Biasa Aja...
Jadi “Orang Biasa”
Akhir-akhir ini terjadi fenomena yang menarik, pada tokoh-tokoh di Negeri kita. Yaitu sebuah trend untuk jadi “orang biasa”.
Mulai dari tampil dengan fashion dan style “biasa”, ada yang menunjukkan perilaku seperti “orang biasa”, bahkan ada yang mengaku-aku bahwa dirinya adalah “orang biasa”.
Menarik sekali fenomena ini.
Mengapa banyak orang jadi terpukau dengan yang namanya "orang biasa"?
Adakah yang luarbiasa dari sekadar menjadi "orang biasa"?
Bagi “orang biasa” seharusnya menjadi "biasa" itu yah ...
Biasa saja.
Seorang yang biasa jangan dilebih-lebihkan seakan jadi luarbiasa, begitu pula jangan dikurang-kurangi hingga akhirnya juga jadi luarbiasa.
Sederhana saja …
Yang namanya biasa itu adalah suatu keadaan, tindakan atau perilaku yang telah lazim dilakukan. Jadi setiap saat perilaku atau keadaanya adalah demikian. Jika memang ada sebuah perubahan perilaku yang berlebih atau berkurang, maka itu bisa dikatakan sebuah upaya atau usaha untuk mengubah sesuatu yang sudah sewajarnya jadi tidak biasa.
Memang tak ada standar yang jelas mengenai hal ini.
Standar “biasa” bagi masing-masing orang jelas berbeda-beda. Misalnya bagi saya yang sehari-hari naik sepeda motor, itu adalah hal yang “biasa”, baru jika saya naik sepeda kayuh tiap hari ketika bekerja, tentu ini akan jadi hal yang luar biasa.
Begitu pula sebaliknya, jika ada yang sehari-hari sudah naik sepeda kayuh lalu kemudian jadi naik mobil mewah, tentu ini jadi luarbiasa juga.
Sama-sama menjadi luarbiasa.
Saya kira ini adalah fenomena yang tidak biasa akhir-akhir ini.
Tanpa disadari yang terjadi bukan malah jadi “biasa” namun perlombaan untuk jadi “luarbiasa”.
Misalnya hal yang biasa, namum diekspose media besar-besaran, maka hal yang “biasa” tadi akan berubah jadi luarbiasa.
Lalu apa yang terjadi pada diri masyarakat kita?
Memang kita sudah bosan oleh sajian informasi, visualisasi dan sajian-sajian glamour, yang sama sekali jauh dari realita atau keadaan masyarakat sehari-hari.
Masyarakat kita yang banyak hilir-mudik berkeringat tiap hari untuk mengejar kebutuhan hidup, masyarakat kita yang bersandal jepit, masyarakat kita yang tinggal di Rumah Sangat Sederhana dan kontrakan-kontrakan murah, masyarakat kita yang sehari-hari hanya sempat makan nasi bungkus, masyarakat kita yang tak berdasi, masyarakat kita yang sudah muak dengan janji-janji, masyarakat kita yang bingung karena biaya sekolah makin tinggi, masyarakat kita yang masih banyak menunggu panggilan kerja, masyarakat kita yang perlu nasi dan BBM murah, masyarakat kita yang muak oleh para koruptor … Dan sebagainya.
Ini realita yang ada … Ini adalah keadaan “biasa” di Negeri ini dari yang sering disebut sebagai “orang biasa”. Keadaan ini ditangkap oleh mereka yang berkepentingan.
Sebuah upaya kamuflase?
Bukankah bunglon akan mengubah warnanya sesuai dengan tempat dimana ia berada?
Lalu … hup … Sang mangsa akhirnya diterkam. Perumpamaan ini begitu difahami oleh mereka yang berkepentingan.
Coba … Sajikan saja penampilan yang tak merakyat, tentu tak akan banyak simpati. Namun ditengah hiruk-pikuk hidup Negeri ini, ketika ada tokoh yang mau tampil “biasa” tentu, akan banyak dapat simpati.
Maka, kita sendiri yang dituntut jeli, manakah hal yang “biasa” dan manakah yang “membiasa”. Selebihnya …. Terserah Anda.
AR Helmi Malang, 30 Juni 2014