Antara Ibu dan Seorang Istri
Abdul Adzim Irsad
Ada pepatah mengatakan, seorang wanita jika sudah menikah, maka yang menentukan kebahagiaannya adalah suaminya. Orang jawa bilang ”suwargo nunut, neroko katut’’. Artinya surga dan neraka itu tergantung suaminya. Jika suaminya beneh (bisa di ikuti) dan bisa membimbing agamanya, maka wanita itu kelak akan mendapatkan kebahagiaan di ahirat. Jika suaminya tidak bisa apa-apa, maka petaka dunia akhirat akan di dapatkan kemudian hari. Hanya saja, wanita itu akan makan cinta selama hidupnya. Dan, masa berlakunya cinta itu sangat terbatas.
Bagi laki-laki ketika sudah menentukan pasangan hidupnya, ia harus menentukan arah hidup selanjutnya. Jika wanita yang dipilihnya adalah kriteria wanita sholihah, maka ia akan bisa berbuat baik kepada keluarganya. Tetapi, jika wanita pilihan hidupnya bukan kriteria wanita sholihah. Maka separuh hidupnya akan menjadi taruhannya. Tidak aneh, jika seorang lelaki setelah menikah, ternyata lebih mementingkan istrinya. Sebab, istrinya tidak mengerti apa yang mesti dilakukan sebagai seorang istri dan anak menantu.
Wanita yang mengerti dan memahami agamanya dengan baik, berarti juga mengerti apa yang harus dilakukan sebagai seorang menantu. Islam tidak pernah membedakan antara anak dan menanatu. Ketika akad nikah dilangsungkan dan dinyatakan sah, sejak itu pula tidak ada kata mertua dan menantu. Semua dalam posisi yang sama, yaitu anak dan orangtua. Dengan begitu, kwajiban seorang anak terhadap orangtua kandunganya, sama persis dengan orangtua suami/istrinya.
Kebanyakan anak laki-laki, kadang lebih mencintai istrinya dari pada ibu kandungnya. Sampai-sampai Nabi SAW mengisahkan seorang Sahabat yang bernama Alkomah lebih mementingkan istrinya dari pada Ibu kandungnya sendiri. Padahal, Sahabat itu tidak ada niat menyinggung atau melukai hati ibundanya. Karena sudah terlanjur tersinggung, maka sang Ibu tidak berkenan menemuinya.
Berawal dari sebuah kisah seorang Sahabat Nabi yang bernama Alkomah. Dia seorang Sahabat yang amat setia kepada Nabi SAW. Hingga suatu saat, Ia terluka karena ikut serta dalam sebuah peperangan bersama Rosulullah SAW. Kendati luka parah dalam sekujur tubuhnya, Alkomah sulit dalam sakaratul mautnya. Melihat kondisi seperti ini, Rosulullah SAW menaruh curiga. Sebab, tidak mungkin seorang Sahabat Nabi SAW mengalami kesulitan dalam sakaratul maut.
Kesedihan itu semakin mendalam, ketika menyaksikan mulut Alkomah yang tertutup rapat tidak mampu mengucapkan kalimat tauhid . Lidahnya terasa kelu untuk kalimat suci itu. Padahal para Sahabat termasuk Nabi SAW juga telah mengajarkan. Telinganya telah mendengar, tatapan matanya yang berputar-putar seolah mengerti apa yang harus diucapkannya. Tetapi mulutnya terkunci, tidak dapat melafadzkan Kalimat Tauhid.
Lalu Nabi memerintahkan Ali dan Bilal untuk mencari ibu Alkomah, sebab Nabi curiga Alkomah pernah durhaka kepada Ibunya. Ali dan Bilal agak kesulitan menemukan rumah ibu yang terpencil itu. Mereka baru mendapatkan setelah diyakinkan seseorang yang menegaskan bahwa rumah mungil yang tampak kumuh dari luar itu benar-benar rumah ibu Alkomah. Mereka semakin terkejut lagi ketika mengetahui bahwa ibu pemilik gubuk itu sudah sangat tua dan bungkuk.
Dengan hati-hati dan pelan-pelan mereka menanyakan apakah ibu itu adalah benar ibu Alkomah. Dan apakah jawaban ibu itu ??? Sungguh mengejutkan, ibu tua itu menjawab bahwa dirinya bukanlah ibu Alkomah. Ali bersikeras bahwa ibu itu adalah ibunya Alkomah karena telah diberitahu oleh tetangganya.
Ternyata ibu itu mengatakan bahwa dulu Alkomah adalah benar anaknya. Ketika masih dalam kandungan, dulu sewaktu dilahirkannya dengan susah payah, dulu sewaktu masih di gendong, dirawat dan di susui, dulu sewaktu masih kedinginan, kelaparan, dan telah disuapinya dari sisa-sisa kelelahan seorang ibu. Dulu sewaktu Alkomah belum mempunyai seorang istri yang amat sangat dicintai sehingga telah melupakan Sang Ibu.
Kesibukan urusan dan terlalu mencintai istrinya telah menyita waktu untuk sekedar menengok sang Ibu yang sudah renta. Bahkan salam pun tidak pernah disampaikan, apalagi mengirimkan nafkah atau sekedar kado. Perasaan itu begitu menyakitkan bagi seorang Ibu.
Suatu ketika pernah Alkomah berjalan lewat rumah ibunya dengan membawa dua bungkusan yang terbungkus dengan rapi. Lalu satu bungkusan diserahkan kepada Ibunya. Dengan sukacita diterimanya bungkusan itu dan serta merta dibukanya, dengan harapan sang anak berbahagia. Ternyata bungkusan itu berisi kain sutera yang amat indah. Dipeluknya dan diciumi kain itu.
Namun, kebahagiaan itu ternyata harus segera sirna. Karena ternyata kain sutera itu bukan untuknya, tetapi untuk istrinya. Kemudian Alkomah mengeluarkan kain yang lebih jelek untuk diberikan kepada ibu kandungannya. Betapa kecawa wanita renta itu. Apalagi, Alkomah mengatakan dengan jujur bahwa ia telah keliru memberikan hadiah. Seharusnya bungkusan itu adalah untuk istri tercintanya, dan bungkusan satunya yang untuk ibunya.
Kekecewaan itu membuat Ibu Alkomah sakit hati dan tidak ingin melihatnya lagi. Kekecewaan itu sampai menembus langit, sehingga, Allah SWT memberikan pelajaran berharga kepada Alkomah, sekaligus kepada ummat Rosulullah SAW. Alkomah bisa setia kepada Nabi SAW, mengikuti jihad di jalan Allah SWT. Tetapi, ternyata kurang memperhatikan Ibundanya. Karena Alkomah merasa lebih mementingkan istrinya dari pada Ibunya sendiri. Karena kejadian itu, Alkomah sulit menghadapi sakaratul maut. Apalagi, jika telah menyakiti ibunya berkali-kali.
Dalam konteks keluarga modern, sering kali seorang suami cinta mati terhadap istrinya, sehingga kurang memperhatikan Ibundanya. Ia bisa haji berkali-kali, tetapi ibunya tetap hidup menderita. Jika salah memilih pasangan, maka separuh kehidpuan menjadi taruhan. Semoga pasangan hidup kita tidak pernah membedakan antara mertua dan ibu kandunganya. Semua sama mendapatkan penghormatan dan kemuliaan yang sama, sebagaimana Islam ajarkan.