URL: www.pejuangislam.com
Email: editor@pejuangislam.com
 
Halaman Depan >>
 
 
Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami
Ustadz H. Luthfi Bashori
 Lihat Biografi
 Profil Pejuang Kaya Ide
 Imam Abad 21
 Info Asshofwah
Karya Tulis Pejuang


 
Ribath Almurtadla
Al-islami
 Pengasuh Ribath
 Amunisi Dari Tumapel
 Aktifitas Pengasuh
 Perjuangan Pengasuh
 Kalender Ribath
Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ)
 Sekilas Profil
 Program Pendidikan
 Pelayanan Masyarakat
 Struktur Organisasi
 Pengasuh PIQ
 
Navigasi Web
Karya Tulis Santri
MP3 Ceramah
Bingkai Aktifitas
Galeri Sastra
Curhat Pengunjung
Media Global
Link Website
TV ONLINE
Kontak Kami
 
 
 Arsip Teriakan Pejuang
 
SETAN BISU & SETAN BICARA 
  Penulis: Pejuang Islam  [7/8/2025]
   
AYOO SHALAT MALAM ! 
  Penulis: Pejuang Islam  [4/8/2025]
   
KOMUNIKASI DI MEJA MAKAN 
  Penulis: Pejuang Islam  [28/7/2025]
   
SUJUD SYUKUR 
  Penulis: Pejuang Islam  [27/7/2025]
   
MENGALAHKAN HAWA NAFSU 
  Penulis: Pejuang Islam  [20/7/2025]
   
 
 Book Collection
 (Klik: Karya Tulis Pejuang)
Pengarang: H. Luthfi B dan Sy. Almaliki
Musuh Besar Umat Islam
Konsep NU dan Krisis Penegakan Syariat
Dialog Tokoh-tokoh Islam
Carut Marut Wajah Kota Santri
Tanggapan Ilmiah Liberalisme
Islam vs Syiah
Paham-paham Yang Harus Diluruskan
Doa Bersama, Bahayakah?
 
 WEB STATISTIK
 
Hari ini: Senin, 22 September 2025
Pukul:  
Online Sekarang: 4 users
Total Hari Ini: 206 users
Total Pengunjung: 6224318 users
 
 
Untitled Document
 PEJUANG ISLAM - MEDIA GLOBAL
 
 
SENI ORGANISASI PADA ORGANISASI SENI 
Penulis: Pejuang Islam [19/2/2009]
 

Judul di atas mengingatkan kita tentang teori yang banyak di bahas saat masih duduk di bangku SMU. Mungkin pernah di ajarkan oleh guru pada mata pelajaran ekonomi atau tata negara. “Manajemen adalah seni”. Kalimat ini terduplikasi ke banyak bidang keilmuan. Seni yang berkonotasi halus, lembut dan juga berarti kecakapan untuk membuat sesuatu yang elok, bisa berarti upaya kreatif, telah diselaraskan pada obyek yang “asing” bagi cita rasa seni itu sendiri. Bahkan diantaranya mencantumkan kata “seni” pada bidang – bidang yang berkonotasi keras, statis, baku, eksak dan cenderung biasa dilakukan pada perilaku manusia. Kita sering mendengar kata “seni” yang dipadukan pada obyek yang tampak seperti “Jaka Sembung main tali, gak nyambung sama sekali”. Kata “seni” seakan punya kekuatan magis hingga  cenderung diperebutkan. Ada nuansa disukai dalam kata seni, ada rasa fun dan unsur rekreatif dalam kata seni, bahkan mungkin untuk sebagian kalangan sangat marketable. Contohnya kita sering mendengar kalimat seperti, seni berhitung, seni bertarung, seni perang, seni politik bahkan sampai seni pernapasan. Ada Apa Dengan Seni (AADS)?

Lalu bagaimanakah dengan manajemen yang mengadopsi kata seni, yaitu seni  me-manage? Seni dalam manajemen sangat terkait dengan bagaimana mengatur individu dalam organisasi. Walaupun dalam manajemen kadang tidak selalu harus manusia yang dikelola. Namun jika kita berbicara sekelompok individu yang memiliki niat untuk bekerja bersama, kita akan masuk pada wilayah manajemen dalam organisasi. Karena setiap individu memiliki potensi serta keunikanya masing – masing yang nantinya akan ditempatkan sebagai “organ – organ” yang fungsional. Cara untuk mengarahkan potensi individu untuk meraih sebuah tujuan bersama inilah yang sering memerlukan pendekatan seni me-manage yang tepat.

Sekumpulan indifidu yang bekerja bersama dalam organisasi, akhirnya mengarah pada pendekatan seni (nyeni) yaitu dalam pengelolaannya, atau lebih tepatnya dalam proses pencapaian tujuan bagi organisasi. Asumsi setiap individu adalah unik, mendorong pada metode bagaimana cara pengelolaanya. Sesuatu yang bergerak, bisa merasa dan tentunya juga hidup, cara pengelolaanya tentu tidak bisa dirumuskan dalam cara yang baku dan stagnant. Bahkan sering cara atau metode dalam mengemukakan ide organisasi agar setiap individu mengerti dan mau berjalan dalam satu rel tujuan juga harus berbeda - beda. Hal ini tentu akan berimbas pada cara komunikasi yang beragam pada setiap individu dalam sebuah organisasi. Akhirnya komunikasipun ikut – ikutan menjadi seni. Semuanya memang akan ber-efek domino jika dihubungkan dengan sesuatu yang tak baku, dan bisa ditarik kesana-kemari. Mungkin itu yang membuat mereka para ahli olah raga, matematika, atau bahkan seks sekalipun bisa masuk dalam wilayah seni, bukan pada obyek keilmuannya namun pada bagaimanakah cara pandang mereka dalam memahami ilmu tersebut. Yah … sah – sah aja. Untunglah kata “seniman” masih belum mengalami perluasan sebagaimana kata “seni”. Bayangkan jika ahli matematika, fisika atau ilmu eksak disebut sebagai seniman matematika atau fisika, atau  seorang seksolog dikatakan juga sebagai seorang seniman seks, kan runyam jadinya. “Seni” sebagai sesuatu yang normatif juga masih dijunjung tinggi, jadi penggandengan kata seni pada hal yang culas tak dapat diterima di masyarakat kita. Bayangkan jika kata seni disandingkan dengan korupsi jadi “seni korupsi” atau seorang maling mengaku sangat menguasai “seni merampok” kan konyol jadinya?

Kita kembali pada seni organisasi. Keluwesan, ketelatenan juga kreatifitas dalam menangani problem dalam organisasi membuat organisasi dalam rangka me-manage SDM nya juga disebut sebagai seni. Lalu bagaimanakah jika sekumpulan orang – orang yang sudah dari sononya sebagai individu yang nyeni (seniman) berorganisasi? Tentu akan lebih seru. “Jadi seni ketemu seni” seru kan? Dalam organisasi seniman sering kali organisasi tak berjalan sesuai fungsinya, akhirnya yang terjadi adalah sebuah pertunjukan drama kolosal dengan judul “Ayo Berorganisasi”.

Seorang ketua yang nyeni akan menyajikan peran optimal sebagai seorang “ketua”, begitu juga para staf yang berperan sebagai “pengurus” dalam drama kolosal yang berjudul “Ayo Berorganisasi”. Demikian juga peristiwa atau konflik yang terjadi, sering hanya sebagai bentuk aktualisasi diri bagi pemainnya. Para  “pemain” demikian memahami, jika organisasi berjalan adem – ayem  ya perlu dibuat greget dengan adanya konflik. Bukankah tanpa  konflik kurang seru jalan ceritanya? Sering mereka yang bergerak pada organisasi seni sangat sadar bahwa “aku hanyalah sebagai pemeran saja”. Konflik yang terjadi juga demikian, sering permasalahan yang ada bukan permasalahan yang substansi dalam organisasi. Akhirnya organisasi tersebut akan jadi panggung kolosal yang pemainnya sekaligus sebagai penonton. Suasana tersebut sering terjadi pada organisasi seni yang setiap personilnya belum menyadari tentang fungsi organisasi. Yang ada hanyalah perasaan dan perasaan, konflik dalam organisasi seni biasanya berkutat pada wilayah itu saja. Misalnya senior yang merasa kurang dihormati, yunior yang merasa kurang dapat perhatian, pengurus yang merasa kerja capek sendiri, yah … semuanya ada pada hal rasa dan rasa.

Lalu bagaimanakah agar organisasi seni dapat berjalan sesuai rule yang ada sebagai sebuah organisasi? Kuncinya adalah pemahaman tentang fungsi organisasi. Para insan seni dalam organisasi untuk sementara jadilah pemikir dan bukan perasa jika berbicara tentang target organisasi, pendelegasian tugas, penyelesaian konflik dan lain sebagainya. Tempatkan logika dan perasaan pada waktunya yang pas. Jadikan seni sebagai cara penyelesaian masalah dan bukan sebagai bentuk aktualisasi diri jika berada di organisasi. Karena bagaimanapun tujuan bersama haruslah tetap terdepan. Rancangan tujuan haruslah terukur serta logis dan bukan tujuan yang “terasa” logis dan “terasa” terukur. Hingga akhirnya seni mewujud dari bentuknya yang tak kasat mata menjadi wujud yang jelas keberadaanya bahkan terasa fungsinya, dalam segurat seni di organisasi.
Sadari bahwa dalam organisasi ada peraturan dan struktur yang harus ditaati, yang kesemuanya itu adalah baku sebagai hasil kesepakatan bersama. Semuanya haruslah ditaati bersama. Dengan demikian organisasi seni akan dapat berjalan optimal juga selaras.

AR Helmi
Disajikan pada diklat UKM SR (Seni Religius) UIN Malang
Tgl 24 November 2008
(pejuangislam)
   

   
 Isikan Komentar Anda
   
Nama 
Email 
Kota 
Pesan/Komentar 
 
 
 
 
Kembali Ke Index Berita
 
 
  Situs © 2009-2025 Oleh Pejuang Islam