Melestarikan Mencium Tangan Ulama
Abdul Adzim Irsad
Syekh Abdul Fattah Rowah seorang ulama besar Arab Saudi sekaligus mudarris (guru) di Masjidilharam melarang santri-santri mencium tangan beliau dengan inhina’ (membungkukkan kepala). Tetapi, beliau tidak melarang santrinya mencium tanganya tetapi dengan tidak menundukkan kepala. Beliau lebih suka santrinya mencium keningnya, sebagai bentuk penghormatan terhadap gurunya. Karena mencium kening di Arab Saudi bagian dari budaya seorang murid memulyakan gurunya.
Dalam tradisi Jawa, mencium tangan orang yang lebih sepuh usianya adalah bentuk penghormatan dan kemuliaan. Dan, ini dilakukan oleh sebagian besar umat Islam nusantara, baik oleh orang Muhammadiyah, NU, atau organisasi lainya. Mencium tangan seorang ulama, dalam syariat islam sangat dianjurkan, bahkan harus dilestarikan. Jadi, mencium tangan seorang ulama saat bersalaman adalah salaman Syar`i.
Tetapi realaitas dilapangan, tidak semua ulama mau dan berkenan dicium tangannya. KH Suyuti Dahlan misalnya, beliau selalu menolak ketika santrinya akan mencium tangannya. Seorang Kyai ketika ditanya kenapa tidak mau dicium tangannya, sang Kyai itu menjawab dengan singkat: " aku takut merasa takabbur ".
Kendati tidak mau dicium tangannya, ternyata Kyai tersebut tidak pernah melarang praktek mencium tangannya seorang ulama. Sebab, Kyai yang takut takabbur itu ketika menjadi santri ternyata juga mencium tangan guru-gurunya saat bersalaman, sebagai bentuk hormat. Kenapa tidak mencium keningnya? Sebab, tradisnya tidak sama dengan tradisi yang berkembang di Arab Saudi.
Bagi seorang anak, mencium tangan saat bersalaman dengan ayah dan ibundanya, serta guru-gurunya adalah wajib, sebagai bentuk penghormatan dan baktinya. Sedangkan bagi sesama remaja, pemuda, tidak diperbolehkan mencium tangan. Apalagi lawan jenis (laki-laki dan wanita) sangat dilarang mencium tangan, apalagi berpelukan, kecuali suami istri. Allah SWT melarang laki-laki dan wanita bersentuhan kulit. Salaman itu termasuk sentuhan kulit yang membahayakan.
Selanjutnya, orang yang tidak boleh dicium tanganya adalah orang kaya atau pejabat. Syekh Zaenuddin an-Nawawi sangat setuju dengan pendapat yang mengatakan, bahwa membungkukkan badan, mencium tangan atau kaki-kaki orang kaya, hukumnya makruh. Bahkan, bisa jadi haram hukumnya. Dalam sebuah keterangan dijelaskan: " barang siapa merendahkan diri dari orang kaya, maka akan hilang dua pertiga agamanya ”. Keterangan ini mengisyaratkan bahwa sungkan, takut, serta hormat kepada orang kaya dan pejabat tinggi itu tidak boleh. Anehnya, justru banyak sekali orang-orang yang menghormati dan memuliakan orang-orang kaya dan pejabat.
Adapaun orang-orang yang boleh, bahkan sunnah dicium tanganya adalah para ulama. Ulama itu artinya orang-orang yang berilmu dan beramal, serta memiliki khosyah (rasa takut) kepada Allah SWT. Secara tegas, Allah SWT mengatakan: " Ulama itu pewaris para Nabi ". Sementara dalam keterangan ayat lain, Allah SWT menjelaskan: " sesungguhnya orang-orang yang memiliki rasa takut kepada Allah SWT adalah para ulama " (QS Fathir (35:28).
Seorang tabiin suatu ketika melihat Anas Ibn Malik, shahabat Rosulullah SAW. Buru-buru Said mendekati dan mencium tangan Anas Ibn Malik ra. Kemudian Said mengatakan: " saya tahu, tangan beliau pernah bersentuhan dengan tangan Rosulullah SAW ". Beruntung sekali orang yang pernah mencium tangan seorang ulama yang memiliki khosyah kepada Allah SWT.
Jadi, mencium tangan orang-orang shalih dan berilmu disunnahkan. Seorang shahabat Nabi yang bernama Abu Ubaidah ra suatu ketika mencium tangan shahabat Umar Ibn Al-Khattab ra. Begitu juga dengan sahabat Ka’ab ra yang pernah mencium tangan dan kaki Rasulullah SAW. Seorang shahabat Nabi SAW, sekaligus penulis ayat-ayat Al-Quran, yaitu Zaid bin Tsabits pernah mencium tangan Ibnu Abbas ra, karena Ibn Abbas termasuk ahlul bait (Kitab Bughyah, hlm 296).
Banyaknya keterangan hadits yang mengisahkan shahabat, tabi`in, ulama mencium tangan merupakan sebuah isyarat bahwa hukum mencium tangan seorang ulama adalah sunnah. Sebab, apa yang dilakukan shahabat merupakan ajaran yang harus dilestarikan.
Orang Arab Saudi semuanya mengenakan jubah panjang, tetapi tidak semua yang memakai jubah panjang itu ulama. Maling saja di Arab Saudi memakai jubah dan jenggotnya panjang. Seringkali, orang terkesima dengan jubah putih dan jenggotnya, sehingga ketika bertemu dan bersalaman berusaha menciumnya. Abad 16-20, hampir semua Imam dan ulama di Masjidilharam berdarah asing, termasuk keturunan nusantara.
Hampir semua ulama nusantara pernah mengajar dan menjadi Imam Masjidilharam ( Lihat: Warisan Intelektual Nusantara di Ranah Haram; Abdul Adzim Irsad (2013). Mereka juga mengajarkan bagaimana cara bersalaman dan mencium tangan guru-gurunya, karena itu bagian dari ajaran ulama Ahlussunah Waljama`ah.