URL: www.pejuangislam.com
Email: editor@pejuangislam.com
 
Halaman Depan >>
 
 
Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami
Ustadz H. Luthfi Bashori
 Lihat Biografi
 Profil Pejuang Kaya Ide
 Imam Abad 21
 Info Asshofwah
Karya Tulis Pejuang


 
Ribath Almurtadla
Al-islami
 Pengasuh Ribath
 Amunisi Dari Tumapel
 Aktifitas Pengasuh
 Perjuangan Pengasuh
 Kalender Ribath
Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ)
 Sekilas Profil
 Program Pendidikan
 Pelayanan Masyarakat
 Struktur Organisasi
 Pengasuh PIQ
 
Navigasi Web
Karya Tulis Santri
MP3 Ceramah
Bingkai Aktifitas
Galeri Sastra
Curhat Pengunjung
Media Global
Link Website
TV ONLINE
Kontak Kami
 
 
 Arsip Teriakan Pejuang
 
SETAN BISU & SETAN BICARA 
  Penulis: Pejuang Islam  [7/8/2025]
   
AYOO SHALAT MALAM ! 
  Penulis: Pejuang Islam  [4/8/2025]
   
KOMUNIKASI DI MEJA MAKAN 
  Penulis: Pejuang Islam  [28/7/2025]
   
SUJUD SYUKUR 
  Penulis: Pejuang Islam  [27/7/2025]
   
MENGALAHKAN HAWA NAFSU 
  Penulis: Pejuang Islam  [20/7/2025]
   
 
 Book Collection
 (Klik: Karya Tulis Pejuang)
Pengarang: H. Luthfi B dan Sy. Almaliki
Musuh Besar Umat Islam
Konsep NU dan Krisis Penegakan Syariat
Dialog Tokoh-tokoh Islam
Carut Marut Wajah Kota Santri
Tanggapan Ilmiah Liberalisme
Islam vs Syiah
Paham-paham Yang Harus Diluruskan
Doa Bersama, Bahayakah?
 
 WEB STATISTIK
 
Hari ini: Senin, 22 September 2025
Pukul:  
Online Sekarang: 5 users
Total Hari Ini: 206 users
Total Pengunjung: 6224318 users
 
 
Untitled Document
 PEJUANG ISLAM - MEDIA GLOBAL
 
 
TURAST ILMU (ARAB-ISLAM) - Faktualisasi Wujud Dan Urgensi Bahasannya 
Penulis: Ahmad syamsu Madyan [25/2/2009]
 

Prolog

Ada sindrom keraguan dalam pidato John Hedley Brooke yang ia beri judul Does the History of Science have a future? “apakah sejarah ilmu, memiliki masadepan (ada manfaatnya)?"1. kiranya, sejarah ilmu akan erat sekali kaitannya dengan permasalahan turats ilmi (scientific legacy) yang ingin penulis angkat. Turats yang penulis singgung bukanlah turats pemikiran, turats kebahasaan atau turats yang membahas ilmu-ilmu agama. Karena penulis menganggap, bahwa wacana turats seperti itu telah menemukan proyeksi kajiannya secara mapan, baik itu dalam proyek-proyek tajdid 2 maupun ta'shil. 
Betapa pun, turats-turats kebahasaan3, pemikiran atau bahkan yang bersifat ilmu-ilmu agama, hanya merupakan ekspresi lokal. Meski terkadang, bahasa atau agama itu mengandung pesan-pesan universal, seperti slogan bahwa Islam adalahagama rahmat bagi semesta. Olehnya, turats yang demikian tetap dianggap milik golongan atau komunitas tertentu, yang kemudian diwariskan kepada komuitas tertentu pula.
Berbeda dengan turats ilmi atau legacy of science, ia akan jauh menerjang batas-batas lokalitas, bahasa atau agama. Turats ilmi adalah murni prestasi akal manusia yang kemudian manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh umat manusia4.
Legasi (turats) jenis saintifik inilah yang kemudian dipandang tepat untuk disejarahkan, dan menjadi obyek utama dalam bahasan “sejarah ilmu”. Yumna al-khuly mengatakan;
 
“Sejarah ilmu merupakan sejarah akal manusia, interaksi akal tersebut dengan pengalaman nyata serta informasi yang didapat dari panca indra. Ia adalah sejarah metode, cara manusia menyimpulkan dan menyelesaikan problematika hidupnya. Ia bersifat praktis dan teoritis sekaligus. Ia merupakan perkembangan struktur pengetahuan manusia dan batas-batasnya, postulat yang dipakai dan ruang lingkupnya. Ia adalah sejarah perkembangan posisi manusia dengan potensi akalnya, berhadapan dengan alamnya sebagai tempat hidup5

Setidaknya, dengan melihat eksistensi turats ilmi inilah, penulis meyakini, bahwa faktor utama yang menjadikan Arab-Islam pernah dipandang dunia sebagai peradaban yang hidup, berkreasi dan memberikan kontribusi, adalah karena perannya yang lebih, dalam menyumbangkan karya dan penemuan-penemuan scientificnya. Walaupun ini tidak berarti, bahwa peran turats fikry atau falsafat dilupakan. Empiricisme Ibn Rusyd (aveorism) yang pernah diusung dari spanyol hingga mengilhami Renaissance di barat, jelas turut mengangkat nama dan citra Islam. namun kiranya, sumbangsih Islam kepada umat manusia secara keseluruhan (bukan hanya barat), lebih nampak dan terasa dalam penemuan-penemuannya yang bersifat scientifik.
Imajinasi-imajinasi ilmiah, teori serta eksperimen ulama-ulama Arab-Islam pada kurun pertengahan (middle age), pernah membuka mata dunia tentang hakikat pengetahuan yang sebenarnya. Sebab itulah hampir disepakati, bahwa sejak abad 8 hingga akhir abad 14, Islam dianggap sebagai peradaban ilmu termaju di dunia (hampir dalam semua bidangnya), jauh melebihi keilmuan Barat dan China6. Keunggulan-keunggulan intelektual arab-islam inilah, yang kemudian diuraikan pertama kali secara lebih detail oleh George Sarton dalam bukunya “Introduction to the history of science” jilid ke-III (Baltimore:William and Wilkins,1927-48)7 
Kebanggaan masyarakat Islam atas realita sejarah inilah nampaknya, yang sering menjadi motivasi terkuat dalam bahasan-bahasan mereka seputar turats ilmi. Sayangnya, tema-tema turats ilmi (arab-islam), biasanya dibahas melalui nalar naratif expositif yang hanya mengandung nilai attaghanniy bi-al Madli (sekedar kenangan), bukan bahasan-bahasan yang juga menawarkan proyek pengembangan dan pemberdayaan (tathwiir). Maka justeru “pincang” menurut penulis, ketika perhatian intelektual Islam dewasa ini, hanya berkutat pada proyek tajdid pada wacana turats fikri-diniy saja. Barangkali karena kepincangan inilah, urgensitas bahasan seputar turats ilmi tetap “meragukan” bagi sebagian kalangan, bahkan terkadang, dianggap unprofit untuk diangkat ke permukaan.
Kiranya, pembahasan turats ilmi memang tidak banyak membawa manfaat,  jika pembahasan itu tidak bercorak analitis (I’tibari-tahlili), dan hanya sekedar uraian kebanggaan saja. Banyak kalangan yang sepakat, bahwa bernostalgia dengan kejayaan masa lalu tidak akan membawa manfaat yang riil, jika tidak didasarkan pada studi analisa yang jeli tentang wujud nyatanya. Walaupun mungkin, sebatas bernostalgia, akan dapat mem­bangkitkan semangat juang atau harapan-harapan baru8. Maka yang lebih diprioritaskan sebenarnya adalah menghadirkan kembali wacana turats ilmi melalui muatan bahas yang lebih pro aktif dan proyektif. Karena analisa yang jeli terhadap turats ilmy, tidak hanya akan menumbuhkan kesadaran akan peran Islam di masa silam, namun juga bisa dijadikan bekal menuju penemuan-penemuan baru yang lebih cemerlang.

Realita Turats Ilmy (Arab-Islam)

Dua problem yang menggelisahan Toby E. Huff ketika melihat ilmu-ilmu arab-Islam ini, pertama adalah, kelemahan orang-orang arab Islam sekarang untuk mencipta lagi ilmu-ilmu modern, kedua indikasi nyata dari kemunduran pemikiran arab-Islam secara drastis semenjak abad 13. Yang menjadi problem bukan kemunduran itu sendiri. Lebih sayang lagi Toby mengatakan, bahwa penduduk timur tengah (walaupun yang dimaksud mungkin juga penganut Islam secara keseluruhan-pen) tidak menganggap kemunduran ini sebagai masalah yang serius. Terbukti, kemunduran ini hampir sama sekali tidak dipelajari secara konstan, bahkan seakan tidak ada usaha untuk bangkit lagi9
Maka barangkali, mereview kembali wacana turats ilmi melalui altar sejarahnya, akan membantu kita untuk segera bisa merealisasikan proyek-proyek bahasan yang lebih mapan. Minimal, melalui lembaran sejarah kita bisa melakukan “pemeriksaan” dahulu tentang faktor maju-mundurnya peradaban Islam. Mengapa Islam abad pertengahan bisa menemukan identitasnya, maju sebagai agama sekaligus peradaban yang berperan aktif. Setelah kemudian Islam hanya menjadi ekor peradaban barat yang seringkali “terinjak” namun tidak bisa “berteriak”?
Kaitannya dengan kritik intrinsik (naqd dzati). Dengan sendirinya, kajian seputar turats ilmi akan menjadi satu keharusan yang sudah saatnya ditumbuh-kembangkan. Kewajiban “berpacu” dalam kompetisi peradaban harus selalu digagas dan dikerjakan secara bersama-sama.

Mengapa Islam Maju? 

Setidaknya ada dua sebab menurut Toby, pertama adalah karena Arab bisa secara langsung mempelajari turats Yunani semenjak abad 8, disaat barat sendiri tidak bisa berinteraksi dengan turats-turats itu semenjak hancurnya imperium Roma abad ke 5 hingga masa “gerakan penerjemahan (abad 12-13). Penerjemahan besar-besaran turats Yunani oleh Arab -walaupun bersifat sangat selektif (intiqo’I)- tetap akan mengindikasikan, bahwa ilmu-ilmu Islam itu adalah apresiasi “utuh” dari keilmuan dan falsafat Yunani. Kedua, keilmuan China yang sekilas nampak berdiri sendiri, ternyata banyak mengadopsi juga dari Arab, walaupun take and give antara Arab-China ini tidak begitu kentara, sebab orang China teguh memegang tradisi, sehingga tidak ada perubahan-perubahan yang mencolok. Toby menegaskan, bahwa China tidak pernah mengenal sama sekali tentang Aristo, Ptolemy, Galinius dan keilmuan Yunani, kecuali setelah adanya gesekan dengan Arab10.
 Penulis sendiri kurang sependapat dengan point pertama, bahwa seakan peran Yunani begitu dominan dalam kebangkitan Islam. namun setidaknya, dari sana saja dapat diambil satu kesan positif, bahwa betapa ulama Islam dahulu sangatlah haus ilmu dan aktif berusaha mendapatkannya. Tentu hal ini tercermin dalam aktifitas penerjemahan-penerjemahan itu11. Penulis lebih sepakat dengan analisa lain, bahwa motivasi-motivasi ilmiah yang mengilhami penemuan-penemuan itu, muncul secara dominan dari dalam Islam sendiri. Intelektual Islam -zaman itu- cermat dan pandai merefleksikan doktrin agamanya sebagai motivasi dan inspirasi dasar dalam peletakan teori dan penemuan-penemuannya.
 Ilmu hitung (mathematic) yang dirintis al-Khawarizmi dalam bukunya alJabr wa alMuqabalah misal, pada mulanya merupakan ide untuk memudahkan aplikasi doktrin faraidh atau pembagian waris. Demikian juga ditemukannya konsep waktu, peredaran bulan, matahari dan jam, adalah karena ada kewajiban-kewajiban agama, yang harus dituntaskan dalam waktu-waktu yang pasti, seperti ibadah Shalat dan Haji. Majunya arsitektur bangunan dengan kolaborasi seni zakhrafah (ornamen)-nya, juga nampak pada pembangunan tempat-tempat peribadatan (masjid), karena memang hal ini di-masyru’-kan. Ditemukannya teori-teori segitiga, juga dilandasi motivasi agama yang sederhana, yaitu agar bisa dengan tepat menentukan arah kiblat dalam shalat12. Alternatif kasb alMaisyah (mata pencaharian) melalui perjalanan dagang (tijarah) juga sangat kuat meniscayakan adanya penggarisan peta-peta dunia yang kemudian berkembang sebagai disiplin ilmu geografi. Maka secara umum, motivasi-motivasi intern inilah sebenarnya, yang lebih mendorong inteletual Islam dahulu dalam mempresentasikan temuan-temuan ilmiahnya. Apalagi, banyak sekali ayat alQuran dan hadits Nabi Saw yang mendorong umat Islam agar gemar ber-tafakkur13 atau berpetualang, melihat dunia serta akibat kaum-kaum pendusta (QS:6:11). Maka sungguh lebih tepat jika dikatakan, bahwa penemuan-penemuan itu tetap dalam coraknya yang “Islamy”, bukan dominasi atau “apresiasi utuh” pemikiran Yunani seperti kata Toby.
 Hemat penulis, ada sedikit pengaburan dari Toby E.Huff, ketika ia tidak memisahkan antara  ilmu-ilmu science dengan falsafat (jika harus disepakati, bahwa Islam banyak mengambil dari Yunani). Falsafat dan ilmu logika memang merupakan wacana dakhil atau serapan yang bisa dikatakan “utuh” mengekspresikan pemikiran Yunani. Karena memang terbukti, bahwa sebagian kalangan Islam sendiri (konservatif), masih ada yang memandang Falsafat ataupun Manthiq, sebagai disiplin ilmu yang “haram” dipelajari. Lebih jauh, pengaruh falsafat dan Manthiq ini kemudian hanya dinetralisasi dalam bidang keilmuan baru dengan nama “ilmu Kalam”. Ilmu ini pun polemis, yang paling moderat -seperti alGhozali- harus mengklasifikasikan umat sebagai kalangan khawas yang “boleh” mempelajarinya dan kalangan awam yang dilarang mempelajarinya14.
Maka sebenarnya, dominasi Yunani setelah era penerjemahan itu hanya nampak jelas dalam bidang-bidang falsafat dan pemikiran, bukan pada bidang scientific nya. Toh demikian, “falsafat Islam” yang lahir melalui peran Yunani, juga tidak bisa ditindih begitu saja dengan shibghah Yunaniah. Karena kontribusi selektif, kritis dan penambahan-penambahan baru dari kalangan Islam juga harus diperhitungkan secara adil15.
Kiranya cukup sebagai perenungan, bahwa walaupun Yunani telah berjasa “meminjamkan” falsafah naturalistiknya, atau bahkan ilmu-ilmu kedokteran, namun teori-teori mereka sama sekali tidak dilandasi dengan experimen (uji coba). Kebanyakan teori-teori Yunani adalah buah perenungan dan fikir saja. Lalu seberapa besar validitas, manfaat, dan “harga” dari sebuah teori, jika tidak diteruskan dengan uji coba? Flowren Cagory dalam bukunya “sejarah fisika” mengatakan, bahwa ulama Arab-lah sebenarnya, pelopor metode uji coba (manhaj tajribi) itu. Sayyid Hussein Nashr juga sepakat dalam bukunya al ulum wa alhadlarah fi alIslam, bahwa ulama-ulama Islam-lah yang meletakkan dasar-dasar analisa ilmiah modern, seperti kegemaran membaca (literatur-pen), juga metode eksperimen dan uji coba. Merekalah yang pertama membangun laboratorium guna pengujian dari teori-teori yang mereka temukan16.
Kenyataan bahwa Arab aktif “menerjemahkan” buku-buku Yunani, sama sekali tidak bisa difahami sebagai plagiasi pasif. Setidaknya, “penerjemahan” itu harus dipahami secara obyektif seperti yang dicontohkan George Sarton, ia mengatakan bahwa;

“kalau pun kita harus mengakui bahwa ilmu-ilmu arab itu hanyalah transformasi pasif dari literatur Yunani, setidaknya kita harus sadar, bahwa seorang penerjemah tidak mungkin bisa menerjemahkan literatur-literatur ilmiah, kecuali dia juga telah faham dan menguasai materi-materi yang ada dalam buku ilmiah itu. Dulu, Abu Zaid Hunain bin Ishaq (w260 h) harus terlebih dulu memahami buku-buku kedokteran, sebelum ia berani menerjemahkan karya-karya Hipocrates dan Galineus”17 

Satu lagi yang ingin penulis tambahkan sebagai faktor kemajuan islam, bahwa walaupun sering kalangan Islam memiliki pandangan dikotomis, tentang adanya ilmu islam (agama) dan ilmu asing (dunia), bahwa ilmu asing adalah ilmu-ilmu yang membahas alam dan eksakta, sedang ilmu Islam adalah seperti Quran, tafsir, hadits dan sebagainya, namun ulama-ulama dulu bisa menciptakan satu hubungan yang mutualis dan komplementer. Menjadikan wacana-wacana “agama” itu hidup sebagai inspirasi lahirnya ilmu-ilmu “dunia”. Dengan adanya doktrin Shalat, maka ditemukanlah teori segitiga yang menetapkan arah kiblat. Waktu-waktu shalat, puasa dan Haji juga kemudian menginspirasikan penemuan teori-teori bumi (geologi) yang meniscayakan teori perputarannya pada matahari sebagai pusat (heliosentris).
Faktor inilah nampaknya yang kurang diperhatikan kaum penerus, bahwa Islam bukan hanya berisi doktrin-doktrin ta’abbudy, ta’amuli (muamalat) dan ukhrawi yang mati dan beku.  Lebih jauh, doktrin-doktrin itu masih potensial untuk terus digali, sebagai inspirasi karya dan penemuan-penemuan duniawi .

Membincang peran Arab-Islam dalam peradaban dunia

Seakan sama saja mengatakan “peran arab-islam dalam peradaban dunia” atau mengatakannya sebagai “pengaruh arab-islam di dunia barat”. Karena secara spontan, tema ini akan mengembalikan kita pada kajian seputar “sejarah ilmu”. Kajian inilah memang, yang bertugas membahas dan menyejarahkan proses take and give antar peradaban secara lebih transparan.
Melihat peran Islam secara lebih dekat -melalui sejarahnya- sedikit banyak akan semakin memperjelas peran itu. Karena dalam beberapa kasus, nilai-nilai positif yang melekat pada Islam selalu direduksi dan dikaburkan, sehingga yang sering muncul sekarang ini hanyalah wacana setereotip dan sejarah-sejarah hitam, bahwa Islam adalah agama perang dan penaklukan18. Realitas peradaban, bahwa antara barat dan timur (Islam) saling mengisi, memberi dan menerima, seringkali tidak dilihat secara adil. Masing-masing berbangga dan saling menuding, bahwa peradabannya lah yang sebenarnya menciptakan penemuan-penemuan itu.
Maka, manfaat dari sejarah ilmu sangatlah besar. Disamping sebagai sarana ta’shil (penelusuran orisinalitas) dalam sebuah karya atau temuan, sejarah ilmu itu juga berguna untuk pengembangan ilmu itu sendiri. Para ilmuwan klasik sebenarnya sudah menggunakan sejarah ilmu ini dalam usaha mereka untuk mengembangkan pengetahuan, walaupun tentu, “sejarah ilmu” waktu itu, belum menjadi disiplin yang tersistemasi dengan rapi. Sistemasi dan pembatasan ruang lingkupnya baru muncul akhir abad ke-19 M.19
Secara singkat, ruang lingkup sejarah ilmu adalah;
1.Study mengenai riwayat hidup para ilmuwan
2.Study mengenai pemikiran dan pengetahuan ilmiahnya yang tertulis
3.Kontinuitas perkembangan pemikiran Ilmiah ataupun metode yang digunakan untuk menyimpulkan kebenaran ilmiah itu.
4.Aplikasi penemuan ilmiah ini dalam kehidupan tekhnologi yang lebih nyata (keberhasilan dan kegagalan suatu temuan dipraktekkan)
5.Ilmu dan pengaruh sosiologisnya, bagaimana suatu komunitas merespon ilmu itu.

Melalui sejarah ilmu inilah sebenarnya, kita dituntut untuk kembali menelaah dan mengukur peran arab-Islam secara lebih teliti dan akurat.
Sebagai contoh, Teori heliosentris milik Copernicus yang sempat menggemparkan dunia barat (gereja) bahkan menyebabkan ia disiksa hingga mati20, akan dapat dilihat secara jeli melalui sejarah ilmu itu. Bahwa sebenarnya, Copernicus telah sebelumnya belajar, bahkan “menjiplak” teori atThusy, seorang cendekia Islam abad 11. “kebocoran” sejarah ini diungkap Toby E.Huff, bahwa sebelum mengemukakan teori-teori geografisnya, Copernicus telah mempelajari konsep galaksi milik madrasah Maragha21 yang notabene menggunakan karya atThusy ini. Dalam bukunya “Commentariolus”, Copernicus hampir persis mencontohkan garis-garis galaksi milik Ibn Shatir, sedang dalam bukunya yang lain, Copernicus menggunakan sampel galaksi milik madrasah Maragha. Data inilah kemudian yang “dianggap”mencurigakan, hingga akhirnya Noel Swerdlow berani mengeluarkan tesanya, bahwa yang perlu dipertanyakan sekarang bukan kemungkinan Copernicus mengambil teori itu dari Maragha, namun yang pantas dibahas adalah kapan dan bagaimana cara Copernicus itu mengambilnya. (Artinya penjiplakan itu sudah pasti dilakukan –pen)22        
Lebih dalam lagi, ketika Profesor Abdul hamid Shabra mengatakan, bahwa jauh sebelum masa atThusy, Ibn Haitasm (w.1040) sudah menemukan kesalahan dalam teory Ptolemy (khususya yang berkaitan dengan peredaran galaksi). Shabra merasa salut terhadap Ibn Haitsam yang waktu itu sudah berani mengatakan terang-terangan bahwa “teori Ptolemy itu “fasidah-rusak” dan teori yang benar belum ditemukan”23. Setelah masa Ibn Haitsam berlalu, ditemukanlah kemudian teori bumi baru seperti yang masih eksis hingga sekarang. Gerakan astronom-astronom muslim waktu itulah yang kemudian disejarahkan sebagai “aksi protes terhadap teori Ptolemy”24.  
Sekedar ber I’tibar dengan sikap Ibn Haitsam dan penerus-penerusnya, penulis melihat bahwa studi turats ilmi waktu itu begitu hidup. Tidaklah penting jika Ibn Haitsam –waktu itu-  belum bisa mengganti teori Ptolemy. cukup dengan perkataannya “salah dan yang benar belum ditemukan” sudah bisa mencerminkan satu sikap ilmiah yang kritis dan jeli. Patut diteladani juga, bahwa penerus-penerus ibn Haitsam, seperti atThusy dan Ibn Shatir (yang lahir  seratus tahun lebih sesudahnya), tidak hanya diam, namun berusaha menemukan misteri kebenaran yang belum diketahui Ibn Haitsam dulu, hingga ditemukanlah teori “markaziat as-shams” (heliosentris) oleh atThusy (madrasah Maragha), sebagai antitesa paradoks terhadap teori geosentris (“markaziatul ardli”). 
Sebuah laporan kasus seperti diatas adalah satu contoh, bagaimana kita seharusnya membicarakan tentang peran Islam. Bahasan tentang peran memang seharusnya lebih didasarkan pada data-data riil, yang kemudian disesuaikan dengan “sejarah ilmu”. Minimal, riset yang dilakukan Noel atau juga Toby dapat kita jadikan sampel sebuah proyek, bagaimana kita seharusnya membicarakan tentang “peran” legasi (Arab-Islam) itu, sehingga, studi dan bahasan-bahasan kita bisa lebih produktif dan bermanfaat, tidak hanya berdasar pada mitos-mitos kosong yang mudah dipatahkan.
Tentunya bukan hanya disiplin (falak) astronomy25, bahkan hampir seluruh bidang-bidang ilmu alam, medis dan eksakta yang ada sekarang adalah buah nyata dari kejeniusan ulama-ulama Islam dulu. George Sarton dengan sportif mengatakan bahwa studi seputar sejarah perkembangan pola fikir manusia, akan selalu kembali pada kajian tentang penemuan–penemuan Islam26. Dengan sportif pula Sarton menyebutnya sebagai “mu’jizat tanah arab”, bahwa kemampuan mencipta peradaban global ensiklopodis secara besar-besaran dan dalam kurun waktu tidak lebih dari dua abad, adalah sesuatu yang mungkin bisa dipercaya dan diidentifikasi, namun tidak akan bisa dijelaskan secara sempurna27.
Maka kembali menengok kontribusi Islam secara lebih nyata dalam partikulasi ide-ide serta temuan-temuannya, merupakan langkah awal proyek analisa turats ilmi secara lebih maju dan membawa misi.

Satu contoh, ilmu kedokteran.

Yang pasti, Minimnya studi Islam tentang turats kedokteran misalnya, secara tidak langsung akan meminimalisasi peran nya yang luar biasa. Satu contoh misalnya, tekhnik pembedahan paru-paru dan penghentian aliran darah melalui pengikatan urat-urat induk, merupakan satu tekhnik memukau, yang dinisbatkan kepada ahli bedah prancis bernama Ambroise Pare tahun 1552, padahal menurut Zigrid (seorang orientalis jerman), ulama Islam bernama Abul Qasim az Zahrawi dari Cordova, yang jauh hidup sebelumnya (sekitar 936-1013) telah lebih dulu memperkenalkan tekhnik bedah paru-paru seperti ini dalam karya monumentalnya “al-Tashrif liman ‘ajaza an al-Ta’liif” sebuah ensiklopedi pembedahan yang cukup tebal28.        
Maka secara sardan dapat penulis tambahkan, bahwa di bidang kedokteran, Islam telah menemukan kemajuannya sejak masa Umawiy. Peran Khalid bin Yazid tidak bisa dilupakan, khususnya, sebagai penggagas transformasi ilmu-ilmu pengetahuan (penerjemahan buku-buku luar), hingga tibanya masa Khalifah al-Walid bin Malik yang membangun rumah sakit pertama di Damaskus 706M.
Cara-cara memeriksa pasien melalui identifikasi detak jantung, air seni, pernafasan, warna kulit dan mata, adalah temuan asli ulama-ulama Islam dulu. Kaidah-kaidah pembedahan (operasi) juga dirintis dan dikembangkan oleh ulama-ulama Arab. Hingga sebuah sekolah kedokteran di Andalusia diakui sebagai satu-satunya akademi di Eropa yang berhasil mencetak para pakar bedah. Adanya istilah “poliklinik”, atau bisa disebut sebagai rumah sakit umum, dibedakan dengan rumah sakit-rumah sakit yang menagani keluhan-keluhan khusus, juga sebuah kreasi Islam yang brilliant29.
 Para ulama dulu sudah mengklasifikasikan pertumbuhan anak-anak semenjak hari kelahirannya. Hingga kini, klasifikasi itu masih dipakai dalam kedokteran modern, yaitu ;

1.Wildaan (waktu antara bayi lahir hingga berumur 40 hari)
2.Shibyan (ketika balita sudah berumur 40 hari hingga tumbuh gerahamnya)
3.Sab’a Siniin (antara waktu tumbuhnya geraham hingga anak mencapai umur tujuh)
4.Muhtalimin (antara tujuh tahun hingga akil baligh)
Sebagaimana para dokter muslim dulu sudah sangat perhatian terhadap makanan bayi. Anak yang baru lahir (hari-hari pertama) akan diberi tetes-tetes madu sebagai pembersih lambungnya dari zat yang bernama Miconium sebelum bayi disusui.
 Tentunya, bidang kedokteran akan berkaitan erat dengan ilmu apoteker (Pharmacy). Orang-orang Arab lah ternyata yang membangun apotik pertama, sejauh pengetahuan sejarah. Orang arab juga yang pertama kali menutupi tablet obat-obatan yang pahit dengan gula-gula (pola capsule) sehingga obat itu nyaman dikonsumsi.
Zigrid menceritakan, bahwa 600 tahun lalu, sebuah fakultas kedokteran di paris mempunyai perpustakaan kecil, isinya hanya buku-buku karya satu orang, yaitu Abu Bakr al-Razi. Namun perpustakaan ini sangat berharga, sampai-sampai raja Louis XI berani membayar fakultas ini dengan 12 mark Perak dan 100 tal emas murni. Dengan syarat, dokter-dokter istana diperbolehkan meminjam buku-buku al-Razi ini, jika sewaktu-waktu Louis atau keluarganya terancam sakit dan membutuhkan30.        
 Pada intinya, letak geografis tanah arab yang sangat strategis memegang peranan penting dalam kemajuan ilmu kedokteran serta pharmacy ini, bagimanapun lokasi arab yang merupakan sentral dagang dunia akan memudahkan expor-impor bahan-bahan medis ke tanah China, india, Africa dan Eropa. Peran besar arab dalam disiplin-disiplin ilmu, minimal bisa kita raba melalui kesamaan kata dan adopsi-adopsi istilah. kata algorism atau algorithm (inggris), guarismo (Spanyol) berasal dari nama Khawarizmi, ilmuwan muslim yang cakap dalam bidang matematik31. Demikian pula istilah-istilah kedokteran seperti kata syirup dari Syurb (minuman), Soda dari kata shuda’, Majoon dari Ma’jun32, alkohol dan lain-lain juga mengindikasikan hal yang sama.

Epilog

Sebenarnya, para sosiolog, antrhopolog dan panelis peradaban telah menyepakati, bahwa yang terjadi antara peradaban satu dengan yang lainnya adalah proses atta'tsir wa atta'astur, saling memberi dan menerima. Tiada peradaban yang lahir tanpa “ibu-bapak”, karena hakikat sebuah peradaban adalah "kelanjutan" dari peradaban yang ada sebelumnya.
Maka dari itu, jika ilmu pengetahuan serta penemuan-penemuan materialnya dianggap sebagai bukti peradaban yang paling riil, maka tidak seharusnya jika barat atau timur memperebutkan “hak cipta” dan keberhakan atas ilmu-ilmu itu. Komparasi antara barat dan timur -menurut penulis- lebih arif, jika hanya dibatasi pada tataran metodologi. Toh penemuan-penemuan itu “bisa dianggap” sebagai juhud musytarakah (karya “manusia” secara bersama-sama). Kiranya, yang patut ditumbuhkan adalah satu kesadaran, bahwa masing-masing telah memiliki peran, kemudian yang dituntut adalah kelanjutan dari peran tersebut .
 Yang lebih bermanfaat -menurut penulis- adalah memproyeksikan lagi bahasan-bahasan seputar turats ilmi secara lebih bervisi. Karena Nampaknya, kemunduran Islam setelah abad 13 juga bisa dikarenakan ke-mandeg-an umatnya dalam menggali dan mengembangkan turats ilmi ini. Barangkali sebuah kenyataan yang layak disadari, bahwa Timur telah hampir melupakan turats ilminya, sedang Barat secara konstan -hingga sekarang- gencar melakukan briefing-briefing exposisi serta analisa ulang seputar scientific heritage, sejarah ilmu dan pengadaan seminar-seminar.
Sejarahwan kontemporer Jean Dhombres mengatakan bahwa “scientific heritage masih merupakan bidang kajian besar yang belum rampung”33. Olehnya, perhatian barat terus berlanjut hingga sekarang. Amerika misalnya, segera menerbitkan kembali karya-karya Galileo, Isac Newton dan lain-lain. Bahkan terkadang, satu proyek turats semacam ini bisa menelan waktu hingga lebih dari lima puluh tahun seperti karya Kochi, seorang ahli matematis terkemuka34.
 Belum lagi konferensi dan juga seminar-seminar seputar scientific heritage yang mereka gelar setiap tiga atau empat tahun sekali sejak tahun 1929. Hingga sekarang telah berlangsung sekitar 20 seminar, salah satunya diadakan di Belgia 1997 dan terakhir di Moscow tanggal 14 agustus 2001 dengan tema; Science and Cultural Diversity 35.
 Minimal, perhatian barat terhadap turats ilmi ini harus diimbangi dengan perhatian serupa dari kalangan Islam, sebagai komunitas yang juga memiliki kekayaan turats yang melimpah. Tentunya, karya-karya ilmiah para ulama Islam dulu masih menanti tangan-tangan penerusnya hingga saat ini. Umat Islam benar-benar tertinggal manakala mereka tidak pernah menggali lagi wacana turats ilmi, justeru yang aneh, mereka masih saja sibuk memperdebatkan jadwa atau manfaat dari penggalian turats ilmi ini.

(pejuangislam)

Buuts Dalam Damai
27-okt-2002

   
 Isikan Komentar Anda
   
Nama 
Email 
Kota 
Pesan/Komentar 
 
 
 
 
Kembali Ke Index Berita
 
 
  Situs © 2009-2025 Oleh Pejuang Islam