Judul di atas mengingatkan kita tentang teori yang banyak di bahas saat masih duduk di bangku SMU. Mungkin pernah di ajarkan oleh guru pada mata pelajaran ekonomi atau tata negara. “Manajemen adalah seni”. Kalimat ini terduplikasi ke banyak bidang keilmuan. Seni yang berkonotasi halus, lembut dan juga berarti kecakapan untuk membuat sesuatu yang elok, bisa berarti upaya kreatif, telah diselaraskan pada obyek yang “asing” bagi cita rasa seni itu sendiri. Bahkan diantaranya mencantumkan kata “seni” pada bidang – bidang yang berkonotasi keras, statis, baku, eksak dan cenderung biasa dilakukan pada perilaku manusia. Kita sering mendengar kata “seni” yang dipadukan pada obyek yang tampak seperti “Jaka Sembung main tali, gak nyambung sama sekali”. Kata “seni” seakan punya kekuatan magis hingga cenderung diperebutkan. Ada nuansa disukai dalam kata seni, ada rasa fun dan unsur rekreatif dalam kata seni, bahkan mungkin untuk sebagian kalangan sangat marketable. Contohnya kita sering mendengar kalimat seperti, seni berhitung, seni bertarung, seni perang, seni politik bahkan sampai seni pernapasan. Ada Apa Dengan Seni (AADS)?
Lalu bagaimanakah dengan manajemen yang mengadopsi kata seni, yaitu seni me-manage? Seni dalam manajemen sangat terkait dengan bagaimana mengatur individu dalam organisasi. Walaupun dalam manajemen kadang tidak selalu harus manusia yang dikelola. Namun jika kita berbicara sekelompok individu yang memiliki niat untuk bekerja bersama, kita akan masuk pada wilayah manajemen dalam organisasi. Karena setiap individu memiliki potensi serta keunikanya masing – masing yang nantinya akan ditempatkan sebagai “organ – organ” yang fungsional. Cara untuk mengarahkan potensi individu untuk meraih sebuah tujuan bersama inilah yang sering memerlukan pendekatan seni me-manage yang tepat.
Sekumpulan indifidu yang bekerja bersama dalam organisasi, akhirnya mengarah pada pendekatan seni (nyeni) yaitu dalam pengelolaannya, atau lebih tepatnya dalam proses pencapaian tujuan bagi organisasi. Asumsi setiap individu adalah unik, mendorong pada metode bagaimana cara pengelolaanya. Sesuatu yang bergerak, bisa merasa dan tentunya juga hidup, cara pengelolaanya tentu tidak bisa dirumuskan dalam cara yang baku dan stagnant. Bahkan sering cara atau metode dalam mengemukakan ide organisasi agar setiap individu mengerti dan mau berjalan dalam satu rel tujuan juga harus berbeda - beda. Hal ini tentu akan berimbas pada cara komunikasi yang beragam pada setiap individu dalam sebuah organisasi. Akhirnya komunikasipun ikut – ikutan menjadi seni. Semuanya memang akan ber-efek domino jika dihubungkan dengan sesuatu yang tak baku, dan bisa ditarik kesana-kemari. Mungkin itu yang membuat mereka para ahli olah raga, matematika, atau bahkan seks sekalipun bisa masuk dalam wilayah seni, bukan pada obyek keilmuannya namun pada bagaimanakah cara pandang mereka dalam memahami ilmu tersebut. Yah … sah – sah aja. Untunglah kata “seniman” masih belum mengalami perluasan sebagaimana kata “seni”. Bayangkan jika ahli matematika, fisika atau ilmu eksak disebut sebagai seniman matematika atau fisika, atau seorang seksolog dikatakan juga sebagai seorang seniman seks, kan runyam jadinya. “Seni” sebagai sesuatu yang normatif juga masih dijunjung tinggi, jadi penggandengan kata seni pada hal yang culas tak dapat diterima di masyarakat kita. Bayangkan jika kata seni disandingkan dengan korupsi jadi “seni korupsi” atau seorang maling mengaku sangat menguasai “seni merampok” kan konyol jadinya?
Kita kembali pada seni organisasi. Keluwesan, ketelatenan juga kreatifitas dalam menangani problem dalam organisasi membuat organisasi dalam rangka me-manage SDM nya juga disebut sebagai seni. Lalu bagaimanakah jika sekumpulan orang – orang yang sudah dari sononya sebagai individu yang nyeni (seniman) berorganisasi? Tentu akan lebih seru. “Jadi seni ketemu seni” seru kan? Dalam organisasi seniman sering kali organisasi tak berjalan sesuai fungsinya, akhirnya yang terjadi adalah sebuah pertunjukan drama kolosal dengan judul “Ayo Berorganisasi”.
Seorang ketua yang nyeni akan menyajikan peran optimal sebagai seorang “ketua”, begitu juga para staf yang berperan sebagai “pengurus” dalam drama kolosal yang berjudul “Ayo Berorganisasi”. Demikian juga peristiwa atau konflik yang terjadi, sering hanya sebagai bentuk aktualisasi diri bagi pemainnya. Para “pemain” demikian memahami, jika organisasi berjalan adem – ayem ya perlu dibuat greget dengan adanya konflik. Bukankah tanpa konflik kurang seru jalan ceritanya? Sering mereka yang bergerak pada organisasi seni sangat sadar bahwa “aku hanyalah sebagai pemeran saja”. Konflik yang terjadi juga demikian, sering permasalahan yang ada bukan permasalahan yang substansi dalam organisasi. Akhirnya organisasi tersebut akan jadi panggung kolosal yang pemainnya sekaligus sebagai penonton. Suasana tersebut sering terjadi pada organisasi seni yang setiap personilnya belum menyadari tentang fungsi organisasi. Yang ada hanyalah perasaan dan perasaan, konflik dalam organisasi seni biasanya berkutat pada wilayah itu saja. Misalnya senior yang merasa kurang dihormati, yunior yang merasa kurang dapat perhatian, pengurus yang merasa kerja capek sendiri, yah … semuanya ada pada hal rasa dan rasa.
Lalu bagaimanakah agar organisasi seni dapat berjalan sesuai rule yang ada sebagai sebuah organisasi? Kuncinya adalah pemahaman tentang fungsi organisasi. Para insan seni dalam organisasi untuk sementara jadilah pemikir dan bukan perasa jika berbicara tentang target organisasi, pendelegasian tugas, penyelesaian konflik dan lain sebagainya. Tempatkan logika dan perasaan pada waktunya yang pas. Jadikan seni sebagai cara penyelesaian masalah dan bukan sebagai bentuk aktualisasi diri jika berada di organisasi. Karena bagaimanapun tujuan bersama haruslah tetap terdepan. Rancangan tujuan haruslah terukur serta logis dan bukan tujuan yang “terasa” logis dan “terasa” terukur. Hingga akhirnya seni mewujud dari bentuknya yang tak kasat mata menjadi wujud yang jelas keberadaanya bahkan terasa fungsinya, dalam segurat seni di organisasi.
Sadari bahwa dalam organisasi ada peraturan dan struktur yang harus ditaati, yang kesemuanya itu adalah baku sebagai hasil kesepakatan bersama. Semuanya haruslah ditaati bersama. Dengan demikian organisasi seni akan dapat berjalan optimal juga selaras.
AR Helmi
Disajikan pada diklat UKM SR (Seni Religius) UIN Malang
Tgl 24 November 2008
(pejuangislam)