indonesia.

Mereka jika mengadakan ritual agama Kristen di dalam gereja juga menggunakan celana panjang. Konon, sebagian ulama di masa penjajahan, sempat mengharamkan penggunaan celana panjang bagi umat Islam, dengan dalil man tasyabbaha biqaumin fahuwa minhum (barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongan mereka).

Karena bercelana pantalon saat itu menyerupai kaum Kristen Belanda, maka dihukumi haram. Namun pada akhir perkembangan, budaya bercelana panjang pantalon sudah menjadi budaya masyarakat muslim Indonesia, bahkan banyak sekali yang melaksanakan shalat pun dengan menggunakan celana panjang (pantalon).

Dasi pun kini sudah menjadi seragam para pegawai perkantoran, maupun anak-anak pelajar sekolah formal setingkat SD, SLTP dan SLTA. Dasi juga menjadi hal yang tidak pernah dipermasalkan oleh kaum Wahhabi.

Jika diteliti secara jujur, tidak sedikit kaum Wahhabi Indonesia yang menggunakan celana panjang pantalon dalam kehidupan sehari-hari, termasuk saat berfatwa di kalangan kelompoknya, bahkan anak-anak mereka juga dimasukkan sekolah formal dengan menggunakan seragam wajib berdasi.

Nabi SAW sendiri mengadopsi adat istiadat kaum Yahudi dalam melaksanakan puasa sunnah `Asyura, tapi ditambahi 1 hari (tanggal 9-10 atau 10-11 Muharram) agar tidak sama dengan puasanya Yahudi.

Sebagaimana dalam sejarah disebutkan, tatkala Nabi SAW masuk kota Madinah, beliau SAW mendapati kaum Yahudi berpuasa pada tanggal 10 Muharram. Lantas beliau SAW bertanya mengapa mereka berpuasa pada tanggal 10 Muharram. Kaum Yahudi menjawab : Kami berpuasa karena syukur kepada Allah atas diselamatkannya Nabi Musa dari kejaran Firaun pada tanggal 10 Muharram.. ! Maka Nabi SAW mengatakan : Sesungguhnya kami lebih berhak bersyukur kepada Allah atas hal itu dari pada kalian .. !

Kemudian Nabi SAW perintah kepada umat Islam : Shuumuu yauma `Aasyuura wakhaaliful yahuud, shuumu yauman qablahu au yauman bakdahu (Berpuasa `Asyuura- lah kalian, tapi berbedalah dengan kaum Yahudi, berpuasa jugalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya). HR. Bukhari & Muslim.

Baju koko juga dari budaya China yang mayoritas masyarakatnya beragama Khong hu cu dan Atheis, tapi kini menjadi trend sebagai baju muslim dunia. Kubah masjid dulunya berasal dari kubah gereja kemudian dirubah bentuknya menjadi kubah yang stupa, padahal bentuk stupa juga menjadi salah satu adat rumah ibadah Budha. Sedangkan menara masjid diadopsi dari menara kaum Majusi penyembah api, demikian dan sebagainya.

Karena semua adat istiadat tersebut di atas, tidak bertentangan dengan substansi syariat, maka hukumnya boleh-boleh saja.

Apalagi umat Islam mengisi hari-hari kematian keluarganya pada hari ke 1, 2, 3, 7, 40, 100, 1000, dan haul tahunan, yang sangat berbeda dengan adat kaum Hindu.

Umat Islam mengisinya dengan menbaca Yasin, Shalawat kepada Nabi SAW, dzikir-dzikir yang diajarkan Nabi SAW, berdoa mohon ampunan kepada Allah untuk ahli kubur, dan bersedekah.

Jadi sudah sesuai dengan perintah Nabi SAW. Bahkan semua isi amalan Tahlilan itu substansinya adalah pengamalan ajaran Alquran dan Hadits Nabi SAW.

IKUT TAHLILAN YOOK ... !

7.
Pengirim: amir  - Kota: cibinong
Tanggal: 27/6/2013
 
@mas Qurthuby,
Segama macam urusan agama ini sandarannya tetap pada Al-qur'an dan Hadist Nabi Muhammad SAW, atas dasar pemahaman para sahabat.

Keutamaan para sahabat terdapat dalam Al-Qur'an surat At-Taubah :100 dan jg salah satu hadist shahih riwayat Bukhari, dengan Matan sebagai berikut "Sebaik-baik manusia adalah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya".

Masih bnyk lagi keutamaan para sahabat, diantaranya Hadist Riwayat Abu daud dan At-Tarmidzi, yang berbunyi
".... Sesungguhnya barangsiapa diantara kalian yg masih hidup niscaya akan menyaksikan banyak perselisihan. Karena itu berpegang teguh lah pada sunnah ku dan sunnah Khulafaurrasyidin yang lurus (mendapat petunjuk) dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah olehmu hal-hal yang baru (dalam urusan agama), karena semua bid'ah itu sesat. (hasan shahih).

Dari Dalil yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa segala macam urusan agama ini tetap bersandar pada Al-Qur'an dan Hadist, dengan pemahaman para sahabat. Apalagi sahabat memiliki keutamaan dibandingkan manusia lain dan langsung ditarbiyah oleh manusia paling mulia di muka bumi ini.
Wallahu a'lam. 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Akhi Ahmad Alquthfby sudah benar dan tidak salah. Yang salah adalah Kaum Wahhabi tanpa dasar yang jelas berani menyalahkan amaliyah warga NU dengan tuduhan warga NU ahli Bid'ah. Jadinya terkesan tuduhan yang asal-asalan, padahal kaum Wahhabi sendiri doyan mengamalkan amaliyah Bid'ah yang sesuai dengan definisi Wahhabi sendiri.

8.
Pengirim: Achmad alQuthfby  - Kota: Probolinggo
Tanggal: 29/6/2013
 
Pengirim: amir - Kota: cibinong
Tanggal: 27/6/2013 Semoga Ustadz dirahmati Allah SWT.

Terlepas dari shahih atau tidaknya dalil yang Ustadz sampaikan terkait tahlilan 7 hari dimana keluarga musibah bersusah payah menyediakan makanan utk org yg bertakziyah, yang saya herankan bgmn antum membolehkan tahlilan 7 hari, 40 hari, 100 hari dan 1000 hari? walaupun ini antum anggap tradisi, bukankah ini ritual Hindu? Bagaimana mungkin agama yang mulia dan sempurna ini mencontoh agama kaum musyrikin?

-------------------------
Ada perbedaan antara
tradisi Hindu dengan Tahlilan. Dalam tradisi Hindu, selama tujuh hari dari
kematian, biasanya diadakan ritual selamatan dengan hidangan makanan yang
diberikan kepada para pengunjung, disertai dengan acara sabung ayam,
permainan judi, minuman keras dan kemungkaran lainnya.
Sedangkan dalam tahlilan, tradisi kemungkaran seperti itu jelas tidak ada. Dalam
tradisi Tahlilan, diisi dengan bacaan al-Qur'an, dzikir bersama kepada Allah SWT
serta selamatan (sedekah) yang pahalanya dihadiahkan kepada mayit. Jadi,
antara kedua tradisi tersebut jelas berbeda.
Sedangkan berkaitan dengan acara tujuh hari yang juga menjadi tradisi Hindu,
dalam Islam sendiri, tradisi selamatan tujuh hari telah ada sejak generasi
sahabat Nabi SAW.. Al-Imam Sufyan, seorang ulama salaf berkata: "Dari Sufyan,
bahwa Imam Thawus berkata, "Sesungguhnya orang yang meninggal akan diuji
di dalam kubur selama tujuh hari, oleh karena itu mereka (kaum salaf)
menganjurkan bersedekah makanan untuk keluarga yang meninggal selama
tujuh hari. tersebut." (HR al-Imam Ahmad dalam al-Zuhd al-Hafizh Abu Nu'aim,
dalam Hilyah al-Auliya’ juz 4, hal 11 dan al-Hafizh Ibn Hajar dalam al-Mathalib al-
'Aliyah, juz5, hal 330).
Riwayat di atas menjelaskan bahwa tradisi selamatan selama tujuh hari telah
berjalan sejak generasi sahabat Nabi Sudah barang tentu, para sahabat dan
genetaj salaf tidak mengadopsinya dari orang Hindu. Karena orang-orang Hindu
tidak ada di daerah Arab.
Dan seandainya tradisi selamatan tujuh hari tersebut diadopsi dari tradisi Hindu,
maka hukumnya jelas tidak haram, bahkan bagus untuk dilaksanakan,
mengingat acara dalam kedua tradisi tersebut sangat berbeda. Dalam selamatan
tujuh hari, kaum Muslimin berdzikir kepada Allah. Sedangkan orang Hindu
melakukan kemungkaran. Dalam hadits shahih Rasulullah bersabda:
"Dari Ibn Mas'ud Rasulullah SAW bersabda: "Orang yang berdzikir kepada Allah
di antara kaum yang lalai kepada Allah, sederajat dengan orang yang sabar di
antara kaum yang melarikan diri dari medan peperangan." (HR. al-Thabarani
dalam al-Mu’jam al-Kabir dan al-Mu’jam al-Ausath. Alhafizh al-Suyuthi menilai
hadits tersebut shahih dalam al-Jami’ al-Shaghir).
Dalam acara tahlilan selama tujuh hari kematian, kaum Muslimin berdzikir
kepada Allah, ketika pada hari tersebut orang Hindu melakukan sekian banyak
kemungkaran. Betapa indah dan mulianya tradisi tahlilan itu. Dan seandainya
tasyabuh dengan orang Hindu dalam selamatan tujuh hari tersebut
dipersoalkan, Rasulullah SAW telah mengajarkan kita cara menghilangkan
tasyabuh (menyerupai orang-orang ahlul kitab) yang dimakruhkan dalam agama,
Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah SAW bersabda:
“Ibn Abbas berkata: "Setelah Rasulullah SAW berpuasa pada hari Asyura dan
memerintahkan kaum Muslimin juga berpuasa, mereka berkata: “Wahai
Rasulullah, hari Asyura itu diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani."
Rasulullah SAW menjawab: "Kalau begitu, tahun depan, kita berpuasa pula
tanggal sembilan." Ibn Abbas berkata: 'Tahun depan belum sampai ternyata
Rasulullah SAW telah wafat" (HR. Muslim dan Abu Dawud).
Dalam hadits di atas, para sahabat menyangsikan perintah puasa pada hari
Asyura, di mana hari tersebut juga diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan
Nasrani. Sementara Rasulullah SAW telah menganjurkan umatnya agar selalu
menyelisihi (mukhalafah) orang-orang Yahudi dan Nasrani. Temyata Rasulullah
memberikan petunjuk, cara menyelisihi mereka, yaitu dengan berpuasa sejak
sehari sebelum Asyura, yang disebut dengan Tasu'a', sehingga tasyabbuh
tersebut menjadi hilang.
Pengirim: amir - Kota: cibinong
Tanggal: 27/6/2013 @mas Qurthuby,
Segama macam urusan agama ini sandarannya tetap pada Al-qur'an dan Hadist Nabi Muhammad SAW, atas dasar pemahaman para sahabat.

Keutamaan para sahabat terdapat dalam Al-Qur'an surat At-Taubah :100 dan jg salah satu hadist shahih riwayat Bukhari, dengan Matan sebagai berikut "Sebaik-baik manusia adalah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya".

Masih bnyk lagi keutamaan para sahabat, diantaranya Hadist Riwayat Abu daud dan At-Tarmidzi, yang berbunyi
".... Sesungguhnya barangsiapa diantara kalian yg masih hidup niscaya akan menyaksikan banyak perselisihan. Karena itu berpegang teguh lah pada sunnah ku dan sunnah Khulafaurrasyidin yang lurus (mendapat petunjuk) dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah olehmu hal-hal yang baru (dalam urusan agama), karena semua bid'ah itu sesat. (hasan shahih).

Dari Dalil yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa segala macam urusan agama ini tetap bersandar pada Al-Qur'an dan Hadist, dengan pemahaman para sahabat. Apalagi sahabat memiliki keutamaan dibandingkan manusia lain dan langsung ditarbiyah oleh manusia paling mulia di muka bumi ini.
Wallahu a'lam

-------------------------
Anda ini sepertinya awam sekali dalam berdalil. Saya anjurkan anda belajar lebih dahulu di Ribath Murtadla Singosari Malang, di kediaman KH. Luthfi Bashori Alwy.

Apakah dalil yg anda kemukakan itu adalah sebuah dalil yang dapat membenarkan bahwa segala hal itu haram jika tidak dikerjakan oleh para Sahabat Rasul??? Seperti tahli dll.???

Mana dalilnya yang qathi’ yg menunjukkan bahwa suatu perbuatan tsb haram jika tidak pernah dilakukan oleh para sahabat???
Bahkan tahlil itu telah berkesesuaian dengan quran dan hadist.

Pernahkan anda membaca hadist:
“Jarir bin Abdullah al-Bajali radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam
Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang yang
melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan
barangsiapa yang memulai perbuatan jelek dalam Islam, maka ia akan
memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya
tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR. Muslim [1017]).

Jika rasul mengharamkan segala sesuatu yg tidak dikerjakan oleh para sahabat maka rasul tidak mungkin bersabda sedemikian rupa.

Anda menukil hadist: "Sebaik-baik manusia adalah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya".

Apa yg dimaksud sebaik-baik manusia disana? Apakah terkait personal mereka ataukah mengenai tradisi yang belum pernah mereka (para sahabat) kerjakan?

Masih bnyk lagi keutamaan para sahabat, diantaranya Hadist Riwayat Abu daud dan At-Tarmidzi, yang berbunyi
".... Sesungguhnya barangsiapa diantara kalian yg masih hidup niscaya akan menyaksikan banyak perselisihan. Karena itu berpegang teguh lah pada sunnah ku dan sunnah Khulafaurrasyidin yang lurus (mendapat petunjuk) dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah olehmu hal-hal yang baru (dalam urusan agama), karena semua bid'ah itu sesat. (hasan shahih).

Bagaimana pengertian bid’ah menurut anda?
Apa definisi bid’ah?

Saya tantang anda utk berdiksusi disini!!!
 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Ini jawaban untuk sdr. Amir, sang Wahhabi asal Cibinong.

9.
Pengirim: amir  - Kota: cibinong
Tanggal: 1/7/2013
 
Semoga Allah SWT memberikan Taufiq bagi antum semua.

Uastadz, kalo Rasulullah menyelisihi hari Assyura dengan menetapkan puasa di 9 dan 10, atau 10 dan 11 Muharam, itu artinya bahwa itu bagian dari Risalah yang beliau bawa. Selanjutnya kita hanya bersikap sami'na wa atho'na.

Selanjutnya antum membuat penyelisihan yang baru terhadap tradisi hindu dengan mengisi nya dengan bacaan-bacaan toyyibah dan murni menadaptasinya dari Hindu. Apakah antum sudah sampai maqom pembawa risalah? hingga harus mengadaptasi tradisi kaum musyrikin (na'udzubillah min dzalik).

Mutlak kita harus mencukupkan apa-apa yang Allah dan Rasulullah sampaikan. Islam ini sdh sempurna.

Afwan, saya bukan WAHABI, saya hanya orang yang sedang coba mempelajari Dien ini dengan pemahaman yang lurus. 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Biarpun anda tidak mengaku jadi Wahhabi, itu tidak mempengaruhi kami untuk menisbatkan anda sebagai Wahhabi, karena pemahaman anda adalah Wahhabi 100%.

Anda baca artikel kami terbaru: Amalan Bid'ah Orang Wahhabi, biar anda juga bisa 'melek' hukum.

10.
Pengirim: amir  - Kota: cibinong
Tanggal: 1/7/2013
 
Ustadz, saya heran kenapa ustadz mensejajarkan antara Tahlilan (copas Hindu) dengan celana panjang?
Ini dua hal yang berbeda ustadz, Tujuan para pelaku tahlilan itu kan niat nya utk ibadah, sementara celana panjang itu mutlak urusan dunia.
Terlepas itu merupakan budaya barat, selama tidak bertentangan dengan syariat Islam itu bisa diterima. misalnya celana panjang, selama aurat tertutup dan tidak ketat tentu tidak jadi masalah.
Yang jadi masalah adalah kita meniru-niru peribadatan di luar Islam.
 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Anda baca saja artikel kami Amalan Bid'ah Orang Wahhabi. Karena anda sejenis dengan mereka.

Emangnya Nabi SAW pernah membatasi bid'ah itu jadi bid'ah dunia dan dan bid'ah ibadah, kok berani-beraninya anda mengatakannya seperti itu? Mana dalil qath'inya dari Alquran atau Hadits shahih?

Anda harus tahu bahwa celana panjang itu memang hasil copas Belanda Kristen.

Bahkan ada jenis aksesoris pakaian non muslim yang diharamkan oleh syariat.

Coba anda pakai aksesoris kalung Salib di leher anda, dan anda juga berjubah ala pendeta, serta berpeci Santa Claus, lantas anda datang ke masjid untuk jadi imam shalat. Nah, pasti anda akan diusir oleh jamaah masjid, karena anda telah menyerupai cara pakaian orang Nasrani.

Apakah umat Islam dapat menerima saat anda berargumen: Alaa, ini kan cuma pakaian saja, yang penting menutup aurat dan bukan amalan ibadah...!

Atau anda rupanya juga berani menuduh Nabi SAW yg perintah puasa Asyura itu, karena melihat orang Yahudi berpuasa di hari itu juga adalah amalan copas Yahudi... Begitu ?

Anda juga sudah berani menuduh para shahabat dan Tab'in telah copas Hindu, karena ajaran para Shahabat dan para Tabi'in itu seperti yang telah diriwayatkan oleh Imam Suyuthi Rahimahullah dalam kitab Al-Hawi li al-Fatawi-nya, beliau mengatakan bahwa Imam Thawus Attabi'i berkata: Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia itu difitnah (diuji) dalam kuburannya selama 7 hari, karena itu mereka (para shahabat Nabi SAW) menganjurkan (bersedekah) memberi makanan atas nama para mayit itu pada hari-hari tersebut.

Kayaknya anda merasa lebih hebat dan lebih Islami dibanding para Shahabat dan para Tabi'in.

11.
Pengirim: amir  - Kota: cibinong
Tanggal: 1/7/2013
 
@quthfby, ini sy kutip tulisan anda :
Sedangkan berkaitan dengan acara tujuh hari yang juga menjadi tradisi Hindu,
dalam Islam sendiri, tradisi selamatan tujuh hari telah ada sejak generasi
sahabat Nabi SAW.. Al-Imam Sufyan, seorang ulama salaf berkata: "Dari Sufyan,
bahwa Imam Thawus berkata, "Sesungguhnya orang yang meninggal akan diuji
di dalam kubur selama tujuh hari, oleh karena itu mereka (kaum salaf)
menganjurkan bersedekah makanan untuk keluarga yang meninggal selama
tujuh hari. tersebut." (HR al-Imam Ahmad dalam al-Zuhd al-Hafizh Abu Nu'aim,
dalam Hilyah al-Auliya’ juz 4, hal 11 dan al-Hafizh Ibn Hajar dalam al-Mathalib al-
'Aliyah, juz5, hal 330).
Riwayat di atas menjelaskan bahwa tradisi selamatan selama tujuh hari telah
berjalan sejak generasi sahabat Nabi Sudah barang tentu, para sahabat dan
genetaj salaf tidak mengadopsinya dari orang Hindu. Karena orang-orang Hindu
tidak ada di daerah Arab.

Bagaimana mungkin perintahnya untuk bersedekah makanan kepada keluarga yang meninggal, koq jd berubah tahlilan 7 hari. logika apa yang dipakai? Anda terlalu jauh menafsirkan riwayat yang sebenarnya sdh jelas.

Al-Imam Asy-Syafi'i berkata dalam kitab "Al-Umm" :

"Dan aku benci al-maatsim yaitu berkumpulnya orang-orang (di rumah keluarga mayat –pen) meskipun mereka tidak menangis. Karena hal ini hanya memperbarui kesedihan, dan membebani pembiayayan….". ini adalah lafal nash (pernyataan) Al-Imam Asy-syafi'i dalam kitab al-Umm. Dan beliau diikuti oleh para ahli fikih madzhab syafi'i.

Dan penulis (kitab al-Muhadzdzab) dan yang lainnya juga berdalil untuk pendapat ini dengan dalil yang lain, yaitu bahwasanya model seperti ini adalah muhdats (bid'ah)" (Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 5/278-279)
 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Kami posting untuk Akhi Ahmad Alquthfby.

12.
Pengirim: amir  - Kota: cibinong
Tanggal: 1/7/2013
 
“Bid‘ah adalah suatu cara yang diada-adakan dalam agama, yang bentuknya menyerupai syari‘at, dan yang dimaksud dari penerapannya adalah sama dengan yang dimaksud dari penerapan syari‘at.” [Lihat al-I’tishaam (I/37)]

Contohnya tahlil-an ini. 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Itu definisi bukan dari Nash Dalil secara Tekstual baik dari ayat Alquran maupun Hadits Shahih.

Kami sedang mengikuti dan mengamalkan kebandelan (cengkalnya) ilmu dan pahamnya kaum Wahhabi, jadi kami tidak menerima definisi dari Al-i'tisham itu.

Tapi menuntut anda untuk menghadirkan tekstual ayat Alquran maupun Haditsnya, dan itupun kalau anda akan menghadirkan dalil dari Hadits, maka kami syaratkan harus Hadits Shahih, dalam menentukan definisi bid'ah, kok hanya anda batasi dalam syariat saja.

Sekali lagi, untuk kali ini kami tidak mau menerima kontekstual dari dalil Alquran maupun Hadits, tapi kami hanya akan menerima definisi yang ada tekstual dalilnya, agar tidak membuat-buat sendiri apa yang tidak dikatakan oleh Allah maupun Nabi SAW.

Ini kan gaya-mu...! (sambil menghentak-hentakkan kaki model Arya Wiguna)

13.
Pengirim: amir  - Kota: cibinong
Tanggal: 1/7/2013
 
ustadz, ini tulisan antum:
Anda juga sudah berani menuduh para shahabat dan Tab'in telah copas Hindu, karena ajaran para Shahabat dan para Tabi'in itu seperti yang telah diriwayatkan oleh Imam Suyuthi Rahimahullah dalam kitab Al-Hawi li al-Fatawi-nya, beliau mengatakan bahwa Imam Thawus Attabi'i berkata: Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia itu difitnah (diuji) dalam kuburannya selama 7 hari, karena itu mereka (para shahabat Nabi SAW) menganjurkan (bersedekah) memberi makanan atas nama para mayit itu pada hari-hari tersebut".

Adapun yang sy kritisi dari antum adalah pembolehan Tahlilan 7, 40,100 dan 1000 hari. karena ini memang copas hindu.

Dalil yang antum sp kan untuk bersedekah makanan untuk keluarga yang meninggal seperti dalam hadist sedekah makanan kepada keluarga Ja'far, sy setuju. tetapi bukan dengan tahlilan yang jelas tidak ada tuntunannya.

Berikut ini pernyataan Imam Syafi'i Rohimahullah:
“…dan aku membenci al-ma’tam, yaitu proses berkumpul (di tempat keluarga mayat) walaupun tanpa tangisan, karena hal tersebut hanya akan menimbulkan bertambahnya kesedihan dan membutuhkan biaya, padahal beban kesedihan masih melekat.” (al-Umm (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1393) juz I, hal 279)

Semoga mendapat taufiq. 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Itu sangat mudah untuk menjawabnya, karena sudah sering diterangkan oleh para ulama Aswaja tentang perbedaan antara Tahlilan dengan Ma'tam. Coba simak cuplikan artikel berikut:

Al-Syaukani, dalam kitab al-Rasail al-Salafiyyah, menegaskan bahwa kebiasaan berkumpul di beberapa negara yang diadakan di masjid, rumah, kuburan untuk membaca al-Quran lalu pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, tidak diragukan lagi bahwa hukumnya boleh (jaiz), jika di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan dan kemungkaran. Kegiatan ini boleh walaupun tidak ada penjelasan (secara dzahir) dari syariat agama Islam. Sekali lagi, kegiatan tahlil ini bukanlah perbuatan yang haram (muharram fi nafsih), apalagi jika di dalamnya diisi dengan kegiatan ibadah seperti membaca al-Quran, shalawat, istighfar, tasbih, hamdalah dan sebagainya. Agama juga tidak melarang menghadiahkan pahala membaca al-Quran atau lainnya kepada yang telah meninggal dunia. Dalam sebuah hadis shahih, Nabi Muhammad saw pernah bersabda, "Iqrauu Yasiin 'ala mawtaakum", bacakanlah surah Yasin terhadap orang-orang yang mati di antara kalian. Dari hadis ini, jelas adanya kebolehan membacakan surah Yasin atau bacaan lainnya, baik dilakukan sendirian ataupun bersama-sama, diselenggarakan di rumah, di masjid, di dekat jenazah atau di atas kuburannya. Semuanya boleh dan bagus. Tidak perlu diragukan dan dipermasalahkan lagi! Al-Syaukani menambahkan, bahwa para sahabat juga mengadakan perkumpulan di rumah-rumah mereka atau di masjid, melagukan syair, mendiskusikan hadis,lalu mereka makan dan minum. Padahal, di tengah-tengah mereka ada Nabi Muhammad saw. Dengan kata lain, Nabi tidak melarang dan tidak mempersalahkan kegiatan yang bagus ini. Oleh sebab itu, siapa saja yang mengharamkan perkumpulan yang di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan, maka orang itu telah salah. Karena sesungguhnya, yang dimaksud bid'ah adalah sesuatu yang dibuat-buat dalam masalah agama (misalnya mengadakan doa bersama lintas agama). Sedangkan perkumpulan semacam TAHLIL ini tidak tergolong bid'ah. (al-Rasail al- Salafiyah, 46) Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Said al-Khudry, ia berkata, Rasulullah saw bersabda: "Suatu kaum yang berkumpul sambil berdzikir kepada Allah, mereka dikelilingi malaikat. Allah akan memberi mereka rahmat-Nya, memberi ketenangan hati dan memuji mereka di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya". (HR. Muslim, 4868) Meskipun penjelasan tentang kebolehan tahlil telah diuraikan panjang lebar dengan berbagai dalil, tapi masih tetap saja ada yang menentang dan menghakimi para jamaah tahlil sebagai kaum bid'ah. Bahkan, mereka berusaha mengelabuhi dengan cara membenturkan tahlil dengan ucapan Imam Syafi'i dalam kitabnya, Al-Umm. Imam Syafi'i ra. mengatakan, "Aku tidak senang dengan "Ma'tam" yaitu perkumpulan, karena hal itu akan mendatangkan kesedihan dan menambah beban". Pernyataan Imam Syafi'i inilah yang sering dijadikan dalil untuk melarang tahlil, karena tahlil dikira "Ma'tam" yang tidak disenangi oleh Imam Syafi'i. Padahal, pengertian "Ma'tam" sangat berbeda dengan "Tahlilan". Ma'tam adalah perkumpulan untuk meratapi mayit yang menambah kesedihan dan duka cita bagi keluarga yang ditinggalkan. Dalam kamus al-Munjid, Ma'tam didefinisikan "Perkumpulan orang yang biasanya semakin menambah kesedihan". Jadi, Ma'tam semacam inilah yang tidak disukai Imam Syafi'i karena hal itu adalah tradisi orang-orang Arab Jahiliyyah yang mencerminkan kesedihan mendalam karena adanya orang yang meninggal dunia sehingga seakan-akan mereka berkumpul karena tidak menerima keputusan Allah swt. Hal semacam itu, perlu diketahui, sama sekali tidak ada dan tidak tercermin dalam tahlilan yang digelar masyarakat muslim. Sebab, acara tahlilan pasca kematian seseorang atau tahlilan rutin yang biasa diadakan pada malam Jumat atau pada even-even tertentu tersebut, di dalamnya justru terdapat dzikir, bacaan al-Quran, istighfar, tahmid, shalawat, syahadat, takbir, doa dan sebagainya. Sehingga, tahlilan ini lebih tepat juga disebut "Majelis Dzikir". Terlebih lagi, bagi masyarakat muslim, tahlilan itu bukan menjadi ajang pelampiasan duka cita, ia bukan ma'tam dan juga bukan majelis niyahah (ratapan kesedihan). Justru, tahlilan itu merupakan obat pelipur lara dan penghapus duka karena ditinggal mati oleh orang yang mereka sayangi, bukan menambah kesedihan dan derita. Buktinya, tuan rumah semakin senang jika jumlah orang yang tahlil bertambah banyak. Sebaliknya, mereka terkadang kecewa, jika yang datang untuk tahlilaln sangat sedikit, apalagi tidak ada sama sekali, bisa-bisa bikin stress! Ini artinya, bahwa tradisi keberagamaan seperti tahlil yang selain esensinya berdzikir dan berdoa, tahlil juga menjadi media silaturrahmi antar sesama famili, kerabat, tetangga dan masyarakat. Tahlil akan melahirkan kesatuan sosial dalam keberagamaan. Tahlil juga menjadi kekuatan jiwa bagi semuanya, terlebih lagi bagi orang atau keluarga yang sedang berduka cita. Kesimpulannya, bertahlillah karena tahlil itu sama sekali bukan bid'ah. Tahlil dibenarkan agama Islam dan esensinya tidak bertentangan dengan dalil-dalil agama. Dengan bertahlil, berdzikir, baik sendirian maupun berjamaah, pasti akan mendatangkan ketenangan dan kedamaian. Sebaliknya, yang menolak tahlil dan mencari-cari dalil-dalil untuk mem-bid'ah-kan tahlil, maka sesungguhnya hatinya sedang sakit dan perlu didamaikan.

14.
Pengirim: Kyai  - Kota: probolinggo
Tanggal: 1/7/2013
 
izinkan saya sbg murid Guru Achmad alQuthfby yg akan menanggapi ocehan Amir.

Pengirim: amir - Kota: cibinong
Tanggal: 1/7/2013 Semoga Allah SWT memberikan Taufiq bagi antum semua.

Uastadz, kalo Rasulullah menyelisihi hari Assyura dengan menetapkan puasa di 9 dan 10, atau 10 dan 11 Muharam, itu artinya bahwa itu bagian dari Risalah yang beliau bawa. Selanjutnya kita hanya bersikap sami'na wa atho'na.

Selanjutnya antum membuat penyelisihan yang baru terhadap tradisi hindu dengan mengisi nya dengan bacaan-bacaan toyyibah dan murni menadaptasinya dari Hindu. Apakah antum sudah sampai maqom pembawa risalah? hingga harus mengadaptasi tradisi kaum musyrikin (na'udzubillah min dzalik).

Mutlak kita harus mencukupkan apa-apa yang Allah dan Rasulullah sampaikan. Islam ini sdh sempurna.

Afwan, saya bukan WAHABI, saya hanya orang yang sedang coba mempelajari Dien ini dengan pemahaman yang lurus.

- saya akan komentar sdikit saja utk ngelayani kengeyelan anda.
Apakah antum sudah sampai maqom pembawa risalah? Mana ada dalilnya yg mewajibkan kami harus mencapai maqom pembawa risalah???. Kalo tidak ada itu berarti pendapat anda pribadi dan itu bid’ah.

Dalam hadits di atas, para sahabat menyangsikan perintah puasa pada hari
Asyura, di mana hari tersebut juga diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan
Nasrani. Sementara Rasulullah SAW telah menganjurkan umatnya agar selalu
menyelisihi (mukhalafah) orang-orang Yahudi dan Nasrani. Temyata Rasulullah
memberikan petunjuk, cara menyelisihi mereka, yaitu dengan berpuasa sejak
sehari sebelum Asyura, yang disebut dengan Tasu'a', sehingga tasyabbuh
tersebut menjadi hilang.
Pengirim: amir - Kota: cibinong
Tanggal: 1/7/2013 Ustadz, saya heran kenapa ustadz mensejajarkan antara Tahlilan (copas Hindu) dengan celana panjang?
Ini dua hal yang berbeda ustadz, Tujuan para pelaku tahlilan itu kan niat nya utk ibadah, sementara celana panjang itu mutlak urusan dunia.
Terlepas itu merupakan budaya barat, selama tidak bertentangan dengan syariat Islam itu bisa diterima. misalnya celana panjang, selama aurat tertutup dan tidak ketat tentu tidak jadi masalah.
Yang jadi masalah adalah kita meniru-niru peribadatan di luar Islam.

- yang jadi masalah adalah orang yg menyalahkan kebudayaan yg tidak bertentangan dengan islam kayak anda ini yg awam agama.

Rasulullah SAW telah mengajarkan kita cara menghilangkan tasyabuh (menyerupai orang-orang ahlul kitab) yang dimakruhkan dalam agama,



Pengirim: amir - Kota: cibinong
Bagaimana mungkin perintahnya untuk bersedekah makanan kepada keluarga yang meninggal, koq jd berubah tahlilan 7 hari. logika apa yang dipakai? Anda terlalu jauh menafsirkan riwayat yang sebenarnya sdh jelas.

Al-Imam Asy-Syafi'i berkata dalam kitab "Al-Umm" :

"Dan aku benci al-maatsim yaitu berkumpulnya orang-orang (di rumah keluarga mayat –pen) meskipun mereka tidak menangis. Karena hal ini hanya memperbarui kesedihan, dan membebani pembiayayan….". ini adalah lafal nash (pernyataan) Al-Imam Asy-syafi'i dalam kitab al-Umm. Dan beliau diikuti oleh para ahli fikih madzhab syafi'i.

Dan penulis (kitab al-Muhadzdzab) dan yang lainnya juga berdalil untuk pendapat ini dengan dalil yang lain, yaitu bahwasanya model seperti ini adalah muhdats (bid'ah)" (Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 5/278-279)

- sepertinya anda yg kurang mengenal tahlilan krn mungkin anda tdk pernah merealisasikan tahlilan. Perlu kamu ketahui bahwa isi dari tahlilan tidak hanya membaca ayat-ayat qur’an, melainkan juga berisi shodaqoh berupa makanan dll.

Apa arti ma’tam?

Taruhlah Imam Syafii berpendapat bahwa tahlilan itu termasuk ma’tam (meskipun tradisi tahlilan belum ada di zaman imam syafii). Dalam hal ini ada pendapat lain di kalangan ulama, yaitu madzab generasi salaf seperti telah diceritakan sebelumnya dari Imam Thawus.

Disamping itu, ada riwayai dari Sayyidina Umar bin al-Khaththab RA,
bahwa ketika beliau akan wafat berwasiat agar orang-orang yang berta’ziyah
disuguhi makanan. Al-Hafizh Ibn Hajar berkata dalam kitabnya al-Mathalib al’-
Aliyah:
"Al-Ahnaf bin Qais berkata, “Aku pernah mendengar Umar RA berkata: “Apabila
seseorang dari suku Quraisy memasuki satu pintu, pasti orang lain akan
mengikutinya.” Aku tidak mengerti maksud perkataan ini, sampai akhirnya Umar
RA ditikam, lalu beliau berwasiat agar Shuhaib yang menjadi Imam Shalat
selama tiga hari dan agar menyuguhkan makanan pada orang-orang yang
ta’ziyah. Setelah orang-orang pulang dari mengantarkan jenazah Umar RA,
ternyata hidangan makanan telah disiapkan, tetapi mereka tidak jadi makan,
karena duka cita yang tengah menyelimuti mereka.” (HR. Ahmad bin Mani’
dalam al-Musnad dan al-Hafizh Ibn Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah, juz 5 hal.
328).
Pengirim: amir - Kota: cibinong
Tanggal: 1/7/2013 “Bid‘ah adalah suatu cara yang diada-adakan dalam agama, yang bentuknya menyerupai syari‘at, dan yang dimaksud dari penerapannya adalah sama dengan yang dimaksud dari penerapan syari‘at.” [Lihat al-I’tishaam (I/37)]

Contohnya tahlil-an ini.

- iya tahlilan adalah bid’ah hasanah yg sesuai dan tidak bertentangan dengan ajaran salaf


Pengirim: amir - Kota: cibinong
Tanggal: 1/7/2013 ustadz, ini tulisan antum:
Anda juga sudah berani menuduh para shahabat dan Tab'in telah copas Hindu, karena ajaran para Shahabat dan para Tabi'in itu seperti yang telah diriwayatkan oleh Imam Suyuthi Rahimahullah dalam kitab Al-Hawi li al-Fatawi-nya, beliau mengatakan bahwa Imam Thawus Attabi'i berkata: Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia itu difitnah (diuji) dalam kuburannya selama 7 hari, karena itu mereka (para shahabat Nabi SAW) menganjurkan (bersedekah) memberi makanan atas nama para mayit itu pada hari-hari tersebut".

Adapun yang sy kritisi dari antum adalah pembolehan Tahlilan 7, 40,100 dan 1000 hari. karena ini memang copas hindu.

Dalil yang antum sp kan untuk bersedekah makanan untuk keluarga yang meninggal seperti dalam hadist sedekah makanan kepada keluarga Ja'far, sy setuju. tetapi bukan dengan tahlilan yang jelas tidak ada tuntunannya.

Berikut ini pernyataan Imam Syafi'i Rohimahullah:
“…dan aku membenci al-ma’tam, yaitu proses berkumpul (di tempat keluarga mayat) walaupun tanpa tangisan, karena hal tersebut hanya akan menimbulkan bertambahnya kesedihan dan membutuhkan biaya, padahal beban kesedihan masih melekat.” (al-Umm (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1393) juz I, hal 279)

Semoga mendapat taufiq.

- mengapa dengan 7 – 100 hari tsb? Adakah dalil yg melarang? Bertentangan dengan hadist yg mana? Kalo tidak bertentangan mengapa anda berani melarangnya?

Masalah imam syafii sdh sy jelaskan diatas

 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Jawaban untuk Mas Amir Cibinong.

15.
Pengirim: amir  - Kota: cibinong
Tanggal: 2/7/2013
 
Barokallahu fiik ustadz,
berikut pernyataan antum:
"Kesimpulannya, bertahlillah karena tahlil itu sama sekali bukan bid'ah. Tahlil dibenarkan agama Islam dan esensinya tidak bertentangan dengan dalil-dalil agama. Dengan bertahlil, berdzikir, baik sendirian maupun berjamaah, pasti akan mendatangkan ketenangan dan kedamaian. Sebaliknya, yang menolak tahlil dan mencari-cari dalil-dalil untuk mem-bid'ah-kan tahlil, maka sesungguhnya hatinya sedang sakit dan perlu didamaikan".

Tolong Ustadz jgn membiasakan memelintir pokok pembhasan. Yang kami tolak adalah TAHLIL-AN ACARA KEMATIAN. Adapun TAHLIL adalah dzikir yang paling agung, dan golongan manapun yg mengingkari Dzikir ini , dapat dipastikan golongan itu sesat.

Sekali lagi saya sampaikan jgn sampai kita membuat syariat2 baru dengan mengambil peran Rasulullah.

Kesimpulannya adalah TAHLILAN 7,40, 100 dan 1000 hari tidak perlu di Adaptasikan ke dalam ISlam. Cukup Rasulullah yang memutuskan dalam rangka menyelisihi puasa kaum Yahudi dan Nasrani.

Dampak dari kreatifitas yang terlalu jauh dalam beragama seperti yang antum buat dapat berdampak akan sangat beraneka ragam peribadatan yang kita lakukan, karena tidak mencukupkan dengan apa-apa yang sdh diturunkan Oleh Rasulullah.

Semoga bs difahami. 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Kami tegaskan lagi, bahwa tidak ada satupun dalil Alquran maupun Hadits shahih yang melarang orang melaksanakan Tahlilan untuk mayit, kecuali hanya anda saja yang melarangnya.

Karena tahlilan milik warga Aswaja adalah mengamalkan sabda Nabi SAW: `Iqra-uu Yaasiin `ala mautaakum (rawaahu Abu Dawud) artinya: `Bacalah surat Yasin untuk mayyit kalian`, serta mendoakan/menyebutkan kebaikan mayit (udzkuruu mahasina mautaakum).

Bagi yang keberatan terhadap Tahlilan untuk mayit, maka harus menghadirkan tekstual ayat Alquran atau hadits shahih. Kalau bukan tekstual dalil, mohon maaf pasti kami abaikan.

Bagi yang keberatan terhadap metode yang kami laksanakan, maka silahkan mengungkap dalil qath'i yang melarangnya.
Bukan sekedar asumsi. Karena syariat itu bukan berdasarkan asumsi anda ya aakhi Amir.

Seperti diskusi lewat internen ini, adalah metode non muslim yang juga tidak dilarang oleh syariat dan tidak diperintahkan, dan tidak ada contohnya dari Nabi SAW. Jadi boleh-boleh saja, wong hanya metode. anehnya anda juga gemar memanfaatkannya.

16.
Pengirim: syahril ramadhan  - Kota: jakarta selatan
Tanggal: 2/7/2013
 
Assalammualaikum wr wb

Teriring salam semoga pak kyai sekeluarga selalu dalam lindungan Alloh SWT, amiinn

Mhn maaf pak kyai membaca komen2 dari para wahhabers mengingatkan akan "Ngeyel" nya, "Ndableg"nya , "Keras kepala" nya saya di 8 tahun yg lampau ketika saya masih jadi pengikut salapi (gadungan)/wahabi. Masuknya saya ketika duduk di Sma, karena gairah ke Islam an sedang tinggi2nya. Tapi sayang saya malah nyemplung di pemahaman yg salah. Tipikal saya waktu itu sama dng para wahabers, "Merasa Paling Benar dalam setiap amalaan agama" - kalau kaum aswaja ngomong selalu saya kritisi dalilnya, hujjahnya, nashnya, tp giliran saya ngomong yaa sesuka saya!

Waktu itu pamanda saya yg dng sabar tetap mendatangi saya, mencoba meluruskan saya, Alhamdulillaah, saya kembali ke pangkuan pemahaman yg benar pemahaman yg telah di tanamkan oleh para ulama kita sedari dulu di tanah air kita ini, pemahaman ahlussunnah wal jamaah.

Dari pengalaman saya ada bebrapa hal pak Kyai:

Pertama, aliran salapi gadungan/wahabi selalu masuk kpd yg mash minim pemahaman agamanya, ditambah dng bungkusan jaargon "Kembali kepada Al Quran dan sunnah, Kembali kepada pamahaman Salafussoleh, maakin menaarik magnet bgi orang2 yg sedang haus aakan ilmu ke Islaman untuk masuk kedalamnya,oleh kaarenaa itu semoga Alloh Swt senantiasa memberikan kesabaaran kpd pak Kyai dalam rangka Meluruskan pemhaman2 yg keliru dari segelintir kaum muslimin menuju ke pemahaman yg benar kepada , amiinn  
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Wassalamu alaikum wr wb.

Benar apa yang akhi katakan. Jauh-jauh hari kami juga sudah menulis artikel yang menyifati kebandelan mereka sbb:

ANZUN WALAU THAARAT

Judul di atas artinya : `Kambing sekalipun ia terbang`.

Hikayat ini mempunyai makna, betapa jeleknya sifat tidak mau mengalah sekalipun demi kebenaran, atau alangkah buruknya sifat merasa paling benar sendiri dan menganggap semua orang yang tidak sepaham dengan dirinya pasti salah.

Konon ada dua orang bersahabat, sebut saja Armin dan Halim yang sedang berselisih pendapat. Armin terkenal sebagai sosok yang tidak pernah mau mengakui kesalahan dirinya saat dia berulah. Sekalipun disodorkan kepadanya bukti-bukti kongkrit atas kesalahannya, Armin selalu saja bersikeras jika dirinya tidak pernah berbuat salah.

Suatu saat Armin dan Halim berjalan di pinggir padang pasir. Tiba-tiba mereka mendapati seekor binatang yang tampak ada depan mereka, dengan jarak yang cukup jauh, namun masih dapat terjangkau oleh penglihatan mata, sehingga binatang itu tidak mudah untuk diketahui secara pasti tentang jenisnya.

Armin : Wahai kawanku, aku melihat ada seekor kambing di depan kita yang sedang mencari makan dicelah bebatuan.

Halim : Wah, menurut perkiraanku, itu bukan kambing, melainkan seekor burung besar yang sedang mengais makanan di sekitar gundukan batu, karena ia memiliki leher yang cukup panjang.

Armin : Loh, kamu ini gimana sih...? Itu kan jelas-jelas kambing, kok kamu bilang burung, mana ada burung se besar itu ?

Halim : Kalau jenis burung padang pasir itu, bahkan ada yang lebih besar dari yang engkau lihat, coba engkau perhatikan ia sedang mengepakkan sayapnya.

Armin : Itu sih bukan mengepakkan sayapnya, tetapi mengibaskan ekornya, karena ia adalah seekor kambing, dan kalau kamu tidak percaya, ayo kita dekati.

Maka atas kesepakatan berdua, mereka pun bergegas mendatangi binatang itu sambil terus berdebat yang tidak ada ujung pangkalnya.

Demikianlah, tatkala sampai batas sekitar lima puluh meter dari tempat tujuan, tiba-tiba saja binatang tersebut terbang tinggi meninggalkan mereka karena takut didekati manusia. Sejurus kemudian terdengar suara Halim agak sedikit lantang.

Halim : Aku kan sudah bilang, binatang itu adalah burung raksasa padang pasir, karena itu ia terbang, dan takut terhadap kedatangan kita.

Armin : Hai kawan, aku bilang sekali lagi, binatang itu adalah KAMBING, sekalipun ia terbang...!!

Halim hanya bisa tersenyum kecut mrndengar jawaban Armin yang sifatnya tidak pernah mau mengakui kesalahannya.

Demikianlah kisah fiktif ini sebagai pelajaran bagi para pembaca, betapa jeleknya sifat merasa dirinya paling benar dan menganggap orang lain selalu salah.

Dewasa ini benyak bermunculan manusia-manusia yang memiliki sifat `anzun walau thaarat`. Seperti adanya kelompok yang selalu menuduh masyarakat dengan tuduhan sesat atau bid`ah, karena diangggap mengamalkan suatu amalan yang tidak sepaham dengan keyakinannya, sekalipun amalan masyarakat itu memiliki dasar yang kuat baik dari Alquran maupun Hadits shahih, namun tetap divonis sesat, bid`ah dhalalah, dan yang semisalnya.

Karena para penuduh itu memiiliki sifat `anzun walau thaarat`, maka tidak mudah untuk menyadarkan dan memberi pengertian kepada kelompok ini, bahwa amalan masyarakat yang sudah menjadi tradisi turun temurun di kalangan umat Islam, pada dasarnya memiliki dasar syar`i yang kuat dan shaih, sebut saja amalan tahlilan, talqin mayyit, istighatsah, pembacaan maulid Nabi SAW, dan seterusnya.

Jadi, yang menghalangi kelompok penuduh ini untuk dapat menerima argumentasi syar`i dari masyarakat pada umumnya, dengan lapang dada dan penuh bijaksana adalah penyakit sifat `anzun walau thaarat`.

17.
Pengirim: amir  - Kota: cibinong
Tanggal: 2/7/2013
 
@kyai.

Afwan, kalo boleh ksh saran, sebaiknya antum pake nama asli aja, tdk perlu ikut-ikutan saudara kita penulis buku Syaikh Idahram...

Kalo antum mau tanya nama dan alamat saya, Insya Allah akan sama dengan yg ada di blog ini.

Berikut ini pernyataan Antum;

" - saya akan komentar sdikit saja utk ngelayani kengeyelan anda.
Apakah antum sudah sampai maqom pembawa risalah? Mana ada dalilnya yg mewajibkan kami harus mencapai maqom pembawa risalah???. Kalo tidak ada itu berarti pendapat anda pribadi dan itu bid’ah."

Nampaknya antum gak mudheng apa yg sy mksd (kasihan kyai yg lain), Maksud saya SANG USTADZ jgn memposisikan sbg nabi dengan cara mengadaptasikan Syariatnya kaum musyrikin Hindu, yitu dg mengadaptasikan tradisi 7 , 40, 100 da 1000 hari dengan mengisi nya dg bacaan thoyibah menjadi istilah yg di kenal TAHLILAN.

Kita cukupkan saja apa yg telah dilakukanRasulullah yg menyelisihi puasa Assyura kaum Yahudi dan Nasrani.

Apakah kita lebih baik dari Sahabat sehingga kita mampu membuat ibadah baru yang disebut TAHLILAN.

Selanjutnya antum menanyakan Hadist yang melarang Tahlilan 7-100 hari..

Antum selalu men-judge sy sbg awam agama, itu sy terima. tetapi perlu sy jlskan ke antum terkait hadist yg antum minta sbb:

a. Apakah Tahlilan 7-1000 hari diniatkan sbg. Ibadah atau sekedar utk buang waktu iseng2 atau bgmn?
Sy ykn jwbn antum adalah dalam rangka ibadah dan alasan lain2.

Sebagai informasi untuk antum, Ibadah itu dikerjakan apabila ada perintahnya, bukan mencari dalil yang melarangnya walaupun menusia menganggap itu sesuatu yg baik.

Hadist Aisyah ra.:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa mengerjakan suatu amalan (ibadah) yang tidak berdasarkan perintah kami maka ia tertolak.[2]

Jadi sy jelaskan ke antum, urusan ibadah jgn cari dalil yg melarangnya, tp cari dalil yg memerintahkan.

Sekali lg jgn dipelintir bhw sy dan saudara sy yang lain anti TAHLIL. TAHLIL adalah DZKIR YG AGUNG. Yang kami tolak adalah TAHLIL-AN.




 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Karena anda tidak pernah kumpul dengan masyarakat muslim, maka anda sendiri menjadi sangat awwam hingga tidak tahu apa TAHLILAN yang anda tolak itu.

Biar anda tahu, TAHLILAN yang anda tolak itu adalah sinonim (istilah lain) dari Yasinan, sebagai pengamalan dari Hadits Nabi SAW: Iqra-uu yaasiin 'alaa mautaakum /Bacakanlah surat Yasin untuk mayit kalian (HR. Abu Dawud).

Rupanya anda sudah berani menolak perintah Nabi SAW ini. Alhamdulillah, masyarakat menjadi semakin tahu. siapa hakikatnya anda ini.

Na'udzubillahi min dzaalik.

18.
Pengirim: amir  - Kota: cibinong
Tanggal: 3/7/2013
 
ustadz,

Saya sngt mengenal TAHLIL-AN, karena sy jg mengerjakan amalan ini sebelum mengenal manhaj sunnah.
TAHLIL-AN diisi dg bacaan yasin jama'i, kemudian membaca Tahlil yg dikomando dgn suara pelan dan teratur, terus lbh cpt, makin cepat dan mengenhtak-hentak dan akhirnya Lafadz LA ILAHA ILLALLAH berubah bunyinya menjadi ILOHELAH.. ILOHELAH...ILOHELAH, sambil kepala geleng ke kanan dan ke kiri (Na'udzubillahi min dzaliik). kemudian ditutup dengan do'a. (inilah pengalaman sy di sumatera Utara).

Terkait Hadist bacaan yasin untuk mayit, para ulama khilaf tentaf derajat hadist ini, ada yg men-shahihkan dan men-dhoifkan.

Adapun kalo kita sepakat atas shahih nya hadist ini, maka ada beberapa penjelasan ulama tentang makna "MAUTAKUM" ini, diantaranya

"Membaca Yasin atau Surat lainnya Untuk Orang Sakaratul Maut"

Dari Ma’qil bin Yasar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

اقْرَءُوا عَلَى مَوْتَاكُمْ يس

“Bacalah surat Yasin kepada orang yang menjelang wafat di antara kalian.”

Makna Mautakum

Mautakum berarti orang yang sedang menghadapi kematian, bukan orang sudah wafat. Imam Ibnu Hajib mengatakan, maksud hadits ini adalah ketika orang tersebut menjelang wafat, bukan mayit yang dibacakan Al Quran.(Imam Ahmad An Nafrawi, Al Fawakih Ad Dawani ‘Ala Risalati Ibni Abi Zaid Al Qairuwani, 3/282).

Al ‘Allamah Abu Bakr Ad Dimyathi mengatakan, dibacakan ketika menjelang wafat (muqaddimat), karena sesungguhnya orang wafat tidaklah dibacakan Al Quran. (I’anatuth Thalibin, 2/107).

Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri mengatakan: “Ketahuilah! Maksud Al Mauta dalam hadits ini adalah orang yang sedang menghadapi kematian, bukan orang yang sudah mati secara hakiki.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 4/53. Maktabah As Salafiyah)

Imam Abul Hasan As Sindi mengatakan: “Yakni ketika menghadapi kematian atau sesudah wafat, disebutkan: tetapi yang benar adalah yang pertama (menghadapi kematian). Karena mayit tidaklah dibacakan Al Quran .” (Hasyiah As Sindi ‘Ala Ibni Majah, No. 1438. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Hafizhahullah mengatakan:

وقوله: (موتاكم) أي: الذين قاربوا الموت، وليس المقصود به الذي مات

“Sabdanya (mautakum): yaitu orang-orang yang mendekati kematian, bukan maksudnya orang yang sudah mati.” (Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad, Syarh Sunan Abi Daud No. 223. Maktabah Misykah)

Makna-makna seperti juga disampaikan oleh para imam lainnya seperti Imam An Nawawi, Imam Al Qurthubi, dan lainnya.

Para Ulama Yang Menganjurkan Membaca Yasin di Hadapan Orang Yang Sakaratul Maut
Perlu diketahui, anjuran membaca surat Yasin dihadapan orang yang sedang sakaratul maut adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Hal ini dikatakan oleh Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah sebagai berikut:

وقال الجمهور: يندب قراءة {يس} لحديث «اقرؤوا على موتاكم يس» واستحسن بعض متأخري الحنفية والشافعية قراءة {الرعد} أيضا ً، لقولجابر: «إنها تهون عليه خروج روحه»
والحكمة من قراءة {يس} أن أحوال القيامة والبعث مذكورة فيها، فإذا قرئت عنده، تجدد له ذكر تلك الأحوال.

Jumhur ulama mengatakan: disunahkan membaca Yasin, lantaran hadits: Bacalah oleh kalian kepada orang yang menghadapi sakaratul maut, surat Yasin. Sebagian ulama muta’akhirin (belakangan) dari kalangan Hanafiah dan Syafi’iyah juga memandang baik membaca surat Ar Ra’du, dengan alasan perkataan Jabir: “Hal itu bisa meringankan ketika keluarnya ruh.”
Hikmah dibacakannya surat Yasin adalah bahwa peristiwa kiamat dan hari kebangkitan disebutkan di dalam srat tersebut. Maka, jika dibacakan di sisinya hal itu bisa memperbarui ingatannya terhadap peristiwa-peristiwa tersebut. (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 2/599. Maktabah Misykah)

Semoga antum bs menjelaskan lg bagaimana kedudukan bacaan yasin untuk orang yg sdh meninggal. 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
1. Anda ini ternyata Wahhabi yang lucu..., Lah kami mengangkat tema ilmiah bolehnya Tahlilan hinga hari ke 7 sebagaimana kontekstual dari riwayat Imam Thawus, kok anda malah cerita kondisi kampung anda, mau curhat yaa...! boleh lah, dan insyaallah nanti kalau kami diminta dan ada kesempatan, mudah-mudahan kami dapat mengajari umat Islam di kampung anda tentang tata cara Tahlilan yang kami laksanakan di Malang, karena Alhamduillah warga Malang sudah lama mengamalkan Tahlilan yang sesuai dengan Syariat.

2. Nabi SAW tidak pernah mengajarkan apalagi membatasi bacaan surat Yasin itu hanya khusus untuk orang yang sedang Sakaratul maut saja, itu sih hanya pemahaman sempit anda saja, sama-sekali tidsak berdasarkan Hadits shahih manapun. Nabi SAW hanya menyampaikan secara umum: Iqra-uu yaasiin 'alaa mautaakum/Bacakanlah surat Yasin untuk mayit kalian. Hadits Nabi SAW inilah yang kami amalkan, rupanya anda sewot kalau kami mengamalkan Hadits Nabi SAW.

19.
Pengirim: amir  - Kota: cibinong
Tanggal: 3/7/2013
 
@ mas syahril Ramadhan

Untuk informasi buat anda, bahwa sy jg sama dg anda dr latar belakang Islam asli Indonesia (dulu sy didoktrin anti Muhammadiyah).

Sy adalah orang sdg belajar tentang Islam. Kalo tdk keberatan anda ikuti terus diskusi ini antara murid dg guru (ust Luthfi B.) Coba anda ambil hikmah dr diskusi ini dg fikiran dan hati yg terbuka.

semoga Allah SWT melimpahkan Taufiq kepada anda. 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Benar Mas Syahril Ramadhan, sampean akan menemukan banyak keganjilan kaum Wahhabi yang selalu menuduh amalan warga NU sebagai Bid'ah Dhalalah, sebut saja Tahlilan untuk mayit, dengan alasan, kaum Wahhabi menilai Tahlilan untuk mayit ini tidak pernah dicontohkan langsung dari Nabi SAW. Kemudian karena orang Tahlilan itu niatnya beribadah maka dihukumi oleh Kaum Wahhabi sebagai Bid'ah di dalam ibadah yg hukumnya dhalalah/sesat.

Nah, giliran tokoh-tokoh Wahhabi melakukan amalan yang tidak pernah dicontohkan langsung dari Nabi SAW, kemudian sengaja kami tuduh Bid'ah Dhalalah/sesat, padahal kami hanya mengikuti 'ilmu' nya Wahhabi sendiri, eeh Wahhabainya jadi sewot dan marah-marah seperti mas Amir ini.

Sebut saja tokoh Wahhabi Bin Baz, Utsaimin, Shaleh Fauzan dan Cs-nya yang terbiasa mengadakan shalat Tahajjud Berjamaah yang dikhususkan pada bulan Ramadhan. Ini amalan tidak pernah dicontohkan langsung oleh Nabi SAW.

Kalau gak percaya, sebentar lagi kan Ramadhan, maka amalan Bid'ah-nya kaum Wahhabi Shalat Tahajjud Berjamaah Khusus di Bulan Ramadhan, yang memang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi SAW ini bisa diakses lewat TV parabola.

20.
Pengirim: syahril ramadhan  - Kota: jakarta selatan
Tanggal: 4/7/2013
 
Assalammualaikum wr wb

Teriring salam semoga pak kyai dan seluruh keluarga beserta para pengunjung situs ini senantiasa mendapaatkan taufik, hidayah dan inayahNya, amiinn.

@amir Alhamdulillaah , syukron, semoga taufik dan hidayahNya mencucuri kita semua.

@pak kyai, mhn do'anya agar saya sekeluarga selalu dalam lindungan Alloh Swt, dan terhindar dri fitnah ajaran2 atau pemahaman2 Islam yg cupet dan sempit, dan pernah terjerumusnya saya insya Alloh akan jd pelajaran berharga utk kami sekeluarga agar terus meningkatkan pemahaman dan giat menuntut ilmu dari sumber2 yg terjaga, dari para ulama2 yg benar2 bermanhaj salafus shalih, seperti pemahamannya almarhum Abuya muhammad almaliki (padahal dahulu kami sangat menafikan beliau, semoga Alloh Swt mengampuni kami, amiinn) 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Alhamdulillah, mudah-mudahan Allah melindungi kita semua dari godaan setan yang terkutuk.

Sebenarnya bukan watak kami untuk berdiskusi 'ngeyel dan bandel', namun apa boleh buat, kami harus menghadapi orang-orang yang ngeyel bin bandel, maka kami hanya berusaha mengimbangi gaya mereka dalam rangka mengamallkan pepatah : Attakabburu 'alal mutakabbiri shadsaqatun (Menyombongi orang yang berwatak sombong itu terhitug shadaqah).

Mudah-mudahan membandeli orang yang berwatak bandel juga dihitung shadaqah. Amiiin.

21.
Pengirim: amir  - Kota: cibinong
Tanggal: 4/7/2013
 
Ustadz,

Alangkah baiknya antum menyanggah komentar saya dengan dalil yg kuat, bukan Ro'yu maupun hawa nafsu anda.

Klaim anda bahwa kami adalah golongan yang ngeyel dan bandel perlu dikoreksi lagi. Kengeyelan dan bandel dalam rangka menegakkan hujjah apa salah? Apalagi hujjah yg kami sampaikan lbh shahih daripada subhat yang anda buat.

Perlu diketahui bahwa kita mutlak harus menerima ucapan, perbuatan rasulullah, sementara perkataan manusia bisa ditolak ataupun diterima, apalagi pernyataan anda yg tdk didukung hujjah yang kuat.

Nampak sekali setiap hujjah yg sy sampaikan, anda cuma berkomentar yg tdk ilmiyyah..

Semoga Allah SWT memberikan Taufiq..
 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Karena anda tidak mengerti isi artikel yang kami angkat, anda komentar kemana-mana, makanya pembahasan jadi tidak fokus. Bahkan anda juga mempengaruhi Sdr, Shahril Ramadhan secara tidak ilmiah.

Sekali lagi jika anda menolak dalil-dalil yang kami adopsi dari Alquran/Hadits yang sesuai pemahaman Aswaja, bukan permahaman Wahhabi, maka kami anggap anda memang ngolongan Ngeyel bin Bandel:

Secara lughah tahlilan berakar dari kata hallala yuhallilu tahlilan, artinya adalah membaca Lailaha illallah. Istilah ini kemudian merujuk pada sebuah tradisi membaca kalimat dan doa-doa tertentu yang diambil dari ayat al- Qur’an, dengan harapan pahalanya dihadiahkan untuk orang yang meninggal dunia.

Biasanya Tahlilan dilakukan selama 7 hari dari meninggalnya seseorang, kemudian hari ke 40, 100, dan pada hari ke 1000 nya. Begitu juga tahlilan sering dilakukan secara rutin pada malam Jum’at dan malam-malam tertentu lainnya. Bacaan ayat-ayat al-Qur’an yang dihadiahkan untuk mayit menurut pendapat mayoritas ulama, boleh dan pahalanya bisa sampai kepada mayit. Hal ini berdasarkan beberapa dalil, diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya, dari sahabat Ma’qal bin Yasar bahwa Rasulallah SAW bersabda: Surat Yasin adalah pokok dari al-Qur’an, tidak dibaca oleh seseorang yang mengharap ridha Allah kecuali diampuni dosa-dosanya. Bacakanlah surat Yasin kepada orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian. (H.R. Abu Dawud, dll).

Hadits ini secara mutlak disampaikan oleh Nabi SAW tanpa batasan apakah saat sakaratul maut (ini juga diamalkan oleh warga Aswaja), atau saat mayit di dalam kubur, atau sesudah beberapa hari bahkan bulan dan tahun pasca wafatnya mayit. Nabi SAW tidak menentukan, jadi ulama Aswaja mengamalkan dalil murni dari Nabi SAW ini tanpa mengikuti pendapat orang lain selain Nabi SAW.

Bahkan menurut pemahaman Aswaja (yang secara umum dan normal serta tidak dibuat-buat), yang namanya mayit itu yaa orang yang sudah dicabut nyawanya, alias sudah mati dengan sesungguhnya, bukan saat sakaratul maut (tanda-tanda akan mati).

Andaikata perintah baca suarat Yasin itu hanya khusus untuk sakaratul maut, niscaya Nabi SAW akan mengatakan: Iqra-uu yaasiin 'alaa mautaakum khaassan 'inda sakaraatihi, walaa taqra-uuhu idzaa kaanal mayyit qad maata tamaaman (Bacakanlah surat Yasin untuk mayit kalian, khusus saat sakaratul maut saja, dan jangan kalian bacakan lagi jika mayit sudah mati dengan sermpurna)

Adapun beberapa ulama seperti Imam Nawawi dalam kitab Majmu’-nya menerangkan bahwa tidak hanya tahlil dan do’a, tetapi juga disunahkan bagi orang yang ziarah kubur untuk membaca ayat-ayat al-Qur’an lalu setelahnya diiringi berdo’a untuk mayit.

Begitu juga Imam al-Qurthubi memberikan penjelasan bahwa, dalil yang dijadikan acuan oleh para ulama tentang sampainya pahala (Tahlilan) kepada mayit adalah bahwa, Rasulallah SAW pernah membelah pelepah kurma untuk ditancapkan di atas kubur dua sahabatnya
sembari bersabda “Semoga ini dapat meringankan keduanya di alam kubur sebelum pelepah ini menjadi kering”. Imam al-Qurtubi kemudian berpendapat, jika pelepah kurma saja dapat meringankan beban si mayit, lalu bagaimanakah dengan bacaan-bacaan al-Qur’an dari sanak saudara dan teman-temannya Tentu saja bacaan-bacaan al-Qur’an dan lain-lainnya akan lebih
bermanfaat bagi si mayit.

Abul Walid Ibnu Rusyd juga mengatakan: Seseorang yang membaca ayat al-Qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada mayit, maka pahala itu bisa sampai kepada mayit tersebut.

Dalil Naqli Jamuan Makanan dalam Acara Tahlilan.

Dalam setiap acara Tahlilan selain di hari wafatnya mayit (selain di hari-hari duka cita), umumnya tuan rumah memberikan makanan kepada orang-orang yang mengikuti tahlilan.

Selain sebagai sedekah yang pahalanya diberikan kepada mayit, juga untuk memotivasi tuan rumah agar selalu menghormati para tamu yang turut mendoakan keluarga yang meninggal dunia.

Dilihat dari sisi sedekah, bahwa dalam bentuk apapun sedekah merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan.

Memberikan makanan kepada orang lain dalah perbuatan yang sangat terpuji.

Sabda Nabi Muhammad SAW dari Amr bin Abasah, ia berkata, saya mendatangi Rasulullah SAW kemudian saya bertanya: Wahai Rasul, apakah Islam itu? Rasulullah SAW menjawab: Bertutur kata yang baik dan menyuguhkan makanan. (HR Ahmad)

Kaitannya dengan sedekah untuk mayit, pada masa Rasulullah SAW, jangankan makanan, kebun pun (harta yang sangat berharga) disedekahkan dan pahalanya diberikan kepada si mayit.

Dalam sebuah hadits shahih disebutkan: Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya: Wahai Rasulullah SAW, Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah ada manfaatnya jika aku bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab: Ya...! Laki-laki itu berkata: Aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa aku akan menyedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku. (HR Tirimidzi).

Ibnu Qayyim al-Jauziyah dengan tegas mengatakan tentang isi Tahlilan, bahwa sebaik-baik amal yang dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budak, sedekah, bacaan istighfar, doa dan haji. Adapun pahala membaca Al-Qur'an secara sukarela dan pahalanya diberikan kepada mayit, juga akan sampai kepada mayit. Sebagaimana pahala puasa dan haji. (Ibnul Qayyim, ar-Ruh, hal 142).

Jika kemudian perbuatan tersebut dikaitkan dengan usaha untuk memberikan penghormatan kepada para tamu, maka itu merupakan perbuatan yang dianjurkan dalam Islam.

Sabda Rasulullah SAW: Dari Abi Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda: Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka hormatilah tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, hendaklah ia berkata dengan kebaikan atau (jika tidak bisa), diam.(HR Muslim).

Seorang tamu yang keperluannya hanya urusan bisnis atau sekedar ngobrol saja harus dihormati dan dijamu dengan baik, apalagi tamu yang datang untuk bertakziyah dan mendoakan mayit, sudah seharusnya lebih dihormati dan diperhatikan.

Hanya saja, kemampuan ekonomi harus tiap tauan rumah tetap menjadi pertimbangan utama. Tidak boleh memaksakan diri untuk memberikan jamuan dalam acara tahlilan, apalagi sampai berhutang ke sana ke mari atau sampai mengambil harta anak yatim dan ahli waris yang lain. Hal tersebut jelas tidak dibenarkan. Dalam kondisi seperti ini, sebaiknya perjamuan itu diadakan ala kadarnya. Alhamdulillah di tempat kami yang kebanyakan masyarakatnya sudah sadar syariat, dan sudah memahami aturan yang baik seperti ini, sehingga dalam pelaksanaan Tahlilan benar-benar mengikuti syariat yang baik dan benar.

Bahkan di tempat kami, sudah menjadi tradisi kalau tuan rumah tidak mampu, maka para tetangga disekitarnya dengan suka rela membantu penjamuan Tahlilan.

Jadi, selama tidak israf (berlebih-lebihan dan menghamburkan harta) atau sekedar menjaga gengsi, suguhan istimewa dari kerluarga mampu yang dihidangkan, dapat diartikan sebagai suatu bentuk penghormatan serta kecintaan kepada si mayit.

Yang tak kalah pentingnya masyarakat yang melakukan Tahlilan hendaknya menata niat di dalam hati bahwa apa yang dilakukan itu semata-mata karena Allah SWT. Demikian inilah yang selalu kami sampaikan dalam dakwah-dakwah kami kepada umat Islam.

Semoga bermanfaat.

22.
Pengirim: amir  - Kota: cibinong
Tanggal: 4/7/2013
 
Ustadz,

Afwan, tentang komentar terkait Bid'ah yg sy sampaikan tolong diposting donk.. Atau barangkali anda sdh kehabisan argumentasi?

Ingat Ustadz, anda jangan menyembunyikan kebenaran. karena yang saya sampaikan murni Dalil shaih berikut penjelasan ulama salaf.

Kalau begini caranya, apa bedanya anda dengan pendahulu-pendahulu anda ataupun pimpinan pusat ormas anda saat ini? (karena dlm beberapa artikel anda menganggap 'salah" thd mereka)

Syukron. 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Seingat kami semuanya sudah kami posting dg respon balik, kalau ada yang belum dimuat, silahkan diposting. Namun jika dg bahasa yg kurang etis maka tidak akan kami muat.

KULLU BID`ATIN DHALALAH
Pada firman Allah yang berbunyi : Waja`alna minal maa-i KULLA syai-in hayyin. Lafadz KULLA disini, haruslah diterjemahkan dengan arti : SEBAGIAN. Sehingga ayat itu berarti: Kami ciptakan dari air sperma, SEBAGIAN makhluq hidup. Karena Allah juga berfirman menceritakan tentang penciptaan jin Iblis yang berbunyi: Khalaqtani min naarin. Artinya : Engkau (Allah) telah menciptakan aku (iblis) dari api. Dengan demikian, ternyata lafadl KULLU, tidak dapat diterjemahkan secara mutlaq dengan arti : SETIAP/SEMUA, sebagaimana umumnya jika merujuk ke dalam kamus bahasa Arab umum, karena hal itu tidak sesuai dengan kenyataan.

Demikian juga dengan arti hadits Nabi SAW : Fa inna KULLA BID`ATIN dhalalah. Maka harus diartikan: Sesungguhnya SEBAGIAN dari BID`AH itu adalah sesat. Kulla di dalam Hadits ini, tidak dapat diartikan SETIAP/SEMUA BID`AH itu sesat, karena Hadits ini juga muqayyad atau terikat dengan sabda Nabi SAW yang lain: Man sanna fil islami sunnatan hasanatan falahu ajruha wa ajru man `amila biha. Artinya : Barangsiapa memulai/menciptakan perbuatan baik di dalam Islam, maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya.

Jadi jelas, ada perbuatan baru yang diciptakan oleh orang-orang di jaman sekarang, tetapi dianggap baik oleh Nabi SAW, dan dijanjikan pahala bagi pencetusnya, serta tidak dikatagorikan BID`AH DHALALAH. Sebagai contoh dari man sanna sunnatan hasanah (menciptakan perbuatan baik) adalah saat Hajjaj bin Yusuf memprakarsai pengharakatan pada mushaf Alquran, serta pembagiannya pada juz, ruku `, maqra, dll yang hingga kini lestari, dan sangat bermanfaat bagi seluruh umat Islam.

Untuk lebih jelasnya, maka bid’ah itu dapat diklasifikasi sebagai berikut : Ada pemahaman bahwa Hadits KULLU BID`ATIN DHALALAH diartikan dengan: SEBAGIAN BID`AH adalah SESAT, yang contohnya : 1. Adanya sebagian masyarakat yang secara kontinyu bermain remi atau domino setelah pulang dari mushalla. 2. Adanya kalangan umat Islam yang menghadiri undangan Natalan. 3. Adanya beberapa sekelompok muslim yang memusuhi sesama muslim, hanya karena berbeda pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah furu`iyyah (masalah fiqih ibadah dan ma’amalah), padahal sama-sama mempunyai pegangan dalil Alquran-Hadits, yang motifnya hanya karena merasa paling benar sendiri.

Perilaku semacam ini dapat diidentifikasi sebagai BID`AH DHaLALAH). Ada pula pemahaman yang mengatakan, bahwa amalan baik yang terrmasuk ciptaan baru di dalam Islam dan tidak bertentangan dengan syariat Islam yang sharih, maka disebut SANNA (menciptakan perbuatan baik).

Contohnya: Adanya sekelompok orang yang mengadakan shalat malam (tahajjud) secara berjamaah setelah shalat tarawih, yang khusus dilakukan pada bulan Ramadhan di Masjidil Haram dan di Masjid Nabawi, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh beraliran Wahhabi Arab Saudi semisal Syeikh Abdul Aziz Bin Baz dan Syeikh Sudaisi Imam masjidil Haram, dll. Perilaku ini juga tergolong amalan BID`AH karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW, tetapi dikatagorikan sebagai BID’AH HASANAH atau bid’ah yang baik. Melaksanakan shalat sunnah malam hari dengan berjamaah yang khusus dilakukan pada bulan Ramadhan, adalah masalah ijtihadiyah yang tidak didapati tuntunannya secara langsung dari Nabi SAW maupun dari ulama salaf, tetapi kini menjadi tradisi yang baik di Arab Saudi.

Dikatakan Bid’ah Hasanah karena masih adanya dalil-dalil dari Alquran-Hadits yang dijadikan dasar pegangan, sekalipun tidak didapat secara langsung/sharih, melainkan secara ma`nawiyah. Antara lain adanya ayat Alquran-Hadits yang memeerintahkan shalat sunnah malam (tahajjud), dan adanya perintah menghidupkan malam di bulan Ramadhan. Tetapi mengkhususkan shalat sunnah malam (tahajjud) di bulan Ramadhan setelah shalat tarawih dengan berjamaah di masjid, adalah jelas-jelas perbuatan BID`AH yang tidak pernah dilakukan oleh
Nabi SAW dan ulama salaf. Sekalipun demikian masih dapat dikatagorikan sebagai perilaku BID`AH HASANAH.

Demikian juga umat Islam yg melakukan pembacaan tahlil atau kirim doa untuk mayyit, melaksanakan perayaan maulid Nabi SAW, mengadakan isighatsah, dll, termasuk BID’AH HASANAH. Sekalipun amalan-amalan ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW, namun masih terdapat dalil-dalil Alquran-Haditsnya sekalipun secara ma’nawiyah.

Contoh mudah, tentang pembacaan tahlil (tahlilan masyarakat), bahwa isi kegiatan tahlilan adalah membaca surat Al-ikhlas, Al-falaq, Annaas. Amalan ini jelas-jelas adalah perintah Alquran-Hadits. Dalam kegiatan tahlilan juga membaca kalimat Lailaha illallah, Subhanallah, astaghfirullah, membaca shalawat kepada Nabi SAW, yang jelas- jelas perintah Alquran-Hadits.

Ada juga pembacaan doa yang disabdakan oleh Nabi SAW : Adduaa-u mukhkhul ‘ibadah. Atrinya : Doa itu adalah intisari ibadah. Yang jelas, bahwa menghadiri majelis ta`lim atau majlis dzikir serta memberi jamuan kepada para tamu, adalah perintah syariat yang terdapat di dalam Alquran- Hadits. Hanya saja mengemas amalan-amalan tersebut dalam satu rangkaian kegiatan acara tahlilan di rumah-rumah penduduk adalah BID`AH, tetapi termasuk bid’ah yang dikatagorikan sebagai BID`AH HASANAH.

Hal itu, karena senada dengan shalat sunnah malam berjamaah yang dikhususkan di bulan Ramadhan, yang kini menjadi kebiasaan tokoh-tokoh Wahhabi Arab Saudi. Nabi SAW dan para ulama salaf, juga tidak pernah berdakwah lewat pemancar radio atau menerbitkan majalah dan bulletin. Bahkan pada saat awal Islam berkembang, Nabi SAW pernah melarang penulisan apapun yang bersumber dari diri beliau SAW selain penulisan Alquran.

Sebagaiman di dalam sabda beliau SAW : La taktub `anni ghairal quran, wa man yaktub `anni ghairal quran famhuhu. Artinya: Jangan kalian menulis dariku selain alquran, barangsiapa menulis dariku selain Alquran maka hapuslah. Sekalipun pada akhir perkembangan Islam, Nabi SAW menghapus larangan tersebut dengan Hadits : Uktub li abi syah. Artinya: Tuliskanlah hadits untuk Abu Syah. Meskipun sudah ada perintah Nabi SAW untuk menuliskan Hadits, tetapi para ulama salaf tetap memberi batasan-batasan yang sangat ketat dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para muhadditsin.

Fenomena di atas sangat berbeda dengan penerbitan majalah atau bulletin. Dalam penulisan artikel untuk majalah atau bulletin, penulis hanyalah mencetuskan pemahaman dan pemikirannya, tanpa ada syarat-syarat yang mengikat, selain masalah susunan bahasa.

Jika memenuhi standar jurnalistik maka artikel akan dimuat, sekalipun isi kandungannya jauh dari standar kebenaran syariat. Contohnya, dalam penulisan artikel, tidak ada syarat tsiqah (terpercaya) pada diri penulis, sebagaimana yang disyaratkan dalam periwayatan dan penulisan Hadits NabiSAW.

Jadi sangat berbeda dengan penulisan Hadits yang masalah ketsiqahan menjadi syarat utama untuk diterima- tidaknya Hadits yang diriwayatkannya. Namun, artikel majalah atau bulletin dan yang semacamnya, jika berisi nilai-nilai kebaikan yang sejalan dengan syariat, dapat dikatagorikan sebagai BID’AH HASANAH, karena berdakwah lewat majalah atau bulletin ini, tidka pernah dilakukan oleh Nabi SAW maupun oleh ulama salaf manapun. Namun karena banyak manfaat bagi umat, maka dapat dibenarkan dalam ajaran Islam, selagi tidak keluar dari rel-rel syariat yang benar.

23.
Pengirim: syahril ramadhan  - Kota: jakarta selatan
Tanggal: 5/7/2013
 
Assalammu'alaikum wr wb

Teriring salam semoga pak kyai sekeluarga dalam keadaan sehaat wal afiat dan semoga kita disampaikan kepada bulan romadhon, amiinn

Pak kyai, dulu saya waktu msh jd salapi gadungan metode debaat kami itu Simple, yaitu : 1. SEMUA BIDAH ITU SESAT, gk paandang bulu apa saja yg tdkk dilakukan Nabi Saw dalam hal ibadah adalah sesat, gk perduli walaupun esensi suatu hal itu adalaah kebajikan, tp kalau TEHNISNYA nabi gk pernah laakukan maka hal tsb sesat!!! Contoh taahlilan itu, secara esensi aacara tsb berisi kebajikan, dzikrulloh, sholawat kpd baginda nabi, pembacaan Al Quran, shodaqoh, tapi krn tehnis tsb gk pernah di contohkan oleh nabi maka itu mereka anggap Sesat!!!

Tapi aanehnya pak kyai...

Ketika logika dan konsep bidah mereka kita terapkan kepada mereka sendiri mereka justru sewot, contohnya: ceramah agama di TV Rodja, padahal secara tehnis nabi gk pernah melakukannya, waalaupun secara esensi ceramah tsb aadalah kebajikan. Tapi kalo TV Rodja itu kita sebut ke mereka adalah Bidah, mereka akan ngeles bahwa TV itu cuma perangkat/alat, mereka mengelak dng aargumen bahwa alat/peraangkat itukan urusan dunia?????

Artinya?

Adanya INKONSISTENSI pemahaman mereka tentang BIDAH , mereka MENOLAK pengkasifikasian bid'ah menjdi mahmudah(hasanah) dan madzmuah(dholalaah) TAPI mereka MENERIMA klasifikasi bidah menjadi bidah Dinniyah dan bidaah Duniyawiyaah.???? Padahaal kalau mereka mau KONSISTEN dgn pemaknaan dan pemahaman merekaa yg kontekstual (letterleg) hadist KULLU BIDATIN DHOLALAH , bahwa semua bidah adalah sesat (gak pandang bulu) sebenarnya mereka sudah MENABRAK dan MELANGGAR pemahaman mereka sendiri!!

Ini baru 1 loh pak kyai dari begitu banyak pemahaman kaum wahhabi yg INKONSISTEN....

Semoga Alloh Swt senantiasa memberikan kesabaran dan kekuaatan untuk senantiasa berdakwah dalm memerangi ppemhamaan2 yg bengkok, amiinn.  
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Ya begitulah watak mereka. Padahal hanya urusan umat Islam ingin mengamalkan amaliah sunnah saja jika dianggap tidak cocok dg pemahaman sempit mereka ya pasti divonis SESAT dan tempatnya di NERAKA.

24.
Pengirim: Kyai  - Kota: Probolinggo
Tanggal: 7/7/2013
 
Pengirim: amir - Kota: cibinong
Tanggal: 2/7/2013 Barokallahu fiik ustadz,
berikut pernyataan antum:
"Kesimpulannya, bertahlillah karena tahlil itu sama sekali bukan bid'ah. Tahlil dibenarkan agama Islam dan esensinya tidak bertentangan dengan dalil-dalil agama. Dengan bertahlil, berdzikir, baik sendirian maupun berjamaah, pasti akan mendatangkan ketenangan dan kedamaian. Sebaliknya, yang menolak tahlil dan mencari-cari dalil-dalil untuk mem-bid'ah-kan tahlil, maka sesungguhnya hatinya sedang sakit dan perlu didamaikan".

Tolong Ustadz jgn membiasakan memelintir pokok pembhasan. Yang kami tolak adalah TAHLIL-AN ACARA KEMATIAN. Adapun TAHLIL adalah dzikir yang paling agung, dan golongan manapun yg mengingkari Dzikir ini , dapat dipastikan golongan itu sesat.

Sekali lagi saya sampaikan jgn sampai kita membuat syariat2 baru dengan mengambil peran Rasulullah.

Kesimpulannya adalah TAHLILAN 7,40, 100 dan 1000 hari tidak perlu di Adaptasikan ke dalam ISlam. Cukup Rasulullah yang memutuskan dalam rangka menyelisihi puasa kaum Yahudi dan Nasrani.

Dampak dari kreatifitas yang terlalu jauh dalam beragama seperti yang antum buat dapat berdampak akan sangat beraneka ragam peribadatan yang kita lakukan, karena tidak mencukupkan dengan apa-apa yang sdh diturunkan Oleh Rasulullah.

Semoga bs difahami. - See more at: http://www.pejuangislam.com/main.php?prm=karya&var=detail&id=658#sthash.hqrriGCp.dpuf

------------------------
Mana dalil yang menyatakan bahwa “Cukup Rasulullah yang memutuskan dalam rangka menyelisihi puasa kaum Yahudi dan Nasrani”. Dalam hadist tsb rasulullah memberikan qta pelajaran dan cara untuk menyelisihi kaum kuffar. Mana dalilnya yg menyatakan bahwa kita tdk boleh meniru cara rasul??? Anda ini sebenarnya kaum awam agama. Jika tidak ada dalilnya maka anda berbohong atas nama rasul.

Kreatifitas itu tidak dilarang selama tidak bertentangan dengan syariat. Sama seperti ketika sayyidina utsman berijtihad menambah adzan sholat jum’at menjadi 2x. apakah itu berarti sayyidina utsman tidak mencukupkan dengan apa-apa yang sdh diturunkan Oleh Rasulullah???

Anda selalu berdalil dengan teori tarku, Nabi SAW tidak mengerjakan ini dan itu. Sekarang kami bertanya kepada Anda, apakah Nabi SAW pernah melarang kenduri kematian dan Tahlilan, hari ke 3, 7, 40, 100, 1000??? Kalau Nabi SAW tidak melarang, bukankah larangan Anda juga termasuk bid’ah????”

Syaikh Ibnu Taimiyah, ulama yang paling Anda kagumi melebihi seluruh ulama salaf, para sahabat dan tabi’in, juga mengakui bid’ah hasanah, dan berkata :
“Dari sini dapat diketahui kesesatan orang yang membuat-buat cara atau keyakinan baru, dan ia berasumsi bahwa keimanan tidak akan sempurna tanpa jalan atau keyakinan tersebut, padahal ia mengetahui bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menyebutnya. Pandangan yang menyalahi nash adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin. Sedangkan pandangan yang tidak diketahui menyalahinya, terkadang tidak dinamakan bid’ah. Al-Imam al-Syafi’i RA berkata, “Bid’ah itu ada dua. Pertama, bid’ah yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan atsar sebagian sahabat Rasulullah SAW. Ini disebut bid’ah dhalalah. Kedua, bid’ah yang tidak menyalahi hal tersebut. Ini terkadang disebut bid’ah hasanah, berdasarkan perkataan Umar, “Inilah sebaik-baik bid’ah”. Pernyataan al-Syafi’i ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab al-Madkhal dengan sanad yang shahih.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, juz 20, hal. 163)

Guru-guru Anda kaum Wahabi telah sepakat dan berijma’ bolehnya menggelar hari nasional Kerajaan Saudi Arabia, dan menggelar acara Usbu’ Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab an-Najdi (pekan pendiri Wahabi), setiap tahun yang digelar di Riyadh. Tolong Anda tanyakan kepada guru-guru Anda yang masih hidup. Apa bedanya hal tersebut dengan Tahlilan, Maulid Nabi SAW, Haul dan lain-lain???

Kreasi Tahlilan, yaitu bacaan campuran antara ayat al-Qur’an, shalawat, kalimah Thayyibah dan lain-lain, tidak pernah dibid’ahkan oleh ulama manapun, kecuali kaum Wahabi seperti Anda. Bahkan Syaikh Ibnu Taimiyah membenarkannya dan berkata dalam Majmu’ Fatawa-nya:
“Ibn Taimiyah ditanya, tentang seseorang yang memprotes ahli dzikir (berjamaah) dengan berkata kepada mereka, “Dzikir kalian ini bid’ah, mengeraskan suara yang kalian lakukan juga bid’ah”. Mereka memulai dan menutup dzikirnya dengan al-Qur’an, lalu mendoakan kaum Muslimin yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Mereka mengumpulkan antara tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqalah (laa haula wa laa quwwata illaa billaah) dan shalawat kepada Nabi SAW.?” Lalu Ibn Taimiyah menjawab: “Berjamaah dalam berdzikir, mendengarkan al-Qur’an dan berdoa adalah amal shaleh, termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu. Dalam Shahih al-Bukhari, Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki banyak Malaikat yang selalu bepergian di muka bumi. Apabila mereka bertemu dengan sekumpulan orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka memanggil, “Silahkan sampaikan hajat kalian”, lanjutan hadits tersebut terdapat redaksi, “Kami menemukan mereka bertasbih dan bertahmid kepada-Mu”… Adapun memelihara rutinitas aurad (bacaan-bacaan wirid) seperti shalat, membaca al-Qur’an, berdzikir atau berdoa, setiap pagi dan sore serta pada sebagian waktu malam dan lain-lain, hal ini merupakan tradisi Rasulullah SAW dan hamba-hamba Allah yang saleh, zaman dulu dan sekarang.” (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, juz 22, hal. 520).”


Wahabi Amir: Nampaknya antum gak mudheng apa yg sy mksd (kasihan kyai yg lain), Maksud saya SANG USTADZ jgn memposisikan sbg nabi dengan cara mengadaptasikan Syariatnya kaum musyrikin Hindu, yitu dg mengadaptasikan tradisi 7 , 40, 100 da 1000 hari dengan mengisi nya dg bacaan thoyibah menjadi istilah yg di kenal TAHLILAN”

SUNNI: Kapan saya memposisikan sebagai Nabi? Silahkan kutip pernyataan saya yang menyatakan diri saya diposisikan sebagai Nabi??? Jika tidak berarti anda melakukan fitnah terhadap pribadi saya. Perubahan tradisi hindu menjadi ajaran yg sesuai syariat adalah sungguh tindakan mulia. Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar adzan
Jum’at dikumandangkan apabila imam telah duduk di atas mimbar. Pada masa
Utsman, kota Madinah semakin luas, populasi penduduk semakin meningkat,
sehingga mereka perlu mengetahui dekatnya waktu Jum’at sebelum imam hadir
ke mimbar. Lalu Utsman menambah adzan pertama, yang dilakukan di Zaura’,
tempat di Pasar Madinah, agar mereka segera berkumpul untuk menunaikan
shalat Jum’at, sebelum imam hadir ke atas mimbar. Semua sahabat yang ada pada waktu itu menyetujuinya. Apa yang beliau lakukan ini termasuk bid’ah,
tetapi bid’ah hasanah dan dilakukan hingga sekarang oleh kaum Muslimin.

WAHABI AMIR: Kita cukupkan saja apa yg telah dilakukanRasulullah yg menyelisihi puasa Assyura kaum Yahudi dan Nasrani. Apakah kita lebih baik dari Sahabat sehingga kita mampu membuat ibadah baru yang disebut TAHLILAN.

SUNNI: Anda ini awam sekali mas. Saya sudah katakan bahwa jika tahlilan itu berasal dari budaya hindu maka sangat mulia sekali mengganti budaya hindu tsb sehingga sesuai dengan ajaran islam, yakni majelis dzikr / tahlilan. Dan ini telah rasul ajarkan dengan analogi hadist mengenai puasa asyura tsb. Saya tanya: Apakah anda mengira penambahan adzan oleh sayyidina utsman itu juga termasuk kebodohan dari sayyidina ustman? Mengapa sayyidina ustman tdk mencukupkan diri dengan ajaran rasul??? Dan membuat ibadah baru yakni menambah adzan.


WAHABI AMIR: Hadist Aisyah ra.:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa mengerjakan suatu amalan (ibadah) yang tidak berdasarkan perintah kami maka ia tertolak.[2]

Jadi sy jelaskan ke antum, urusan ibadah jgn cari dalil yg melarangnya, tp cari dalil yg memerintahkan.

Sekali lg jgn dipelintir bhw sy dan saudara sy yang lain anti TAHLIL. TAHLIL adalah DZKIR YG AGUNG. Yang kami tolak adalah TAHLIL-AN.

SUNNI: Tahlilan itu sebuah amalan yg didasarkan kepada perintahNya yakni majelis dzikr. Hanya syetan yg benci dengan majelis dzikr. Didalam agama itu ada sesuatu yg dilarang dan ada sesuatu yg tidak dilarang. Dalam hukum itu jelas mas, tidak mengandung abu-abu. Anda menolak tahlilan sama saja anda menolak majelis dzikr.

Anda harus tahu, dalam beragama itu tidak cukup mematuhi hukum dengan cara meninggalkan yang makruh. Tetapi juga harus melihat situasi dan adat istiadat masyarakat. Oleh karena itu, apabila adat istiadat masyarakat menuntut melakukan yang makruh itu, maka tetap harus dilakukan, demi menjaga kekompakan, kebersamaan dan kerukunan dengan masyarakat sesama Muslim.

di antara kitab-kitab klasik yang ditulis oleh ulama madzhab Hanbali, adalah kitab al-Adab al-Syar’iyyah, karya Ibnu Muflih al-Maqdisi. Kitab ini diterbitkan oleh pemerintahan Saudi Arabia, dan didistribusikan secara gratis kepada umat Islam. Dalam kitab tersebut terdapat keterangan begini;
“Imam Ibnu ‘Aqil berkata dalam kitab al-Funun, “Tidak baik keluar dari tradisi masyarakat, kecuali tradisi yang haram, karena Rasulullah SAW telah membiarkan Ka’bah dan berkata, “Seandainya kaummu tidak baru saja meninggalkan masa-masa Jahiliyah…” Sayyidina Umar berkata: “Seandainya orang-orang tidak akan berkata, Umar menambah al-Qur’an, aku akan menulis ayat rajam di dalamnya.” Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan dua raka’at sebelum maghrib karena masyarakat mengingkarinya. Dalam kitab al-Fushul disebutkan tentang dua raka’at sebelum Maghrib bahwa Imam kami Ahmad bin Hanbal pada awalnya melakukannya, namun kemudian meninggalkannya, dan beliau berkata, “Aku melihat orang-orang tidak mengetahuinya.” Ahmad bin Hanbal juga memakruhkan melakukan qadha’ shalat di mushalla pada waktu dilaksanakan shalat id (hari raya). Beliau berkata, “Saya khawatir orang-orang yang melihatnya akan ikut-ikutan melakukannya.” (Al-Imam Ibn Muflih al-Hanbali, al-Adab al-Syar’iyyah, juz 2, hal. 47)

Dalam pernyataan di atas jelas sekali, tidak baik meninggalkan tradisi masyarakat selama tradisi tersebut tidak haram. Tahlilan itu tdk bertentangan dg syariat bahkan sejalan dan senafas dengan syariat. Kata pepatah Arab, tarkul-‘adah ‘adawah (meninggalkan adat istiadat dapat menimbulkan permusuhan).

Sebenanrya anda sangat awam agama. Jadi Anda keras kepala. Tidak mengerti pembicaraan orang. Silahkan Anda pahami perkataan Ibnu Aqil dalam al-Funun di atas. Di antara dasar mengapa, kita dianjurkan mengikuti tradisi selama tidak haram, adalah hadits yang berbunyi:
“Dari Aisyah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Apakah kamu tidak tahu, bahwa ketika kaummu membangun Ka’bah, tidak sempurna pada pondasi yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS.” Aku berkata: “Wahai Rasulullah, apakah tidak engkau kembalikan Ka’bah kepada pondasi Nabi Ibrahim?” Beliau menjawab: “Seandainya bukan karena kaummu baru meninggalkan kekufuran, pasti aku lakukan.” HR al-Bukhari dan Muslim.

Dalam hadits di atas dijelaskan, bahwa Rasulullah SAW tidak merekonstruksi Ka’bah agar sesuai dengan Ka’bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS, hanya karena khawatir menimbulkan fitnah, karena kaumnya baru meninggalkan masa-masa Jahiliyah. Sampai sekarang Ka’bah yang ada, lebih kecil dari Ka’bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS. Ka’bah saja, yang merupakan kiblat umat Islam dalam menunaikan shalat dan ibadah haji, dibiarkan oleh Rasulullah SAW, karena alasan tradisi, apalagi masalah kenduri tujuh hari, yang hukumnya hanya makruh. Persoalan Ka’bah jelas lebih besar dari selamatan Tahlilan.

Dalam Kitab Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Taimiyah, Syaikhul Islam kaum Wahabi, juz 22 hal. 520:
“Ibn Taimiyah ditanya, tentang seseorang yang memprotes ahli dzikir (berjamaah) dengan berkata kepada mereka, “Dzikir kalian ini bid’ah, mengeraskan suara yang kalian lakukan juga bid’ah”. Mereka memulai dan menutup dzikirnya dengan al-Qur’an, lalu mendoakan kaum Muslimin yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Mereka mengumpulkan antara tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqalah (laa haula wa laa quwwata illaa billaah) dan shalawat kepada Nabi SAW.?” Lalu Ibn Taimiyah menjawab: “Berjamaah dalam berdzikir, mendengarkan al-Qur’an dan berdoa adalah amal shaleh, termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu. Dalam Shahih al-Bukhari, Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki banyak Malaikat yang selalu bepergian di muka bumi. Apabila mereka bertemu dengan sekumpulan orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka memanggil, “Silahkan sampaikan hajat kalian”, lanjutan hadits tersebut terdapat redaksi, “Kami menemukan mereka bertasbih dan bertahmid kepada-Mu”… Adapun memelihara rutinitas aurad (bacaan-bacaan wirid) seperti shalat, membaca al-Qur’an, berdzikir atau berdoa, setiap pagi dan sore serta pada sebagian waktu malam dan lain-lain, hal ini merupakan tradisi Rasulullah SAW dan hamba-hamba Allah yang saleh, zaman dulu dan sekarang.” (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, juz 22, hal. 520).

Pernyataan Syaikh Ibn Taimiyah di atas memberikan beberapa kesimpulan:
Pertama) bahwa dzikir berjamaah dengan komposisi bacaan yang beragam antara ayat al-Qur’an, tasbih, tahmid, tahlil, shalawat dan lain-lain seperti yang terdapat dalam tradisi tahlilan adalah amal shaleh dan termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu.
Kedua) Dzikir bersama atau berjamaah dengan mengeraskan suara dan bacaan seragam seperti Tahlilan, tidaklah bid’ah, bahkan termasuk amal dan ibadah utama di setiap waktu.
Ini bukti bahwa ajaran Wahabi, dari waktu ke waktu semakin ekstrem. Amaliyah yang dibolehkan oleh guru-guru mereka, sekarang mereka bid’ahkan. Jika memang Wahabi mengikuti jejak Ibnu Taimiyah, harusnya mereka menggelar Tahlilan, bukan malah melarangnya.

Pengirim: amir - Kota: cibinong
Tanggal: 3/7/2013 ustadz,

WAHABI AMIR: Saya sngt mengenal TAHLIL-AN, karena sy jg mengerjakan amalan ini sebelum mengenal manhaj sunnah. TAHLIL-AN diisi dg bacaan yasin jama'i, kemudian membaca Tahlil yg dikomando dgn suara pelan dan teratur, terus lbh cpt, makin cepat dan mengenhtak-hentak dan akhirnya Lafadz LA ILAHA ILLALLAH berubah bunyinya menjadi ILOHELAH.. ILOHELAH...ILOHELAH, sambil kepala geleng ke kanan dan ke kiri (Na'udzubillahi min dzaliik). kemudian ditutup dengan do'a. (inilah pengalaman sy di sumatera Utara).

SUNNI: Tahlilan adalah manhaj ahlissunnah wal jama’ah. Kalo masalah IOLHELAH itu mungkin hanya pendengaran anda yg sudah mulai agak tuli, jadi setiap orang itu sudah sangat masyhur didalam majelis dzikr berupa tahlilan dibaca LAA ILAA HAILLALLOH…. Dan bacaan tahlil itu setiap org bisa membacanya. Kalo masalah sambil geleng-geleng kenapa? Apa ada dalil yang melarang? Jika anda tunjukkan.

WAHABI AMIR: Terkait Hadist bacaan yasin untuk mayit, para ulama khilaf tentaf derajat hadist ini, ada yg men-shahihkan dan men-dhoifkan.

Adapun kalo kita sepakat atas shahih nya hadist ini, maka ada beberapa penjelasan ulama tentang makna "MAUTAKUM" ini, diantaranya

"Membaca Yasin atau Surat lainnya Untuk Orang Sakaratul Maut"

Dari Ma’qil bin Yasar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

اقْرَءُوا عَلَى مَوْتَاكُمْ يس

“Bacalah surat Yasin kepada orang yang menjelang wafat di antara kalian.”

Makna Mautakum

Mautakum berarti orang yang sedang menghadapi kematian, bukan orang sudah wafat. Imam Ibnu Hajib mengatakan, maksud hadits ini adalah ketika orang tersebut menjelang wafat, bukan mayit yang dibacakan Al Quran.(Imam Ahmad An Nafrawi, Al Fawakih Ad Dawani ‘Ala Risalati Ibni Abi Zaid Al Qairuwani, 3/282).

Al ‘Allamah Abu Bakr Ad Dimyathi mengatakan, dibacakan ketika menjelang wafat (muqaddimat), karena sesungguhnya orang wafat tidaklah dibacakan Al Quran. (I’anatuth Thalibin, 2/107).

Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri mengatakan: “Ketahuilah! Maksud Al Mauta dalam hadits ini adalah orang yang sedang menghadapi kematian, bukan orang yang sudah mati secara hakiki.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 4/53. Maktabah As Salafiyah)

Imam Abul Hasan As Sindi mengatakan: “Yakni ketika menghadapi kematian atau sesudah wafat, disebutkan: tetapi yang benar adalah yang pertama (menghadapi kematian). Karena mayit tidaklah dibacakan Al Quran .” (Hasyiah As Sindi ‘Ala Ibni Majah, No. 1438. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Hafizhahullah mengatakan:

وقوله: (موتاكم) أي: الذين قاربوا الموت، وليس المقصود به الذي مات

“Sabdanya (mautakum): yaitu orang-orang yang mendekati kematian, bukan maksudnya orang yang sudah mati.” (Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad, Syarh Sunan Abi Daud No. 223. Maktabah Misykah)

Makna-makna seperti juga disampaikan oleh para imam lainnya seperti Imam An Nawawi, Imam Al Qurthubi, dan lainnya.

Para Ulama Yang Menganjurkan Membaca Yasin di Hadapan Orang Yang Sakaratul Maut
Perlu diketahui, anjuran membaca surat Yasin dihadapan orang yang sedang sakaratul maut adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Hal ini dikatakan oleh Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah sebagai berikut:

وقال الجمهور: يندب قراءة {يس} لحديث «اقرؤوا على موتاكم يس» واستحسن بعض متأخري الحنفية والشافعية قراءة {الرعد} أيضا ً، لقولجابر: «إنها تهون عليه خروج روحه»
والحكمة من قراءة {يس} أن أحوال القيامة والبعث مذكورة فيها، فإذا قرئت عنده، تجدد له ذكر تلك الأحوال.

Jumhur ulama mengatakan: disunahkan membaca Yasin, lantaran hadits: Bacalah oleh kalian kepada orang yang menghadapi sakaratul maut, surat Yasin. Sebagian ulama muta’akhirin (belakangan) dari kalangan Hanafiah dan Syafi’iyah juga memandang baik membaca surat Ar Ra’du, dengan alasan perkataan Jabir: “Hal itu bisa meringankan ketika keluarnya ruh.”
Hikmah dibacakannya surat Yasin adalah bahwa peristiwa kiamat dan hari kebangkitan disebutkan di dalam srat tersebut. Maka, jika dibacakan di sisinya hal itu bisa memperbarui ingatannya terhadap peristiwa-peristiwa tersebut. (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 2/599. Maktabah Misykah)

Semoga antum bs menjelaskan lg bagaimana kedudukan bacaan yasin untuk orang yg sdh meninggal.

SUNNI: Kami sangat bisa menjelaskannya wahabi amir. Berkaitan dengan keutamaan surat Yasin, Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, ulama panutan kaum Wahabi dan pembuat selebaran Manhaj Salaf, juga berkata:
“Dari al-Hasan bin al-Haitsam berkata, “Aku mendengar Abu Bakar bin al-Athrusy berkata, “Ada seorang laki-laki yang rutin mendatangi makam ibunya dan membaca surat Yasin. Pada suatu hari ia membaca surat Yasin di makam ibunya, kemudian berkata, “Ya Allah, apabila Engkau berikan pahala bagi surat ini, maka jadikanlah pahalanya bagi semua penghuni kuburan ini.” Pada hari Jumat berikutnya, seorang wanita datang dan berkata kepada laki-laki itu, “Kamu fulan bin fulanah?” Ia menjawab, “Ya.” Wanita itu berkata, “Aku punya anak perempuan yang telah meninggal. Lalu aku bermimpi melihatnya duduk-duduk di pinggir makamnya. Aku bertanya, “Kamu kok bisa duduk-duduk di sini?” Putriku menjawab, “Sesungguhnya fulan bin fulanah datang ke makam ibunya. Ia membaca surat Yasin dan pahalanya dihadiahkan kepada semua penghumi makam ini. Kami dapat bagian rahmatnya. Atau kami diampuni dan semacamnya.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyah, al-Ruh, hal. 187).
Kisah yang disampaikan oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah di atas membawa pesan anjuran membaca Surat Yasin di kuburan dan menghadiahkan pahalanya kepada ahli kubur
WAHABI AMIR: Alangkah baiknya antum menyanggah komentar saya dengan dalil yg kuat, bukan Ro'yu maupun hawa nafsu anda.

Klaim anda bahwa kami adalah golongan yang ngeyel dan bandel perlu dikoreksi lagi. Kengeyelan dan bandel dalam rangka menegakkan hujjah apa salah? Apalagi hujjah yg kami sampaikan lbh shahih daripada subhat yang anda buat.

Perlu diketahui bahwa kita mutlak harus menerima ucapan, perbuatan rasulullah, sementara perkataan manusia bisa ditolak ataupun diterima, apalagi pernyataan anda yg tdk didukung hujjah yang kuat.

Nampak sekali setiap hujjah yg sy sampaikan, anda cuma berkomentar yg tdk ilmiyyah..

Semoga Allah SWT memberikan Taufiq.

SUNNI: Islam mewajibkan umatnya bersikap adil, meskipun terhadap musuh yang dibenci sekalipun. Islam tidak menilai setiap budaya dan tradisi yang dilakukan oleh suatu bangsa non-Islam pasti salah dan harus diberantas. Budaya dan tradisi yang baik tidak berubah menjadi buruk dan salah karena dilakukan oleh orang non-Islam. Ketika sebuah tradisi yang dilakukan oleh kaum non-Islam itu memang benar, maka Islam membenarkan dan menganjurkannya. Dalam hadits shahih diriwayatkan:
“Dari Aisyah ra: “Kaum Quraisy melakukan pusa Asyura pada masa Jahiliyah dan Rasulullah  juga melakukannya. Setelah beliau hijrah ke Madinah, beliau tetap berpuasa dan memerintahkan umatnya melakukannya. Kemudian setelah puasa Ramadhan difardhukan, beliau bersabda: “Barang siapa yang hendak berpuasa, berpuasalah, dan barangsiapa yang hendak meninggalkannya, tinggakanlah.” (HR. al-Bukhari [1893] dan Muslim [1125]).

Dalam hadits Muslim diriwayatkan:
“Dari Ibnu Abbas ra, berkata: “Rasulullah  datang ke Madinah, lalu menemukan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Lalu mereka ditanya tentang puasa tersebut. Mereka menjawab: “Pada hari ini Allah memenangkan Musa dan Bani Israil atas Raja Fir’aun, kami melakukan puasa karena merayakannya.” Lalu Nabi  bersabda: “Kami lebih berhak dengan Musa dari pada kalian.” Lalu beliau memerintahkan umatnya berpuasa Asyura.” (HR. Muslim [1130]).
Dalam hadits di atas jelas sekali, bahwa Rasulullah  berpuasa dan memerintahkan puasa Asyura, bukan karena perintah wahyu dalam al-Qur’an. Puasa tersebut adalah tradisi yang dilakukan oleh kaum Jahiliyah dan kaum Yahudi. Akan tetapi karena, puasa tersebut benar dalam pandangan Islam, maka Rasulullah  memerintahkan umatnya berpuasa pada hari Asyura.
Tradisi pengobatan alternatif dengan cara ruqyah telah berkembang sejak masa Jahiliyah. Ketika Islam datang, Rasulullah  tidak melarang semua bentuk ruqyah. Akan tetapi, Rasulullah  memilah tata cara ruqyah yang benar, lalu membolehkannya dan tata cara ruqyah yang salah, lalu melarangnya. Dalam sebuah hadits shahih dijelaskan:
“Dari Umair maula Abi al-Lahm, berkata: “Rasulullah  lewat dan bertemu aku, lalu aku tunjukkan kepada beliau tata cara ruqyah yang aku lakukan untuk menyembuhkan orang gila pada masa Jahiliyah. Lalu beliau berkata: “Buanglah cara yang ini dan itu, dan ruqyahlah dengan cara sisanya.” Muhammad bin Zaid berkata: “Aku menuntuti Umair melakukan ruqyah terhadap orang gila dengan cara tersebut.” (HR. Ahmad, Abu Ya’la dan al-Thabarani).
Suatu bangsa terkadang memiliki karater dan tradisi yang baik, yang mungkin jarang dimiliki oleh bangsa lain, meskipun terkadang bangsa tersebut penganut agama non-Islam. Dalam hal ini, Islam tetap menilai positif karakter baik yang menjadi watak mereka. Ketika Rasulullah  membicarakan bangsa Romawi, penganut agama Kristen yang akan menjadi musuh bebuyutan umat Islam hingga hari kiamat, beliau mengakui karakter positif mereka. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya:
“Al-Mutaurid al-Qurasyi berkata di hadapan Amr bin al-Ash: “Aku mendengar Rasulullah  bersabda: “Kiamat akan terjadi ketika bangsa Romawi mayoritas manusia.” Amr berkata kepadanya: “Kamu mengerti apa yang kamu bicarakan?” Al-Mustaurid menjawab: “Aku berkata apa yang aku dengar dari Rasulullah .” Amr bin al-Ash berkata: “Kalau kamu berbicara begitu, sesungguhnya mereka memiliki empat karakter. Bangsa yang paling sabar menghadapi ujian, paling cepat bangkit setelah mengalami musibah, paling cepat menyerang setelah mengalami kekalahan dan bangsa paling baik terhadap kaum miskin, yatim dan kaum lemah. Dan karakter kelima yang baik, mereka bangsa yang paling keras menolak kezaliman penguasa.” (HR. Muslim [2898]).
Tidak jarang dalam suatu budaya dan tradisi terkandung nilai-nilai etika yang mulia dan luhur. Meskipun budaya tersebut berasal dari budaya non-Islam. Tentu saja, Islam akan menyempurnakan nilai-nilai etika luhur yang dikandungnya, bukan memberantasnya. Rasulullah  bersabda:
“Dari Abu Hurairah, Nabi  bersabda: “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan kemuliaan-kemuliaan budi pekerti.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, Ibnu Sa’ad, Ahmad dan al-Hakim).
Dalam hadits tersebut, Rasulullah  menegaskan “menyempurnakan kemuliaan-kemuliaan budi pekerti”, hal ini memberikan pengertian bahwa Islam mengakui adanya nilai-nilai etika yang luhur dalam tradisi non-Islam, dan Islam bertugas untuk menyempurnakannya.
Kaum Anshar, yang merupakan penduduk asli Madinah, memiliki karakter dermawan yang luar biasa. Mereka rela keluarganya tidak makan, demi memberi makan kepada tamunya yang sangat membutuhkan. Hal ini seperti ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur’an (QS. 59 : 9). Ketika Rasulullah  datang ke Madinah, ceramah pertama yang beliau sampaikan di hadapan mereka, adalah menyinggung karakter kaum Anshar yang suka memberi makan tamu. Sahabat Abdullah bin Salam mengisahkan:
“Dari Abdullah bin Salam, berkata: “Ketika Nabi  datang ke Madinah, orang-orang segera berdatangan menghampiri beliau, dan aku termasuk orang yang segera menghampiri beliau. Setelah aku melihat wajah beliau, akan yakin, itu bukan wajah seorang pembohong. Lalu pertama kali ucapan yang aku dengar dari beliau adalah: “Wahai manusia, suguhkanlah makanan, sebarkan salam, sambung kekerabatan, dan lakukanlah shalat ketika manusia sedang tidur pulas, kalian akan masuk surga dengan selamat.” (HR. Ibnu Majah [3251] dan al-Thabarani ).
Beberapa paparan di atas menyimpulkan bahwa tidak semua budaya dan tradisi non-Islam itu salah dan harus dijauhi. Islam tidak menafikan budaya atau tradisi non-Islam yang benar dan menjungjung tingga nilai-nilai etika. Oleh karena itu, para ulama menganjurkan agar kita selalu mengikuti tradisi masyarakat di mana kita tinggal selama tradisi tersebut tidak dilarang di dalam agama. Dalam konteks ini, al-Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi, ulama terkemuka madzhab Hanbali – madzhab resmi kaum Wahabi, berkata dalam kitabnya al-Adab al-Syar’iyyah:
“Imam Ibn ‘Aqil berkata dalam kitab al-Funun, “Tidak baik keluar dari tradisi masyarakat, kecuali tradisi yang haram, karena Rasulullah  telah membiarkan Ka’bah dan berkata, “Seandainya kaummu tidak baru saja meninggalkan masa-masa Jahiliyah…” Sayyidina Umar berkata: “Seandainya orang-orang tidak akan berkata, Umar menambah al-Qur’an, aku akan menulis ayat rajam di dalamnya.” Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan dua raka’at sebelum maghrib karena masyarakat mengingkarinya. Dalam kitab al-Fushul disebutkan tentang dua raka’at sebelum Maghrib bahwa Imam kami Ahmad bin Hanbal pada awalnya melakukannya, namun kemudian meninggalkannya, dan beliau berkata, “Aku melihat orang-orang tidak mengetahuinya.” Ahmad bin Hanbal juga memakruhkan melakukan qadha’ shalat di mushalla pada waktu dilaksanakan shalat id (hari raya). Beliau berkata, “Saya khawatir orang-orang yang melihatnya akan ikut-ikutan melakukannya.” (Al-Imam Ibnu Muflih al-Hanbali, al-Adab al-Syar’iyyah, juz 2, hal. 47).
Pernyataan di atas menyimpulkan, bahwa mengikuti tradisi dan budaya suatu masyarakat, selama tradisi dan budaya tersebut tidak diharamkan dalam agama, adalah anjuran madzhab Hanbali, berdasarkan hadits Nabi , perilaku para sahabat dan ulama salaf, di antaranya adalah al-Imam Ahmad bin Hanbal. Semua ulama salaf sangat menghargai budaya dan tradisi masyarakat, selama hal itu tidak diharamkan dalam agama. Banyak sekali perilaku Imam Ahmad bin Hanbal, yang tidak memiliki dasar al-Qur’an dan hadits secara khusus, tetapi beliau melakukannya karena mengikuti tradisi ulama sebelumnya. Jadi, Imam Ahmad bin Hanbal itu termasuk imam terkemuka kaum tradisionalis, bukan kaum modernis.

WAHABI AMIR: Afwan, tentang komentar terkait Bid'ah yg sy sampaikan tolong diposting donk.. Atau barangkali anda sdh kehabisan argumentasi?

Ingat Ustadz, anda jangan menyembunyikan kebenaran. karena yang saya sampaikan murni Dalil shaih berikut penjelasan ulama salaf.

Kalau begini caranya, apa bedanya anda dengan pendahulu-pendahulu anda ataupun pimpinan pusat ormas anda saat ini? (karena dlm beberapa artikel anda menganggap 'salah" thd mereka)

Syukron.

SUNNI: Jangankan mengahdapi wahabi kayak anda, kalo perlu guru anda turunkan ke sini. Kami lebih gentle dan suka dialog terbuka. Agar kami bisa leluasa mengajari org awam kayak anda dalam belajar syariat dengan benar, berikut pemahamannya juga benar. Jika anda setuju silahkan undang kami berdialog terbuka. datangkan Firanda, Abul Jauza, Hakim Abdat, Musmulyadi, dlsb.
 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Kami posting untuk Mas Amir. Mudah2an bermanfaat untuk pengunjung.

25.
Pengirim: Achmad alQuthfby  - Kota: probolinggo
Tanggal: 7/7/2013
 
Terimakasih muridku sang Kyai.
Mungkin perlu saya tambahkan kepada awamul muslimins seperti amir sebagai untaian nasehat syar’iyyah dan semoga amir mendapat taufik dan hidayahNya.

Imam al-Syafii berkata:

اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ الضَّلالَةِ وَمَا أُحْدِثَ فِي الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ. (الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ١/٤٦٩).

“Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al-Qur’an atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dhalalah (tersesat). Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela”. (Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, 1/469).

Anda juga harus tahu, bahwa Syaikh Ibnu Taimiyah, ulama yang Anda kagumi juga mengakui bid’ah hasanah, dan berkata :

وَمِنْ هُنَا يُعْرَفُ ضَلاَلُ مَنِ ابْتَدَعَ طَرِيْقًا أَوِ اعْتِقَادًا زَعَمَ أَنَّ اْلاِيْمَانَ لاَ يَتِمُّ اِلاَّ بِهِ مَعَ الْعِلْمِ بِأَنَّ الرَّسُوْلَ صلى الله عليه وسلم لَمْ يَذْكُرْهُ، وَمَا خَالَفَ النُّصُوْصَ فَهُوَ بِدْعَةٌ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِيْنَ، وَمَا لَمْ يُعْلَمْ أَنَّهُ خَالَفَهَا فَقَدْ لاَ يُسَمَّى بِدْعَةً، قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ البِدْعَةُ بِدْعَتَانِ بِدْعَةٌ خَالَفَتْ كِتَابًا وَسُنَّةً وَإِجْمَاعًا وَأَثَرًا عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَهَذِهِ بِدْعَةُ ضَلاَلَةٍ وَبِدْعَةٌ لَمْ تُخَالِفْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهَذِهِ قَدْ تَكُوْنُ حَسَنَةً لِقَوْلِ عُمَرَ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ هَذَا الْكَلاَمُ أَوْ نَحْوُهُ رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ بِاِسْنَادِهِ الصَّحِيْحِ فِي الْمَدْخَلِ. (الشيخ ابن تيمية، مجموع الفتاوى ۲٠/١٦٣).

“Dari sini dapat diketahui kesesatan orang yang membuat-buat cara atau keyakinan baru, dan ia berasumsi bahwa keimanan tidak akan sempurna tanpa jalan atau keyakinan tersebut, padahal ia mengetahui bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menyebutnya. Pandangan yang menyalahi nash adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin. Sedangkan pandangan yang tidak diketahui menyalahinya, terkadang tidak dinamakan bid’ah. Al-Imam al-Syafi’i RA berkata, “Bid’ah itu ada dua. Pertama, bid’ah yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan atsar sebagian sahabat Rasulullah SAW. Ini disebut bid’ah dhalalah. Kedua, bid’ah yang tidak menyalahi hal tersebut. Ini terkadang disebut bid’ah hasanah, berdasarkan perkataan Umar, “Inilah sebaik-baik bid’ah”. Pernyataan al-Syafi’i ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab al-Madkhal dengan sanad yang shahih.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, juz 20, hal. 163)

Kalo anda mau bertemu dengan kami didalam forum dialog terbuka maka kami siap. silahkan buat saja forum terbuka, agar kita bisa bertemu 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Semoga bermanfaat untuk umat.

26.
Pengirim: agus  - Kota: magetan
Tanggal: 8/7/2013
 
ustad lutfi berarti anda termasuk orang yang suka memakan harta anak yatim..karena kebetulan anda diundang tahlilan ditempat anak yatim yg baru saja kehilangan bapaknya.....?????!!! 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Anda mau ngaku jadi 'tuhan' yaa...? Kok anda yakin betul menuduh kami memakan hartanya anak yatim yang bapaknya baru wafat. Padahal anda di Magetan dan kami berada di Malang. Anda merasa tahu dengan persis dengan apa yang kami lakukan, padahal kami belum pernah sekalipun ketemu anda, dan mudah-mudahan tidak akan pernah bertemu anda...!

Nah, biar para pengunjung tahu, bahwa figur anda inilah hakikatnya tipe-tipe Wahhabi yang berwatak SOK TAHU terhadap segala sesuatu yang tidak pernah dilihat dan dipelajari dengan seksama...!

Biasa kook..., Wahhabi itu, sekalipun baru berasumsi saja, mereka sudah berani memutuskan hukumnya, tanpa mementingkan cros-cek terlebih dahulu... Maklumlah sifat SEMBRONO/ASAL-ASALAN adalah sudah menjadi ciri khas Wahhabi.

Yaa... buktinya watak anda sendiri hai Sdr. Agus...!

27.
Pengirim: Kyai  - Kota: probolinggo
Tanggal: 8/7/2013
 
WAHABI AGUS: ustad lutfi berarti anda termasuk orang yang suka memakan harta anak yatim..karena kebetulan anda diundang tahlilan ditempat anak yatim yg baru saja kehilangan bapaknya.....?????!!!

SUNNI: Anda berarti tidak tahu kondisi riil di masyarakat. Umat Islam Indonesia, dalam kenduri kematian tidak meninggalkan Sunnah. Justru mereka telah melakukannya, dengan berbondong-bondong menyumbangkan beras, kebutuhan pokok dan uang untuk keluarga duka cita.

Selamatan tersebut bisa menjadi haram, apabila makanan disediakan dari harta mahjur ‘alaih (orang yang tidak boleh mengelola hartanya seperti anak yatim/belum dewasa), atau dari harta si mati yang mempunyai hutang, atau dapat menimbulkan madarat dan sesamanya. Demikian kesimpulan fatwa Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan yang bermadzhab Syafi’i

Dan yang perlu anda ketahui bahwa, darimana mana anda tahu bahwa makanan disediakan adalah berasal dari harta mahjur ‘alaih??? Silahkan kemukakan bukti-bukit validnya. Suatu hukum itu harus jelas dan mengandung nilai pembuktian.

 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Sudah jelas terbukti dari komentar Sdr. Agus ini, bahwa Dakwah Wahhabiyah itu hanya Asal-asalan saja. Kalau dalam istilah 'bahasa planetnya': As ... Bun ... (= Asal Bunyi).

28.
Pengirim: Aris Syarofi  - Kota: Probolinggo
Tanggal: 8/7/2013
 
Dakwah ajaran Wahabi adalah dakwah ajaran baru, dari kantongnya sendiri, dakwah radikal yang dibungkus dengan nama tauhid dan sunnah. Bukti bahwa dakwah Wahabi adalah ajaran baru, pernyataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, dalam sebuah risalah yang ditulisnya, dan diabadikan oleh Syaikh al-‘Ashimi dalam himpunan al-Durar al-Saniyyah fi al-Ajwibah al-Najdiyyah, dia mengeluarkan fatwa berikut ini:

وَأَنَا أُخْبِرُكُمْ عَنْ نَفْسِيْ وَاللهِ الَّذِيْ لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ، لَقَدْ طَلَبْتُ الْعِلْمَ، وَاعْتَقَدَ مَنْ عَرَفَنِيْ أَنَّ لِيْ مَعْرِفَةً، وَأَنَا ذَلِكَ الْوَقْتَ، لَا أَعْرِفُ مَعْنَى لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَلَا أَعْرِفُ دِيْنَ الْإِسْلَامِ، قَبْلَ هَذَا الْخَيْرِ الَّذِيْ مَنَّ اللهُ بِهِ؛ وَكَذَلِكَ مَشَايِخِيْ، مَا مِنْهُمْ رَجُلٌ عَرَفَ ذَلِكَ. فَمَنْ زَعَمَ مِنْ عُلَمَاءِ الْعَارِضِ: أَنَّهُ عَرَفَ مَعْنَى لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، أَوْ عَرَفَ مَعْنَى الْإِسْلاَمِ قَبْلَ هَذَا الْوَقْتِ، أَوْ زَعَمَ مِنْ مَشَايِخِهِ أَنَّ أَحَدًا عَرَفَ ذَلِكَ، فَقَدْ كَذِبَ وَافْتَرَى، وَلَبَّسَ عَلَى النَّاسِ، وَمَدَحَ نَفْسَهُ بِمَا لَيْسَ فِيْهِ.

“Aku kabarkan kepada kalian tentang diriku, demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya, aku telah menuntut ilmu, dan orang yang dulu mengenalku meyakini aku memiliki pengetahuan, padahal aku pada waktu itu belum mengerti makna la ila illallah, dan aku tidak mengetahui agama Islam, sebelum memperoleh kebaikan yang Allah karuniakan ini. Demikian pula guru-guruku, tak seorang pun di antara mereka yang mengetahui hal tersebut. Barangsiapa yang menyangka dari ulama daerah ‘Aridh (Riyadh), bahwa ia mengetahui makna la ilaha illallah atau mengetahui makna Islam sebelum waktu sekarang ini, atau menyangka bahwa di antara guru-gurunya ada yang mengetahui hal tersebut, maka ia telah berdusta, berbuat-buat, menipu manusia dan memuji dirinya dengan sesuatu yang tidak ada padanya.” (al-Durar al-Saniyyah fi al-Ajwibah al-Najdiyyah, juz 10 hal. 51, terbitan Riyadh Saudi Arabia tahun 1996).

Pernyataan Muhammad bin Abdul Wahhab tersebut mengandung beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1) Sebelum menyebarkan ajaran Wahabi, Muhammad bin Abdul Wahhab mengaku belum mengetahui makna la ilaaha illallaah dan belum mengerti agama Islam. Pernyataan ini secara tidak langsung menganggap bahwa dirinya termasuk orang kafir sebelum menyebarkan ajaran Wahabi. Bukankah syarat seorang Muslim harus mengerti makna kalimat laa ilaaha illallaah?

2) Tidak seorang pun dari ulama Riyadh dan guru-gurunya yang mengetahui makna laa ilaaha illallaah dan mengetahui agama Islam. Pernyataan ini berarti mengkafirkan semua guru-gurunya dan semua ulama yang ada.

3) Ajaran Wahabi yang didakwahkannya, tidak ia pelajari dari guru-gurunya, akan tetapi ia terima dari Allah sebagai karunia. Di sini kita patut mempersoalkan, bagaimana caranya Muhammad bin Abdul Wahhab menerima ajaran Salafi-Wahabi tersebut dari Allah? Apabila ia memperoleh ajaran tersebut dari wahyu, secara tidak langsung ia mengaku nabi, dan tidak ada bedanya antara dia dengan Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani. Hal ini tidak mungkin terjadi dan ia akui bagi dirinya. Apabila ia menerimanya bukan dari wahyu, maka kemungkinan ia menerimanya dari setan, dan hal ini tidak mungkin ia akui. Dan ada kemungkinan ia terima dari pikirannya sendiri, yang tidak ada jaminan bahwa hasil pikirannya tersebut dipastikan benar sebagaimana hasil pikiran para nabi. Demikian tersebut bertentangan dengan metode kaum Muslimin dalam menerima ilmu agama, dimana ilmu agama mereka terima melalui mata rantai sanad, dari guru ke guru sebelumnya secara berkesinambungan sampai kepada Rasulullah SAW. Ustadz-ustadz Wahabi biasanya hafal pernyataan al-Imam Ibnu al-Mubarak, “al-isnaad minaddiin, sanad termasuk bagian dari agama.” Jadi ilmuanya pendiri Wahabi, tidak punya sanad.

Paparan di atas menyimpulkan bahwa ajaran Salafi-Wahabi, berdasarkan testimoni pendirinya, tidak diperoleh dari para ulama, akan tetapi ia peroleh dari hasil pemikirannya sendiri, dan dianggapnya sebagai anugerah dari Allah, lalu kemudian ia doktrinkan kepada para pengikutnya. Karena pendiri Salafi-Wahabi tidak mengakui keilmuan para ulama, termasuk guru-gurunya sendiri. Bahkan secara terang-terangan ia mengatakan, bahwa sebelum lahirnya dakwah Salafi-Wahabi, tidak seorangpun ulama –termasuk guru-gurunya-, yang mengetahui makna la ilaha illallah dan mengetahui agama Islam. Hal ini berarti pengkafiran terhadap seluruh ulama dan umat Islam dan mengkafirkan dirinya sendiri.
 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Ternyata Ajaran Wahhabi itu aliran: ISLAM GAYA BARU atau ISLAM REVISI, tooh? Bukan Islamnya Nabi Muhammad bin Abdillah yaa? Tapi karya 'nabi tandingan' Muhammad bin Abdil Wahhab, gitu kaan?

29.
Pengirim: Achmad alQuthfby  - Kota: probolinggo
Tanggal: 8/7/2013
 
Wahabi Amir menyatakan:
Bagaimana mungkin perintahnya untuk bersedekah makanan kepada keluarga yang meninggal, koq jd berubah tahlilan 7 hari. logika apa yang dipakai? Anda terlalu jauh menafsirkan riwayat yang sebenarnya sdh jelas.

“Bid‘ah adalah suatu cara yang diada-adakan dalam agama, yang bentuknya menyerupai syari‘at, dan yang dimaksud dari penerapannya adalah sama dengan yang dimaksud dari penerapan syari‘at.” [Lihat al-I’tishaam (I/37)]
------------------------
Sebetulnya logika anda yang perlu dipertanyakan. Mengapa anda terlalu bodoh untuk memahami dalil yg kami kemukakan? Mana keilmiyyahan anda? sanggah dalil kami dengan dalil pula. Sudah sangat jelas kita dianjurkan bersedekah selama 7 Hari seperti termaktub didalam hadist yang telah saya nukilkan sebelumnya.

Definisi versi al-Syathibi yang Anda kutip, termasuk definisi bid’ah versi bid’ah, bukan definisi bid’ah versi sunnah. Mengapa begitu??? Dalam hadits shahih, Nabi SAW telah mendefinisikan bid’ah sebagai berikut:

كل محدثة بدعة

“Setiap perkara baru adalah bid’ah.” (HR. Muslim).

Nah, dalam hadits di atas, Nabi SAW mendefinisikan bid’ah dengan, “Setiap perkara baru”, secara mutlak. Definisi bid’ah versi al-Syathibi, ternyata banyak tambahan terhadap definisi bid’ah versi hadits shahih, karena itu sangat tidak tepat untuk diikuti. 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Mas Amir yang kemarin-kemarin rajin muncul, tapi setelah kami jawab semua argumentasinya dengan jawaban sesuai tuntunan syariat, maka 'BELIAU-NYA' kok gak muncul lagi. Mudah-mudahan tidak karena nge-les.

30.
Pengirim: Achmad alQuthfby  - Kota: probolinggo
Tanggal: 8/7/2013
 
Hai.. Wahabi Amir..
Kenapa anda masih belum menjawab hujjah shahih dari murid saya “Sang Kyai”. Mengapa saya mengatakan anda awam terhadap agama, karena anda sering menukil pernyataan: “Kita cukupkan saja apa yg telah dilakukan Rasulullah yg menyelisihi puasa Assyura kaum Yahudi dan Nasrani”. Ini menandakan anda sangat awam terhadap agama. Oleh karena itu, saya sarankan kepada anda untuk lebih mantap mempelajari argument-argumentasi Romo Kyai Luthfi Bashori Alwi didalam pelbagai artikelnya.

Salah satu contohnya adalah kreasi sayyidina umar mengenai sholat tarawih.

Nabi SAW tentang Khalifah Umar: “Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran melalui lidah Umar dan hatinya.” Ia mendapat gelar al-faruq, karena sikapnya dapat membedakan makna pengikut kebenaran dan kebatilan.

Banyak kaum wahabi yang saya duga dangkal ilmunya berkata: “Bukankah shalat Tarawih sudah ada pada masa Rasulullah SAW? Sehingga apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar sebenarnya bukan bid’ah akan tetapi sunnah?”

Hujjah dhaif tsb bisa dijawab: “Owh kalau begitu, berarti para sahabat telah meninggalkan shalat tarawih yang sunnah itu sejak masa Rasulullah SAW dan masa Abu Bakar? Bukankah mereka sebaik-baik generasi? Mengapa begitu lama meninggalkan sunnah Rasul? Nah, di sini letak kekeliruan logika Anda. Para ulama telah menjelaskan segi kebid’ahan shalat tarawih yang digagas oleh Khalifah Umar dari beberapa aspek. Pertama, Nabi SAW tidak menganjurkan para sahabat melakukannya. Beliau melaksanakan beberapa malam, lalu meninggalkannya. Kedua, Nabi SAW tidak memerintahkan sahabat berjamaah menjadi satu, sebagaimana gagasan Umar. Demikian pula pada masa Abu Bakar. Ketiga, Nabi SAW mengerjakannya tidak di awal malam, akan tetapi di akhir malam. Demikian ini sebagaimana dipaparkan oleh para ulama yang mengomentari hadits tersebut.

Selain itu, Amir menyatakan: “Apakah kita lebih baik dari Sahabat sehingga kita mampu membuat ibadah baru yang disebut TAHLILAN”.

Mungkin pernyataan Amir tsb sangatlah menghibur bagi kaum awamul muslimin. Namun bagi kami pernyataan tsb adalah semata bentuk keawaman perbendaharaan keilmuan Amir.

Menurut Amir tahlilan itu berasal dari tradisi non islam. Tentu saja pernyataan Amir tersebut tidak benar. Ia tidak mengajukan data yang dapat dipercaya bahwa tradisi Tahlilan bersumber dari tradisi non-Islam. Dari aspek mana, ia mengatakan bahwa tradisi Tahlilan bersumber dari tradisi non-Islam?

Jika yang ia maksudkan adalah tradisi pengiriman pahala kepada orang yang meninggal, maka hal ini sama sekali bersumber dari Islam, bukan dari non Islam. Para ulama yang mengatakan sampainya kiriman pahala kepada orang yang meninggal tidak pernah berdalil dengan ajaran non-Islam. Semuanya berdasarkan al-Qur’an dan hadits.

Jika yang ia maksudkan, adalah pelaksanaan ritual Tahlilan selama tujuh hari dengan memberi makan kepada orang yang ta’ziyah, maka acara tujuh hari ini telah berlangsung sejak generasi sahabat Nabi , sebagaimana Sang Kyai paparkan pada bagian di atas, dan berlangsung di Hijaz (Makkah dan Madinah) hingga abad ke-10 Hijriah.

Jika yang ia maksudkan adalah komposisi bacaan dalam Tahlilan yang mencampur antara ayat al-Qur’an, tasbih, tahmid, takbir, tahlil dan shalawat kepada Nabi , maka hal ini juga ada tuntunannya dari hadits-hadits shahih seperti telah kami paparkan sebelumnya.

Kalau konsep Amir mengenai agama adalah bahwa apa saja yang tidak
ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam harus ditinggalkan,
karena termasuk dalam kegiatan yang “tidak mencukupkan diri dengan apa-apa yang telah direalisasikan oleh Rasulullah”. Sekarang bagaimana Amir menanggapi doa-doa yang disusun oleh para imam yang belum pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam? Bagaimana dengan doa al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam sujud ketika shalat selama 40 tahun yang berbunyi:
“Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Saya mendoakan al-Imam al-Syafi’i dalam
shalat saya selama empat puluh tahun. Saya berdoa, “Ya Allah ampunilah aku,
kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi’i.” (Al-Hafizh al-Baihaqi,
Manaqib al-Imam al-Syafi’i, 2/254).

Doa seperti itu sudah pasti tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam, para sahabat dan tabi’in. Tetapi al-Imam Ahmad bin Hanbal
melakukannya selama empat puluh tahun. Demikian pula Syaikh Ibn Taimiyah, setiap habis shalat shubuh, melakukan dzikir bersama, lalu membaca surat al-Fatihah berulang-ulang hingga Matahari naik ke atas, sambil mengangkat kepalanya menghadap langit. Nah, sekarang saya bertanya, menurut Amir, apakah para sahabat, al-Imam Ahmad bin Hanbal dan Syaikh Ibn Taimiyah termasuk ahli bid’ah, berdasarkan konsep “tidak mencukupkan diri dengan apa-apa yang telah direalisasikan oleh Rasulullah”? Karena jelas sekali, mereka melakukan sesuatu yang belum pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Benar, baik Mas Amir, Mas Abu Raihan, Mas Agus, atau Mas Wahhabi lainya selalu menuduh Bid'ah Dhalalah terhadap Tahlilan Warga NU, tanpa dasar dalil yang jelas, tekstual dan shahih. Tapi hanya berdasarkan asumsi semata.

Alhamdulillah, di daerah kami, jika ada anggota keluarga yang wafat, maka para tetangga/handsai taulan kalangan bapak-bapak akan datang melayat dan ikut membantu tenaga fisik dalam mengurusi keperluan mayit hingga tuntas, sedangkan di kalangan ibu-ibu muslimatnya datang melayat dengan membawa bantuan berupa sembako, lantas ada sekelompok ibu-ibu yang 'sinoman kematian', yaitu mereka secara ikhlas meramu dan memasakkan sembako kiriman msyarakat tadi menjadi masakan matang siap konsumsi untuk disuguhkan kepada para pelayat, baik yang hanya sekedar datang berbela sungkawa menemui ahli waris, maupun yang datang untuk ikut mendoakan mayit sekaligus menghibur ahli waris, yang dikemas dalam acara Tahlilan.

Jadi, sama sekali tidak ada harta waris si mayit yang ikut dijadikan jamuan bagi para pelayat. Bahkan umumnya, jika hari-hari Tahlilan sudah selesai, maka ahli waris si mayit itu mendapat 'keuntungan' dari kelebihan sembako yang datang dari para tetangga dengan sembako yang sempat dimasak untuk para pelayat.
Kami pernah dikirimi 'beras sisa Tahlilan' oleh tetangga yang keluarganya baru wafat, untuk dijadikan konsumsi para santri. Saat kami tanya: Beras apa ini?
Maka dijawab: Beras sisa Tahlilan 7 hari hasil kiriman dari masyarakat kemarin, karena di rumah jumlah keluarga hanya sedikit, maka saya khawatir nanti berasnya jadi kadaluarsa, karena kiriman yang saya dapatkan terlalu banyak, makanya saya sedekahkan untuk konsumsi para santri saja sekalian mohon para santri juga berkenan ikut mendoakan almarhum ayah saya.

31.
Pengirim: amir  - Kota: cibinong
Tanggal: 8/7/2013
 
@ustadz, kyai., Al-quthfby dan yg sefaham (Semoga Allah memberikan Hidayah dll)

Banyak dalil yg hadist shahih yg menjelaskan kalo dalam urusan Agama ini, kita hanya mengikuti apa2 yg diperintah. Bukan sibuk berkreasi menciptakan peribadatan2 baru.



Al-Imam Malik bin Anas mengatakan: “Barangsiapa yang berbuat satu kebid’ahan di dalam Islam dan dia menganggapnya baik, berarti dia telah menuduh Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam telah mengkhianati risalah. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyatakan:

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian. Dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku kepada kalian. Dan Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al- Maidah: 3)

Maka apapun yang ketika itu (di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabatnya) bukanlah sebagai ajaran Islam, maka pada hari ini juga bukan sebagai ajaran Islam.”

Al-Imam Asy-Syaukani menyebutkan: “Sesungguhnya apabila Allah menyatakan Dia telah menyempurnakan agama-Nya sebelum mencabut ruh Nabi-Nya , maka apakah lagi gunanya segala pemikiran atau pendapat yang diada-adakan oleh pemiliknya sesudah Allah menyempurnakan agama-Nya ini! Kalau pendapat mereka itu merupakan bagian dari agama ini menurut keyakinan mereka, itu artinya mereka menganggap bahwa agama ini belum sempurna kecuali setelah dilengkapi dengan pemikiran mereka. Hal ini berarti penentangan terhadap Al Qur’an. Dan seandainya pemikiran tersebut bukan dari agama, maka apa gunanya mereka menyibukkan diri dengan sesuatu yang bukan dari ajaran agama (Islam)?!

 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Anda hai Sdr. Amir memang benar juga apa yang anda katakan, betapa banyak orang bodoh seperti Bin Baz Cs yang terus berkeliaran di muka bumi ini. Mereka benar-benar sering kali melanggar aturan dan contoh langsung dari Nabi SAW, dan mereka itu suka sekali berkreasi sendiri dalam beramal ibadah sekalipun tanpa ada tunutnan dan contoh langsung dari nabi SAW. Mestinya, orang semacam Bin Baz, Utsaimin, Bin Shalih, bin Mani', Shalih Fauzan dan Cs-nya itu harus belajar dulu tata cara beribadah yang benar kepada Mas Amir yang sangat pandai tentang ilmu agama ini.

Bayangkan, Lah Nabi SAW sudah jelas-jelas perintah: Khudzuu 'anni manaasikakum (Ambillah/contohlah dariku manasik (tata cara haji)-mu (HR. Muslim), yang mana saat Nabi SAW berangkat haji dari Madinah menuju Makkah, Beliau SAW mencontohkan 'Berangkat Hajinya' menempuh jalan darat dengan cara 'Naik Onta',tapi orang-orang awwam sekelas Bin Baz dan Cs-nya itu, justru 'Berangkat Hajinya' malah ada yang naik pesawat lewat jalan udara, atau tetap lewat jalan darat namun memilih Naik Mobil. Ini jelas-jelas perbuatan Bid'ah Dhalalah yang telah menyelisihi contoh langsung dari Nabi SAW.

Bahkan ada juga satu kelompok minoritas yang bernama kaum Wahhabi, mereka rupanya masih awwam terhadap ajaran Islam, mestinya mereka juga harus belajar agama langsung dari Mas Amir, karena dari kebodohan kaum Wahhabi ini menyakini bahwa Tauhid itu dibagi menjadi tiga, yaitu Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah, dan Tauhid Asma wa shifat. Padahal pembagian semacam ini juga tidak berdasarkan satu pun contoh langsung dari Nabi SAW, jadi pembagian ini adalah murni karya kaum Wahhabi sendiri. Ini kaan 'sangat' Bid'ah Dhalalah yaaa Mas Amir yaaa ?

Ayoo Mas Amir, ingatkan mereka agar tidak terlalu dalam-dalam jika terjerumus dalam kesesatan beraqidah. Ajaklah mereka kembali di agama Islam yang benar dan baik, dari pada mereka hobi berkreasi dalam urusan aqidah.

Bahkan dari kebodohan kaum Wahhabi, mereka selalu mensyaratkan bahwa amalan yang sah menurut syariat itu harus didasari tekstual Hadits shahih (atau berdasar tekstual Alquran). Jika tidak berdasar tekstual Hadits Shahih, maka amalan ibadah itu adalah batil, bid'ah, sesat dan wajib diperangi.

Padahal ATURAN SELALU MENGGUNAKAN HADITS SHAHIH ini, justru bikinan mereka sendiri, bukan berdasarkan Hadits Nabi SAW secara langsung. Karena Nabi SAW tidak pernah membagi-bagi Hadits itu menjadi: Shahih, Hasan, Dhaif dan Maudhu'.

Konyolnya, orang-orang awwam yang disebut kaum Wahhabi di Saudi Arabiah, jika datang bulan Ramadhan, mereka berbondong-bondong sibuk mengadakan kreasi Shalat Tahajjud berjamaah SEBULAN SUNTUK yang tidak pernah dicontohkan satu kalipun dalam hidup Nabi SAW.

Apalagi dalam kreasi berjamaah Sahalat Tahajjud ini, mereka sengaja memilih waktu dikhususkan pada bulan Ramadhan (dari awwal hingga akhir bulan Ramadhan), seperti yang dilakukan di Masjidil Haram Makkah dan Masjid Nabawi Madinah dan diimami oleh tokoh-tokoh Wahhabi saat ini. Loh, beribadah shalat sunnah kok pilih waktu sendiri, kok tidak nunggu contoh dari Nabi SAW. Wah...kayaknya mereka sudah berani 'menjadi nabi tandingan' kalii ? Ngarang waktu ibadah shalat sunnah segala !

Tradisi tata cara amalan berjamaah Tahajjud sebulan suntuk yang dikhususkan pada bulan Ramadhan ini jelas-jelas tidak pernah dicontohkan oleh Nabi SAW. Jadi para pelakunya itu hai Mas Amir, haruslah perangi. Jangan didiamkan, apalagi saat ini mereka menguasai kota suci Makkah dan Madinah.

Memang parah sekali bid'ah dhalalah yang dilakukan oleh para tokoh Suadi Arabiah yang hobi berkreasi ibadah ini, karena sang Bilal Shalat Tahajjud yang juga orang Wahhabi ini tanpa malu-malu lewat pengeras suara, sebelum Jamaah Shalat Tahajjud yang Bid'ah sesat itu dia mengucapkan: Shalaatul qiyaami atsaabakumullah.....! Bacaan ini jelas-jelas kreasi bid`ah sesat yang harus distop, karena tidak pernah dicontohkan oleh Nabi SAW maupun oleh para Shahabat.

Ayoo Mas Amir, berantaslah kaum Wahhabi ahli kreasi ibadah ini sampai ke akar-akarnya..! Kami siap membantu kapanpun diperlukan...!

32.
Pengirim: abu dhaify  - Kota: jambi
Tanggal: 8/7/2013
 
saya senang lillahitaala pak kyai slalu mematahkan dalil wahabi Sarafussalah biar koak-koaknya kebongkar amin  
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Mohon doanya, agar dapat istiqamah.

33.
Pengirim: amir  - Kota: cibinong
Tanggal: 8/7/2013
 
@ Ustadz, Alquthfby, dll yg sepaham.

Sesungguhnya dari diskusi ini saya berharap mendapat ilmu yg bermanfaat. Tapi ternyata makin menguatkan keyakinan saya bahwa memang sebaiknya saya tidak berkumpul2 dengan para pelaku bid'ah.
Bahwa sesunggunya Syaithon lebih menyukai para pelaku bid'ah dibandingkan para pelaku maksiat. hal ini disebabkan keyakinan para pelaku bid'ah yang menganggap amalannya semakin mendekatkan dirinya kepada Allah SWT, padahal yg terjadi adalah sebaliknya.

Semoga apa yg saya tuliskan dapat dijadikan bahan pemikiran untuk berubah dan memperbaharui pemahaman anda sekalian.

Semoga Ramadhan ini dapat menjadikan pemahaman kita menjadi lebih baik seperti pemahaman salaful ummah.

 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Kami harap Akhi Alquthfby segera merespon balik sdr. Amir.

Masalahnya, Mas Amir belum merespon info dari kami, bahwa banyak sekali amalan ibadah karya kaum Wahhabi yang tidak berdasarkan tekstual ayat Alquran dan Hadits shahih, jadi perlu diberantas sampai akar-akarnya.

Sayang sekali kalau Mas Amir sudah memutuskan akan menjauh dari kaum Wahhabi yang tergolong para pelaku Bid'ah sesat itu, karena kaum Wahhabi itu sangat menggebu-gebu BERKREASI dalam bidang ibadah, ('menurut istilah Mas Amir'), tentu mereka akan semakin terjerembab dalam kubangan kemaksiatan, dan diancam oleh Allah akan dimasukkan neraka.

Jangan sewot yaa Mas Amir dengan kenyataan ini....!

(Atau MAS AMIR sebenarnya MAU NGE-LES & MENGHINDAR dari DISKUSI ini, dengan pura-pura tidak ingin BERGABUNG lagi, karena sudah tidak dapat lagi menjawab respon balik dari Pejuang Islam?)

34.
Pengirim: Kyai  - Kota: probolinggo
Tanggal: 8/7/2013
 
WAHABI AMIR: @ustadz, kyai., Al-quthfby dan yg sefaham (Semoga Allah memberikan Hidayah dll)

Banyak dalil yg hadist shahih yg menjelaskan kalo dalam urusan Agama ini, kita hanya mengikuti apa2 yg diperintah. Bukan sibuk berkreasi menciptakan peribadatan2 baru.

Al-Imam Malik bin Anas mengatakan: “Barangsiapa yang berbuat satu kebid’ahan di dalam Islam dan dia menganggapnya baik, berarti dia telah menuduh Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam telah mengkhianati risalah. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyatakan:

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian. Dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku kepada kalian. Dan Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al- Maidah: 3)

Maka apapun yang ketika itu (di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabatnya) bukanlah sebagai ajaran Islam, maka pada hari ini juga bukan sebagai ajaran Islam.”

Al-Imam Asy-Syaukani menyebutkan: “Sesungguhnya apabila Allah menyatakan Dia telah menyempurnakan agama-Nya sebelum mencabut ruh Nabi-Nya , maka apakah lagi gunanya segala pemikiran atau pendapat yang diada-adakan oleh pemiliknya sesudah Allah menyempurnakan agama-Nya ini! Kalau pendapat mereka itu merupakan bagian dari agama ini menurut keyakinan mereka, itu artinya mereka menganggap bahwa agama ini belum sempurna kecuali setelah dilengkapi dengan pemikiran mereka. Hal ini berarti penentangan terhadap Al Qur’an. Dan seandainya pemikiran tersebut bukan dari agama, maka apa gunanya mereka menyibukkan diri dengan sesuatu yang bukan dari ajaran agama (Islam)?!

SUNNI: Kami akan menanggapi argumentasi Amir dengan tiga point jawaban. Pertama, ternyata, si Amir tdk bs menjawab argumentasi ilmiyyah dari kami dengan baik. Amir lari dari masalah, tidak satu argumentasi pun yang kami sampaikan di sanggah dengan baik oleh Amir. Ini pertanda Amir hendak lati dari fokus bahasan. Kami sudah mengatakan bahwa ISLAM TIDAK MENILAI SETIAP BUDAYA DAN TRADISI YANG DILAKUKAN OLEH SUATU BANGSA NON-ISLAM PASTI SALAH DAN HARUS DIBERANTAS. Dan amir tidak bisa menyanggah argumentasi kami dengan baik.

Kedua, Ayat 3 dalam surat al-Maidah yang Anda sebutkan tidak
berkaitan dengan bid’ah hasanah. Karena yang dimaksud dengan
penyempurnaan agama dalam ayat tersebut, seperti dikatakan oleh para ulama
tafsir, adalah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah menyempurnakan kaedah-kaedah agama. Seandainya yang dimaksud dengan ayat tersebut, tidak boleh
melakukan bid’ah hasanah, tentu saja para sahabat sepeninggal Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam tidak akan melakukan bid’ah hasanah. Sayidina Abu
Bakar menghimpun al-Qur’an, Sayyidina Umar menginstruksikan shalat tarawih
secara berjamaah, dan Sayyidina Utsman menambah adzan Jum’at menjadi dua
kali, serta beragam bid’ah hasanah lainnya yang diterangkan dalam kitab-kitab
hadits. Dalam hal ini tak seorang pun dari kalangan sahabat yang menolak hal-hal baru tersebut dengan alasan ayat 3 surat al-Maidah tadi. Jadi, ayat yang
Anda sebutkan tidak ada kaitannya dengan bid’ah hasanah. Justru bid’ah
hasanah masuk dalam kesempurnaan agama, karena dalil-dalilnya terdapat
dalam sekian banyak hadits Rasul shallallahu alaihi wa sallam dan perilaku para
sahabat.

Ketiga, anda tidak dapat menyanggah atau menjawab pertanyaan dari Romo Kyai Luthfi Bashori Alwy, Tuan Guru Achmad alQuthfby dan Sdr. Aris Syarofi.

Penutup:
WAHAI WAHABI AMIR, SEBAIKNYA ANDA BELAJAR ILMU AGAMA LAGI. SEBELUMNYA BOLEH JADI ANDA BERKOAR-KOAR DENGAN MENAMPILKAN KEDANGKALAN KEILMUAN ANDA KEPADA KH. LUTHFI BASHORI ALWY. BAHKAN DENGAN KALAP ANDA MENGATAKAN “BARANGKALI ANDA SDH KEHABISAN ARGUMENTASI? INGAT USTADZ, ANDA JANGAN MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN”. SAAT INI TOLONG ANDA TUNJUKKAN KEMAMPUAN ANDA DALAM MENYANGGAH DALIK-DALIL ILMIYYAH KAMI!!! DENGAN KEMAMPUAN DISKUSI YG FOKUS TIDAK MENGARAH KEPADA POKOK BAHASAN LAIN!!!.

 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Sayang kalau Mas Amir benar-benar jadi NGE-LES dalam diskusi yang dapat mengungkap siapa sebenarnya yang syar'i dan siapa yang pura-pura syar'i ini.


35.
Pengirim: Aris SYarofi  - Kota: probolinggo
Tanggal: 8/7/2013
 
Orang wahabi semakin hari semakin memalukan dan semakin tersesat. Mereka terus pamer kebodohan. Dasar wahabi aliran sesat. Dalam banyaknya fitnah seperti sekarang ini, para ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah justru wajib memamerkan ilmunya untuk membuktikan kesesatan kaum Wahabi, agar umat Islam selamat dari kesesatan wahabi, dan agar kaum wahabi yang mau menyadari faham dan insyaf bahwa ajaran mereka tolol sesat dan menyesatkan.

Suruh, ustadz-ustadz wahabi seperti firanda, musmulyadi, hakim abdat, abul jauzaa' dan lain-lain berkomentar disini. Ustadz2 wahhabi sudah sering dibuat tdk berkutik oleh Guru Kami Ust. Muhammad Idrus Ramli. Akhirnya sekarang para pelajar wahabi kayak anda biasanya melihat-lihat dulu. Kalau sudah ada ustyadz-ustad wahabi menyalahkan catatan guru kami Ust. Muhammad Idrus Ramli, skrg baru murid-muridnya ikut-iktan. Bukti bahwa para pelajar wahabi memang didoktrin fanatik kepada para ustadznya. Mungkin karena uang minyak dari Saudi Arabia mengalir kepada para pelajar wahabi, melalui para ustadznya yang tukang kibul dan berakal tumpul.

 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Alhamdulillah jika banyak dari murid-murid Ust. Idrus Romli yang mau bergabung dengan Situs Pejuang Islam yang kami kelola ini, semoga semakin semarak bermunculan para pemikir-pemikir Aswaja yang handal seperti pemikiran beliau. Salam kami untuk Ust. Idrus Romli.

36.
Pengirim: fendik  - Kota: probolinggo
Tanggal: 9/7/2013
 
Catatan luar biasa. Merontokkan argumen ulama Wahabi, rujukan para tukang kibul dan pembual ustadz-ustadz wahabi. Harusnya, para tukang kibul Indonesia seperti Pak Hakim Abdat, Pak Firanda, Pak Musmulyadi, Pak Ali Musri, Pak Agus Hasan Basori dan ustadz2 kibul lainnya, membela Amir, yang telah dirontokkan hujjahnya oleh tulisan di atas. Atau mereka bertaubat, tinggalkan ajaran si pembual dan pembohong Muhammad bin Abdul Wahhab an-Nadi, ikuti Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Itu baru lebih baik bro.

 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Semoga didengar oleh mereka.

37.
Pengirim: Achmad alQuthfby  - Kota: probolinggo
Tanggal: 9/7/2013
 
- WAHABI AMIR MENUDUH PARA SAHABAT DAN IMAM AHMAD BIN HANBAL SEBAGAI PELAKU BID’AH YANG SESAT -


WAHABI AMIR:
Al-Imam Malik bin Anas mengatakan: “Barangsiapa yang berbuat satu kebid’ahan di dalam Islam dan dia menganggapnya baik, berarti dia telah menuduh Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam telah mengkhianati risalah. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyatakan:

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian. Dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku kepada kalian. Dan Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al- Maidah: 3)

Maka apapun yang ketika itu (di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabatnya) bukanlah sebagai ajaran Islam, maka pada hari ini juga bukan sebagai ajaran Islam.”


TANGGAPAN SUNNI:
Pertama, argumentasi Amir ini saya kira adalah wujud kebingungan ilmiyyah. Setelah dalil-dalil shahih oleh sang Kyai sodorkan dengan begitu mempesona, eh.. Amir malah tidak fokus dan tidak dapat menyanggah argumentasi sang Kyai dengan baik. Amir malah membicarakan persoalan lain. Ini artinya, sekali lagi Amir mengakui kehebatan argumentasi sang Kyai.

Kedua, pernyataan Imam Malik dan Qur’an Surah al Maidah : 3 tersebut justru menguatkan eksistensi bid’ah hasanah. Kenapa harus diartikan demikian? Sebab, para khulafaurrasyidin tentu lebih ‘alim dari Imam Malik dan lebih memahami Qur’an Surah al Maidah : 3. Apa yang sayyidina Abu Bakar lakukan, apa yg Sayyidina Umar lakukan, apa yang Sayyidina Ustman lakukan, itu lah sebuah kreasi yang tidak keluar dari koridor syariat. Jika anda tetap keukeuh dengan slogan “tidak mencukupkan dengan apa-apa yang sdh diturunkan Oleh Rasulullah” maka secara otomatis anda melakukan tuduhan keji kepada para khulafaurrasyidiin sebagai pelaku bid’ah karena kreasi yg mereka lakukan adalah kreasi dalam hal ibadah bukan masalah dunia. Disamping itu, apa dasar anda membagi bid’ah menjadi dua bagian, yakni bid’ah duniawiyah dan bid’ah diniyyah? Dalilnya mana? Apakah Rasul pernah berkata seperti itu? Ini dijawab dulu.

Ketiga, nasehat anda “Sebagai informasi untuk antum, Ibadah itu dikerjakan apabila ada perintahnya, bukan mencari dalil yang melarangnya walaupun menusia menganggap itu sesuatu yg baik”. Sekali lagi ini artinya anda menganggap bahwa para khulafaurrasyidin sebagai pelaku bid’ah. Karena kreasi mereka tidak pernah mendapat perintah dari Rasul bahkan tidak terjadi di zaman Rasul sendiri. Bukankah prinsip anda “Jika memang itu sebuah kewajiban / sunnah, maka niscaya Rasul akan merealisasikannya”???. Itu artinya anda menyalahkan kreasi para sahabat, serta kreasi para Imamul Madzhab semisal Imam Ahmad Ibn Handal.

Keempat, sekali lagi anda telah mengakui keshahihan argumentasi sang Kyai, karena anda tidak dapat menjawab argumentasi sang Kyai.

 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Mudah-mudahan saja Mas Amir membaca respon untuknya ini. (Tidak lari terbirit-birit).

38.
Pengirim: Achmad alQuthfby  - Kota: probolinggo
Tanggal: 9/7/2013
 
- WAHABI ITU ADALAH KHAWARIJ -

Kita mengganggap Wahhabi
sebagai Khawarij, karena semua ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang otoritatif
(mu’tabar) di kalangan pesantren mengatakan demikian. Dari kalangan ulama
madzhab al-Maliki, al-Imam Ahmad bin Muhammad al-Shawi al-Maliki, ulama
terkemuka abad 12 Hijriah dan semasa dengan pendiri Wahhabi, berkata dalam
Hasyiyah ‘ala Tafsir al-Jalalain sebagai berikut:
“Ayat ini turun mengenai orang-orang Khawarij, yaitu mereka yang mendistorsi
penafsiran al-Qur’an dan Sunnah, dan oleh sebab itu mereka menghalalkan
darah dan harta benda kaum Muslimin sebagaimana yang terjadi dewasa ini
pada golongan mereka, yaitu kelompok di negeri Hijaz yang disebut dengan
aliran Wahhabiyah, mereka menyangka bahwa mereka akan memperoleh sesuatu (manfaat), padahal merekalah orang-orang pendusta.” (Hasyiyah al-
Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain, juz 3, hal. 307).

Dari kalangan ulama madzhab Hanafi, al-Imam Muhammad Amin Afandi yang
populer dengan sebutan Ibn Abidin, juga berkata dalam kitabnya, Hasyiyah Radd
al-Muhtar sebagai berikut:
“Keterangan tentang pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab, kaum Khawarij
pada masa kita. Sebagaimana terjadi pada masa kita, pada pengikut Ibn Abdil
Wahhab yang keluar dari Najd dan berupaya keras menguasai dua tanah suci.
Mereka mengikuti madzhab Hanabilah. Akan tetapi mereka meyakini bahwa
mereka saja kaum Muslimin, sedangkan orang yang berbeda dengan keyakinan
mereka adalah orang-orang musyrik. Dan oleh sebab itu mereka menghalalkan
membunuh Ahlussunnah dan para ulamanya sampai akhirnya Allah memecah
kekuatan mereka, merusak negeri mereka dan dikuasai oleh tentara kaum
Muslimin pada tahun 1233 H.” (Ibn Abidin, Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr
al-Mukhtar, juz 4, hal. 262).

Dari kalangan ulama madzhab Hanbali, al-Imam Muhammad bin Abdullah bin
Humaid al-Najdi berkata dalam kitabnya al-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-
Hanabilah ketika menulis biografi Syaikh Abdul Wahhab, ayah pendiri Wahhabi,
sebagai berikut:
“Abdul Wahhab bin Sulaiman al-Tamimi al-Najdi, adalah ayah pembawa dakwah
Wahhabiyah, yang percikan apinya telah tersebar di berbagai penjuru. Akan
tetapi antara keduanya terdapat perbedaan. Padahal Muhammad (pendiri
Wahhabi) tidak terang-terangan berdakwah kecuali setelah meninggalnya sang
ayah. Sebagian ulama yang aku jumpai menginformasikan kepadaku, dari orang
yang semasa dengan Syaikh Abdul Wahhab ini, bahwa beliau sangat murka
kepada anaknya, karena ia tidak suka belajar ilmu fiqih seperti para pendahulu dan orang-orang di daerahnya. Sang ayah selalu berfirasat tidak baik tentang
anaknya pada masa yang akan datang. Beliau selalu berkata kepada
masyarakat, “Hati-hati, kalian akan menemukan keburukan dari Muhammad.”
Sampai akhirnya takdir Allah benar-benar terjadi. Demikian pula putra beliau,
Syaikh Sulaiman (kakak Muhammad bin Abdul Wahhab), juga menentang
terhadap dakwahnya dan membantahnya dengan bantahan yang baik
berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa
sallam. Syaikh Sulaiman menamakan bantahannya dengan judul Fashl al-
Khithab fi al-Radd ‘ala Muhammad bin Abdul Wahhab. Allah telah
menyelamatkan Syaikh Sulaiman dari keburukan dan tipu daya adiknya
meskipun ia sering melakukan serangan besar yang mengerikan terhadap
orang-orang yang jauh darinya. Karena setiap ada orang yang menentangnya,
dan membantahnya, lalu ia tidak mampu membunuhnya secara terang-terangan,
maka ia akan mengirim orang yang akan menculik dari tempat tidurnya atau di
pasar pada malam hari karena pendapatnya yang mengkafirkan dan
menghalalkan membunuh orang yang menyelisihinya.” (Ibn Humaid al-Najdi, al-
Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabilah, hal. 275).

Dari kalangan ulama madzhab Syafi’i, al-Imam al-Sayyid Ahmad bin Zaini
Dahlan al-Makki, guru pengarang I’anah al-Thalibin, kitab yang sangat otoritatif
(mu’tabar) di kalangan ulama di Indonesia, berkata:
“Sayyid Abdurrahman al-Ahdal, mufti Zabid berkata: “Tidak perlu menulis
bantahan terhadap Ibn Abdil Wahhab. Karena sabda Nabi shallallahu alaihi wa
sallam cukup sebagai bantahan terhadapnya, yaitu “Tanda-tanda mereka
(Khawarij) adalah mencukur rambut (maksudnya orang yang masuk dalam
ajaran Wahhabi, harus mencukur rambutnya)”. Karena hal itu belum pernah
dilakukan oleh seorang pun dari kalangan ahli bid’ah.” (Sayyid Ahmad bin Zaini
Dahlan, Fitnah al-Wahhabiyah, hal. 54).

Demikian pernyataan ulama terkemuka dari empat madzhab, Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hanbali, yang menegaskan bahwa golongan Wahhabi termasuk
Khawarij bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Tentu saja masih terdapat ratusan
ulama lain dari madzhab Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang menyatakan bahwa
Wahhabi itu Khawarij dan tidak mungkin saya kutip semuanya dalam diskusi di website www.pejuangislam.com ini.

 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Wahhabi adalah aqidah imporan dari Najed Saudi yang dicetuskan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab Annajdi.

39.
Pengirim: Achmad alQuthfby  - Kota: probolinggo
Tanggal: 9/7/2013
 
Kaidah yang sering dipegang dan sering dipakai oleh golongan pengingkar dan pelontar tuduhan-tuduhan bid’ah mengenai suatu amalan (Amir CS), adalah kata-kata sebagai berikut:
“Rasulallah saw. tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para sahabatnya tidak ada satupun diantara mereka yang mengerja- kannya. Demikian pula para tabi’in dan tabi’ut-tabi’in. Dan kalau sekiranya amalan itu baik, mengapa hal itu tidak dilakukan oleh Rasulallah, sahabat dan para tabi’in?”

Atau ucapan mereka : “Kita kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti Nabi yakni mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, kenapa justru kita yang melakukannya..? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi saw., para sahabat, ulama-ulama salaf..? Karena melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi adalah bid’ah”.

Kaidah-kaidah seperti diatas lah yang sering dijadikan pegangan dan dipakai sebagai perlindungan oleh golongan pengingkar ini juga sering mereka jadikan sebagai dalil/hujjah untuk melegitimasi tuduhan bid’ah mereka terhadap semua perbuatan amalan yang baru termasuk tahlilan, peringatan Maulid Nabi saw dan sebagainya. Terhadap semua ini mereka langsung menghukumnya dengan ‘sesat, haram, mungkar, syirik dan sebagainya’, tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok/asal agama.

Ucapan mereka seperti diatas ini adalah ucapan yang awalnya haq/benar namun akhirnya batil atau awalnya shohih namun akhirnya fasid. Yang benar adalah keadaan Nabi saw. atau para sahabat yang tidak pernah mengamal- kannya (umpamanya; berkumpul untuk tahlilan, peringatan keagamaan dan lain sebagainya). Sedangkan yang batil/salah atau fasid adalah penghukum- an mereka terhadap semua perbuatan amalan yang baru itu dengan hukum haram, sesat, syirik, mungkar dan sebagainya.

Yang demikian itu karena Nabi saw. atau salafus sholih yang tidak mengerja- kan satu perbuatan BUKANLAH TERMASUK DALIL, bahkan penghukuman dengan berdasarkan kaidah diatas tersebut adalah penghukuman tanpa dalil/nash. Dalil untuk mengharamkan sesuatu perbuatan haruslah menggunakan nash yang jelas, baik itu dari Al-Qur’an maupun hadits yang melarang dan mengingkari perbuatan tersebut. Jadi tidak bisa suatu perbuatan diharam- kan hanya karena Nabi saw. atau salafus sholih tidak pernah melakukannya.

Telitilah lagi hadits-hadits diatas yakni amalan-amalan bid’ah para sahabat yang belum pernah dikerjakan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. dan bagaimana Rasulallah saw. menanggapinya. Penanggapan Rasul- Allah saw. inilah yang harus kita contoh !
Sebaiknya anda rujuk ayat al-Qur’an:
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا
‘Apa saja yang didatangkan oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan apa saja yang kamu dilarang daripadanya, maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr : 7).

Dalam ayat ini jelas bahwa perintah untuk tidak mengerjakan sesuatu itu adalah apabila telah tegas dan jelas larangannya dari Rasulallah saw. !

Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan :
وَماَلَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا
‘Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakannya (oleh Rasulallah), maka berhentilah (mengerjakannya)’.

Juga dalam hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Bukhori:
فَاجْتَنِبُوْهُ اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ
‘Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah dia !‘

Dalam hadits ini Rasulallah saw. tidak mengatakan:
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
‘Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia!’

Semoga bisa Amir CS fahami dengan baik
 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Mas Amir sudah tidak mau lagi berdiskusi secara ilmiah, apalagi diminta adu argumen dari pendapat para ulama Salaf.

40.
Pengirim: Aris Syarofi  - Kota: probolinggo
Tanggal: 9/7/2013
 
diskusinya tidak imbang. sungguh Alloh telah memperlihatkan hujjah shahih ahlussunnah diatas kaum wahhabiyyun (Amir Dkk). makanya untuk Amir yang awalnya koar-koar dan sekarag diam seribu bahasa, tolong kalo hanya punya ilmu yang tidak mencukupi, maka diamlah. teliti dulu. kan malu kalo begini. 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Mas Amir itu masih ikut baca kok...!

41.
Pengirim: amir  - Kota: cibinong
Tanggal: 9/7/2013
 
selama mengikuti diskusi ini, jelas nampak bahwa firqoh yang kalian bawa jauh dari adab komunikasi yang baik. bertentangan dengan semangat yang selalu digembor-gemborkan.

Belum lagi melihat content komentar yg disampaikan ustadz (apalagi yg lainnya) karena banyak respons yang tidak sesuai dengan memaksakan hadist tertentu yg GAK NYAMBUNG. jauh dari yang saya harapkan untuk bisa mengambil ibrah darinya.

Sehingga menguatkan saya bahwa firqoh anda perlu diluruskan kembali.

Mohon maaf kalo ada yang tersinggung. Insya Allah rabu kita Romadhon bersama ulil Amri. 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Ya pasti saja Gak Nyambung, karena anda tidak mampu menjawab permintaan kami agar anda menghadirkan dalil-dalil syar'i berdasarkan Alquran dan Hadits Shahih untuk amaliah tokoh-tokoh Wahhabi yang telah berkreasi menciptakan ibadah menurut tata cara mereka itu.

Kalau anda mampu menjawab, maka diskusi ini akan menjadi imbang, tapi kalau anda tidak mampu menjawab, ya pasti saja diskuinya gak imbang, seperti yang anda rasakan.

42.
Pengirim: mecca  - Kota: jakarta
Tanggal: 9/7/2013
 
Ikuti saja tuntunan Nabi Muhammad SAW.
selesai toh.
ada yang salah ?? 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Benar, kaum Wahhabi memang bandel, Lah disuruh ikut perintah Rasulullah SAW :Iqara-uu yaasiin 'alaa-mautaakum/Bacakanlah surat Yasin (Yasinan) untuk mayit kalian ...! Kok susah amat dan gak mau ikut tuntunan Raulullah SAW untuk Yasinan.

43.
Pengirim: Kyai  - Kota: probolinggo
Tanggal: 9/7/2013
 
WAHABI AMIR:
Selama mengikuti diskusi ini, jelas nampak bahwa firqoh yang kalian bawa jauh dari adab komunikasi yang baik. bertentangan dengan semangat yang selalu digembor-gemborkan.

Belum lagi melihat content komentar yg disampaikan ustadz (apalagi yg lainnya) karena banyak respons yang tidak sesuai dengan memaksakan hadist tertentu yg GAK NYAMBUNG. jauh dari yang saya harapkan untuk bisa mengambil ibrah darinya.

Sehingga menguatkan saya bahwa firqoh anda perlu diluruskan kembali.

Mohon maaf kalo ada yang tersinggung. Insya Allah rabu kita Romadhon bersama ulil Amri


SUNNI:
Waduh.. malah justru anda yg menafsirkan hadist bertentangan dengan penafsiran para ulama. Bertobatlah, karena anda sudah menuduh para khulafaurrasyiddin menjadi pelaku bid’ah, tidak mencukupkan diri dengan apa yg Rasul sampaikan, serta tidak faham mengenai hadist bid’ah dan ayat quran mengenai kesempurnaan agama.

Kebiasaan kaum wahhabi jika kalah dalam diskusi ilmiyyah biasanya ngelles dan menghindar dari pokok bahasan diskusi dan menuduh kita yang bukan2. Padahal jujur, kami hanya memancing dan membiarkan Amir mengeluarkan seluruh amunisi dalil-dalilnya, sehingga tidak capek-capek untuk step by step kami patahkan argumentasinya. Jadi, setelah argumentasi Amir terakumulasi, maka kami akan patahkan langsung dan berusaha meluruskan dan mengajak Amir rujuk ilal haq. Namun Amir sudah kerasukan rasa fanatisme terhadap madzhab wahhabiyyun, sehingga sejauh apapun kami mendakwahi Amir maka Amir susah sekali untuk rujuk ilal haq. Sama seperti seniornya al Albani. Al Albani merasa sangat pintar dan merasa benar sendiri, namun jauh dari ilmu yang ilmiyyah. Oleh karena itu, al Albani berani mengkafirkan Imam Bukhari. Padahal dunia telah mengetahui bahwa perbendaharaan keilmuan al Albani itu tidak sebanding dengan keilmuan al Bukhari.

Pembaca website pejuangislam.com bisa membaca komentar2 ilmiyyah saya secara runtut. Semua saya uraikan dengan mengedepankan metode ilmiyyah. Dan TERBUKTI SEMUA DALIL SAYA, BAIK DARI QUR’AN, HADIST, HINGGA PENDAPAT PARA ULAMA, TIDAK BISA AMIR BANTAH. ITU ARTINYA, AMIR MENGAKUI KESHAHIHAN DALIL YANG KAMI KEMUKAKAN.

 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Mudah-mudahan Mas Amir segera kembali ke jalan yang benar, mumpung-mumpung bulan suci Ramadhan dan ikut berjamaah shalat Tarawih sebulan suntuk, sekalipun tidak pernah dicontohkan langsung oleh Nabi SAW.

44.
Pengirim: Aris Syarofi  - Kota: probolinggo
Tanggal: 9/7/2013
 
Kasihan Amir, dia sudah kewalahan dengan argumentasi sang Kyai. Dia hanya bisa cuap-cuap ke permukaan seperti ikan kekurangan air.

Saya sebagai pembaca bisa menilai bahwa argumentasi yang sang Kyai kemukakan itu penuh dengan argumentasi ilmiyyah yg mengedepankan dalil-dalil shahih. Dan dari dalil-dalil tsb, tidak satupun yang berhasil Amir patahkan dengan baik. Diskusi ini tidak berimbang, dan saya bisa maklum dengan keilmuan Sdr. Amir.

Salut buat sang Kyai !
 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Alhamdulillah banyak Kyia NU yang sudah bangkit menghadapi dan menghalau kaum Wahhabi.

45.
Pengirim: Achmad alQuthfby  - Kota: probolinggo
Tanggal: 9/7/2013
 
“Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Saya mendoakan al-Imam al-Syafi’i dalam
shalat saya selama empat puluh tahun. Saya berdoa, “Ya Allah ampunilah aku,
kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi’i.” (Al-Hafizh al-Baihaqi,
Manaqib al-Imam al-Syafi’i, 2/254).


Demikian pula Syaikh Ibn Taimiyah, setiap habis shalat shubuh, melakukan
dzikir bersama, lalu membaca surat al-Fatihah berulang-ulang hingga Matahari
naik ke atas, sambil mengangkat kepalanya menghadap langit (al A’lam al ‘Aliyyah fi Manaqib Ibn Taimiyyah, hal 37-39).

Nah, sekarang saya bertanya, menurut Anda, apakah para sahabat, al-Imam Ahmad bin Hanbal dan Syaikh Ibn Taimiyah termasuk ahli bid’ah, berdasarkan konsep “Mencukupkan diri dengan apa yang Rasul dan para Sahabat ajarkan”???

Tapi sudahlah, Amir sudah keok. Bagus, tidak percuma saya mendidik sang Kyai untuk menghadapi wahabi-wahabi super ngibul level Nasional. Apalagi hanya melawan wahabi kayak Amir, yang levelnya masih belum definitif.

Saya tantang untuk dialog terbuka kepada Ust. Firanda, Ust. Musmulyadi, Ust. Hakim Abdat, Dkk. 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Mudah-mudahan dibaca oleh mereka.

46.
Pengirim: mas cuy  - Kota: surabaya
Tanggal: 9/7/2013
 
Bahasa lama kaum wahabi, ketika Ahlussunnah Wal-Jama'ah diam, mereka membid'ahkan, mensyirikkan dan mengkafirkan. Menurut mereka itu bahasa agama dan sesuai dengan tata kesopanan. Tetapi ketika wahabi kalah debat, mereka akan bilang, bahasa Anda tidak beretika dan tidak berakhlaq. Begitulah gaya wahabi

 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Para pengunjung pasti akan semakin tahu dan paham tentang karakter kaum Wahhabi.

 
 
Kembali Ke atas | Kembali Ke Index Karya Ilmiah
 
 
 
  Situs © 2009-2025 Oleh Pejuang Islam