Diskriminasi Jilbab
(Tabloid Republika, Dialog Jumat, 19 Mei 2006).
Hidup damai, diakui dan mendapat tempat di kelompok masyarakat, tidak membuat muslim Belgia serta merta bebas masalah. Masih banyak tantangan yang harus dihadapi muslim Belgia, seperti isu penggunaan jilbab di sekolah negeri dan di kantor. Faktor kedekatan budaya antara Belgia dan Perancis membuat banyak orang Belgia khawatir dengan fenomena penggunaan jilbab di antara muslimah di negara itu.
Meski menui kekhawatiran dari banyak pihak, namun Kissi Benjelloun menyatakan persoalan ini tidak sebesar yang nampak dan tidak perlu dibesar-besarkan. Menurutnya, pihak yang harus bertanggung jawab terhadap isu ini adalah anggota parlemen muslim Belgia. Ia menyatakan, anggota parlemen harus menyusun undang-undang yang melindungi kebebasan beragama dan penggunaan jilbab di masyarakat.
Namun aktifis muslim Belgia, Nazeeha bin Turab menyatakan persoalan ini muncul karena elit Belgia mencoba meniru langkah elit Perancis dalam upaya menolak penggunaan kerudung di sekolah-sekolah dan kantor. “Fobia Islam bukanlah hal yang baru, namun, kami ingin memiliki hak untuk bekerja tanpa melihat apa yang kami pakai,” ujarnya.
Persoalan ini telah mencoreng kedamaian dalam kehidupan masyarakat Belgia. Pasalnya, angka diskriminasi meningkat tajam sehubungan dengan penggunaan jilbab ini. Mengacu pada institusi Belgia, yang dipublikasikan oleh surat kabar Le Soil pada 20 Februari lalu, jumlah pekerja yang berhubungan dengan diskriminasi pekerjaan meningkat dari 104 kasus di tahun 2000 menjadi 150 kasus di tahun 2005. Menurut Pusat Persamaan Hak dan Kesempatan Belgia, perkara ini meningkat secara signifikan pasca peristiwa 11 September.
Namun sebagian kalangan menyatakan aksi kerusuhan seperti yang menimpa di Paris dan Perancis, tidak akan terjadi di Belgia. Karena meskipun masih terganjal isu penggunaan jilbab, secara geografis maysrakat muslim Belgia tidak mengalami diskriminasi. “Kami tidak berpikir akan terjadi pemberontakan yang sama dengan yang terjadi di Perancis karena di Brussels, kami hidup di pusat kota, bukan di lingkungan Suburban atau di lingkungan minoritas seperti di Paris,” ujar Nazeeha optimis.