BUPATI AROGAN, WANI PIROO ... ?
Luthfi Bashori
Ya fulaan bin fulaan, uzawwijuka `alaa maa amarallahu bihii min imsaakin bi ma`ruuf au tasriihin bi ihsaan (Wahai Polan bin Polan, aku kawinkan engkau sesuai dengan perintah Allah untuk menikah dengan cara yang bagus atau melepaskan/bercerai dengan secara baik).
Itulah sekelumit perkataan nasehat wali nikah sesaat sebelum dilaksanakan aqad ijab qabul demi sahnya sebuah pernikahan dalam Islam. Entah itu dalam pernikahan resmi yang tercatat di KUA atau pernikahan sirri tanpa adanya surat nikah, maka nasehat itulah yang selalu disampaikan oleh para wali nikah.
Jika ada orang yang menikah, namun tidak melakukan pernikahannya dengan secara baik-baik, demikian juga di saat berhajat mengakhiri pernikahannya itu tidak melakukannya secara baik-baik, maka orang ini hakikatnya sangat jauh dari tuntunan agama Islam, sekalipun kesehariannya berpenampilan seperti seorang muslim.
Bupati oh Bupati..., sekalipun tiap kali tampil di media selalu menggunakan songkok yang terkesan `alim taat beragama`, ternyata termasuk orang yang tidak dapat mengikuti tuntunan syariat Islam dengan baik dan benar, ini terbukti dalam melaksanakan syariat pernikahan yang super singkat itu.
Malu, demikianlah yang dirasakan masyarakat Garut saat ini, termasuk juga telah mencoreng wajah umat Islam secara umum, karena saat masyarakat Garut memilih dan mengangkat Bupati kala itu, ternyata sudah terlanjur membeli kucing dalam karung.
Repotnya, kok yaa dapat kucing garong lagi, hingga terjadilah peristiwa memalukan karena arogansi kekuasaan seorang Bupati yang telah `menindas dan menindih` rakyatnya sendiri.
Pagar makan tanaman pun tak terelakkan telah terjadi.
Atau bahkan bukan sekedar makan tanaman, tapi pagarnya sudah dalam taraf memakan tanaman beserta akar, pot, gembor, selang air dan krannya. Karena itu kegaduhannya sampai terdengar se antero Nusantara, dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau pun gempar dibuatnya.
Gadis berusia 17 tahun yang belum genap usia 18 tahun telah menjadi korban arogansi Bupati. Gadis yang pantas menjadi anaknya itu bukannya mendapat perlindungan dari seorang pemimpin yang adil dan beradab, namun menjadi korban nafsu syahwat sang Bupati Arogan.
Umumnya jika para `penjahat kelamin` itu adalah berasal dari kalangan yang kurang terhormat, namun kali ini seorang Bupati telah mengorbankan amanat jabatan dari masyarakat, hanya untuk pernikahan singkat yang empat hari, itu pun dengan perceraian yang tidak mengikuti syariat au tasriihin bi ihsaan (atau melepaskan/bercerai dengan secara baik).
Bupati yang menurut pengakuannya sebagaimana dimuat di berbagai media, bahwa saat melaksanakan pernikahan singkatnya itu rupanya menggunakan jurus: WANI PIROO ... ?
Setelah tahu rasa nikmatnya pernikahan WANI PIROO ... ?
Maka jurus cerai sistem modern pun diterapkan pula, jadilah SMS PERCERAIAN sebagai pilihan utama dalam mengakhiri pernikahan WANI PIROO ?
Peristiwa ini, adalah cermin ketidakbaikan keislaman sang Bupati yang wajib diingkari oleh setiap pribadi muslim di mana saja berada dan apapun statusnya, agar tidak menjadi preseden buruk bagi anak cucu di masa mendatang.