TIDAK DIPERTANYAKAN APA YANG DIA KERJAKAN
Luthfi Bashori
Ayat Alquran menyebutkan, laa yus-alu `ammaa yaf`alu wa hum yus-aluun (Apa yang dikerjakan oleh Allah itu tidak ditanyakan (dimintai pertangungjawaban) sedangkan apa yang dikerjakan oleh para makhluk itu kelak akan ditanyakan (dimintai pertanggungjawaban).
Apapun yang dikerjakan oleh Allah terhadap seluruh makhluq yang menjadi kekuasaan-Nya itu tidak dimintai petaggungjawaban kapanpun dan oleh siapapun, karena segala sesuatu yang pernah ada itu adalah ciptaan Allah.
Maka segala macam kebijaksanaan Allah terhadap para makhluk-Nya, bebas-bebas saja dikerjakan oleh Allah, tidak ada yang mampu mengikat, tidak ada yang mampu memprotes, tidak ada yang mampu mencegah, semuanya itu akan berjalan sesuai dengan ketentuan Allah yang Maha Berkehendak.
Tidak ada penilaian positif maupun negatif terhadap ketentuan Allah, karena bukan tempatnya derajat makhluk itu menilai kebijakan Penciptanya.
Untuk taqriibul fahm (memudahkan pemahaman), jika ada seorang yang membuat sebuah kursi, maka ia bebas berbuat apa saja terhadsap kursi buatannya itu. Mau diduduki sepanjang hari, mau dijual, mau dihadiahkan kepapda orang lain, mau dibakar, mau dirusak, dan segala kemauan si pembuat tersebut boleh-boleh saja ia lakukan terhadap kursi buatannya, dan kursi itu tidak boleh protes mengapa dirinya harus diduduki sepanjang hari dan sebagainya? Karena memang kursi dengan segala itu tidak mampu untuk protes.
Tentunya, karena kedudukan pembuat kursi dengan kursi butannya itu pasti tidak sama. Si pembuat dapat berbuat apa saja terhadap kursi buatannya sedangkan kursi itu tidak akan mampu protes atau bertanya, mengapa dirinya diperbuat seperti itu. Terlebih bahasa komunikasi dan standar kebijaksanaan antara si pembuat kursi dengan kursi buatannya itu juga tidak sama.
Si pembuat kursi sebagai manusia akan meggunakan bahasa komunikasi manusia dengan segala kebijaksanaannya mengikuti standar manusia, bahkan terkadang si pembuat kursi itu mencela kursi buatannya dengan bahasa yang tidak dipahami oleh kursinya, semisal : Kok kursiku ini enggak enak yaa ?
Sedangkan, kursi buatannya hanya mampu menggunakan bahasa kursi yang tidak dimengerti oleh si pembuat (maklum nggak nyambung), kecuali hanya perkiraan pembuatnya semata. Contohnya saat kursinya `protes` dengan menjatuhkan mur baut yang dipasang kurang kuat, maka kaki kursinya menjadi reyot dan doyong. Nah, di situlah si pembuat yang bijak akan mengerti jika kursinya `minta` dibenahi. Tapi, tidak menjadi soal juga jika kursi yang reyot dan doyong itu tidak dibenahi, justru di buang oleh pembuatnya ke tempat sampah untuk dihancurkan oleh ekosistem alam. Itupun tidak dapat pula dikatakan, si pembuat kursi itu tidak adil, tidak bijaksana, karena dianggap tidak berpri-kekursian.
Ilustrasi di atas bukanlah bermaksud menyerupakan kekuasaan Allah terhadap para makhluknya, na`udzubillah min dzaalik, namun hanya sekedar taqriibul fahm (menggampang pemahaman) agar manusia itu mengerti jika kedudukan Allah sebagai Dzat Yang Maha Pencipta jelas-jelas tidak sama dengan kedudukan makhluk ciptaan-Nya. Sehingga manusia harus mengerti, bahwa segala kebijakan Allah terhadap makhluk-makhluk-Nya itu, apapun yang terjadi, tidak dapat dipikirkan oleh standar pemahaman manusia, apalagi dipertanyakan atau dimintai pertanggungjawaban.
Hal ini dikarenakan ketidaksaamaan kedudukan Allah Dzat Yang Maha Pencipta dengan kedudukan seluruh makhluk ciptaan-Nya, maka bahasa komunikasi dan standsar kebijaksanaannya juga pasti berbeda.
Laisa kamitslihi syai-un wahuwas samii`ul bashiir (Tidak ada sesuatupun/makhluk yang menyerupai-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha melihat).