BBM Naik? Lagi-lagi Rakyat Menjerit
“PEMERINTAH baru naik, BBM pun akan ikut naik” itulah ungkapan yang tepat untuk kondisi saat ini. Seperti yang disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla, ia mengungkapkan pengumuman rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi akan diumumkan secepatnya. Ia pun mengisyaratkan, pengumuman akan disampaikan oleh Presiden Joko Widodo setelah kembali dari lawatannya ke beberapa negara (bisnis.liputan6.com : 14/11/2014).
Penolakan demi penolakan terhadap kenaikan harga BBM terus bergulir di tanah air, baik dari kalangan mahasiswa ataupun kaum buruh. Seperti yang diberitakan dalam news.detik.com (12/11/2014) Ribuan buruh dari elemen Serikat Pekerja Nasional (SPN) menggelar aksi menuntut penetapan upah minimum kabupaten/kota sesuai usulan yang berlaku. Tak hanya itu, buruh juga menolak rencana pemerintahan Jokowi-JK menaikkan BBM.
“Subsidi BBM membebani APBN” atau “subsidi tidak tepat sasaran sehingga harus disalurkan secara benar” sudah menjadi alasan klasik di telinga masyarakat. Bahkan Komisaris Independen Permata Bank Tony Prasetiantono mengatakan, banyaknya terjadi penolakan akan kenaikan ini lantaran masyarakat belum terbiasa dengan harga BBM yang mahal. Selama ini masyarakat selalu dimanjakan dengan harga BBM yang disubsidi (bisnis.liputan6.com : 12/11/2014).
Tentu saja perkataan dari komisaris Independen Permata Bank ini sangatlah ngawur, berapa banyak orang-orang yang akan “menjerit” dari naiknya harga BBM ini. supir angkot, para pedagang, para nelayan, para buruh apakah mereka adalah orang-orang yang “manja” yang selalu meminta belas kasihan kepada pemerintah? Padahal mereka telah berjuang mati-matian untuk mencari sesuap nasi. Selain itu Menurut Arim “Alasan membebani APBN juga tidak benar karena yang membebani APBN adalah bunga utang dalam negeri maupun luar negeri. Alasan harga minyak juga faktanya saat ini harga minyak berada pada posisi sangat rendah yaitu US$ 83,72 Per Barel (Hizbut-tahrir.or.id : 07/11/2014).
Padahal menjadi hal yang wajar ketika masyarakat menolak harga BBM, faktanya kenaikan harga BBM tentu akan memberikan efek domino yang sangat besar. Kenaikan harga BBM itu artinya akan berimbas pada kenaikan sembako dan barang-barang lainnya, kemudian daya beli masyarakat akan turun secara drasdis, bahkan secara otomatis angka kemiskinan di Indonesia akan meningkat. Kenaikan harga BBM tidaklah terlepas dari liberalisasi migas dalam berbagai sektor, mulai dari sektor hulu hingga sektor hilir. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sumber daya alam termasuk migas di Indonesia sudah banyak dikuasai oleh asing. maka tak heran terkenal dengan ungkapan “Indonesia belum merdeka, tanah masih ngontrak, air masih beli”.
Lalu bagaimana tinjauan syar’i dalam memandang kenaikan BBM ini? di dalam pandangan Islam, BBM merupakan kepemilikan bersama, seperti yang disampaikan dalam hadits Rasulullah saw:
“Manusia berserikat dalam tiga hal: dalam padang rumput, air, dan api,” (H.R. Ahmad dn Abû Dâwud).
Api dalam hal ini adalah barang tambang termasuk migas. Itu artinya Islam mengharamkan sumber daya alam termasuk migas dikuasai oleh individu atau sekelompok orang.
Maka semestinya Migas dikelola sebaik-baiknya oleh negara demi kesejahteraan rakyatnya bukan nyata-nyata diserahkan kepada swasta apalagi pihak asing. Perkara hal ini sangatlah wajar terjadi karena dalam sistem ekonomi kapitalisme hanyalah akan melahirkan aturan-aturan yang menguntungkan para kapitalis. Semboyan “dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat” hanyalah lip service yang sebenarnya adalah “dari kapitalis oleh kapitalis dan untuk kapitalis”.
Maka cukuplah kita berharap pada sistem saat ini. Saatnya kita mengganti sistem yang rusak dan merusak ini dengan sistem yang berasal dari yang Maha Sempurna yaitu Islam. Islam diturunkan kepada manusia tidak hanya sekedar untuk mengatur masalah shalat ataupun puasa saja, tapi Islam merupakan sistem tatanan kehidupan untuk manusia. Sistem Islam ini hanya bisa diterapkan sempurna dalam sebuah naungan Khilafah bukan yang lain seperti apa yang telah Rasulullah dan para sahabat contohkan. Allahualam.
Oleh: Iis Nawati