KONTROVERSI PAHAM ISLAM LIBERAL
Disadur dan disanggah oleh:
H.Luthfi Bashori
(Fungsionaris Hai`ah Asshofwah, Lajnah Syuro)
Haiah Asshofwah, sebagai wadah alumni Ma`had Almaghfurlah Abuya Assayyid Muhammad Bin Alwi Almaliki Alhasani Makkah Almukarramah, yang rata-rata anggotanya terdiri dari para pengasuh Pondok Pesantren, majlis taklim, atau para da`i dan tokoh masyarakat, adalah berkewajiban secara syar` untuk ikut membentengi aqidah umat Islam, dari paham-paham yang disinyalir telah keluar dari ajaran Islam, sebagaimana yang diajarkan oleh para Ulama Salaf Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Karena paham yang diajarkan para Ulama Salaf Ahlus SAunnah Wal Jamaah ini, bersumber dari pengangan utama umat Islam, yaitu kitab suci Alquran dan Hadits Nabi SAW, dengan pemahaman yang telah diyakini secara tasalsul sejak dari zaman Nabi SAW, dilanjutkan oleh para Shahabat, diteruskan oleh para Tabiin, diamalkan oleh para Ulama periode awwal berkembangnya agama Islam, hingga saat ini diyakini kebenarannya oleh mayoritas umat Islam.
Untuk itulah, Haiah Asshofwah berkewajiban ikut memberi penjelasan, baik kepada segenap anggotanya maupun kepada masyarakat secara makro, tentang bahaya paham-paham yang kini marak didengungkan oleh kelompok-kelompok yang mengatasnamakan sebagai Islam Liberal. Adapun arti liberal itu sendiri adalah kebebasan yang tidak terikat oleh aturan manapun. Sedang Islam Liberal berarti pnganut Islam yang melepaskan diri dari aturan-aturan syariat Islam, dan bebas menafsiri agama Islam sesuai kepentingan dan pemahaman penganutnya, sekalipun harus bertolak-belakang dengan nash sharih (doktrinasi) Alquran dan Hadits. Kelompok ini lebih mengedepankan rasionya dari pada mengikuti kewajiban-kewajiban agama, sekalipun yang telah dicontohkan dan praktekkan secara langsung oleh Nabi SAW.
Di bawah ini, adalah cuplikan beberapa masalah yang sering didengung-dengungkan oleh para pengusung liberalisme, yang dikutip dari Artikel Islam Liberal (www.islamlib.com) :
I. Judul: Menuju Negara (Islam) Multikultural
Oleh Ariyanto
19/06/2006
Cuplikan tulisan/pernyataan kontroversial:
Boleh-boleh saja menginginkan negara Islam (bukan dalam konteks mendirikan negara baru atau separatisme). Asal negara Islamnya disesuaikan dengan konteks keindonesiaan yang multikultural. Ada tawaran konsep negara Islam yang cocok dengan kondisi sosio kultural bangsa Indonesia yang plural ini, yaitu memisahkan antara dosa vertikal (dosa terhadap Tuhan) atau syariah individual dan dosa horisontal (dosa kepada sesama manusia) atau syariah publik.
Untuk dosa vertikal seperti tidak memakai jilbab, meninggalkan salat, berzina, serta tidak berpuasa atau singkatnya tidak menjalankan syariah secara individual, biar Tuhan saja yang menghukumnya. Karena itu termasuk hablun minallah (hubungan dengan Tuhan). Adapun dosa horisontal seperti membunuh, mencuri, korupsi, dan tindakan kejahatan lainnya, manusia bisa menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk menghukumnya. Bagi saya, kedua hal (syariah individual dan publik) itu sama-sama hukum Tuhan. Hanya saja yang menghukum berbeda.
Tidak bisa pemerintah Indonesia memerangi orang yang tidak salat dan berpuasa, menilang orang yang tidak berjilbab, berkemben, berkoteka, menangkapi orang-orang yang berzina, atau memberikan fatwa hukuman mati kepada orang yang mempunyai aqidah berbeda dengan kebanyakan orang. Biarkan saja mereka sendiri yang mempertanggungjawabkan kepada Tuhan.
Yang harus diperjuangkan umat Islam (juga umat lainnya, termasuk yang tidak beragama sekalipun) mestinya bukan menyangkut dosa vertikal, melainkan memerangi dosa horisontal seperti korupsi, illegal logging, illegal fishing, pembajakan, eksploitasi seksual, terorisme, serta perdagangan anak dan wanita (trafficking). Umat Islam harus punya solusi konkret mengenai hal ini. Bukan berarti umat Islam yang mengabaikan salat, puasa, dan jilbab itu tidak diurusi. Itu semua tetap diurusi dalam kaitannya saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran (tawashau bilhaqqi wa tawashau bisshabr), tidak perlu dilakukan secara paksa apalagi melalui ``tangan besi`` negara.
JAWABAN PEJUANG ISLAM :
Pertama, kita harus memiliki keyakinan bahwa kita diperintahkan oleh Allah untuk masuk ke dalam agama Islam secara total (kaaffah). Mengimani sebagian dan mengkufuri sebagian yang lain sangat dilarang dalam Alquran (lihat QS. Albaqarah 85, QS Annisa 51-52, 60-61, 150-152).
Kedua, hukum dari pemerintah merupakan usaha amar ma`ruf nahi munkar. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Attarabilisi bahwa Qadla (hukum dari pemerintah) adalah pemberitaan tentang hukum syariat, dalam bentuk sanksi. Lebih jelas lagi ditegaskan oleh Imam Mawardi; Sanksi dari pemerintah termasuk dalam amar ma`ruf nahi munkar. Amar ma`ruf nahi munkar merupakan kewajiban seluruh ummat Islam. Pemerintah, merupakan lokomotif usaha amar ma`ruf nahi munkar bagi seluruh ummat Islam. Peran aktifnya sangat diperlukan, bahkan merupakan kewajiban dan tanggung jawab bagi institusi Negara itu. Di akhirat, orang-orang yang mempunyai tanggung jawab akan diberhentikan oleh Allah, sebelum mereka melenggang ke surga. Waqqifuuhum innahuu mas-uuluun (Hentikan mereka, karena mereka adalah orang-orang yang bertanggung jawab).
Jadi pengklasifikasian dosa menjadi dosa vertikal dengan dosa horizontal dengan tujuan agar pemerintah atau manusia tidak memberi sanksi terhadap kesalahan vertikal, merupakan escapisasi (usaha melarikan diri) dari tanggung jawab amar ma`ruf nahi munkar. Pembagian semacam ini termasuk dalam kategori bid`ah dhalalah.
Allah SWT berfirman (yang artinya) : "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang (lantas) beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. " (QS. Ali Imran : 110)
Amar makruf nahi munkar merupakan tanggung jawab kolektif seluruh umat manusia, terutama pemerintah yang mempunyai amanat mengatur aktifitas masyarakat. Allah SWT berfirman (yang artinya) : "Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang dzalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya." (Al-Anfal : 25). Maksud dari tanggung jawab kolektif adalah, jika kemungkaran terjadi, namun tidak ada yang berusaha melarangnya, maka Allah SWT akan memberi sanksi kepada semua ummat. Kepada yang melakukan kemungkaran itu karena prilakunya, dan kepada yang tidak melakukan kemungkaran, karena sikapnya yang pasif dan diam.
Rasulullah SAW bersabda (yang artinya): "Tidak ada seorang yang melakukan kemaksiatan di tengah ummat, di mana mereka mampu merobah kemunkarannya, tapi mereka enggan merobahnya, kecuali Allah akan menurunkan adzabnya, sebelum mereka mati".
Dalam hadits lain (yang artinya) : "Demi Dzat Yang aku berada dalam genggaman-Nya, perintahkanlah kebaikan dan laranglah kemunkaran! Atau Allah akan menurunkan siksa-Nya kepada kalian, kemudian kalian memohon kepada-Nya, namun tidak akan dikabulkan-Nya".
* * *
II. Judul: Al-Quran, Natal dan Pluralisme Agama
Oleh M. Guntur Romli
01/01/2006
Tulisan ini dimuat di: Koran Tempo, Sabtu, 24 Desember 2005
Cuplikan tulisan/pernyataan kontroversial:
Lebih dari itu, mengucapkan Natal, merupakan pintu menuju ruangan lebih luas: pengakuan terhadap pluralisme agama. Bagi saya, Al-Quran tidak hanya sekadar ikut merayakan Natal, tapi juga merayakan pluralisme agamabukan sekadar pluralitas agama.
Sebagai muslim, saya ingin mengucapkan Selamat Hari Raya Natal bagi umat Kristiani. Al-Quran, kitab suci umat Islam lebih unik dan lengkap memberikan ucapan selamat. Jika Hari Natal, hanya merayakan kelahiran Nabi Isa (Jesus Kristus), Al-Quran, memberi selamat pada tiga momen sekaligus: saat kelahiran, wafat, dan kebangkitan kembali. Dan salam sejahtera semoga dilimpahkan kepadaku (Isa: Jesus), pada hari aku dilahirkan, pada hari aku akan meninggal dan pada hari aku dibangkitkan kembali. (QS Maryam: 33). Itulah, perayaan Natal plus versi Al-Quran.
Lebih dari itu, mengucapkan Natal, merupakan pintu menuju ruangan lebih luas: pengakuan terhadap pluralisme agama. Bagi saya, Al-Quran tidak hanya sekadar ikut merayakan Natal, tapi juga merayakan pluralisme agama (maksudnya pencampuadukan ajaran agama)bukan sekadar pluralitas agama (maksudnya keberagaman agama).
JAWABAN PEJUANG ISLAM:
Opini di atas merupakan pembodohan sekaligus penyesatan terhadap publik (baca: umat Islam). Man takallama fil qur-an bi rakyihi fal yatabawwak maqadahu minan naar (barang siapa mengatakan dalam menafsiri Alquran hanya dengan pendapatnya, maka siap-siaplah untuk duduk di atas bara api/neraka). Alquran memberi selamat pada tiga momen dalam QS. Maryam: 33 bukan untuk Yesus seperti yang dipahami oleh orang-orang Kristen. Sangat jauh pemahaman umat Islam tentang siapa itu Isa dan pemahaman orang Kristen tentang siapa itu Yesus. Isa bagi umat Islam adalah nabi ke-24, manusia yang juga makan dan minum sebagaimana yang diterangkan dalam QS, Almaidah 75, yang artinya, Almasaih putra Maryam itu hanyalah seorang rasul, yang sesungguhnya telah berlalu dsebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, keduanya biasa memakan makanan, perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli Kitab) tanda-tanda kekuasaan Kami. Nabi Isa belum meninggal dunia hingga kini, melainkan diangkat oleh Allah ke langit dengan ruh dan jasadnya wamaa qotaluuhu wamaa sholabuuhu (padahal mereka tidak membunuhnya, dan tidak pula menyalibnya, QS. Annisa 157) dan kelak akan turun ke bumi untuk menghancurkan salib-salib yang menjadi identitas orang Kristen, kemudian diwafatkan oleh Allah SWT.
Sedang Yesus, yang disalib, dan yang telah meninggal dunia, dan diklaim sebagai Isa dalam persepsi orang Kristen, padahal walaakin syubbiha lahum (tetapi yang mereka bunuh ialah- orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka, QS. Annisa 157 diyakini sebagai Tuhan. Mereka memperingati natal tiap tanggal 25 Desember untuk memperingati kelahiran Isa, yang menurut keyakinan mereka adalah Tuhan. Mereka juga memperingati hari meninggalnya Yesus setiap tanggal 14 April. Sedang kita umat Islam tidak meyakini Isa sebagai Tuhan. Alquran memberi selamat pada tiga momen sekaligus: saat kelahiran, dan wafatnya kelak setelah diturunkan dari langit, dan kebangkitan kembali, adalah ucapan selamat dari Allah untuk Isa yang diyakini umat Islam sebagai nabi. Jadi QS Maryam 33 bukan perayaan Natal plus versi Al-Quran, apalagi sampai dipahami sebagai pintu menuju pembenaran paham pluralisme.
Cuplikan tulisan/pernyataan controversial Guntur lainnya:
Keempat, pengakuan konstitusional dan legislasi kitab-kitab sebelum Al-Quran. Dalam hal ini, Al-Quran bukan penghapus dan pembatal bagi kitab-kitab sebelumnya. Posisi Al-Quran adalah sebagai penguat (mushaddiq) dan penjaga (muhaimin) (Al-Maidah [5]: 48). Al-Quran menegaskan Taurat sebagai petunjuk dan cahaya (hudan wa nr) yang terdapat di dalamnya hukum Allah (fh hukm Allh). Al-Quran juga menegaskan Injil sebagai petunjuk dan cahaya (hudan wa nr) dan penguat (mushaddiq) terhadap ajaran Taurat. (Al-Ma`idah: 43, 44, 46).
Uniknya Al-Quran tidak saja mengakui hukum-hukum yang terdapat dalam Taurat dan Injil, bahkan diperintahkan untuk mempraktekkannya. Tiga penggalan ayat yang sering digunakan oleh kelompok fundamentalisme Islam: barang siapa yang tiada memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah: maka merekalah orang kafir (5: 44); orang yang zalim (5: 45); dan orang yang fasik (5: 47) untuk mendukung hukum yang mereka klaim sebagai hukum Tuhan dan mengharamkan hukum manusia pada dasarnya tiga ayat tersebut sebagai kecaman keras bagi yang tidak mempraktekkan hukum Taurat dan Injil!
Allah menolak sikap kaum Yahudi ketika mendatangi Nabi Muhammad untuk memutuskan perkara mereka dengan hukum yang berasal dari Al-Quran. Kisah tersebut tertera dalam surat al-Ma`idah ayat 43. Tapi bagaimana mereka (kaum Yahudi) meminta keputusan kepadamu (Muhammad), sedangkan mereka mempunyai Taurat, yang di dalamnya ada hukum Allah? Dan jika kita cermat, dalam surat yang sama ayat 45, hukum qishsh (balasan setimpal: nyawa dengan nyawa, mata dengan mata dst) yang dikenal sebagai sanksi pidana dalam fikih klasik ternyata berasal dari hukum Taurat!
Sedangkan kaum Kristen juga diperintahkan untuk mempraktekkan hukum Injil tertuang dalam surat yang sama ayat 47. Hendaklah orang yang berpegang kepada Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya.
JAWABAN PEJUANG ISLAM:
Kitab Taurat maupun Injil yang harus diikuti menurut ayat di atas adalah Taurat dan Injil sebelum mengalami proses tahrif (gubahan). Allah SWT berfirman dalam QS. Annisa 46 (yang artinya), [Yaitu orang-orang Yahudi, mereka merubah perkataan (lafadz Taurat) dari tempat-tempat (dengan menambah dan mengurangi) nya].
Jika Taurat maupun Injil yang sekarang memang asli sebagaimana diturunkan kepada Nabi Isa AS, kita wajib mengimaninya. Bahkan mengimaninya merupakan Rukun Iman. Mengimani Kitab Taurat, Injil dan kitab suci yang lain yang asli, hukumnya wajib, termasuk juga doktrin ajaran Taurat dan Injil bahwa akan ada nabi terakhir setelah Isa, yakni Nabi Muhammad SAW. Dikisahkan dalam QS. Alfath 29 (yang artinya), Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya (yaitu para Shahabat Nabi SAW) adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang terhadap sesame mereka; kamu lihat mereka ruku dan sujud (ahli shalat) mencari karunia Allah dan keridloanNya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat. Dan sifat-sifat mereka dalam Injil yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat, lalu menjadi besarlah dia, dan tegak lurus di atas pokoknya; tamanam itu menyenangkan hati penanam-penanamnya. Dari ayat ini sudah jelas kedatangan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, dan sifat-sifat umat Islam, telah diajarkan dalam kitab Taurat dan Injil. Mereka pun harus mengimaninya, jika mereka benar-benar berpegang teguh dengan kitab-kitab samawi yang asli diturunkan oleh Allah.
Apakah orang Yahudi dan Kristen sekarang mengimani kenabian Nabi Muhammad? Jika tidak, padahal mereka mengaku mengimani Injil, berarti kitab tersebut telah mengalami perubahan dan penulisan karya cipta manusia, dan bukan murni wahyu dari Allah.
Perintah untuk mengambil hukum dari Taurat atau Injil yang dimaksud dalam Alquran, adalah semacam sindiran bagi orang-orang Yahudi dan Nasrani, karena mereka nyatanya tidak mau mengambil hukum dari kedua kitab tersebut sebagai wahyu murni, malah justru mereka banyak merubahnya. Alquran mengibaratkan mereka kamatsalil himaari yahmilu asfaaraa (seperti keledai yang mengangkut banyak kitab), namun tak mau mengambil dan mengamalkan hukum dari kitab-kitab tersebut.
Tentang hukum Qishash yang diambil dari Taurat, perlu dipahami, bahwa Islam dan Alquran turun, adakalanya memang menjadi penguat hukum yang ada, namun adakalanya juga menghapus hukum-hukum lama. Hukum Qishash termasuk hukum yang dipertahankan keberadaannya. Namun, secara masuk akal, hal ini tidak bisa diqiyaskan dan digeneralisasikan (gebyah uyah) ke hukum-hukum lain. Jika dipaksa begitu, apakah ritual ibadah yang ada sekarang, model haji yang ada sekarang, model shalat yang ada sekarang, tidak perlu aturan Nabi Muhammad (sebagai pembawa Alquran dan Islam) dan ikut Taurat atau Injil saja? Jadi, ummat Nabi Muhammad punya syariat dan hukum sendiri. Legitimasi Alquran terhadap Taurat dan Injil adalah sebagai kedua kitab suci yang otentik, persis yang difirmankan kepada Musa as dan Isa as, bukan dalil prulalisme yang menyatakan bahwa semua agama sama benarnya, dengan menggunakan dalih bahwa Alquran pun menyuruh Yahudi dan Nasrani untuk mengkuti Taurat dan Injil saja. Bahkan lebih tegas lagi Allah telah mengklasifikasikan orang Yahudi dan orang Nasrani yang hidup di zaman Nabi SAW yang tidak masuk Islam, sebagai orang-orang kafir, sebagimana termaktub dalam QS. Attaubah 30 (yang artinya), Orang-orang Yahudi berkata Uzair itu putra Allah dan orang Nasrani berkata Almasih Isa itu putra Allah. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allahlah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?
* * *
III. Wawanca dengan M. Dawam Rahardjo:
Negara Tak Perlu Mengatur Kepercayaan
13/03/2006
Cuplikan tulisan/pernyataan kontroversial:
JIL: Mas Dawam, kalau hendak mewujudkan kebebasan beragama, bagaimana negara memosisikan diri di tengah beragamnya agama dan kepercayaan di Indonesia?
Negara harus bersikap netral terhadap semua agama dan tak boleh melarang timbulnya suatu aliran kepercayaan atau agama apapun. Kalau ada suatu kelompok yang misalnya ingin mendirikan agama sendiri, seperti Komunitas Eden, itu tak bisa dilarang oleh negara. Artinya, biar pasar atau masyarakat yang menilai. Kalau agama itu mengajarkan hal yang aneh-aneh, pasti dia akan ditolak oleh masyarakat. Biar masyarakat yang menolak.
Tapi menolaknya hendaklah dengan cara tidak ikut aliran itu saja, bukan dengan melakukan tindak-tindak kekerasan dalam rangka menghukum mereka. Sebab di Quran sendiri sudah dikatakan bahwa yang punya hak menghukum keyakinan seseorang kelak hanyalah Tuhan. Hanya Aku yang berhak menghukum, sementara kamu hanya bertugas untuk menyampaikan, memberi kabar. Menghukum adalah urusan-Ku, kata Tuhan.
JIL: Mungkinkah semangat kebebasan beragama itu dilandaskan atau didukung oleh doktrin agama tertentu?
Bisa, terutama ketika doktrin agama tertentu itu diterapkan dalam konteks yang plural. Misalnya, ayat lakum dnukum waliyadn (bagimu agamamamu dan bagiku agamaku, Red) dapat saja dijadikan salah satu dalil atau asas pluralisme. L ikrha fiddn (tidak boleh ada paksaan dalam beragama, Red) juga bisa dijadikan basis pluralisme, karena kita atau siapapun tak mungkin bisa memaksakan suatu keyakinan pada orang lain. Kalaupun keyakinan itu bisa kita paksakan, itu bukan lagi keyakinan yang genuine. Karena itu, yang namanya iman harus didasarkan pada keputusan individu yang bebas. Kalau seorang individu dalam kondisi yang tidak bebas, dia tidak akan bisa beriman secara sungguhan.
JIL: Tapi dua ayat tadi bisa saja disanggah ayat-ayat lain yang berwatak eksklusif, seperti innaddna `indalLhil Islm (agama yang di sisi Allah hanyalah Islam, Red). Artinya, kitab suci seperti memberi kebebasan di satu pihak, tapi juga menafikannya dengan klaim favoritisme di mata Tuhan?
Ayat innaddna `indalLhil Islm memang berarti agama yang diridai Tuhan hanya Islam. Tapi klaim itu hanya berlaku bagi orang Islam. Karena itu, dalam kepercayaan agama, orang Islam harus juga berpedoman pada l ikrha fiddn. Artinya, kepercayaan kita bahwa Islam agama yang paling diridhai Tuhan adalah kepercayaan orang Islam sendiri yang tak bisa dipaksakan pada orang lain. Karena ada ayat l ikrha fiddn, keyakinan seperti itu tak boleh dipaksakan pada semua orang.
Artinya, prinsip lakum dnukum waliyadn berguna dalam mengatur hubungan antar agama. Kalau terjadi pertengkaran antar agama yang tidak bisa didamaikan dan masing-masing pihak menganggap agamanya yang paling benar, maka asas lakum dnikum waliyadn berlaku. Ya sudah, kalau bagi kamu agama kamu paling benar, silakan! Tapi meski berbeda, kita damai-damai sajalah. Kira-kira begitu yang dimaksud Alquran agar tak terjadi perang antar agama.
JAWABAN PEJUANG ISLAM:
Berarti ayat-ayat lakum dnukum waliyadn (bagimu agamamamu dan bagiku agamaku) atau L ikrha fiddn (tidak ada paksaan untuk masuk agama Islam) sebagai basis pluralitas (keberagaman) saja, bukan pluralisme dalam arti menganggap benar semua agama. Umat Islam wajib meyakini kebenaran Islam dengan dalil ayat innaddna `indalLhil Islm yang maksudnya adalah (satu-satunya) agama yang (ajaran syariatnya dianggap benar) di sisih Allah (setelah Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul) hanyalah Islam. Pluralitas membenarkan kehidupan yang beragam, terdiri dari banyak suku, kabilah, dan agama. Namun untuk membenarkan semua keyakinan dan agama (pluralisme) tidak dibenarkan dalam Islam, karena agama yang diridlai dan diakui kebenarannya oleh Allah SWT hanyalah agama Islam sebagaimana disebutkan dalam ayat innaddna `indalLhil Islm tadi.
Adapun dalam konsep ayat Laa ikrooha fid diin (tidak ada paksaan dalam memilih agama), maksudnya seseorang dibebaskan untuk memilih masuk Islam, atau pilih menjadi kafir, atau bahkan terang-terangan pilih masuk neraka sekalipun, itu terserah pilihan masing-masing. Tetapi harus diperhatikan terusan ayatnya: qod tabayyanar rusydu minal ghoyyi (Sungguh telah jelas jalan kebenaran alias Islam dan jalan yang sesat alias non Islam). Namun jika seseorang telah memilih masuk Islam, maka wajib mengamalkan udkhuluu fis silmi kaaffah (masuklah ke dalam agama Islam secara menyeluruh). Termasuk bersedia melaksanakan secara mutlak hukum Islam yang diturunkan oleh Allah lewat Alquran. Bukannya melaksanakan hukum buatan manusia, khususnys yang bertentangan dengan doktrin agama, faman yakfur bit thaghuuti wa yukmin billaah faqodistamsaka bil urwatil wutsqo lanfishooma lahaa (barang siapa yang ingkar terhadap thaghut/sesembahan selain Allah (dengan segala produknya) dan beriman kepada Allah (dengan mengamalkan syariat-Nya), maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus). Juga bukan pula berkompromi dengan hukum Taurat dan Injil yang telah mengalami tahriif (perubahan) oleh tangan-tangan jahil pengikutnya, sebagaimana hal itu terjadi pada jaman Jahiliyyah sebelum datangnya agama Islam, Afahukmal jaahiliyyati yabghuun? (apakah hukum produk jahiliyyah/kaum kurfaar yang diinginkan?). Bahkan umat Islam tidak boleh pasif dalam memperjuangkan tatbiiqus syari`ah (penerapan syariat), sebelum benar-benar terwujud pemberlakuan syariat Islam di muka bumi secara sempurna. Innad diina `indallahil Islam [sesungguhnya satu-satunya agama (yang diakui kebenaran syariatnya) oleh Allah (setelah Nabi Muhammad diutus) hanyalah agama Islam]. Umat Islam berkewajiban untuk menyampaikan kebenaran agama ini kapanpun dan dimanapun berada. Nabi SAW telah mengintruksikan hal itu kepada umat, ballighuu anni walau aayah [sampaikanlah (ajaran Islam) dariku sekalipun hanya (mampu) satu ayat].
* * *
IV. Wawancara JIL dengan Faqihuddin Abdul Kodir, MA:
Nabi pun Setia Monogami
01/06/2003
Cuplikan tulisan/pernyataan kontroversial:
ULIL: Selama ini orang yang berpoligami mengambil landasan dari ayat Alquran. Bagaimana menjawab argumen seperti ini?
FAQIHUDDIN: Sebenarnya kalau mau jujur, dalam Alquran ada tiga poin yang terkaitan dengan poligami. Yang pertama, anggaplah semacam memberi kesempatan untuk poligami. Kedua, peringatan atau warning agar belaku adil: fain khiftum all tadil fawhidah (kalau engkau sangsi tidak dapat berlaku adil, satu sajalah! -Red). Ketiga, ada ayat yang mengatakan, walan tashtat an tadil bainan nis wain harashtum. Artinya, kamu sekalian (wahai kaum laki-laki!) tidak akan bisa berbuat adil antara isteri-isterimu, sekalipun engkau berusaha keras.
Ini artinya, kalau kita melakukan komparasi atas berbagai ayat, kesimpulannya adalah satu ayat membolehkan poligami, sementara dua ayat justru (seakan-akan) menafikan terwujudnya syarat pokok berpoligami: masalah keadilan. Intinya, dua ayat justru mengekang poligami. Kalau kita menggunakan proporsi seperti tadi, akan dihasilkan perbandingan dua ayat banding satu. Dan ingat, satu-satunya ayat yang seakan membolehkan poligami, yaitu Qs An-Nisa: 2-3, konteksnya adalah perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang.
JAWABAN PEJUANG ISLAM :
Adil dalam materi bisa dilakukan. Adil dalam non materi (kecenderungan rasa cinta, dsb) tidak bisa dilakukan. Itulah yang dimaksudkan dalam ayat walan tashtat an ta`dil bainan nis wain harashtum [kamu sekalian, wahai kaum laki-laki, tidak akan bisa berbuat adil terhadap isteri-isterimu (dalam membagi cinta), sekalipun engkau berusaha keras].
Sedang dalam ayat fain khiftum all tadil fawhidah (kalau engkau sangsi tidak dapat berlaku adil, satu sajalah), yang dimaksudkan adalah takut tidak bisa berlaku adil yang berhubungan dengan materi.
Dengan demikian, ayat-ayat di atas tidak berkontradiksi (taarudl), karena syarat adil yang dimaksud kedua ayat tersebut berbeda. Apalagi sampai mengalkulasikan dua ayat banding satu. Sehingga ayat yang satu (yakni ayat yang memberi kesempatan untuk poligami) dianggap kalah oleh dua ayat yang mengekang poligam. karena menafikan terwujudnya syarat pokok berpoligami yaitu keadilan, Kalkulasi semacam ini tidak dibenarkan dalam disiplin ilmu usul fiqih.
Menyikapi kontradiksi kedua ayat tersebut, bisa menggunakan langkah pertama dalam Ushul Fiqh yaitu dengan thariqah al jam (menyatukan maksud dua dalil atau lebih yang seakan-akan berkontradiksi). Cara kedua (tarjih) dan ketiga (nasakh mansukh) tidak dibutuhkan untuk menghasilkan kesimpulan (konklusi) hukum dari kedua dalil yang secara dzahir bertentangan tersebut. Jadi tuntutan untuk bisa berlaku adil bagi orang yang akan berpoligami adalah adil dalam urusan materi. Jika bisa adil dalam materi, silakan berpoligami, jika tidak bisa berlaku adil, jangan berpoligami.
Adapun adil dalam urusan kecenderungan rasa cinta, dsb, seperti yang dimaksudkan dalam ayat walan tashtat an tadil bainan nis wain harashtum (kamu sekalian, wahai kaum laki-laki, tidak akan bisa berbuat adil antara isteri-isterimu, sekalipun engkau berusaha keras), bukan merupakan syarat diperbolehkannya poligami. Karena hal itu di luar batas kemampuan manusia.
* * *
V. Judul: Cawan dan Anggur: Menafsir Ulang Ayat-ayat Perang
Oleh M. Guntur Romli
Minggu, 08 September 2002
Cuplikan tulisan/pernyataan kontroversial:
Perang dalam Islam sama sekali bukan karena agama. Perang yang terjadi pada masa Rasulullah, merupakan masalah politik bukan agama. Peperangan ini lebih tepat disebut sebagai perang nasional (al-harb al-wathan) dari pada perang agama (al-harb al-dini). Perang Badar Kubra disebabkan perebutan ekonomi. Penaklukan Makkah lebih tepat disebabkan karena panggilan Ibu Pertiwi daripada perintah agama.
Perang antara Abu Bakar dengan nabi-nabi gadungan, juga bukan karena masalah agama, sebab mereka tidak mengingkari kenabian Muhammad bin Abdullah. Mereka tidak rela jika wahyu turun hanya pada suku Quraisy, dan sukunya tunduk pada kepemimpinan (politik) seorang nabi atau penggantinya dari suku lain. Motifnya jelas; sikap mereka mengganggu kesatuan wilayah Negara Madinah, kecemburuan sosial, dan gengsi kesukuan.
JAWABAN PEJUANG ISLAM:
Perang antara Sayyidina Abu Bakar melawan nabi-nabi gadungan, walaupun disebutkan itu lebih dipicu oleh motif "sikap mereka menganggu kesatuan wilayah Madinah, kecemburuan sosial, dan gengsi kesukuan", tapi bukankah eksistensi nabi-nabi gadungan itu sendiri merusak akidah umat? Andaikata penamaan dan penjulukan semisal kepada Musailimah sebagai nabi gadungan tidak merusak aqidah umat, maka Sayyidina Abu Bakar tidak akan memerangi mereka, dan tidak akan ada ketersinggungan umat atas perusakan akidah. Jangankan adanya nabi gadungan, umat Islam pun akan tersinggung secara akidah dengan banyaknya bermunculan ulama-ulama gadungan yang berbicara tentang agama secara asal-asalan, tanpa menggunakan kaedah keilmuan yang memadahi, bahkan dengan sengaja secara vulgar berusaha merusak pemahaman umat Islam, yang selama ini diajarkan oleh para Ulama generasi pertama hingga saat ini sesuai dengan disiplin ilmu keagamaan yang mereka kuasai.
Kita tidak mengatakan agama adalah sumber konflik. Sebab, sebetulnya, jihad adalah pengerahan usaha agar kalimatullahi hiyal `ulya. Usaha untuk membebaskan hamba dari menyembah sesama makhluq, dan mengajak agar mereka hanyalah menyembah Allah semata, serta mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekufuran) menuju cahaya terang (Islam). Jihad itu sendiri ada beberapa macam, bukan hanya dengan perang fisik, diantaranya menggunakan lisan atau menggunakan pena (tulisan), harta, dsb.
Perang fisik, bukan satu-satunya jalan dalam usaha penyebaran Islam. Jalur perang ditempuh, jika cara-cara damai menemui jalan buntu, seperti karena adanya perlawanan orang-orang kafir dalam usaha dakwah secara damai tersebut. Nabi bersabda, "umirtu an uqaatilan naasa hattaa yashadu an laa ilaaha illallah", (aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan la ilaaha illallah). Dalam teks hadits, nabi menggunakan kata uqaatila, bukan aqtula. Uqaatila bermasdar `muqaatalah` yang mempunyai konsekuensi arti terjadi antara dua belah pihak. Sedang lafadz aqtula bermasdar `al qatl`, yang mempunyai arti membunuh saja, dari satu pihak. Dari hadits yang disabdakan nabi itulah, perang dalam Islam bukan perang ofensif (memulai menyerang), namun defensif (bertahan).
Jihad tanpa peperangan telah disyariatkan sejak Rasulullah SAW masih berada di Makkah (lihat Alfurqan : 52, dan Alankabut: 79). Jihad dengan mengangkat senjata (diizinkan) adakalanya karena membela tanah kaum muslimin dari cengkeraman kaum kafir, sebagaimana terjadi pada perang Ahzab, atau karena melawan orang yang menghalangi penyampaian risalah (misi) Allah pada hamba-Nya, sesuai kadar kemampuan.
Selain itu, Alquran sendiri menamakan perang fi sabilillah (di jalan Allah) dalam ayat (yang artinya) : "Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu!" (Albaqarah: 190). Asbabun nuzul ayat ini adalah pembangkangan terhadap pelaksanaan perjanjian Hudaibiyah dan ditabuhnya genderang perang oleh kaum musyrikin (bukan motif agama juga?). Artinya, dalam keadaan seperti ini, Alquran menamakannya sebagai al qital fi sabilillah (perang di jalan Allah). Rasulullah SAW pernah ditanya tentang definisi `al-jihad fi sabilillah`, beliau menjawab dalam sabdanya, "Barang siapa berperang agar kalimatullah hiya al-`ulya, maka dia telah menempuh jalan Allah (fi sabilillah)."
Dari ayat di atas pula (Albaqarah:190), ulama kemudian ittifaq (sepakat) bahwa perang membela agama hukumnya wajib bagi setiap mukallaf, dan dinilai mampu untuk melakukannya. Hukum wajib ini dikuatkan pula dalam ayat kutiba `alaikumul qital, telah diwajibkan atas kalian untuk berperang.
Cuplikan tulisan/pernyataan kontroversial Guntur lainnya:
Penulis cenderung berpendapat bahwa ayat-ayat yang bernuansa peperangan merupakan ayat diskriptif, jadi hanya sebagai catatan sejarah, sebagai penggambaran masa lampau. Dengan tujuan, kaum muslimin bisa mengambil hikmah bahwa kejadian kekerasan tersebut tidak boleh terjadi lagi. Ayat-ayat tersebut tidak lagi mengandung kekuatan hukum untuk dipraktikkan karena sarat dengan permasalahan masa lalu dan merupakan tipe kuno (archaetype).
JAWABAN PEJUANG ISLAM:
Para ulama berbeda pendapat dalam dua hal dalam menyikapi ayat 190 Surat Albaqarah di atas, (yang artinya) : "Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu!". Pertama, siapa yang menjadi mukhatab, dan kedua aktualitas dan relevansi perintah perang itu sendiri.
Dalam masalaah pertama, Imam Malik berpendapat bahwa khithab dalam ayat tertuju pada penduduk Madinah secara khusus. Hal ini paralel dengan sebab diturunkannya ayat tersebut. Jika memang demikian, berarti ayat ini telah di-nasakh oleh ayat (yang artinya) : "Perangilah kaum musyrikin di manapun mereka berada" (Surat Bara-ah/Attaubah). Artinya, di mana dan sampai kapan saja umat Islam mendapati kaum musyrikin yang wajib diperangi (dengan syarat-syaratnya yang sudah maklum), perangilah mereka. Jadi, ayat Alquran tersebut bukanlah tipe kuno yang tidak boleh dipraktikkan.
Bahkan, selain Imam Malik, para ulama berargumen bahwa khithab meluas pada siapa saja. Dengan kata lain, setiap person diperintah untuk berperang melawan kaum musyrikin sampai hari kiamat. Hal tersebut kian transparan dan gamblang jika kita merujuk ayat lain Surat Bara-ah/Attaubah ayat 123 (yang artinya) : "Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang disekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan dari padamu." Ditambahkan, bahwa objek perintah pada mulanya adalah penduduk Makkah. Merekalah yang mula-mula di-khithabi. Dan ketika Makkah berhasil "dibuka", mandat kewajiban perang kemudian beralih kepada selain penduduk Makkah, sampai dakwah islam menyebar di seluruh penjuru dunia sampai hari kiamat. Pendapat ini dikuatkan pula oleh Ibnul `Arabi dari kalangan ulama madzhab Maliki.
Masalah kedua (tentang aktualitas dan relevansi perintah perang tersebut), mayoritas ulama mengatakan bahwa ayat ini muhkamah (masih mengandung kekuatan hukum), dan bahwa jihad akan tetap disyariatkan sampai tak ada satupun orang kafir yang tersisa.
Keniscayaan ini, tentunya, menjadi "positif" hingga hari kiamat. Dalam Alquran disebutkan (yang artinya) : "Dan perangilah mereka itu sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah" (Albaqarah : 193). Melihat ayat ini, makin mentah saja argumen yang menyatakan bahwa ayat-ayat yang bernuansa peperangan merupakan "ayat deskriptif", tidak berlaku lagi, atau merupakan catatan sejarah agar kaum muslimin bisa mengambil hikmah bahwa kekerasan seperti itu tidak boleh terjadi lagi, sebagaimana dikatakan oleh Guntur. Bisakah pendapat pribadinya me-nasakh ayat-ayat Allah?
* * *
VI. Wawancara JIL dengan Masdar F. Masudi:
Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang
19/01/2004
ULIL ABSHAR-ABDALLA (ULIL): Pak Masdar, bisakah Anda ceritakan bagaimana Anda bisa sampai pada kesimpulan bahwa haji dapat diperpanjang atau dimelarkan waktunya, dan atas dasar apa?
MASDAR FARID MAS`UDI (MASDAR): Latar belakang pertama adalah karena masyaqqt atau kesulitan yang sudah luar biasa tingkatannya, yang saat ini dialami oleh para hujjj. Kesulitan itu dapat dilihat indikasinya hampir setiap kali melakukan berbagai prosesi haji di tanah suci. Pada saat melempar jumrah, ada saja yang meninggal karena terinjak-injak, kadang-kadang sampai puluhan. Dan itu terus terjadi dari tahun ke tahun. Tentu saja, hal ini seharusnya menggugah kita dengan berbagai pertanyaan, misalnya apakah ibadah haji itu sudah menjadi semacam arena pembantaian? Nyatanya, haji telah menimbulkan kesulitan yang luar biasa, bahkan korban jiwa yang tidak sedikit. Nah, menurut saya ini bertentangan dengan prinisp Islam sendiri, yaitu prinsip al-dn yusrun (agama itu mudah dan memberikan kemudahan). Juga bertentangan dengan prinsip Alquran surat al-Hajj ayat 78: M jaalalLh alaikum fid dn min haraj (Allah tidak menjadikan kesulitan dalam kamu beragama).
Kedua, saya sampai pada pendapat bahwa sesungguhnya waktu haji itu tidak sesempit yang kita pahami selama ini. Yang kita pahami tentang waktu haji selama ini, praktis sekumpulan prosesi haji, mulai dari thawf qudm sampai thawf ifdlah. Prosesi itu sebenarnya kan hanya berlangsung pada 9, 10, 11, 12 Dzulhijjah. Atau dilonggarkan sampai tanggal 13 Dzulhijjah (5 hari). Dalam Alquran, sesungguhnya kita menemukan satu ayat yang sangat sharh, yaitu ayat al-hajj asyhurun malmt (haji itu waktunya adalah beberapa bulan yang diketahui). Jadi tegas sekali di dalam ayat itu diterangkan bahwa waktu haji itu beberapa bulan, bukan beberapa hari. Bahwa sekarang ini dipersempit menjadi hanya lima hari (waktu efektif), memang karena praktik Rasulullah yang berhaji hanya sekali, dan kebetulan pada hari-hari itu tadi (9-13 Dzulhijjah).
Tapi akhirnya dipahami bahwa haji hanya sah pada hari-hari itu saja. Lebih-lebih ada hadits yang mengatakan bahwa al-hajj arafah, atau haji itu adalah wuquf di Arafah. Nah, hadits ini yang kemudian dipahami bahwa haji itu intinya bukan hanya wuquf di tempat bernama Arafah, tapi juga wuquf di hari Arafah. Inilah yang sebetulnya menjadi problem. Dan menurut saya, problem ini harus dipecahkan.
ULIL: Anda mengartikan hadits al-hajj arafah itu sebagai apa?
MASDAR: Menurut saya, hadis ini berarti bahwa haji itu intinya wuquf di padang Arafah. Sementara soal waktu, tidak masuk di dalam hadis itu. Hadis al-hajj arafah ini berbicara soal aktivitas; inti dari haji adalah wuquf di Arafah, bukan berbicara soal tempat. Soal waktu haji, sebenarnya sudah diterangkan dalam ayat Alquran tadi. Jadi antara hadits dan ayat itu tidak saling menafikan. Selama ini, hadits al-hajj arafah dipahami sebagai menafikan ayat al-hajj asyhurun malmt.
Hadits itu juga tidak men-takhshs atau mengkhususkan ayat Alquran tadi, walaupun hadits bisa memberi penjelasan kepada ayat Alquran. Tapi kalau kata asyhurun (beberapa bulan) diberi penjelasan sebagai ayymun (beberapa hari) sebagaimana yang berlaku saat ini, tentu tidak masuk akal. Asyhurun itu artinya beberapa bulan. Nah, hadits bisa menjelaskan beberapa bulan itu. Berapa? Dan bulan apa saja? Itu baru masuk akal.
ULIL: Tapi Pak Masdar, hadits tadi menyebutkan, al-hajj arafah atau haji itu wuquf di Arafah. Sementara nabi sendiri, pernah memberi contoh wuquf itu tepat pada tanggal 9 Dzulhijjah. Nah, bagaimana Anda menyelesaikan kontradiksi ini, sementara hadits lain menyebutkan khudz ann mansikakum (contohlah tata cara hajimu dariku)?
MASDAR: Khudz ann mansikakum itu merujuk pada tata cara haji saja; prosesinya, syarat dan rukunnya. Dan soal waktu haji tidak bisa dinafikan oleh hadits itu. Soal waktu jelas ayatnya, al-hajj asyhurun. Saya berpendirian bahwa ayat tentang waktu dan hadits tentang tempat tadi (al-hajj arafah) tidak dalam posisi saling menafikan. Jadi harus di- imalkan, atau harus dipakai kedua-duanya. Dan, meng-ihmal-kan atau membatalkan ayat al-hajj asyhurun dengan hadits al-hajj arafah merupakan pesoalan serius menurut saya.
Dengan demikian, sesungguhnya waktu haji itu sama dengan waktu salat; ada waktu jawz (dibolehkan) dan ada waktu afdlaliyyah (waktu utama/prime-time). Dan argumen saya ini bukan reinterpretasi terhadap teks-teks, tapi semacam kembali kepada Alquran.
JAWABAN PEJUANG ISLAM:
Dalam ajaran Islam, ibadah terbagi menjadi dua bagian: aziimah dan rukhsah.Azimah adalah keadaan di mana seseorang diminta untuk melakukan sebuah amalan menurut kriteria yang sudah dibakukan oleh agama. Dilarang bagi umat untuk membuat suatu teori baru yang berseberangan dengan teori tadi.
Adapun rukhsah adalah perbuatan yang mana syariat sendiri telah membuka solusi-solusi bagi pemeluknya dan memberi keringanan-keringanan tertentu kala mereka menemukan hal-hal yang cukup berat untuk dilakukan.
Apa yang sudah disimpulkan Masdar, tentang bolehnya perpanjangan pelaksanaan haji dari waktu yang ada, dan bolehnya pelaksanaan di waktu-waktu lain selain waktu-waktu yang sudah di sepakati para ulama dari zaman dulu sampai sekarang, sebab kendala-kendala tertentu dan masyaqqah (kesulitan) yang begitu berat bagi jamaah haji, hal tersebut bukan lagi menyinggung masalah rukhsah yang dia dengung-dengungkan sebelumnya. Namun sudah menyerempet ke bentuk amalan yang pertama, yaitu azimah.
Amalan rukhsah yang berlandaskan masyaqqah bisa dilakukan saat tidak ada taarudl (kontradiksi) antara teks hukum dan masyaqqah tadi. Tapi kalau terjadi benturan antara nash (teks) dan masyaqqah, maka tidak ada lagi keringanan hukum (Asybah wa an Nadzair oleh Ibnu Nujaim al Mashri I/117).
Kita bisa mengambil rukhsah jika telah terpenuhi syarat-syaratnya. Rukhsah bisa dilakukan kalau perbuatan tadi bersifat juz-i (bagian tertentu), bukan kulli (menyeluruh). Sudah menjadi kesepakatan para pakar Ushul Fikih, jika terjadi pergesekan antara hukum kulli dan juz-i maka yang dimenangkan adalah hukum kulli. Karena hukum kulli bersumber dari maslahat kulliyah (kemaslahatan yang menyeluruh). Berbeda dengan hukum juz-i yang bersumber dari maslahat juz-iyyah (kemaslahatan yang tidak menyeluruh). Karena tatanan kehidupan dunia tidak manjadi rancu dengan dibatalkannya suatu maslahat juz-iyyah, lain halnya dengan maslahat kulliyah (Usul Fiqih al Khudlari: 71).
Dengan berdalil nash Alquran (yang artinya): waktu haji itu adalah beberapa bulan yang diketahui (QS albaqarah :197), beserta penafsiran yang dipahaminya, sampailah Masdar pada kesimpulan tadi. Padahal kalau kita kembalikan nash ini ke sebab turunnya (asbabun nuzul), sekaligus penafsiran-penafsiran para sahabat dan ulama setelahnya, tidak ada satupun komentar yang mengatakan bahwa ayat itu berkaitan dengan waktu haji dan prosesinya dengan berulang-ulang.
Malah Imam Ibnu Hazm mengeluarkan pendapat, sudah menjadi ijma` para ulama bahwa ayat itu hanya menunjukan waktu dibolehkannya ihram (niat) haji (Maratibul Ijma` hal 42). Karena haji hanya bisa dilakukan sekali dalam satu tahun. Waktu pelaksanaannyapun hanya boleh pada bulan dan waktu tertentu yang sudah masyhur. Berbeda dengan umrah, kapan saja bisa dilakukan.
Kemakluman itu sendiri bersumber dari Rasulullah yang dituangkan dalam prosesi hajinya. Waktu haji menjadi jelas dan gamblang, tidak boleh diubah, baik dimajukan atau dimundurkan (Tafsir Fakhrur Razi: III/173). Masdar, telah kelewatan sampai berseberangan dengan ijma ulama.
Selain itu, penafsiran dan pemahaman Masdar tentang al hajju Arafah (haji adalah Arafah), perlu ditinjau ulang. Apalagi jika sampai menganggap penafsirannya itu lebih pas dari pada pemahaman para ulama dari zaman sahabat sampai saat ini. Bahkan sampai mengatakan penafsiran ulama salaf itu kurang pas dan bersumber dari pemahaman yang sempit.
Kalau Masdar mau sedikit lebih teliti, dengan meneruskan potongan hadits tadi, lalu diperhatikan dengan seksama, maka bisa diketahui sampai mana prosentase kebenaran atau kesalahan penafsirannya.
Teks lengkap hadits tersebut adalah (yang artinya): Haji adalah wukuf di Arafah, barang siapa yang tidak mendapatkan, walau sebagian dari Arafah, maka hajinya tidak sah. Lalu perhatikan potongan berikutnya, barang siapa yang datang ke padang Arafah sebelum fajar pada malam hari idun nahr (idul adha), maka dia telah mendapatkan Arafah dan sah hajinya. (HR Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, diriwayakan dari sahabat Abdurrahman bin Ya`mur). Imam Nawawi menilai, hadits ini shahih (Majmu` Juz 8 hal ). Bahkan dalam riwayat Imam Abu Dawud (no. 1947), disebutkan waktunya secara jelas, al hajju yaumu Arafah (inti haji adalah wukuf pada hari Arafah).
Hadits-hadits tersebut adalah dalil sharih (jelas dan pasti) tentang tata cara wukuf di Arafah. Bagaimana kita mengartikan sabda Rasul (yang artinya): Barang siapa yang datang ke Arafah (tempat, pen) sebelum fajar pada malam hari Idul Adha (waktu, pen), maka hajinya sah. Di sini dijelaskan waktu wukuf dan tempatnya.
Mafhum mukhalafah atau kebalikan dari itu, jika seseorang melakukan aktifitas wukuf selain pada waktu yang ditentukan nabi, maka itu jelas-jelas manyalahi hadits dan tidak sah hajinya. Terlebih bila kita lihat hadits riwayat Imam Abu Dawud, di situ tersebut dengan jelas kapan wukuf dilaksanakan.
Imam Tirmidzi berkata: Hadits Abdurrahman bin Yamur lah yang menjadi landasan, kapan bisa dikatakan sah atau tidaknya wukuf seseorang di Arafah (Nailul Authar Imam Assyaukani: I/136).
Keberadaan hadits ini tidak menafikan ayat sebelumnya, itulah yang dikatakan para ulama. Lalu diambillah kesimpulan dengan pengamalan yang sudah berjalan dalam jangka waktu yang begitu panjang.
Namun pengamalan seperti yang dipahami Masdar adalah salah satu bentuk kerancuan pemahaman terhadap dalil Alquran dan Hadits.
Dari sisi lain, Imam Ibnu Hazm mengatakan bahwa sudah menjadi ijma (konsensus) para ulama bahwa pelaksanaan wukuf ada pada tanggal 9 Dzul Hijjah, yaitu hari Arafah (Maratibul Ijma: hal 45).
Kalaupun Masdar mengatakan bahwa pelaksanaan haji yang dianut umat Islam dari dulu sampai sekarang lebih dikarenakan tunduk terhadap tradisi, dan tradisi itu dogma, sebenarnya bukanlah demikian. Ini tidak ada sangkut pautnya dengan tradisi. Tapi merupakan syariat yang harus dipatuhi dengan berdasarkan dalil. Dalam permasalahan inipun terdapat dalil-dalil sharih dan jelas. Baik itu dari Alquran, hadits shahih dan juga ijma ulama.
Menyinggung hadits riwayat Bukhari li takkhudzu anni manaa sikakum (agar kalian mengambil tata cara haji dariku), Masdar berpendapat bahwa hadits ini hanya sebagai rujukan tata cara haji yang menyangkut syarat dan rukun saja. Tanpa ada kekuatan untuk berbicara dengan bahasa yang lantang akan prosesi haji Rasulullah secara utuh dari segala sisi dan arahnya.
Kalau kita cermati kembali makna syarat dan rukun suatu ibadah, maka ini tidak bisa terlepas dari suatu masa dan tata ruang suatu perbuatan. Kita ambil misal pelaksanaan shalat. Allah berfirman (yang artinya), dan tegakkanlah shalat. Di sini Allah memberi perintah suatu ibadah tanpa dibarengi tata cara pelaksanaannya. Akan tetapi di lain pihak nabi bersabda shalluu kamaa ra-aitumuuni ushalli (shalatlah kamu seperti kalian melihat shalatku). Bagaimana kita bisa memahami perintah Allah berupa shalat kalau tidak ada contohnya?
Di sini, kita perlu bertanya, bagaimana kita mengambil cara shalat tadi. Apakah cukup rakaatnya saja? Lalu, dengan ijtihad, shalat bisa dilakukan seenak dan semau kita? Atau waktunya saja, dengan tidak menghiraukan segala sesuatu yang berkaitan dengan dzatnya shalat itu sendiri? Barangkali tidak ada satu pun orang di dunia ini yang mempunyai kesimpulan seperti itu.
Dengan sabda Rasulullah SAW tadi, ummat Islam langsung bisa memahami dan mengetahui bagaimana mereka menegakkan shalat.
Antara shalat dan haji tidak ada perbedaan, karena keduanya adalah rukun Islam yang harus diyakini. Seperti shalat, masalah haji dijelaskan dengan dalil qurani yang bersifat mutlak, wa`atimmul hajja wal umrota lillah (dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah), walillahi alannasi hijjul baiti (Dan untuk Allah, wajib atas manusia haji ke Baitullah), al hajju asyhurun ma`lumat (waktu haji itu adalah beberapa bulan yang diketahui).
Hadits khudzu anni manaasikamum (ambillah dariku tata cara haji kalian) menjawab semua itu dengan jelas dan gamblang. Ulama Ushul Fikih sepakat bahwa perbuatan nabi yang bertujuan untuk memberi penjelasan kepada umatnya, tentang amalan yang bersifat wajib, maka perbuatan tadi wajib untuk diikuti (Al-Ihkam lil`Amidi: I/135). Inilah yang dipahami sahabat Ibnu Umar r.a kala ditanya salah satu permasalahan haji (Qurtubhi: II)
Jadi praktek haji Rasulullah pada hari-hari dan waktu-waktu tertentu tadi, walau hanya satu kali saja dilakukan oleh Rasulullah, bukan sebagai kebetulan yang berawal dari ketidaksengajaan atau berlandaskan ketidaktahuan. Namun merupakan syariat yang sudah diturunkan oleh Allah kepada nabi yang tidak berbicara dengan nafsu, namun dengan wahyu Allah (wa maa yantiqu anil hawaa inhuwa illa wahyun yuuhaa).
Adapun penjelasan ayat alhajju asyhurun maluumaat (haji itu dilaksanakan pada bulan-bulan yang dimaklumi) yaitu bulan Syawwal, Dzulqadah, dan Dzulhijjah, tiada lain bagi yang melaksanakan haji tamattu, yaitu orang yang berumrah di bulan Syawwal, lantas melakukan tahallul, dan pada tahun yang sama dia melaksanakan ibadah haji, dengan berwuquf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, dan menyempurnakan hajinya hingga tanggal 12 atau 13 Dzulhijjah, bahkan diperkenankan untuk menyempurnakan hajinya lebih dari waktu-waktu itu, yaitu tatkala akan melaksanakan thawaf ifadhah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab manasik yang lebih luas pembahasannya. Wallahu alam bis shawaab, wa ilaihil ma-aab.