URL: www.pejuangislam.com
Email: editor@pejuangislam.com
 
Halaman Depan >>
 
 
Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami
Ustadz H. Luthfi Bashori
 Lihat Biografi
 Profil Pejuang Kaya Ide
 Imam Abad 21
 Info Asshofwah
Karya Tulis Pejuang


 
Ribath Almurtadla
Al-islami
 Pengasuh Ribath
 Amunisi Dari Tumapel
 Aktifitas Pengasuh
 Perjuangan Pengasuh
 Kalender Ribath
Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ)
 Sekilas Profil
 Program Pendidikan
 Pelayanan Masyarakat
 Struktur Organisasi
 Pengasuh PIQ
 
Navigasi Web
Karya Tulis Santri
MP3 Ceramah
Bingkai Aktifitas
Galeri Sastra
Curhat Pengunjung
Media Global
Link Website
TV ONLINE
Kontak Kami
 
 
 Arsip Teriakan Pejuang
 
SETAN BISU & SETAN BICARA 
  Penulis: Pejuang Islam  [7/8/2025]
   
AYOO SHALAT MALAM ! 
  Penulis: Pejuang Islam  [4/8/2025]
   
KOMUNIKASI DI MEJA MAKAN 
  Penulis: Pejuang Islam  [28/7/2025]
   
SUJUD SYUKUR 
  Penulis: Pejuang Islam  [27/7/2025]
   
MENGALAHKAN HAWA NAFSU 
  Penulis: Pejuang Islam  [20/7/2025]
   
 
 Book Collection
 (Klik: Karya Tulis Pejuang)
Pengarang: H. Luthfi B dan Sy. Almaliki
Musuh Besar Umat Islam
Konsep NU dan Krisis Penegakan Syariat
Dialog Tokoh-tokoh Islam
Carut Marut Wajah Kota Santri
Tanggapan Ilmiah Liberalisme
Islam vs Syiah
Paham-paham Yang Harus Diluruskan
Doa Bersama, Bahayakah?
 
 WEB STATISTIK
 
Hari ini: Senin, 22 September 2025
Pukul:  
Online Sekarang: 9 users
Total Hari Ini: 63 users
Total Pengunjung: 6224165 users
 
 
Untitled Document
 PEJUANG ISLAM - KARYA ILMIAH USTADZ LUTHFI BASHORI
 
 
SANKSI HUKUM YANG BERBEDA BAGI RAJA 
Penulis: Pejuang Islam [ 16/9/2016 ]
 
SANKSI HUKUM YANG BERBEDA BUAT RAJA

Luthfi Bashori

Sanksi bagi orang yang berjima` (bersetubuh) dengan istri di siang hari bulan Ramadhan, menurut hukum fiqih adalah wajib memerdekakan budak atau wajib berpuasa dua bulan berturut- turut atau wajib memberi makan enam puluh orang miskin dengan ketentuan untuk setiap orangnya satu mud (544 gram) baik berupa gandum, kurma, beras atau sejenisnya yang ia mampu.

Adapun tata cara pelaksanaan sanksi tersebut di atas ini, menurut pendapat madzhab Hanafi, Syafi`i dan Hanbali  harus dilaksanakan secara tertib. Maksudnya, sanksi pertama yang harus diterapkan adalah memerdekakan budak, jika si pelanggar tidak mampu baru boleh pindah kepada sanksi yang kedua, yaitu puasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka barulah boleh pindah kepada sanksi yang ketiga, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin.
 
Konon ada seorang raja kaya raya yang memiliki budak cukup banyak. Suatu saat di siang hari bolong pada bulan Ramadhan ia sengaja menyetubuhi istrinya. Semula sang istri menolak, lantaran ia tahu bahwa dalam melaksanakan kewajiban puasa  Ramadhan itu juga termasuk tidak boleh melakukan jima` antar suami dan istri. Jika dilanggar maka akan ada sanksi hukum yang harus  dijalankan.

Namun karena libido seksual raja saat itu sedang dalam keadaan sangat tinggi, maka raja pun memaksa  sang istri untuk melayaninya, dengan harapan nanti ia akan menjalani sanksi yang sudah ditentukan oleh hukum fiqih sebagaimana tersebut di atas.

Kejadian itu pun pada akhirnya terdengar oleh anggota Majelis Tahkim (Mahkamah Agung-nya) kerajaan, sehingga  diplenokan oleh seluruh anggota Majelis Tahkim yang terdiri dari para ulama setempat itu.

Raja pun dipanggil oleh para ulama sebagai pesakitan, lantas Ketua Majelis Tahkim, yaitu seorang ulama yang terkenal paling alim dan paling bijaksana di antara para ulama yang hadir, tiba-tiba saja menentukan hukum bagi sang raja tanpa melalui proses musyawarah dengan mengataka : Sanksi bagi raja adalah wajib berpuasa dua bulan berturut-turut.

Raja pun pikir-pikir dengan vonis hukum bagi dirinya itu, lantas bertanya : Apakah tidak ada pilihan lain selain sanksi puasa dua bulan berturut-turut ini?  Karena dalam melaksanakan kewajiban puasa yang hanya satu bulan saja, saya tidak kuat menahan nafsu syahwat terhadap istri, bagaimana jika saya disuruh puasa dua bulan berturut-turut, tentu saya tidak akan mampu menjalankannya!

Ketua Majelis Tahkim tetap saja pada pendiriannya : Ketentuan sanksi bagi raja adalah wajib berpuasa dua bulan berturut-turut , ketentuan ini tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh siapapun! Lantas Ketua Majelis tahkim itu mengetok palu, tok tok tok, pertanda persidangan sudah ditutup.

Raja pun lemas mendengar putusan final itu, namun yang lebih tercengang adalah para anggota Majelis Tahkim yang terdiri dari para ulama dan rata-rata pakar hukum syariat itu, Karena mereka tahu persis jika sanksi hukum yang semestinya menurut fiqih  itu adalah boleh memilih, antara memerdekakan budak atau puasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan enam puluh orang miskin dengan ketentuan yang dimaklumi.

Namun kewibawaan Ketua Majelis Tahkim ternyata lebih dominan mempengaruhi para anggota, sehingga tidak ada seorangpun dari mereka yang berani menyangkal ketentuan hukum untuk raja itu.

Di saat raja sudah kembali ke istana dengan membawa ketentuan sanksi hukum wajib berpuasa dua bulan berturut-turut, maka Ketua Majelis Tahkim pun mengumpulkan anggotanya dan mengajak mereka bicara :

Saudara-saudaraku, ketahuilah untuk mengeluarkan sanksi hukum bagi seseorang  itu, di samping wajib memperhatikan landasan hukum syariat dengan mengambil dalil Alquran, Hadits, Ijma` dan Qiyas, namun harus juga melihat kasus perkasus pada setiap pelanggaran hukum syariat. Jika saja sanksi hukum untuk raja ini kita katakan boleh pilih, sebagaimana yang tertera dalam hukum fiqih, niscaya raja memilih sanksi memerdekakan budak. Hal ini berdampak  rawan bagi raja di kemudian hari. Raja tidak akan pernah berpuasa pada bulan Ramadhan karena alasan tidak kuat menahan nafsu  syahwatnya, lantas ia akan membayar sanksi hukum dengan memerdekakan budak pada setiap pelanggarannya itu, karena raja sangat mampu untuk memerdekakan 30 budak untuk sanksi hukum bagi pelanggarannya itu selama bulan Ramadhan, bahkan raja mampu kapan saja akan membeli lagi budak-budak lainnya, hanya untuk persiapan membayar sanksi hukum. Apalagi kalau sampai raja memilih sanksi hukum lainnya yaitu memberi makan kepada enam puluh orang miskin, maka hal ini sama sekali tidak akan memberatkan bagi raja, hingga patut dikhawatirkan hal ini menjadi preseden buruk bagi para pejabat istana lainnya!

Para anggota pleno Majelis Tahlkim pun sangat memaklumi dan menerima kebijakan Ketua Majelis Tahkim dalam menentukan sanksi hukum terhadap raja, namun mereka tetap bertanya, mengapa tadi tidak dibuka musyawarah terlebih dahulu di antara mereka?

Ketua Majelis Tahkim pun memberikan keterangan : Mohon maaf sebelumnya, karena dalam bab ini,  jika dimusyawarahkan di depan raja, maka ada kemungkinan terjadi perbedaan pendapat di antara seluruh hadirin, dan hal ini yang dapat mempengaruhi status hukum pula bagi raja, hingga ada cela negatif, minimal raja akan mencari pendapat lain yang dapat meringankan sanksi hukum bagi dirinya dari pihak-pihak anggota Majelis tahkim yang berselisih pendapat itu!

 Mendengar keterangan ini, seluruh anggota Majelis Tahkim pun dapat menerima serta membenarkan kebijakan Ketua mereka, bahkan banyak pelajaran yang dapat mereka petik dari peristiwa itu.

   
 Isikan Komentar Anda
   
Nama 
Email 
Kota 
Pesan/Komentar 
 
 
 
1.
Pengirim: Suprio  - Kota: Bandung
Tanggal: 24/10/2012
 
kalo itu terjadi dimasa sekarang mungkin ceritanya akan berbeda. biasanya seorang raja kebal terhadap hukum dan pengadilan pun akan memilih hukuman yang paling ringan seringan-ringannya kalo kasusnya itu menimpa seorang paejabat atau pemimpin. Terimakasih pak ustadz 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Bahkan banyak juga pejabat yang melawan hukum maupun tokoh Islam yang melawan Syariat.

2.
Pengirim: Bagus  - Kota: Gresik
Tanggal: 26/10/2012
 
Kalau tidak salah itu cerita dari Sahabatnya Imam malik, yaitu Imam Laits bin sa'ad yg brpndapat sperti itu ustadz... Wallahu a'lam 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Terima kasih infonya, mudah-mudahan nambah ilmu.

 
 
Kembali Ke atas | Kembali Ke Index Karya Ilmiah
 
 
 
  Situs © 2009-2025 Oleh Pejuang Islam