Salah Persepsi Memahami Alquran dan Menyoal Penerjemahan
Alfatihah dalam Shalat
H. Luthfi Bashori
Cara shalat yang diajarkan Yusman Roy dari Lawang Malang yang pernah menjadi perdebatan publik, pada mulanya dia publikasikan lewat selebaran dan situs www.yayasantaqwallah.co-inc.com dengan email : roytaqwa@telkom.net. Wacana yang beberapa tahun yang lalu sempat diributkan di Todays Dialog-nya Metro TV pada dasarnya telah saya tanggapi lewat Bulletin Ribath yang di keluarkan oleh pesantren Ribath Al Murtadla Al islami Singosari Malang. Namun perlu juga untuk diulas ulang sesuai kajian ilmiah.
Yusman Roy menganjurkan, bahkan mewajibkan setiap imam shalat menerjemahkan bacaan al Fatihah dan surat yang dibaca dengan cara dikeraskan hingga didengarkan oleh makmum.
Menurut persepsi Yusman Roy, wajib bagi Imam shalat tatkala mengimami shalat, di saat membaca al Fatihah, harus disertai terjemahannya, misalnya: Bismillahir rahmaanir rahiim, Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang; Alhamdu lillaahi rabbil `aalamiin, Segala puji bagai Allah Tuhan sekalian alam. Demikian dan seterusnya, dengan tujuan agar para makmum memahami isi Alquran yang dibacanya.
Dalam tulisannya, Yusman Roy juga menukil beberapa cuplikan ayat Alquran. Hanya saja bagi orang yang memahami ajaran agama Islam dengan baik, akan mengatakan bahwa ayat yang dinukil tersebut tidak ada relevansinya dengan tata cara shalat yang diajarkannya. Bahkan ia mengatakan bahwa tidak ada satu dalilpun, baik dari Alquran maupun Hadits yang melarang penerjemahan Alquran di dalam shalat. Dengan diterjemahkan justru sangatlah afdal (lebih utama) menurutnya.
Kalau kita jeli dan cerdas dalam memahami Alquran dan Hadits khususnya di dalam masalah shalat, tentu pemahaman di atas tidak perlu terjadi. Beberapa kitab para ulama salaf (klasik) telah membahasnya dengan rinci. Dalil-dalillnya pun kongkrit, baik dari Alquran maupun Hadits. Diantara kitab-kitab tersebut adalah Kifaayatul Akhyaar (oleh Imam Taqyuddin Abu Bakar Bin Muhammad Al Husaini), An Nafahaat As Shamadiyah (oleh Imam Abdurrahman Mahmud al Juhani ), Shahih Muslim (Imam Muslim), dan kitab-kitab lainnya yang membahas tentang Mubthilaatus Shalaat (Beberapa perkara yang membatalkan shalat). Inti dari kitab-kitab tersebut di atas bahwa cara shalat yang diajarkan oleh Yusman Roy adalah batal alias tidak sah shalatnya. Shalat yang batal wajib di-qadla (diganti).
Sebagai nukilan ringkas hadist Nabi SAW riwayat Imam Muslim adalah sebagai berikut: Dari Zaid bin Arqam ra, beliau berkata, "Dulu kami pernah berbincang-bincang tatkalah shalat, sehingga turun firman Allah ta`ala - Waquumuu lillaahi Qaanitiin – (Shalatlah karena Allah dengan penuh khusyuk), lantas kami diperintah untuk diam dan dilarang berbicara. Bahkan Nabi SAW menegur Mu`awiyah bin Alhakam Assulami yang mendoakan yarhamukallah (semoga Allah merahmatimu) kepada orang yang bersin di dalam shalat.
Ini dikarenakan dalam kalimat barusan mengandung unsur “meng-khitabi” atau mengajak bicara pihak lain selain Allah. "Sesungguhnya shalat itu tidak boleh sedikitpun dicampuri pembicaraan orang. Sesungguhnya bacaan shalat itu hanyalah tasbiih (subhaanallah), takbiir (Allahu akbar) dan bacaan Alquran".
Nabi juga mengajarkan bacaan-bacaan yang menjadi ketentuan bagi pelaksanaan shalat. Sekaligus tata cara gerakan serta waktu-waktunya. Hingga beliau perlu menegaskan, "Shalluu kamaa ra-aitumuunii ushallii" (Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat tata caraku dalam shalat). Inilah yang dinamakan amrun tauqiifiy.
Maksudnya, ibadah yang langsung diajari dan direkomendasikan oleh Nabi SAW yang tidak bisa ditawar oleh siapapun. Hukumnya wajib diikuti oleh umat, baik faham artinya atau tidak. Untuk memahami bacaan-bacaan yang ada di dalam shalat, umat Islam bisa mempelajarinya di lain waktu di luar shalat. Inilah yang telah dilakukan oleh segenap kaum muslimin di segala penjuru dunia. Perlu diingat, terjemahan bahasa Indonesia termasuk "pembicaraan orang" yang membatalkan shalat dan dilarang oleh Nabi SAW.
Di dalam upaya menguatkan opininya M. Yusman Roy menukil ayat (yang artinya) "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan". (QS.Annisa – 43)
Pria Lawang Malang itu salah persepsi pada potongan ayat (yang artinya) "sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan" yang menurut pemahamannya harus diterjemahkan. Padahal maksud ayat ini adalah larangan melakukan shalat dalam keadaan mabuk karena minum arak misalnya.
Sebab orang mabuk tidak bisa mengontrol pembicaraan. Bahkan membaca Alquran di saat mabuk bisa merubah bacaan Alquran yang sekaligus juga akan merubah artinya. Padahal memasukkan satu kata dari pembicaraan orang bisa membatalkan shalat, apalagi dengan mengigau saat mabuk. Untuk itulah diturunkan ayat ini.
Ayat berikutnya yang dinukil Yusman Roy adalah (yang artinya), "Kami tidak mengutus seorang Rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka" (QS. Ibrahim – 4).
Ayat ini juga dipelintir dengan gegabah bahwa tatkala seorang imam memimpin shalat, maka ia harus menerjemahkan dengan bahasa kaum di mana ia hidup.
Padahal ayat ini mempunyai arti bahwa setiap Rasul yang diutus oleh Allah, pastilah menggunakan bahasa kaumnya. Hal ini untuk mempermudah penyampaian syariat Allah. Demikian juga Nabi Muhammad SAW diutus dengan menggunakan bahasa Arab sebab beliau hidup di kalangan bangsa Arab.
Maka dengan sendirinya bahasa Arab menjadi bahasa agama Islam. Setiap muslim wajib menguasai bahasa Arab minimal sebatas yang dipergunakan sebagai ibadah wajib yang tidak bisa ditawar. Seperti pelaksanan ibadah shalat yang sifatnya tauqiify (dogmatis).
Karena konsistennya Islam dan umat Islam dalam melestarikan bahasa Arab sebagai bahasa kitab suci, Alquran-lah yang menjamin keotentikannya, di samping faktor adanya penjagaan langsung dari Allah.
Sudah menjadi pengertian umum bahwa setiap bahasa yang berkembang di dunia ini mempunyai ciri khas masing-masing.
Para pakar bahasa pasti mengatakan tidak akan mungkin menerjemahkan suatu bahasa tepat seperti aslinya baik secara gramatikal, dialek, sastra, keindahan susunan, dan lain sebagainya. Khusus dalam Alquran terdapat rahasia I`jaaz lughawi (mukjizat bahasa) yang hanya dimengerti oleh orang-orang yang menguasai sastra Arab yang bernilai tinggi.
QS Ibrahim : 4 di atas sama sekali tidak ada keterkaitannya dengan masalah tata cara shalat yang difahaminya. Apalagi dengan nukilan ayat berikut yang artinya, "Dan jikalau Kami jadikan Alquran itu suatu bacaan dalam selain bahasa Arab, tentulah mereka (orang kafir Quraisy) mengatakan: mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya (dengan bahas Arab yang kami fahami) ? Apakah (patut Alquran) dalam bahasa asing sedang (rasul adalah orang) Arab?"
Yusman Roy menandaskan bahwa maksud dari "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya? adalah `kok tidak disertai terjemahan bahasa kaum?`
Ayat ini bukanlah perintah untuk menerjemahkan bacaan Alquran di dalam shalat. Tapi menerangkan bahwa intrik-intrik orang kafir selalu mencari dalil agar mereka bisa menjatuhkan Islam dan Nabi Muhammad SAW dengan pernyataan konyol dalam menolak Alquran. Untuk itulah Allah menceritakan, "Andaikata Alquran ini diturunkan dalam bahasa `Ajam (non-Arab), pasti orang kafir Quraisy akan berkomentar "kami tidak faham".
Namun kenyataannya Allah menurunkan Alquran dengan bahasa Arab maka tidak ada jalan bagi orang kafir Quraisy untuk menolaknya.
Dengan memahami ajaran agama secara benar, diharap umat Islam tidak mudah terbawa arus praktek-praktek ibadah di luar ketentuan syariat. Tidak mudah menerjemahkan serta mentakwili Alquran tanpa ilmu yang memadai.
Sebenarnya pengikut shalat jama`ah ala Yusman Roy tidak banyak. Hanya berkisar 10 sampai 15 orang. Bahkan setelah mendapat counter dari masyarakat dan para ulama khususnya MUI Kabupaten Malang di tahun 2002 pengikut yang tersisa hanya berkisar 5 orang. Sudah banyak yang meninggalkan Pondok Lelaku yang dirintisnya. Tampilnya kembali Yusman di forum dialog maupun di televisi hanyalah sekedar sensasi belaka. Di wilayah Malang, yang dilakukannya ibarat seperti menjual makanan yang sudah kadaluwarsa.