IMAM SYAFI`I BELAJAR AGAMA KEPADA IMAM MALIK
Luthfi Bashori
Konon Imam Syafi`i yang lahir di Ghazzah pada tahun 150 H, di masa mudanya beliau belajar bahasa Arab pada suku Hudzail di sebuah desa yang terkenal fasih dalam berbahasa. Beliau sengaja keluar dari kota Makkah, tempat tinggalnya tumbuh menjadi remaja, untuk belajar di desa suku Hudzail, hal ini demi mendapatkan ilmu bahasa Arab yang baik dan benar.
Umumnya masyarakat pedesaan masih kuat dan rapi dalam menjaga tata bahasa serta adat istiadat para sesepuhnya di banding masyarakat kota yang kondisinya sudah komplek. Di kota-kota besar tempat tujuan, dengan kondisi masyarakatnya yang hitrogen, maka setiap orang membawa bahasa dan adat masing-masing untuk dikolaborasikan dengan lingkungan barunya, hingga secara otomatis akan terjadi kerancuan bahasa maupun adat istiadat di lingkungan masyarakat kota.
Berbeda dengan kondisi lingkungan di desa terpencil, maka kebiasaan masyarakatnya secara naluri pedesaan akan tetap menjaga kelestarian bahasa maupun adat istiadat warisan dari para pendahulunya. Karena itu siapa saja yang ingin belajar bahasa suatu kaum secara baik dan benar, hendaklah bermukim dan bermasyarakat di desa terpencil demi mendukung programnya untuk mendapatkan apa yang diharapkan secara maksimal.
Belajar bahasa suatu kaum juga tidak akan sempurna jika tidak disertai mempelajari dan menerapkan adat istiadat masyarakat se tempat. Bisa dibayangkan betapa janggalnya jika ada seorang dari suku Jawa yang belajar bahasa Inggris, saat mempraktekkan pelajaran yang ia kuasainya ternyata menggunakan logat `WANI PIRO?` pasti terkesan lucu.
Untuk itulah Imam Syafi`i juga berusaha menyelami adat istiadat demi mendukung pejalaran bahasa Arab dari suku Hudzail dengan semangat yang luar biasa, hingga dalam waktu relatif singkat serta didukung kecerdasan beliau yang luar biasa, maka Imam Syafi`i pun berubah menjadi pemuda yang sangat fasih berbahasa Arab dalam setiap penuturannya.
Suatu saat, beliau kembali ke kota Makkah dengan membawa kepribadian baru serta tutur kata fasih yang selalu menarik perhatian masyarakatnya. Hingga bertemulah beliau dengan seorang tua yang mengatakan : Wahai pemuda, bahasa tutur katamu sungguh mena`jubkan, dan pengetahuanmu juga sangat menggembirakan hati, barangkali hanya perlu pendalaman sedikit saja, maka engkau akam menjadi figur yang sangat bermanfaat bagi masyarakat, karena itu hendaklah engkau belajar kepada Imam Malik di Madinah, beliau adalah pengarang kitab Muwattha` kumpulan hadits-hadits Nabi SAW.
Mendengar penuturan itu, maka Imam Syafi`i sangat tertarik mempelajari kitab Muwattha` karangan Imam Malik itu, dan beliau pun berusaha mendapatkannya. Namun karena keterbatasan ekonomi, maka Imam Syafi`i hanya mampu meminjam kitab Muwattha` kepada temannya lantas beliau pun menghapalkan isinya. Kitab Muwattha` sendiri mencakup sekitar 10.000 (sepuluh ribu) hadits, yang semuanya itu mampu dihapalkan oleh Imam Syafi`i dengan baik dalam waktu yang tidak begitu lama.
Setelah ada kesempatan untuk bertandang ke kota Madinah, maka Imam syafi`i langsung menuju ke tempat kediaman Imam Malik. Ternyata untuk menemui Imam Malik bukanlah perkara mudah, bahkan banyak pejabat pemerintah se tempat yang merasa enggan untuk datang menemui beliau karena kewibawaan Imam Malik terkenal sangat berpengaruh di kalangan masyarakat Madinah.
Seorang pembesar Madinah, tatkala bertemu dengan Imam Syafi`i dikala beliau menanyakan alamat tempat tinggal Imam Malik, maka pembesar itu berkomentar : Wahai pemuda, lebih baik aku berjalan kaki dari Madiah ke Makkah (sekitar 500 km) dari pada harus mengantarkamu ke tempat tinggal Imam Malik, karena diriku belum siap bertemu dengan beliau.
Pada akhirnya Imam Syafi`i berhasil menemui Imam Malik, yang ternyata beliau adalah seorang Syeikh yang sudah berumur dengan penampilah yang sungguh mena`jubkan serta kewibawaan yang luar biasa memancar dari sinar wajahnya berkat kedalaman ilmu agama yang disandangnya, maka tidak heran jika banyak orang yang merasa enggan untuk menemuinya, khususnya bagi mereka yang belum siap karena merasa banyak kekurangan pada dirinya.
Ringkas cerita, Imam Malik meminta Imam Syafi`i untuk membaca kitab Muwattha` sebagaimana yang dicita-citakan. Maka setiap huruf yang keluar dari kefasihan lisan Imam Syafi`i, menjadi sesuatu yang mena`jubkan dan menimbulkan rasa cinta yang mendalam di hati Imam Malik.
Bahkan sudah berlembar-lembar tulisan dalam kitab Muwattha` telah dibaca oleh Imam syafi`i pada pertemuan pertamanya, namun Imam Malik selalu mengatakan : Lanjutkan bacaanmu !
Demikianlah, hingga tidak memerlukan hari-hari yang panjang, Imam Syafi`i sudah dapat mengkhatamkan kitab Muwattha` karangan Imam Malik itu. Kemudian Imam Syafi`i memutuskan untuk tinggal di Madinah sekalipun sudah khatam kitab Muwatth` agar dapat istiqamah mengikuti majelis ta`lim gurunya itu, sampai Imam Malik dipanggil oleh Allah menghadap kehadirat-Nya.