Luthfi Bashori
Pada saat perang Badar, konon Umair bin Wahb termasuk dalam barisan tentara kaum kafir Quraisy yang selamat dan berhasil melarikan diri dari kejaran tentara Islam. Namun anaknya yang bernama Wahb justru menjadi tawanan perang bagi kaum muslimin dan dibawa ke Madinah Almunawwarah.
Suatu saat, tak selang beberapa lama dari peristiwa perang Badar itu, Umair bin Wahb datang ke Ka`bah untuk thawaf mengikuti tradisi kaumnya dan sekaligus memberi sesajen kepada patung-patung sesembahannya yang banyak berserakan di sekeliling Ka`bah.
Di salah satu sudut tempat thawaf itu, Umair bin Wahb melihat salah seorang kawannya, yaitu Shafwan bin Umayyah yang sedang duduk di sekitar Hijir Ismail. Lantas Umair bin Wahb mendatanginya dengan sapaan : Selamat pagi wahai pembesar Quraisy !
Shafwan bin Umayyah menjawab : Selamat pagi wahai Umair bin Wahb, mari duduk dan ngobrol-ngobrol sejenak di sini.
Lantas mereka berdua berbincang-bincang hingga akhirnya membicarakan tentang peristiwa kekalahan perang Badar dengan banyaknya tokoh-tokoh kafir Quraisy yang tewas menjadi korban. Umair bin Wahb juga sempat mengeluh tentang nasib anaknya yang sedang ditawan oleh tentara Islam di Madinah Almunawwarah.
UMAIR BIN WAHB : Demi Tuhan, andaikata aku tidak banyak mempunyai tanggungan hutang dan tanggungan keluarga yang harus aku hidupi, pasti aku datangi Muhammad dan aku bunuh dia, hingga aku dapat menghentikan aktifitas dakwahnya.
Lantas Umair bin Wahb berbisik-bisik kepada Shafwan bin Umayyah: Apalagi ada anakku di Madinah yang menjadi tawanan, rasanya ingin segera aku datangi Muhammad, dan dengan alasan akan meminta anakku secara langsung kepada Muhammad, maka setelah aku dekat dengannya akan aku tusuk Muhammad dengan pedangku ini, setelah itu aku tidak tahu apa yang bakal terjadi denganku.
SHAFWAN BIN UMAYYAH : Wahai kawan, kalau tujuanmu seperti itu, jika engkau terbunuh maka akan aku tanggung seluruh hutang-hutangmu dan akan aku penuhi seluruh kebutuhan keluargamu, dan keluargamu akan aku anggap sebagai keluargaku sendiri, karena hartaku lebih dari cukup untuk itu semua.
UMAIR BIN WAHB : Kalau demikian, jangan ada seorang pun yang mengetahui rencana ini selain kita berdua.
SHAFWAN BIN UMAYYAH : Baik, aku berjanji kepadamu.
Lantas Umair bin Wahb berangkat menuju Madinah setelah mengasah pedangnya hingga tajam serta melumurinya dengan racun jenis tertentu. Umair bin Wahb mengikuti rombongan penduduk Makkah yang sering keluar masuk Madinah karena urusan dagang dan telah diijinkan oleh Nabi SAW, tentunya Umair bin Wahb berharap agar kedatangannya itu tidak mencurigakan tentara Islam.
Sesampainya di Madinah, ternyata kedatangan Umair bin Wahb justru disambut oleh Sy. Umar bin Khatthab yang sangat hafal dengan karakter Umair bin Wahb karena kebenciannya kepada Nabi Muhammad SAW, maka Sy, Umar bin Khatthab meminta kepada beberapa shahabat untuk berjaga-jaga di rumah Nabi SAW agar dapat melindungi beliau SAW dari serangan licik Umair bin Wahb se waktu-waktu.
Tentu saja Nabi SAW menjadi bertanya-tanya, hingga beliau SAW mendapat keterangan dari Sy. Umar bin Khatthab tentang siapa sebenarnya figur Umair bin Wahb yang anaknya sedang ditawan oleh tentara Islam.
Lantas Nabi SAW meminta kepada Sy. Umar bin Khatthab agar mendatangkan Umair bin Wahb ke tempat beliau SAW, dan Sy. Umar bin Khatthab pun memegang Umair bin Wahb pada krah bajunya, lantas menggelandangnya ke hadapan Nabi SAW, tanpa ada sedikitpun perlawanan.
Karena memang tujuan utama Umair bin Wahb adalah bagaimana caranya untuk dapat mendekat langsung kepada Nabi SAW demi rencana jahatnya yaitu akan menusuk beliau SAW dari jarak dekat.
Tatkala Nabi SAW mengetahui apa yang dilakukan oleh Sy. Umar bin Khatthab saat menggelandang Umair bin Wahb, maka beliau SAW memerintahkan agar Umair bin Wahb dilepaskan hingga dapat bergerak bebas. Setelah dilepaskan oleh Sy. Umar bin Khatthab, lantas Nabi SAW berdialog dengan Umair bin Wahb :
UMAIR : Selamat pagi !
NABI : Sungguh kami telah diberi anugerah oleh Allah dengan ucapan salam yang jauh lebih baik dari ucapanmu itu
UMAIR : Ucapanmu dan ucapanku sama saja, apalagi engkau baru mendapatkannya sedangkan ucapan kami sudah menjadi tradisi tumur temurun.
NABI : Wahai Umair, apa tujuanmu datang ke Madinah ?
UMAIR : Aku hanya mengharap agar engkau berkenan melepaskan tawanan kalian, dan bermurah hati kepadaku.
NABI : Lantas mengapa engkau menghunuskan pedang di hadapanku ?
UMAIR : Aku tidak bermaksud apa-apa selain hal ini sudah menjadi kebiasaanku, toh kami akhirnya juga kalah dalam perang Badar.
NABI : Yang jujur kepadaku wahai Umair, apa tujuanmu sebenarnya datang ke Madinah?
UMAIR : Tidak ada lagi selain yang sudah aku katakan tadi.
NABI : Tidak demikian wahai Umair, engkau telah berembuk dengan Shafwan bi Umayyah di dekat Hijir Ismail, dan engkau membahas tentang kejadian perang Badar lantas engkau katakan kepada shafwan : Rasanya ingin segera aku datangi Muhammad, dan dengan alasan akan meminta anakku secara langsung kepada Muhammad, maka setelah aku dekat dengannya akan aku tusuk Muhammad dengan pedangku ini, setelah itu aku tidak tahu apa yang bakal terjadi denganku.
Tentu saja Umair bin Wahb menjadi bingun dengan ucapan Nabi SAW yang berhasil membuka kedok jahatnya itu, maka secara spontan timbul dalam hatinya keyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW itu benar-benar seorang utusan Allah, karena hakikatnya tidak ada seorangpun yang mengetahui rencana jahatnya itu selain dirinya dan Shafwan bin Umayyah.
Kemudian Umair bin Wahbi mengeraskan suara dengan wajah penuh kesungguhan sambil mengatakan: Asyhadu an laa ilaaha illallah wa anna Muhammadan rasuulullah. Sungguh aku yakin wahai Rasulullah, bahwa engkau telah mendapatkan berita dari langit, karena tidak ada seorangpun yang mengetahui pembicaraanku dengan Shafwan bin Umayyah selain kami berdua.
Maka sejak itulah Sy. Umair bin Wahb memeluk agama Islam, dan langsung belajar syariat Islam dari Nabi SAW hingga beliau mendalami hal-hal yang termasuk krusial dalam menjalankan keislamannya. Lantas beliau pamit kembali ke Makkah demi mendakwahkan agama yang baru dianutnya itu, dan di tangan sy. Umair bin Wahb ini banyak pula masyarakat Makkah yang memeluk agam Islam.