Perbincangan bersama KH Luthfi Bashori,
Pengasuh PP Ribath Al-Murtadla Al-Islami, Singosari Malang.
Pondok pesantren adalah sebuah lembaga yang memiliki peranan dalam mencetak sumber Daya Manusia, dalam arti sebagai lembaga pendidikan. Akan tetapi secara struktur out put dari pondok pesantren seakan belum mendapat legitimasi yang optimal dari pemerintah, bagaimana menurut Anda?
Saya berpendapat memang ada perbedaan antara pondok pesantren dan sekolah umum. Jika sekolah umum yang dituntut adalah pengakuan dari negara seperti halnya dapat gelar dan ijazah, namun jika di pondok pesantren targetnya adalah mencari ilmu yang nantinya akan berguna secara praktis jika telah terjun di masyarakat. Contohnya, ada orang mondok karena ingin jadi pemimpin tahlil, setelah keluar dari pesantren ia bisa memimpin tahlil, berarti ilmu yang didapat bisa diaplikasikan secara langsung. Jadi jika seseorang ingin memiliki ijazah formal saja, harus direnungkan, “bukan hidup untuk bekerja namun bagaimana orang tersebut bisa bekerja untuk hidupnya”. Jadi jika bisa bekerja tanpa harus berijazah formal kan sah-sah aja? Yang penting kreatif dan punya kemauan tentu akan bisa hidup dengan baik.
Perihal pengakuan dan formalitas, bagi pondok pesantren tidak perlu terlalu difikirkan. Toh, banyak yang berijazah formal tetapi masih menganggur, atau bukan bekerja sesuai dengan disiplin ilmunya. Misalnya sarjana ekonomi tapi kerjanya sebagai tekhnisi listrik. Nah jika seperti itu lalu apa gunannya pengakuan?
Seperti halnya alumni pondok pesantren yang berkeinginan mengurus Negara. Jika definisi pengurus negara adalah sebagai pejabat yang diangkat dan di gaji oleh pemerintah, mungkin tanpa ijazah formal akan sulit. Namun realitanya, jika seorang pejabat berkeinginan punya pengaruh yang kuat dimasyarakat tentunya ya lagi-lagi harus dekat dengan pondok pesantren. Misalnya SBY agar bisa lebih dekat dengan masyarakatnya beliau membentuk majelis taklim, suka tidak suka untuk mengurus majelis taklimnya, SBY harus berhubungan dengan kyai yang alumni pondok pesantren. Jika begitu lebih berpengaruh mana antara SBY dan kyai yang memimpin majelis taklim, tentu kiyainya. Jadi pengakuan negara itu tidak penting bagi alumni pondok pesantren, yang penting ia bisa berguna di masyarakat itu sudah cukup. Karena misinya agak berbeda dengan sekolah umum.
Sebagaimana kita ketahui bersama, pondok pesantren di Indonesia ada puluhan ribu jumlahnya. Fungsi pondok pesantren bisa dikatakan sebagai benteng moral bagi masyarakat. Namun dengan sekian banyak pesantren di Indonesia mengapa masyarakat juga masih jauh dari nilai-nilai ke Islaman, misalnya dalam hal kemaksiatan yang begitu marak dimana -mana. Lalu bagaimanakah peranan pondok pesantren di tengah situasi yang semacam ini?
Kiyai itu adalah masyarakat dan santri adalah juga bagian dari masyarakat. Jadi jika pondok pesantren dikatakan tidak membentengi ummat, tentu salah. Misalnya di sebuah pesantren ada seratus orang santri, apakah santri tersebut bukan termasuk masyarakat? Dalam hal ini saja pondok pesantren telah membentengi seratus orang masyarakat. Jadi jika ada seribu orang pemuda di masyarakat yang terpengaruh Narkoba, bukankah pondok pesantren telah menyelamatkan seratus orang pemuda tersebut karena telah menjadi santri pesantren?
Ada cerita mengenai pondok pesantren yang kami bina yaitu PP Ribath di Singosari. Lokasi tempat berdiri pondok pesantren kami dahulu adalah sebuah lapangan yang masyarakat banyak menyebut sebagai lapangan Conthong. Dahulu lapangan ini jika malam minggu sering digunakan untuk mabuk-mabukan, bahkan ada juga yang membawa perempuan kesana. Alhamdulillah kami bisa membeli se bidang tanah di lapangan tersebut. Lalu setiap malam Minggu kami mengadakan pembacaan maulid Burda di lapangan tersebut bersama sekitar tiga puluh orang santri PIQ Singosari, walau dengan penerangan listrik yang hanya lima watt atas sumbangan warga. Karena kami istiqamah setiap malam Minggu, mereka yang mabuk –mabukan’ akhirnya pindah jadwal jadi Minggu malam dan akhirnya bubar dengan sendirinya, apakah itu bukan pengaruh?
Contoh lain, dahulu warga perempuan di sekitar pesantren kami jarang ada yang berjilbab, namun setelah kami berdiri delapan tahun, Alhamdulillah mereka yang dahulu belum berjilbab saat ini telah berjilbab, apakah ini bukan pengaruh dari pondok pesantren? Wallahua’lam. Jadi pengaruh dari adanya pondok pesantren adalah tidak harus selalu langsung dan instan namun kadang juga bertahap.
Kemudian adakah upaya ekspansif dari pesantren untuk berdakwah, misalnya dalam upaya menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar. Selama ini terkesan pondok pesantren hanya menunggu bola, menunggu murid yang datang lalu dibina. Adakah upaya untuk jemput bola dari pesantren dalam upaya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap agama?
Setiap pondok pesantren pasti ada kyainya, hal itu sudah melekat. Jadi tidak ada pondok pesantren tanpa kyai. Sebagai kyai tentu juga sebagai da’i di masyarakat. Sedang masyarakat itu bukanlah santri. Karena jika dikatakan santrinya tentu masih terikat peraturan pesantren, jadi tidak bisa meninggalkan asrama selama dalam masa pendidikan. Jadi yang dilakukan oleh Kyai ini, bukankah sebagai upaya jemput bola bagi dakwah Islam di masyarakat.
Seperti contohnya di kota Batu Malang, dengan adanya ustad Jamal Baaqil mendirikan pesantren di sana, masyarakat bisa mengambil manfaat dari pesantren beliau itu. Bahkan aparat juga bisa mengambil manfaat dengan adanya pondok pesantren di sana. Anggaplah bukan dari pesantrennya tapi dari pribadi ustad Jamal yang berpengaruh, namun tidak bisa dipisahkan antara pondok pesantren Anwarul Taufiq dengan ustad Jamal perihal dakwah di kota Batu.
Juga perlu diingat, bukankah santri itu juga anak dari masyarakat? Pondok pesantren berbeda dengan sekolah umum, keterikatan antara wali santri dengan Kyai itu sedemikian kuat. Misalnya jika santri tersebut menikah tentu yang dipanggil untuk meng-aqad-kan biasanya Kyainya sendiri. Bahkan tak jarang saudara dari santri yang sama sekali tak pernah mondok di pesantren tersebut yang menikahkan juga kyai dari pondok pesantren itu. Jadi demikian kuat ikatan antara wali santri sebagai masyarakat umum dan Kyai sebagai pengasuh pondok pesantren.
Banyak dari masyarakat saat ini haus akan nilai-nilai spiritual, hal ini tergambar dari begitu maraknya sanggar-sanggar meditasi, yoga dan lain sebagainya. Buku-buku olah batin yang dijual di toko-toko buku juga laku keras, walau terkadang jika ditinjau dari sisi agama kurang sesuai terhadap nilai-nilai ke Islaman. Mengapa masyarakat awam justru melirik cara-cara semacam itu, dan bukan datang ke pesantren? Bukankah ini merupakan fenomena yang unik, masyarakat cenderung mencari cara yang berbeda dalam pemahaman spiritual, sedangkan pesantren yang sejak lama telah menyajikan solusi dalam bidang tersebut dan berada di lingkunganya malah tidak didatangi.
Kita tidak terlepas dari kondisi masyarakat kita yang heterogen. Indonesia jika dikatakan sebagai negara sekuler juga bisa, lihat saja masyarakat yang berjilbab dan tidak berjilbab masih lebih banyak masyarakat yang tidak berjilbab. Namun jika Indonesia dikatakan sebagai negara yang bukan sekuler juga bisa, contohnya di setiap instansi ada mushalla, bahkan di perusahaan milik orang non muslim juga menyediakan mushalla. Aparat yang memakai jilbab juga banyak, ini juga berarti bahwa Indonesia bukan negara sekuler. Hal itu merupakan dinamika di masyarakat, jadi bukan berarti pesantren belum punya solusi, bahkan hal itu bisa jadi bagian dari solusi pada wilayah strategi dakwah.
Sebagai contoh ketika kami mendapatkan undangan untuk bedah buku yang telah kami tulis yaitu ”Musuh Besar Umat Islam”, dalam rangka hari ulang tahun pesantren Gontor. Waktu itu saya mendengar ada suara semacam tayuban atau seperti wayang kulit di dekat wilayah pondok. Saya berfikir, ini di pondok pesantren besar dan modern kok disekitarnya masih ada acara semacam itu. Kemudian hal itu saya tanyakan kepada salah seorang Kyai yang ada di sana. Jawabnya, ”Kami sedang meladeni atau melayani masyarakat, karena masyarakat di sekitar kami adalah masyarakat abangan, agar masyarakat tidak tersekat mana masyarakat santri di pesantren Gontor dan mana masyarakat yang masih abangan, tentu agar dakwah kami bisa berjalan lebih optimal”.
Jadi bukan karena masyarakat tidak melihat peranan pesantren dalam hal pembinaan spiritual, namun pesantren adalah sebuah institusi yang menghendaki bisa berjalan dengan menggiring masyarakat kepada pemahaman Islam yang optimal. Jika ada pesantren yang sampai digerebek oleh warga masyarakatnya itu harus dipertanyakan mengenai ajaran yang dibawa oleh pesantren tersebut, sesat atau tidak. Apalagi jika sampai di demo warga seperti pesantren YAPI di Bangil Pasuruan, ini pasti ada hal yang harus di luruskan di pesantren tersebut.
Lalu bagaimana jika terjadi kemunkaran disekitar pesantren, apakah pesantren bisa membenahi secara langsung?
Kita perlu tahu bahwa Kyai itu tidak kebal hukum, jadi misalnya ada toko yang menjual miras di sekitar pondok pesantren, tidak serta merta kemudian bisa kita tutup paksa. Kadang masih perlu dilihat apakah toko tersebut menjual miras ada ijinnya? Jika ada ijinnya tentu yang kita pertanyakan adalah aparat yang memberi ijin. Kadang juga repot, prostitusi mau kita grebek ternyata resmi, panti pijat akan kita grebek resmi juga, sedangkan Kyai tidak kebal hukum. Contohnya Habib Rizieq Shihab juga bisa masuk penjara. Jadi jika ada orang yang punya persepsi ”wah ... jika di Indonesia ini ada seratus Habib Rizieq tentu semuanya akan selesai” ,belum tentu juga, lha kalo seratus Habib Rizieq semuanya masuk penjara kan selesai juga? Masalahnya adalah hukum yang belum berpihak pada kita dalam menegakkan syari’at Islam.
Berarti pesantren bisa dikatakan sebagai salah satu pilar dalam menegakkan syari’at Islam. Namun bagaimana tentang fenomena para Kyai yang sibuk mengurus partai, bukankah Kyai dan pesantren adalah kesatuan yang tak dapat dipisahkan. apakah hal ini merupakan degradasi bagi pesantren sebagai salah satu pilar syariat? Adakah hal yang menguntungkan bagi pesantren pada kondisi yang demikian?
Kyai berpolitik itu boleh-boleh saja, sebagaimana kita tahu bahwa politik adalah juga salah satu pilar untuk kemajuan Islam. Bukankah Nabi Muhammad juga seorang politikus yang piawai? Buktinya Nabi membangun sebuah sistem negara dengan gubernur-gubernurnya, Nabi Muhammad juga melakukan perjanjian diplomasi dengan negara atau kerajaan di zaman itu, bukankah itu juga merupakan wilayah politik? Namun yang utama Rosulullah adalah sebagai pendidik ummat. Kyai berpolitik boleh-boleh saja asal harus dengan pedoman syari’at yang benar. Di Indonesia perjuangan dakwah Islam juga perlu melalui jalur-jalur politik, aspirasi pesantren terkadang juga harus diperjuangkan lewat jalur parlemen. Lalu jika tidak ada orang-orang pesantren, dalam hal ini Kyai, tentu sedikit-banyak akan sulit memperjuangkan syari’at Islam di Indonesia.
Contohnya dalam memperjuangkan undang-undang pornografi dan pornoaksi itu juga melalui perjuangan yang berat dalam pengesahannya di parlemen. Yah ... yang memperjuangkan tentu orang-orang yang berfikiran ”pesantren”, tidak harus Kyai. Jadi konotasi pesantren akhirnya bergeser pada sebuah nilai tertentu. Jika seseorang berbicara pesantren maka yang timbul adalah nilai-nilai keislaman, bukan berkonotasi sebuah bangunan saja. Jika konotasinya sebuah bangunan maka pesantren tak ubahnya sebagai kos-kosan saja. Jadi Kyai berpolitik itu adalah sebagai pelengkap perjuangan saja, toh tidak semua Kyai harus berpolitik tentunya.
Berarti yang keliru itu jika Kyai berpolitik lalu meninggalkan pesantren ?
Saya kira demikian, namun meninggalkan di sini jangan hanya diartikan meninggalkan secara fisik, namun lebih pada meninggalkan nilai-nilai kepesantrenan. Karena tipikal Kyai itu juga bermacam-macam. Ada Kyai yang tipikalnya adalah seorang murabby (pendidik tulen), Kyai semacam ini sangat mengerti masing -masing pribadi santrinya. Sampai-sampai murid yang ngantuk di pojok ruangan waktu pengajian, Kyai tersebut bisa melihatnya. Kyai semacam ini biasanya jarang sekali meninggalkan pesantren.
Ada Kyai yang memang telah membangun sebuah sistem di pesantrennya. Tugas-tugas pesantren beliau limpahkan pada pengurus pesantren. Di pesantren semacam ini biasanya ada kepala sekolah dan ustad -ustadz yang fungsinya adalah sebagai murabby. Kyai pada pesantren seperti ini adalah sebagai sentral tanggung jawab pada institusi pesantren tersebut, namun jika ada permasalahan penting, tak jarang Kyai akan turun langsung menyelesaikannya. Yang dilakukan sang Kyai semacam ini biasanya fokusnya adalah berdakwah di masyarakat. Jadi kan tidak bisa dianggap salah, tipe Kyai semacam ini?
Ada juga tipe Kyai ”pesantren” yang tidak punya pesantren, dalam arti tidak memiliki gedung pesantren. Kyai seperti ini memiliki santri yang tidak sedikit, cara pengajarannya juga tertata, lengkap dengan kurikulum dan kitab -kitab yang diajarkan. ”Pesantren” semacam ini bentuknya adalah majelis – majelis taklim yang banyak tersebar di masyarakat, kita tentu tidak bisa mengatakan kurang efektif, justru pengaruh sang Kyai di ”pesantren” pada bentuk demikian sangatlah mengakar di masyarakat.
Yang salah itu itu adalah jika Kyai berpolitik namun meninggalkan akhlak pesantren. Kyai berpolitik malah hanyut pada kondisi yang carut marut, kondisi yang jauh dari akhlak pesantren. Misalnya ada Kyai jadi bupati justru malah korupsi, ada kyai jadi presiden justru tidak membela syari’at Islam malah merugikan ummat dan menimbulkan fitnah di tengah-tengah ummat Islam, lebih runyam lagi malah meresmikan pendirian gereja, ini musibah namanya ! Seperti yang terjadi pada Presiden Gusdur yang meresmikan gereja, bahkan membela PKI.
Jadi peranan pesantren dan Kyai saat ini adalah masih sangat terasa dan dibutuhkan di tengah -tengah umat. Tentunya adalah pesantren yang istiqamah menegakkan syari’at Islam Ahlusunnah Waljama’ah. Pesantren sebagai benteng moral di masyarakat haruslah selalu dipertahankan.
Disamping itu masyarakat juga harus jeli dalam melihat institusi pesantren, karena tak jarang pesantren hanya dijadikan kedok dan simbol oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk menjaring SDM ummat yang nantinya diarahkan pada kepentingan-kepentingan tertentu yang tidak terkait dengan agama, atau bahkan pesantren tersebut mengajarkan ajaran yang menyimpang dari aqidah. Telitilah terlebih dahulu sebelum para orang tua memasukan putra-putrinya pada sebuah pesantren. (ARAH)
Malang, 6 November 2008
(pejuangislam)