SANKSI HUKUM YANG BERBEDA BUAT RAJA
Luthfi Bashori
Sanksi bagi orang yang berjima` (bersetubuh) dengan istri di siang hari bulan Ramadhan, menurut hukum fiqih adalah wajib memerdekakan budak atau wajib berpuasa dua bulan berturut- turut atau wajib memberi makan enam puluh orang miskin dengan ketentuan untuk setiap orangnya satu mud (544 gram) baik berupa gandum, kurma, beras atau sejenisnya yang ia mampu.
Adapun tata cara pelaksanaan sanksi tersebut di atas ini, menurut pendapat madzhab Hanafi, Syafi`i dan Hanbali harus dilaksanakan secara tertib. Maksudnya, sanksi pertama yang harus diterapkan adalah memerdekakan budak, jika si pelanggar tidak mampu baru boleh pindah kepada sanksi yang kedua, yaitu puasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka barulah boleh pindah kepada sanksi yang ketiga, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin.
Konon ada seorang raja kaya raya yang memiliki budak cukup banyak. Suatu saat di siang hari bolong pada bulan Ramadhan ia sengaja menyetubuhi istrinya. Semula sang istri menolak, lantaran ia tahu bahwa dalam melaksanakan kewajiban puasa Ramadhan itu juga termasuk tidak boleh melakukan jima` antar suami dan istri. Jika dilanggar maka akan ada sanksi hukum yang harus dijalankan.
Namun karena libido seksual raja saat itu sedang dalam keadaan sangat tinggi, maka raja pun memaksa sang istri untuk melayaninya, dengan harapan nanti ia akan menjalani sanksi yang sudah ditentukan oleh hukum fiqih sebagaimana tersebut di atas.
Kejadian itu pun pada akhirnya terdengar oleh anggota Majelis Tahkim (Mahkamah Agung-nya) kerajaan, sehingga diplenokan oleh seluruh anggota Majelis Tahkim yang terdiri dari para ulama setempat itu.
Raja pun dipanggil oleh para ulama sebagai pesakitan, lantas Ketua Majelis Tahkim, yaitu seorang ulama yang terkenal paling alim dan paling bijaksana di antara para ulama yang hadir, tiba-tiba saja menentukan hukum bagi sang raja tanpa melalui proses musyawarah dengan mengataka : Sanksi bagi raja adalah wajib berpuasa dua bulan berturut-turut.
Raja pun pikir-pikir dengan vonis hukum bagi dirinya itu, lantas bertanya : Apakah tidak ada pilihan lain selain sanksi puasa dua bulan berturut-turut ini? Karena dalam melaksanakan kewajiban puasa yang hanya satu bulan saja, saya tidak kuat menahan nafsu syahwat terhadap istri, bagaimana jika saya disuruh puasa dua bulan berturut-turut, tentu saya tidak akan mampu menjalankannya!
Ketua Majelis Tahkim tetap saja pada pendiriannya : Ketentuan sanksi bagi raja adalah wajib berpuasa dua bulan berturut-turut , ketentuan ini tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh siapapun! Lantas Ketua Majelis tahkim itu mengetok palu, tok tok tok, pertanda persidangan sudah ditutup.
Raja pun lemas mendengar putusan final itu, namun yang lebih tercengang adalah para anggota Majelis Tahkim yang terdiri dari para ulama dan rata-rata pakar hukum syariat itu, Karena mereka tahu persis jika sanksi hukum yang semestinya menurut fiqih itu adalah boleh memilih, antara memerdekakan budak atau puasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan enam puluh orang miskin dengan ketentuan yang dimaklumi.
Namun kewibawaan Ketua Majelis Tahkim ternyata lebih dominan mempengaruhi para anggota, sehingga tidak ada seorangpun dari mereka yang berani menyangkal ketentuan hukum untuk raja itu.
Di saat raja sudah kembali ke istana dengan membawa ketentuan sanksi hukum wajib berpuasa dua bulan berturut-turut, maka Ketua Majelis Tahkim pun mengumpulkan anggotanya dan mengajak mereka bicara :
Saudara-saudaraku, ketahuilah untuk mengeluarkan sanksi hukum bagi seseorang itu, di samping wajib memperhatikan landasan hukum syariat dengan mengambil dalil Alquran, Hadits, Ijma` dan Qiyas, namun harus juga melihat kasus perkasus pada setiap pelanggaran hukum syariat. Jika saja sanksi hukum untuk raja ini kita katakan boleh pilih, sebagaimana yang tertera dalam hukum fiqih, niscaya raja memilih sanksi memerdekakan budak. Hal ini berdampak rawan bagi raja di kemudian hari. Raja tidak akan pernah berpuasa pada bulan Ramadhan karena alasan tidak kuat menahan nafsu syahwatnya, lantas ia akan membayar sanksi hukum dengan memerdekakan budak pada setiap pelanggarannya itu, karena raja sangat mampu untuk memerdekakan 30 budak untuk sanksi hukum bagi pelanggarannya itu selama bulan Ramadhan, bahkan raja mampu kapan saja akan membeli lagi budak-budak lainnya, hanya untuk persiapan membayar sanksi hukum. Apalagi kalau sampai raja memilih sanksi hukum lainnya yaitu memberi makan kepada enam puluh orang miskin, maka hal ini sama sekali tidak akan memberatkan bagi raja, hingga patut dikhawatirkan hal ini menjadi preseden buruk bagi para pejabat istana lainnya!
Para anggota pleno Majelis Tahlkim pun sangat memaklumi dan menerima kebijakan Ketua Majelis Tahkim dalam menentukan sanksi hukum terhadap raja, namun mereka tetap bertanya, mengapa tadi tidak dibuka musyawarah terlebih dahulu di antara mereka?
Ketua Majelis Tahkim pun memberikan keterangan : Mohon maaf sebelumnya, karena dalam bab ini, jika dimusyawarahkan di depan raja, maka ada kemungkinan terjadi perbedaan pendapat di antara seluruh hadirin, dan hal ini yang dapat mempengaruhi status hukum pula bagi raja, hingga ada cela negatif, minimal raja akan mencari pendapat lain yang dapat meringankan sanksi hukum bagi dirinya dari pihak-pihak anggota Majelis tahkim yang berselisih pendapat itu!
Mendengar keterangan ini, seluruh anggota Majelis Tahkim pun dapat menerima serta membenarkan kebijakan Ketua mereka, bahkan banyak pelajaran yang dapat mereka petik dari peristiwa itu.